Sabtu, 12 Oktober 2019

DARURAT SIPIL, SENJATA MELEGALKAN REPRESIFITAS

By Deu Ghoida

Pernyataan AM.Hendropriyono terkait penetapan Indonesia layak ditetapkan sebagai darurat sipil, karena terkait serangkaian demo dan juga upaya penusukan gagal terhadap Wiranto perlu dicermati. Darurat ini bagi siapa? Kenapa terkesan pemerintah sangat egois sekali terhadap diri mereka tapi jauh dari rasa peka terhadap kondisi rakyatnya?

Menuju pelantikan presiden  seakan negara ada yang menciptakan kondisi chaos, tiba-tiba opini publik menjurus pada pihak umat Islam yang kritis. Diciptakan aktor jahat jadi-jadian untuk bisa ditarik benang merah dengan radikalisme versi mereka. Tak cukup dengan menuding radikal, ekstrimis, bahkan opini sengaja digulirkan seakan-akan ada kekuatan besar akan menggulingkan kekuasaan, mengganti dasar negara dan lain-lain. Rakyat bisa apa to sebenarnya?

Perangkat lengkap justru hanya dimiliki penguasa. Militer, persenjataan, pasukan, media bahkan kaum kapital pun selalu setia pada barisan penguasa karena kepentingan mereka di negeri ini. Rakyat punya apa to, sampai diciptakan momok ketakutan luar biasa, difitnah, diadu domba, ga level sekali sebenarnya perjuangan kalian!

Status darurat sipil juga sebenarnya dinilai hanya merupakan status yang sengaja diciptakan, agar negara memiliki legalitas memainkan perangkat militer atau perangkat alat lainnya untuk memberangus pihak yang dinilai "over kritis" dan rajin membongkar konspirasi kejahatan di negeri ini.

Mengingat beragam kondisi darurat negeri ini sering luput dari penetapan kondisi darurat di negeri ini. Karhutla, Wamena, kematian ratusan petugas pemilu, kemiskinan, efek domino BPJS, hingga kekeringan dan beragam masalah lainnya seolah dicuekin oleh penguasa. Lambat menanggapi, cukup diselesaikan secara lokal, padahal nyawa rakyat taruhannya. Lalu darurat sipil ini untuk kepentingan siapa?

Padahal dalam UU No.23/Prp 1959 tentang Keadaan Bahaya, Keadaan bahaya ada empat tingkat, yaitu tertib sipil, darurat sipil, darurat militer dan darurat perang.Pasal 1 UU itu menyatakan, Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila: 1. Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikuatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa. 2. Timbul perang atau bahaya perang atau dikuatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga. 3. Hidup negara berada didalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara.Pasal 4 menjelaskan, daerah-daerah penguasaan darurat sipil dilakukan oleh kepala daerah serendah-rendahnya dari daerah Tingkat II selaku Penguasa Darurat Sipil Daerah yang daerah hukumnya ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

Penguasa Darurat Sipil dimaksud dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari: bahwa gubernur otomatis menjadi penguasa darurat sipil daerah (PDSD). Penguasa Darurat Sipil Daerah dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari:
1. seorang Komandan militer tertinggi dari daerah yang bersangkutan;
2. seorang kepala polisi dari daerah yang bersangkutan;
3. seorang pengawas/kepala kejaksaan dari daerah bersangkutan.

Pasal lainnya mengatur hak PDSD, yaitu:
1. mengeluarkan peraturan-peraturan polisi;
2. meminta keterangan-keterangan dari pegawai negeri;
3. mengadakan peraturan-peraturan tentang pembatasan pertunjukan-pertunjukan apapun juga serta semua percetakan, penerbitan dan pengumuman apapun juga;
4. menggeledah tiap-tiap tempat;
5. memeriksa dan mensita barang-barang yang disangka dipakai atau dipakai untuk merusak keamanan;
6. mengambil atau memakai barang-barang dinas umum;
7. mengetahui percakapan melalui radio, membatasi pemakaian kode-kode dan sebagainya;
8. membatasi rapat-rapat umum dan sebagainya dan membatasi atau melarang memasuki dan memakai gedung;
9. membatasi orang berada di luar rumah;
10. memeriksa badan dan pakaian;
11. memerintah dan mengatur badan-badan kepolisian, pemadam kebakaran dan badan-badan keamanan lainnya.

Lalu apakah penetapan darurat sipil akan ditetapkan sebagai bentuk legalitas atas tindakan represif penguasa, yang sebenarnya sebelum penetapan kondisi tersebutpun negara sudah sangat represif dan sering melakukan tindakan unprosedural? Apakah kurang otoriter lagi selama ini kekuasaan yang sudah dijalani? Kurang sabar apa lagi rakyat melihat kelakuan penguasanya yang kekanakan?

Menetapkan kondisi darurat sipil, di tengah ketidakpekaan penguasa justru makin menunjukkan ketidakberpihakan rakyat kepada penguasa. Rezim seakan bebas berlindung dibawah aturan yang mereka buat sendiri. Sementara bagi mereka mengorbankan rakyat adalah hal biasa dan wajar. Miris, jika penguasa tak berpihak pada rakyat justru malah mengorbankan rakyatnya demi kelanggengan kekuasaannya.

Negeri ini sebenarnya jauh lebih darurat jika dipandang dari sudut pandang Islam. Negeri ini darurat dari semua sisi. Darurat maksiat, zina, riba, kepemimpinan dll. Semua terjadi karena kesombongan manusia di negeri ini, negeri mayoritas muslim tapi enggan berIslam kaffah. Dengan alasan klise bahkan dengan congkak dan kuwalat mengkriminalkan ajaran Islam, merendahkan hukum Allah dan terus melanggengkan maksiat. Seakan mereka hebat tak takut adzab, mereka terus menerus menekan rakyat dan para ulama yang menebarkan dakwah kembali kepada Islam kaffah.

Wahai Penguasa Dzalim, kalian menantang Allah untuk minta didatangkan adzab kah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar