Rabu, 25 Desember 2019

KOTA LAYAK ADZAB



by. Deu Ghoida


Bukan jamannya lagi membanggakan prestasi Kota Layak Anak. Jika ukuran suatu kota tak mampu lagi memberi jaminan keamanan diri dan akhlaq anak. Generasi jauh lebih mudah dirusak daripada dilindungi. Kemajuan hanya dinilai dari segi teknologi dan keterbukaan, sementara anak terdidik tanpa memiliki pemikiran dan akhlaq yang baik.

Perusak anak-anak justru kita sendiri. Generasi kita hari ini dihadapkan dengan beragam kerusakan yang tiada henti. Mulai dari jaminan kebebasan melahirkan beragam perilaku haus akan hiburan tiada henti. Kebebasan bertingkah laku menjadikan remaja gila dugem, remaja tak punya malu melakukan maksiat terang-terangan. Bukannya dihentikan penyebab masalahnya tapi justru malah ditutup datanya, Diawasi petugasnya.

Kebebasan pun melahirkan perilaku tak wajar dalam beragama. Bukannya makin menambah ketaatan, yang ada justru generasi takut mendalami agama karena ditakuti dengan beragam opini radikalisme. Mereka jauh lebih waspada pada ajakan ngaji rutin daripada ajakan nonton film intim. Mereka jauh lebih ngeri dengan perempuan bercadar daripada perempuan telanjang. Na'udzubillah.

Para santri uangs seharusnya menjadi penerus para nabi dalam melakukan amar ma'ruf nahiy munkar pun dibuat bukan sibuk menyelesaikan hafalan, malah sibuk dengan kegiatan natalan atas nama toleransi. Para ustadz sibuk membela penista atas dasar kebebasan berbicara dan sibuk mencari dalil pendukungnya  daripada mencegahnya. Anak muda disibukkan dengan pentas seni lelaki berlenggang manjah daripada lelaki memegang kuda dan panah.

Beragam program dirancang agar bagaimana semua orang bisa punya riba, dianggap tak perlu memikirkan halal haram, diarahkan pikiran menerima maslahat bank meski dengan riba. Bahkan program lulusan pesantren pun tak lepas dari bidikan. Jadilah santri keluar dengan sudit pandang tak jauh dari Barat.

Mahasiswa sekolah tinggi Islam diajak bertoleransi dengan membumikan toleransi ala film The Santri. Membawa nasi tumpeng ke gereja atas nama penghormatan perayaan agama lain, sholawatan di gereja seakan menjadi pemandangan asri. Entah dimana pikiran dan rasa itu pergi. Semua seakan dijalani untuk memancing kemarahan. Seakan semua baik, akhirnya berlombalah mereka menjadi orang yang paling toleran melebihi toleransi warga Amerika. Mereka jauh lebih sekuler dari orang sekuler. Jauh lebih liberal dari orang liberal Barat.

Toleransi Pintu Masuk Pelemahan Umat Islam

Bagi sebagian orang melihat, toleransi dinilai biasa saja. Padahal memaknai toleransi bukan lah demikian seharusnya. Justru jika memahami konstelasi global,  akan kita dapati bahwa sejak peristiwa 9/11 dunia di'paksa' mengkampanyekan War on Terrorism. Ketika skenario dijalankan, maka harus ada peran antagonis dan lakonnya. Lakon disetting setiap negara yang pro AS, sementara peran antagonis dianggap mereka yang mendapat stick-nya AS akibat menolak kampanye WOT.

Akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa dunia jika akan meraih kedamaian, maka harus ditekan upaya teror dan radikalisme dimanapun. Radikalisme diidentikan fanatisme pada agama Islam, dengan ciri identifikasi yang dilakukan oleh perang opini AS. Hingga sampai pada satu kesimpulan bahwa untuk mengurangi radikalisme maka perlu ditingkatkan tpleransi untuk menekan peran dan posisi agama yang dianggap jika terlalu dominan akan menyebabkan manusia menjadi radikal.

Yang diherankan adalah kebijakan ini disepakati oleh mayoritas negeri-negeri muslim hingga Indonesia pun menyepakati dan mulailah beragam proyek radikalisasi terjadi secara sistemik. Gelontoran dana pun didistribusi demi mensukseskan kampanye War.On Terrorism ini. Apapun masalah negeri ini, dianggap yang paling penting dan berbahaya adalah radikalisme. Negara akhirnya seperti menutup mata dari kebenaran, bahwa kemiskinan, mahalnya biaya hidup, kriminalitas tinggi dianggap masalah kesekian yang dihadapi negeri ini.

Sebagai contoh, di Jawa Tengah, di tahun 2019, 70 persen pelajar sekolah berpacaran , dan 3 persen dari total pelajar sudah berhubungan seksual dengan pacarnya. Kerusakan seperti ini dianggap perkara wajar karena terbukti tidak pernah dijadikan orientasi untuk solusinya.
https://www.google.com/amp/s/m.kumparan.com/amp/suarabanyuurip/tiga-persen-pelajar-di-jawa-tengah-berhubungan-seks-1553308316435004257

Padahal Rasulullah sudah mengingatkan kita:

إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِيْ قَرْيَةٍ، فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).

Jika zina dan riba sudah menyebar di kota ini,apa kita hari ini masih pantas membanggakan prestasi fiktif sebagai penutup kerusakan? 

Lebih tepatnya justru kota ini jauh lebih layak mendapatkan adzab akibat kesombongan dan keangkuhannya untuk menolak hukum Allah diterapkan. Angkuh seakan akalnya mampu menembus semua masalah dan mencari solusi terbaiknya untuk semua manusia. Mustahil mampu merealisasikan semua itu jika hukum Allah mereka campakkan, kesombongan mereka tegakkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar