Sabtu, 22 Juni 2019

Mursi Telah Pergi,Demokrasi Saatnya Diakhiri

Oleh: Deu Ghoida

Kabar meninggalnya Dr.Muhammad Mursi menyeruak dalam pemberitaan hari ini diikuti dengan beragam macam analisa dan beragam kritikan terhadap demokrasi. Apa yang dilakukan Mursi telah membuka mata banyak pihak.

Realita perjuangan dalam demokrasi tidak akan pernah membawa hasil signifikan terhadap kemajuan Islam. Hal ini dikarenakan demokrasi sendiri dijadikan sebagai alat legitimasi negara Barat untuk melakukan penjajahan terhadap negeri-negeri muslim.

Negara Barat menjadikan demokrasi sebagai pintu masuk penerapan neoliberalisme dan neoimperialisme terhadap negeri-negeri yang memiliki sumber daya alam yang melimpah.

Negara Barat tidak akan pernah membiarkan kepemimpinan yang terpilih melalui demokrasi yang pro dengan Islam untuk memimpin di suatu negara akan tetapi jika sebaliknya pemimpin yang terpilih melalui demokrasi dan memudahkan untuk kepentingan kapitalisme akan mereka jadikan sebagai antek dan boneka jajahannya.

Semangat memperjuangkan Islam haruslah dibarengi dengan adanya metode dan pengkajian terhadap realitas sistem politik dan pemerintahan sehingga menjadikan upaya perjuangan Islam tepat dan mengena kepada sasaran utamanya yaitu tegaknya syariat Allah di muka bumi.

Mursi telah mengajarkan kepada kita keistiqomahan, ketegaran, keteguhan dan juga pemaknaan terhadap arti perjuangan yang sesungguhnya. Tinggal hari ini bagaimana pejuang Islam merealisasikan dan menterjemahkan metode perjuangan dengan tepat yang tidak memberikan loyalitas kepada demokrasi sebagai jalan yang harus dilalui karena demokrasi tak layak sebagai jalan untuk menerapkan Islam.

Menkominfo Dukung Rencana Polisi Patroli di Grup WhatsApp

JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan mendukung pihak kepolisian yang berencana melakukan patroli di grup WhatsApp.

Namun, Menkominfo menjelaskan bahwa patroli yang dilakukan bukan berarti polisi berkeliaran secara bebas keluar masuk grup WhatsApp.

Menurut Rudiantara, patroli yang dilakukan kepolisian bukan secara suka-suka. Polisi baru akan masuk ke dalam grup jika ada anggota grup tersebut yang diketahui berbuat kriminal.

Rudiantara mengatakan, polisi bisa mengetahui apakah ada tindakan kriminal atau tidak di grup tersebut melalui delik aduan dan delik umum, kemudian meminta bantuan kepada Kominfo.

Sumber:
https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/tekno/read/2019/06/18/12004507/menkominfo-dukung-rencana-polisi-patroli-di-grup-whatsapp

✒ #KomentarPolitik

Tobat Takkan Membuat Kalian Hina

Penulis: Deu Ghoida

#OpiniMuslimahJateng -- Berat nian tugas penjaga keamanan negeri ini. Kecurigaan pada rakyat sendiri atas nama penjagaan dan antisipasi keamanan telah menjadikan banyak PR harus dituntaskan beruntun.

Tak sedikit rakyat menjadi korban dan muncul banyak pemantik hilangnya kepercayaan rakyat pada penguasa akibat sikap arogansi aparat. Alih-alih menjaga keamanan, tapi yang nampak justru makin menipisnya kepercayaan dan kecintaan sebagian besar masyarakat pada penjaga institusi negeri ini.

Miris. Kapitalisme telah mengorbankan peran besar dan telah menjual kepercayaan rakyat kepada aparat. Digantikan dengan posisi pengaman rezim dan kedudukan semata. Beragam ancaman dan intimidasi menjadi sebuah jalan melanggengkan kepentingan minoritas berkuasa.

Benarlah apa yang digambarkan dalam hadits keberadaan aparat akhir jaman.

سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ شُرطَةٌ ، يَغْدُونَ فِي غَضِبِ اللهِ، وَيَرُوحُونَ فِي سَخَطِ اللهِ

“Di akhir zaman banyak polisi di pagi hari melakukan sesuatu yang dimurkai Allah, dan di sore hari melakukan sesutu yang dibenci Allah”(H.R. Thabarani)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya menjadi polisi yang membantu penguasa berbuat zalim.

لَيَأْتِيَنَّ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يُقَرِّبُونَ شِرَارَ النَّاسِ ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا ، فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَلا يَكُونَنَّ عَرِيفًا ، وَلا شُرْطِيًا ، وَلا جَابِيًا ، وَلا خَازِنًا، رواه ابن حبان في صحيحه

“Sungguh akan pasti datang kapada kalian para pemimpin yang menjadikan manusia-manusia terjelek sebagai orang dekatnya dan mengakhirkan sholat dari waktu waktunya, maka barang siapa diantara kalian yang mendapatkan zaman itu, maka jangan sekali kali ia menjadi pembantu mereka, juga jangan pula menjadi polisi mereka, jangan pula sebagai tukang pemungut (pajak) mereka dan jangan pula sebagai tukang bendahara mereka.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya).

Hari ini kezhaliman penguasa nampak nyata, ketidakadilan terus dirasakan bahkan kriminalisasi terhadap pendakwah dan rakyat yang dianggap kontra karena aktif melakukan koreksi terus terjadi.

Seharusnya penguasa zhalim diingatkan dan dimuhasabah terus hingga mereka menyadari kesalahannya menyimpang dari hukum Allah. Toh siapa kita di dunia ini selain kita hanya makhluq lemah yang butuh menyelamatkan diri kita dari siksaNya ķelak akibat maksiat yang kita lakukan. Bertobatlah kalian, sebelum datang masanya tobat kalian tiada guna.

Menhan Sebut 3 Persen Anggota TNI Terpapar Radikalisme

📰  Menhan Sebut 3 Persen Anggota TNI Terpapar Radikalisme

Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyebut Pancasila sedang mengalami pergolakan yang serius. Kata dia, banyak pihak-- termasuk Tentara Nasional Indonesia (TNI)-- ingin mengganti Pancasila dengan ideologi khilafah negara Islam.

Berdasarkan data yang dimilikinya, Ryamizard menuturkan ada sekitar tiga persen anggota TNI yang sudah terpapar paham radikalisme.

Sumber:
https://m.cnnindonesia.com/nasional/20190619113157-20-404549/menhan-sebut-3-persen-anggota-tni-terpapar-radikalisme

✒ #KomentarPolitik

Oleh:  Deu Ghoida

#OpiniMuslimahJateng -- Barat menciptakan common enemy, makhluk sakral bernama teroris yang dituding mengajarkan radikalisme, fundamentalisme mengatasnamakan ajaran agama. Mereka terus menebarkan opini bahwa radikalisme mengajarkan upaya untuk menerapkan Islam Kaffah dalam lingkup bernegara dan akan menggantikan hegemoni politik di negera tersebut.

Hal inilah yang kemudian dilakukan pemerintahan yang berkuasa di sebagian negeri-negeri muslim hari ini, untuk men-cap radikal dengan mudah kepada sebagian kelompok rakyatnya yang memiliki semangat untuk melakukan perubahan dan tegas dalam melakukan Muhasabah kepada penguasa dan membongkar zhalimnya kapitalisme.

Meletakkan tudingan radikal kepada institusi penjaga negara di Indonesia pun mulai muncul seiring kasus makar yang dituduhkan kepada beberapa pihak hingga pada akhirnya pihak rezim seolah memiliki alat legitimasi untuk mendalami dan melakukan beragam macam antisipasi untuk mencegah radikalisme di institusi tertentu.

Stigma radikal fundamental memang telah menjadi sebuah alat legitimasi kekuasaan untuk melakukan upaya mencabik-cabik lawan politik. Hal ini dikarenakan Barat telah menjadikan isu radikalisme sebagai problem politik internasional yang harus diperangi dan hal ini pun telah diamini oleh pemerintah Indonesia. Bahkan tak segan pemerintah melakukan pengawasan khusus terhadap pihak yang dituduh terkait dengan radikalisme hingga penyikapan ini melanggar norma kemanusiaan dan hukum yang berlaku di dalam negaranya sendiri.

Jika umat Islam tidak menyadari bahaya stigmatisasi radikalisme ini, kelemahan dan adu domba akan terus menghantui umat Islam. Tudingan buruk ini seharusnya menyebabkan perasaan sakit hati yang teramat dalam yang dirasakan umat Islam karena tidak ada satu ajaran pun dalam Islam yang membolehkan melakukan kekerasan fisik di dalam dakwah untuk melakukan perubahan dan ketika melakukan Muhasabah kepada penguasa sekalipun.

Muhasabah kepada penguasa merupakan perkara yang diwajibkan dalam agama apalagi berkaitan dengan kezholiman dan menyangkut hajat hidup orang banyak.

Merupakan perkara wajar seorang muslim menegakkan dakwah. Apalagi nyata adanya kemaksiatan dan kezhaliman. Sebagaimana perintah Allah:

خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (Al Imran 110)

Dari sini maka mudah dipahami bahwa sistem hidup kita saat ini mengacu kepada Barat sebagai polisi dunia, bukan independen sebagai negara berdaulat.

Rasisme atau Tidak Toleran

Oleh: Deu Ghoida

Kabar siaran langsung jadi mualafnya Deddy Corbuzier menjadi obrolan hangat akhir-akhir ini. Hal ini semakin panas ketika KPI melakukan larangan terhadap Ada cara live tersebut.

Larangan ini dinilai karena acara pengislaman Deddy Corbuzier dianggap sebagai bentuk rasisme. Jika kita amati sebenarnya ada kondisi tidak wajar dengan larangan yang dilakukan oleh KPI.

Isu toleransi di negeri Ini memang menjadi sebuah masalah yang belum tertuntaskan. Adanya kesalahpahaman dalam memandang toleransi sering ditarik ulur sesuai kepentingan pihak tertentu. Alih-alih menjaga kerukunan yang muncul justru ketidakadilan. Ketika berbau Islam maka kecenderungannya akan sangat dibatasi, sementara ketika berkaitan dengan keyakinan yang lain negara seakan tidak mau tau dan tidak melakukan proteksi terhadap ajaran dan keyakinan agama Islam.

Acara-acara yang berbau syirik hingga menyakiti perasaan umat Islam dari sisi mempertontonkan aurat, pergaulan bebas, hingga bermacam bentuk pelanggaran syariat sebenarnya mendominasi media di Indonesia hari ini. Akan tetapi dirasa KPI sangat menutup mata dan melakukan pembiaran terhadap pelanggaran tersebut.

Sebenarnya merupakan perkara yang wajar bagi KPI melakukan hal demikian. Hal ini dikarenakan KPI tidak mungkin dan tidak akan pernah bisa melakukan keberpihakan kepada umat Islam sekalipun umat Islam di Indonesia adalah dominan.

KPI akan terus melakukan upaya bagaimana menjaga toleransi dengan menjaga perasaan kaum minoritas di negeri ini sekalipun menyakiti hati umat Islam. Sekulerisme telah menjadi dasar pemikiran negeri ini. Dan pandangan mereka yang berkuasa hari ini pun menganggap bahwa liberalisme menjadi dasar aqidah yang harus dijunjung tinggi. Inilah kenapa Islam tidak akan pernah bisa dimenangkan dalam realitas sekulerisme yang mengakar kuat dan kapitalisme yang mencengkram sangat kuat di dalam kehidupan kita hari ini.

Apakah kita akan berdiam diri dengan kondisi ini? Ataukah kita ingin mendapatkan keridhaan Allah dengan terus memperjuangkan tegaknya syariat Allah di muka bumi ini? Pilihan itu ada pada kita.

Perceraian Meningkat, Buah Busuk Liberalisme

Oleh: Deu Ghoida

Problem perceraian masih terus menjadi momok menakutkan hari ini dalam pernikahan. Meski jadi momok, penambahan angka perceraian terus saja mengalami peningkatan. Seperti di Banyumas, selama 9 hari pasca lebaran terdaftar 94 perceraian dengan didominasi gugat cerai. Problem ekonomi, ego dan perselisihan hingga kecantol mantan ketika reuni menjadi alasan yang mendasari terjadinya perceraian.

Miris. Betapa lemahnya tatanan bangunan keluarga hari ini. Mitsaqan Ghalizha bisa dengan mudahnya diruntuhkan hanya karena kurangnya pemahaman agama. Padahal pada pernikahan itulah separuh agama bisa disempurnakan.

“Ketika seseorang hendak menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agama. Maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam separuh yang tersisa.” (HR. Baihaqi)

Realita sistemik memang telah menyulitkan pasangan pernikahan untuk bisa menjalani berbagai macam ujian. Sebagai contoh alasan ekonomi menjadi problem yang dominan dalam kasus perceraian. Sementara program ekonomi faktanya telah diciptakan secara sistemik oleh kapitalisme dengan menjadikan rakyat mengurus urusan mereka sendiri sehingga terbebani dengan beragam macam kebutuhan hidup.

Contoh lainnya adalah permasalahan ego dan perselisihan karena hadirnya orang ketiga. Realita liberalisme menjadi sebuah dasar pola pikir kehidupan masyarakat hari ini sehingga melahirkan bentuk-bentuk kehidupan yang jauh dari gambaran pelaksanaan syariat Islam.

Problem perceraian menjadi masalah yang tidak bisa dipisahkan dari problem sistem yang dibentuk oleh liberalis- sekuler. Masalah ini akan tetap ada dan terus berkembang seiring dengan makin gencarnya upaya meliberalkan negeri-negeri muslim yang dilakukan oleh Barat.
Bagi mereka meliberalkan umat Islam merupakan sebuah kemenangan karena akan semakin menjauhkan umat Islam dari keinginan untuk mewujudkan persatuan dan menerapkan Islam Kaffah.

Penyelesaian problem perceraian haruslah dimulai dari penerapan Islam secara Kaffah dalam kehidupan bernegara. Sehingga pengaturan masyarakat akan kembali diatur sesuai dengan tatanan syariat. Hal ini akan mencegah liberalisme masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan umat Islam.

Perceraian tidak akan mampu terselesaikan selama negeri ini masih tetap mengagungkan demokrasi liberalisme dan sekulerisme. Karena hal itulah pintu masuk penjajahan kaum kafir terhadap umat Islam.

Sabtu, 01 Juni 2019

Lemahnya Sistem Sanksi, Bukti Sekulerisme Cacat dari Lahir


By Dewi Ummu Syahidah
-Aktivis Dakwah Muslimah Cilacap

Karena viral di media sosial, pemberitaan seputar kekerasan terhadap napi narkoba di lapas Nusakambangan Cilacap ramai diperbincangkan publik. Video berdurasi beberapa menit memang menunjukkan cara evakuasi napi menuju lapas dengan beberapa tindakan kekerasan. Menuai kontra karena alasan tidak manusiawi dan melanggar HAM. Dan hal ini pun berujung pada dicopotnya kalapas Nusakambangan. ( https://news.detik.com/detiktv/d-4533739/heboh-tahanan-narkoba-diseret-di-nusakambangan)

Apa kemudian masalah selesai? Tidak. Problem lapas sebenarnya kompleks dan bukan hanya masalah beberapa jenis saja. Berawal dari adanya pelanggaran hingga akhirnya menyeret pelakunya kepada hukuman dibalik jeruji. Beragam perlakuan sering dilaporkan napi terhadap dirinya selama di sel. Tapi hal ini pun sebenarnya menunjukkan bukan hanya sisi perilaku aparatnya tapi lebih kepada rentannya pemberian hukuman kepada para pelaku maksiat jika kita kembalikan lagi kepada Islam. Serta bagaimana pengaturan lapas dalam negara.

Permasalahan membludaknya kapasitas penghuni lapas di Indonesia memang sudah melebihi batas kewajaran. Per Agustus 2016 Lapas Kelas I Cipinang, Jakarta, penghuninya sudah tiga kali lipat dari kapasitas sesungguhnya. Andai sebuah kapal laut, sudah pasti akan tenggelam. Kapasitas untuk 984 orang harus ditempati 2838 orang.  Ruang sel yang sewajarnya berisi 3 orang terpaksa ditempati 7 orang. Sel 5 orang dipaksakan untuk ditempati 13 orang dan sel 7 orang harus ditempati 21 orang.

Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS), Sri Puguh Budi Utami menyebut jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (LP), dan Rutan di Indonesia mencapai 255 ribu. Jumlah itu didominasi napi kasus narkotika yakni sebanyak 115 ribu orang. Jadi problem lapas memang didominasi dengan banyaknya napi narkoba dan maraknya transaksi narkoba justru dikendalikan dari dalam lapas.
Kepala BNN Komjen Heru Winarko menyebut pemesanan narkoba dari lapas mendominasi kasus-kasus yang saat ini ditangani BNN. Selama 7 bulan ada 24 kasus yang berhasil dibongkar BNN.

 Jika melihat hal ini sebenarnya tidak mengherankan jika muncul rasa "gemas" dari pihak lembaga pemasyarakatan akan sikap polah dari napi narkoba. Meski demikian sebenarnya bukan berarti bisa berbuat semena-mena. Akan tetapi justru perlu dikritisi dari lemahnya hukum sanksi dalam sistem kita hari ini.

Pengguna Narkoba Tak Pernah Jera

Makin meningkatnya jumlah konsumsi narkoba menunjukkan bahwa hukum yang berlaku di negeri ini tak mampu membuat mereka berhenti mengkonsuminya. Bahkan pelakunya setiap tahun selalu bertambah.

Tak membuat jera karena sanksi penjara pada UU No.35 tahun 2009 Pasal 111, 112, 113, 114 adalah minimal 4 tahun dan maksimal hukuman mati. Sedangkan sanksi pada Pasal 127 adalah rehabilitasi atau maksimal penjara 4 tahun. Ringan dan tak membuat efek jera.

Solusi Islam

Tiada solusi menyelesaikan masalah ini, kecuali menggunakan solusi yang bersumber dari sang Pencipta. Fakta lain, kapitalisme-demokrasi yang diterapkan di negeri ini telah gagal dalam melindungi masyarakat dari perilaku maksiat terbukti penghuni lapas selalu naik angkanya setiap tahun.

Islam memiliki aturan lengkap dalam menyikapi para pelanggar hukum dan melakukan upaya preventif terlebih dahulu. Bagaimanapun problem adanya pelanggaran hukum harus dilihat secara menyeluruh.

Pertama, negara harus berupaya meningkatkan ketakwaan setiap individu masyarakat, dijelaskan gambaran syariat secara kafah dalam realita kehidupan. Dan dijelaskan konsekuensi pelanggaran tersebut yaitu di akhirat kelak pelakunya akan dimasukkan ke neraka. Ketakwaan tersebut akan menjadi kontrol bagi masing-masing sehingga mereka akan tercegah untuk melakukan pelanggaran.

Kedua, Negara dalam Islam harus menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat (sandang, pangan, dan papan) dan kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan, layanan kesehatan dan keamanan), dan setiap orang juga difasilitasi untuk memenuhi kebutuhan sekundernya sesuai kemampuan masing-masing. Dengan begitu, alasan ekonomi tidak lagi menjadi faktor orang melakukan kejahatan.

Ketiga, jika dengan semua itu masih ada yang melakukan tindak kriminal, maka sistem sanksi (‘uqubat) Islam akan menjadi palang pintu terakhir yang efektif, yang sanggup memberi efek jera mencegah terjadinya kejahatan. Ada ta'zir , jinayat, hudud dan mukholafah.

Dalam masalah pengguna narkoba dalam Islam pelakunya dapat dipenjara 15 tahun atau dikenakan denda yang besarnya diserahkan kepada hakim (al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hal. 189). Jika membahayakan maka bisa pelakunya dihukum mati.

Jika vonis telah dijatuhkan, maka harus segera dilaksanakan dan tidak boleh dikurangi atau bahkan dibatalkan (al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, 1990). Pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan itu harus dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama setelah dijatuhkan vonis. Hukuman hendaknya disaksikan masyarakat seperti dalam had zina (QS. an-Nur [24]: 2). Sehingga masyarakat paham bahwa itu merupakan sanksi atas kejatahan tersebut dan merasa ngeri. Maka, setiap orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan serupa.

Keempat, perlu ditekankan dalam merekrut aparat penegak hukum yang bertakwa. Dengan sistem hukum pidana Islam yang tegas, yang bersumber dari Allah swt, serta aparat penegak hukum yang bertakwa, hukum tidak akan mudah diperjual-belikan. Mafia peradilan –yang marak terjadi dalam peradilan sekular saat ini– kemungkinan kecil terjadi dalam sistem pidana Islam. Ini karena dalam menjalankan sistem pidana Islam, aparat penegak hukum yang bertakwa menyadari, bahwa mereka sedang menegakkan hukum Allah, yang akan mendatangkan pahala jika mereka amanah dan akan mendatangkan dosa jika menyimpang atau berkhianat. Sehingga dalam menangani pelaku maksiat pun tetap dengan berpegang teguh pada tata aturan Islam.

Selain itu, dalam sistem pidana Islam jelas, hakim yang curang dalam menjatuhkan hukuman, atau menerima suap dalam mengadili, misalnya, diancam hukuman yang berat. Dalam sebuah riwayat dinyatakan: “Seorang hakim (Qadhi), jika memakan hadiah berarti dia telah memakan suht (haram), dan jika menerima suap berarti dia telah terjerumus dalam tindakan kufur.” (HR. An-Nasa’i 5571).

Demikianlah solusi Islam secara lengkap akan menyelesaikan problem maksiat dan menyelesaikan kasus kekerasan napi.

Kembali BerIslam Kaffah, Kembali kepada Khilafah

By Dewi Ummu Syahidah

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ

Penggalan ayat di atas diatas seharusnya mengingatkan kita akan kesempurnaan agama Islam ini. Dan mampu senantiasa mensyukuri nikmat Islam sebagai agama yang kita anut. Meski saat ini umat Islam tersebar di seluruh penjuru dunia, akan tetapi kondisinya terjajah dominasi hegemoni kapitalisme sekuler.

Dari mulai serangan fisik hingga pembantaian seperti yang terjadi di Palestina, Suriah, Irak dan beberapa negara lainnya. Sistem hidup hari ini telah membunuh beragam potensi munculnya persatuan umat karena sekat nasionalisme telah mematikan saraf kepedulian muslim lainnya.

Juga ada dominasi berupa dikte politik dalam negeri dengan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya pada akhirnya umat Islam jauh lebih memperjuangkan demokrasi atas nama keadilan, kerakyatan hingga hak asasi. Barat memenangkan pertarungan di periode ini karena hanya berhadapan dengan Islam berupa kumpulan umat Islam saja. Tanpa sebuah institusi yang sepadan untuk menerapkan ideologi Islam dalam negara yang memiliki pasukan keamanan berupa tentara-tentara Allah. Wajar jika kekalahan terus mendera umat Islam.

Ditambah dengan makin kejamnya kapitalisme merajai ekonomi dunia. Mereka menciptakan kemiskinan sistemik, tapi memperkaya laum kapitalis seolah tanpa batas. Menjerat rakyat dengan beban hidup yang serba ditanggung sendiri dan menyalahkan mereka sebagai pihak yang menghabiskan SDA. Tak berperikemanusiaan kapitalisme dalam menghisap rakyat.

Tak sepantasnya umat Islam berdiam diri atas ketiadaan pemimpin di tengah mereka. Membisu ketika hukum Allah tak diterapkan bahkan dilecehkan dimana-mana. Membisu ketika puluhan tahun tak ada kekhilafahan yang mengikuti manhaj kenabian. Bersantai ketika di pundaknya tak ada baiat kepada kholifah kaum muslimin.Mau sampai kapan keterpurukkan hanya menjadi tontonan bagi orang kafir. Dan kita pun tak memiliki kekiatan untuk membela dan menenangkan dominasi.

Kini saatnya umat muslim memperjuangkan persatuan umat dengan adanya satu kepemimpinan umat Islam di muka bumi. Menyerukan penerapan hukum Islam saja sebagai solusi atas permasalahan umat yang sudah sangat kompleks. Karena sistem kapitalisme sekuler telah nyata mengalami kegagalan dalam memanusiakan manusia, sistem kapitalisme sekuler hanya memecah umat Islam, mengorbankan mereka hingga membunuh secara perlahan dengan kebathilan sistemik.

Saatnya umat Islam bangkit dan bergerak. Tak ada solusi lain untuk beragam problema yang dihadapi manusia di muka bumi ini selain dengan Islam. Apakah ada hukum yang lebih baik dari hukum Allah, Sang Pencipta alam raya ini?

 الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maidah ayat 50)

Tak ada solusi lain untuk umat Islam kecuali dengan mengembalikan keadaan pada kondisi semula. Menghilangkan hegemoni kapitalisme dan kembali kepada Khilafah sebagaimana kondisi dahulu aepeninggal Rasulullah. Pada kekhilafahan inilah nantinya penerapan Islam secara kaffah akan teralisasi secara sempurna.

Hukum Seputar Fidyah Puasa

Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

Tanya:

Ustadz, mohon dijelaskan tentang fidyah puasa, khususnya mengenai bentuk dan caranya. (Abu F, Tangerang).

Jawab :

Fidyah puasa merupakan pengganti (badal) dari puasa yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan, berupa memberi makan kepada orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 260).

Siapakah yang wajib mengeluarkan fidyah? Menurut Syeikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah dalam kitabnya Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, mereka yang wajib membayar fidyah ada tiga golongan; Pertama, orang-orang yang tak mampu berpuasa, yaitu laki-laki atau perempuan yang sudah lanjut usia yang tak mampu lagi berpuasa, dan orang sakit yang tak mampu berpuasa yang tak dapat diharap kesembuhannya. Dalilnya firman Allah SWT (yang artinya), ”Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (maka jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (wa ‘alalladziina yuthiiquunahu fidyatun tha’aamu miskiin) (QS Al Baqarah [2] : 184). Ibnu Abbas ra menafsirkan ayat tersebut dengan berkata, ”Ayat tersebut tidaklah mansukh (dihapus hukumnya), tetapi yang dimaksud adalah laki-laki lanjut usia (al syaikh al kabiir) dan perempuan lanjut usia (al mar`ah al kabirah) yang tak mampu lagi berpuasa, maka keduanya memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.” (HR Bukhari, Abu Dawud, Nasa`i, Daruquthni). Disamakan hukumnya dengan orang lanjut usia tersebut, orang sakit yang tak mampu berpuasa yang tak dapat diharap kesembuhannya. (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 202 & 206).

Kedua, orang yang mati dalam keadaan mempunyai utang puasa yang wajib di-qadha`. Dalam hal ini hukumnya boleh, tidak wajib, bagi wali (keluarga) orang yang mati tersebut untuk membayar fidyah. Pihak wali (keluarga) dari orang mati tersebut boleh memilih antara meng-qadha` puasa atau memilih membayar fidyah dari puasa yang ditinggalkan oleh orang mati tersebut. Pendapat bolehnya membayar fidyah bagi orang yang mati, merupakan pendapat beberapa sahabat Nabi SAW, yaitu Umar bin Khaththab, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu Abbas, radhiyallahu ‘anhum. (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 207).

Ketiga, suami yang menggauli istrinya pada siang hari Ramadhan dengan sengaja dan tak mampu membayar kaffarah berupa puasa dua bulan berturut-turut. Suami ini wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin. (HR Bukhari no 6164; Muslim no 2559). (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 207). Adapun bagi perempuan hamil dan menyusui, juga orang yang menunda qadha` puasa hingga masuk Ramadhan berikutnya, menurut pendapat yang rajih, tak ada kewajiban fidyah atas mereka. Mereka hanya diwajibkan meng-qadha` puasanya. (Mushannaf Abdur Razaq, no 7564, Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hlm. 210, Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 872, Yusuf Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hlm. 64).

Cara membayar fidyah dengan memberi bahan makanan pokok (ghaalibu quut al balad) kepada satu orang miskin sebanyak satu mud untuk satu hari tidak berpuasa. Jika tak berpuasa sehari, fidyahnya satu mud. Jika dua hari, fidyahnya dua mud, dan seterusnya. Mud adalah ukuran takaran (bukan berat) yang setara dengan takaran 544 gram gandum (al qamhu). Untuk Indonesia, fidyah dikeluarkan dalam bentuk beras. (Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hlm. 62, Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/687).

Menurut ulama Hanafiyah, boleh fidyah dibayarkan dengan nilainya (qiimatuhu), yaitu dalam bentuk uang yang senilai. Sedang menurut ulama jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah), tidak boleh dibayar dengan nilainya. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/687).

Kami cenderung kepada pendapat jumhur, sebab secara jelas nash QS Al Baqarah: 184 menyebutkan pembayaran fidyah adalah dalam bentuk makanan (tha’aam), sesuai firman Allah, “fidyatun tha’aamu miskin.” Selain itu membayar fidyah dalam bentuk makanan adalah apa yang diamalkan oleh para sahabat Nabi SAW, seperti Ibnu Abbas dan Anas bin Malik RA. (Imam Syirazi, Al Muhadzdzab, 1/178). Wallahu a’lam.[]

Bolehkan Membayar Zakat dengan Uang

By Ustadz K.H.M Shiddiq al Jawi

Tanya :
Ustadz, apakah boleh kita membayar zakat fitrah dalam bentuk uang?
Abu Fatih, Bandung

Jawab :
Ada khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah ini menjadi dua pendapat. Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXV/83).

Dalil mereka antara lain firman Allah SWT (artinya), ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS at-Taubah [9] : 103). Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal), yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 4)

Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW, ”Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada hari seperti ini (Idul Fitri).” (HR Daruquthni dan Baihaqi). Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3)

Kedua, pendapat yang tidak membolehkan dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut al-balad). Ini adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295).

Dalil mereka antara lain hadits Ibnu Umar RA bahwa, ”Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah berupa satu sha’ kurma atau satu sha’ jewawut (sya’ir) atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa, dari kaum Muslimin.” (HR Bukhari, no 1503). Hadits ini jelas menunjukkan zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan dinar dan dirham (uang), padahal dinar dan dirham sudah ada waktu itu. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 9).

Menurut kami, yang rajih adalah pendapat jumhur yang tak membolehkan zakat fitrah dengan uang dan mewajibkannya dalam bentuk makanan pokok. Alasan kami: Pertama, ayat QS at-Taubah : 103 memang bersifat global (mujmal), yaitu zakat itu diambil dari harta (mal). Namun telah ada penjelasan (bayan) dari As-Sunnah yang merinci bahwa harta yang dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah bahan makanan, bukan uang.

Kedua, hadits yang dijadikan dalil adalah dhaif (lemah), karena ada seorang periwayat hadits bernama Abu Ma’syar yang dinilai lemah. Demikianlah menurut Imam Nawawi (al-Majmu’, VI/126), Ibnu Hazm (al-Muhalla, VI/121), Imam Syaukani (Nailul Authar, IV/218), Imam az-Zaila’i (Nashbur Rayah, II/431), Ibnu Adi, (al-Kamil fi adh-Dhu’afa, VII/55), dan Imam Nashiruddin al-Albani (Irwa`ul Ghalil, III/844). Padahal hadits dhaif tidak layak dijadikan dasar hukum.

Kalaupun dianggap sahih, hadits itu bersifat mutlak, tanpa penjelasan bagaimana caranya mewujudkan kecukupan (ighna`). Maka as-Sunnah memberikan pembatasan (taqyid) mengenai caranya, yaitu mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan uang. (Nada Abu Ahmad, Ahkam Zakat al-Fithr Hal Yajuzu Ikhrajuha Qiimah, hal. 35).

Kesimpulannya, tidak boleh membayar zakat fitrah dalam bentuk uang, melainkan wajib dalam bentuk bahan makanan pokok. Wallahu a’lam.[]

Faedah ini diambil dari artikel tabloid Media Umat

http://www.mediaumat.com/ustadz-menjawab/2132-43-bolehkah-zakat-fitrah-dengan-uang.html

Khawatirlah Pada Amal Penutup Kehidupan

Al Imam Ibnu Rajab -rahimahullah- berkata :

قَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي رَوَّادٍ : حَضَرْتُ رَجُلًا عِنْدَ الْمَوْتِ يُلَقَّنُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَقَالَ فِي آخِرِ مَا قَالَ: هُوَ كَافِرٌ بِمَا تَقُولُ، وَمَاتَ عَلَى ذَلِكَ، قَالَ فَسَأَلْتُ عَنْهُ، فَإِذَا هُوَ مُدْمِنُ خَمْرٍ.

Abdul Aziz bin Abu Rowad berkata, “Aku telah menghadiri seseorang saat sekaratul mautnya, lalu ditalqin dengan kalimat Laa Ilaha Illallah, maka akhir yang diucapkannya, ia kufur terhadap apa yang engkau ucapkan tersebut dan ia pun mati diatas keadaan  itu. Maka aku bertanya tentangnya, dan ternyata dia adalah orang yang kecanduan minuman keras”

فَكَانَ عَبْدُ الْعَزِيزِ يَقُولُ: اتَّقُوا الذُّنُوبَ، فَإِنَّهَا هِيَ الَّتِي أَوْقَعَتْهُ. وَفِي الْجُمْلَةِ: فَالْخَوَاتِيمُ مِيرَاثُ السَّوَابِقِ، فَكُلُّ ذَلِكَ سَبَقَ فِي الْكِتَابِ السَّابِقِ، وَمِنْ هُنَا كَانَ يَشْتَدُّ خَوْفُ السَّلَفِ مِنْ سُوءِ الْخَوَاتِيمِ، وَمِنْهُمْ مَنْ كَانَ يَقْلَقُ مِنْ ذِكْرِ السَّوَابِقِ.

Abdul Aziz (juga) berkata, 'Takutlah akan dosa karena dialah yang telah menjatuhkan mu (dalam kebinasaan), Secara umum penutup penutup amal pastilah merupakan akibat dari amal amal perbuatan yang telah lalu, dan semua itu telah didahului oleh ketetapan didalam catatan lauhul mahfudz, dan karena itulah para Salafus shalih sangat takut kepada penutup penutup amal yang buruk, sehingga diantara mereka ada yang gundah dengan amal amal yang telah mereka lakukan sebelumnya.

وَقَدْ قِيلَ: إِنَّ قُلُوبَ الْأَبْرَارِ مُعَلَّقَةٌ بِالْخَوَاتِيمِ، يَقُولُونَ: بِمَاذَا يُخْتَمُ لَنَا؟ وَقُلُوبُ الْمُقَرَّبِينَ مُعَلَّقَةٌ بِالسَّوَابِقِ، يَقُولُونَ: مَاذَا سَبَقَ لَنَا.

Dikatakan hati orang orang yang baik tertambat pada amal amal penutup. Mereka biasa mengatakan, “Dengan apa amalan amalan kita akan ditutup?”, lalu hati hati orang yang didekatkan kepada Allah tertambat kepada amal amal yang telah lalu, mereka berkata, “amal apa saja yang telah kita lakukan?”

وَكَانَ سُفْيَانُ يَشْتَدُّ قَلَقُهُ مِنَ السَّوَابِقِ وَالْخَوَاتِيمِ، فَكَانَ يَبْكِي وَيَقُولُ: أَخَافُ أَنْ أَكُونَ فِي أُمِّ الْكِتَابِ شَقِيًّا، وَيَبْكِي، وَيَقُولُ: أَخَافُ أَنْ أُسْلَبَ الْإِيمَانَ عِنْدَ الْمَوْتِ.

Sufyan As Tsauri senantiasa gundah dengan amal amal perbutan yang telah beliau lakukan dan juga gundah dengan penutup penutup amal, maka beliau kadang menangis dan berkata, 'Aku khawatir kalau aku tercatat di lauhul mahfudz sebagai orang yang celaka'. Dan beliau juga kadang menangis dan berkata, 'Aku khawatir iman akan dicabut dari diriku ketika kematian menjelang'

وَمِنْ هُنَا كَانَ الصَّحَابَةُ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ يَخَافُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمُ النِّفَاقَ وَيَشْتَدُّ قَلَقُهُمْ وَجَزَعُهُمْ مِنْهُ، فَالْمُؤْمِنُ يَخَافُ عَلَى نَفْسِهِ النِّفَاقَ الْأَصْغَرَ، وَيَخَافُ أَنْ يَغْلِبَ ذَلِكَ عَلَيْهِ عِنْدَ الْخَاتِمَةِ، فَيُخْرِجُهُ إِلَى النِّفَاقِ الْأَكْبَرِ، كَمَا تَقَدَّمَ أَنَّ دَسَائِسَ السُّوءِ الْخَفِيَّةِ تُوجِبُ سُوءَ الْخَاتِمَةِ،

Inilah sebabnya para Sahabat dan As Salafus Shalih yang datang setelah mereka, takut kemunafikan mendera diri mereka, sehingga mereka sangat gundah dan takut karenanya. Karena itu, orang mu’min khawatir sekali bila kemunafikan yang kecil menghinggapi dirinya, lalu kemunafikan yang kecil itu akan mendominasi dirinya ketika kematian menjelang, sebagai mana yang telah disinggung bahwa keburukan keburukan yang tersembunyi dapat menyebabkan penutup hidup yang buruk.

وَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِي دُعَائِهِ: " «يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ " فَقِيلَ لَهُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ آمَنَّا بِكَ وَبِمَا جِئْتَ بِهِ، فَهَلْ تَخَافُ عَلَيْنَا؟ فَقَالَ: " نَعَمْ إِنَّ الْقُلُوبَ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ شَاءَ» وَفِي هَذَا الْمَعْنَى أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ.

"Nabi shalallahu alaihi wasallam sendiri sering kali mengucapkan dalam doanya, “Wahai Dzat yang membolak balikan hati, teguhkan hatiku diatas agama Mu. Hingga pernah ditanyakan kepada beliau, wahai nabiyullah kami beriman kepada engkau dan kepada ajaran yang engkau bawa, maka apakah engkau khawatir kepada kami ? maka beliau bersabda, “Iya karena sesungguhnya hati manusia itu berada diantara dua jari Allah ‘Azza wajalla yang Dia bolak balikan sebagaimana yang Dia kehendaki. Dan hadits yang semakna dengan ini sangatlah banyak.

📚Dinukil dari Jaami'ul 'Ulum Wal Hikam, karya ibnu Rojab al Hanbali -rahimahullah