Senin, 07 November 2016

UMAT ISLAM YANG TERLUKA DAN KEMBALINYA KEKUASAAN MEREKA


Oleh: KH Hafidz Abudurrahman

Aksi 4 Nopember 2016 di Jakarta, Medan, Surabaya dan kota-kota lain, dengan tuntutan “Tangkap Ahok, Penista Agama”, adalah bukti bahwa umat Islam tidak pernah mati. Aksi di Jakarta ini sangat fenomenal, karena jumlah massa yang begitu luar biasa. Jumlahnya diperkirakan mencapai 2,5 juta jiwa. Mereka datang tidak saja dari Jakarta, tetapi juga Banten, Bogor, Bekasi, dan kota-kota lain di luar Jakarta. Mereka datang untuk memenuhi seruan jihad, melawan penistaan agama mereka.

Mereka tidak ada yang membiayai. Datang dengan uang saku sendiri, bahkan ada kakek yang berumur 70 tahun datang dari Malang dengan naik motor Grand 1996, semata untuk mengikuti aksi. Memenuhi panggilan jihad, membela kita suci. Orang-orang kaya yang diberi kelapangan rizki, tergerak hatinya menginfakkan hartanya, tanpa diminta.

Malam tanggal 4/11 itu saya kebetulan mengisi acara di sebuah masjid, dekat dengan Masjid Istiqlal, yang paginya menjadi pusat berkumpulnya massa. Di Masjid Istiqlal malam itu tidak seperti biasanya. Masjid terbesar di Asia Tenggara, dengan lima lantai itu pun mulai dipadati massa yang hendak ikut aksi besoknya. Subuh, Jum’at, 4/11, masjid dengan lima lantai itu pun penuh, seperti Masjidil Haram.

Saat shalat Jum’at tiba, masjid yang luar biasa besarnya itu pun tak sanggup lagi menampung jamaah, saking banyaknya. Shalat Jum’at siang itu pun diadakan di beberapa titik, yang sudah diisi oleh massa peserta aksi 4/11. Pemandangan yang luar biasa terjadi setelah shalat Jum’at. Lautan manusia bersatu, bergerak dengan satu perasaan yang terluka. Tuntutan mereka satu, “Tangkap Penista Agama”. Masyarakat tumpah ruah, mulai dari artis, pejabat publik hingga orang biasa, semuanya ikut. Bahkan, yang tidak bisa ikut pun, mereka mendoakan dan menyambut massa yang berangkat, seolah seperti menyambut pasukan yang hendak berjihad. Allah Akbar..

Sepanjang jalan, saat saya mengikuti aksi, berbicara dengan sopir taksi, sopir pribadi, juga masyarakat yang ikut aksi, mereka semuanya memendam kemarahan yang luar biasa. Mereka terluka, karena kesucian agamanya dinista. Mereka terluka, karena penguasa yang seharusnya melindungi kesucian agamanya, justru dirasakan oleh masyarakat melindungi sang penista.

Aksi 4/11 hari itu berjalan dengan baik, aman dan lancar, hingga Maghrib. Umat yang terluka, meminjam istilah Aa Gym, ternyata tidak dihiraukan oleh Presiden. Presiden lebih memilih melihat proyek di Bandara Soeta, ketimbang menemui umat yang telah terluka hatinya. Massa pun masih bersabar menunggu hingga selepas shalat Maghrib, sampai akhirnya mereka, menurut pengakuan saksi mata, ditembaki dengan gas air mata. Para ulama’, habaib dan kyai yang ada di mobil komando pun terkena tembakan itu.

Luka yang belum terobati semakin menganga. Insiden di malam itu menunjukkan, betapa umat ini tidak pernah mati. Umat yang terluka ini pun tetap kuat, karena keyakinan mereka kepada Rabb-nya. Bahkan, aksi kemarin membuktikan, bahwa kekuasaan mereka telah kembali. Mereka selama ini sebagai pemilik kekuasaan itu memang dipecahbelah, diadudomba dan dilemahkan, sehingga kekuasaan mereka ditunggangi oleh orang-orang oportunis.

Sejak hari-hari sebelumnya, saya diingatkan oleh Allah SWT dengan Q.s. Ali Imran: 26. Setelah berhari-hari mengikuti perkembangan melalui sosmed, melihat bagaimana reaksi umat menyambut seruan 4/11 ini, yang luar biasa, tiba-tiba ingatan terhadap ayat ini menyeruak ke benak saya.

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ المُلْكِ تُؤْتِي المُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ المُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرِ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Katakanlah, “Ya Allah, Engkaulah Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa saja yang Engkau kehendaki. Engkau cabut kekuasaan dari siapa saja yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa saja yang Engkau kehendaki. Engkau hinakan siapa saja yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah seluruh kebaikan. Sesungguhnya, Engkau Maha Kuasa atas segelanya.”

Saya merenung, betapa mudahnya Allah mengambil dan memberikan kekuasaan kepada siapapun yang Dia kehendaki. Betapa tidak, upaya untuk menggembosi aksi sudah dilakukan sejak lama. Tidak saja tokohnya didatangi satu per satu, umatnya pun diteror dengan berbagai informasi menyesatkan, bahwa aksi 4/11 akan chaos, ditunggangi ISIS, dan macam-macam, bahkan Kementrian tertentu digunakan untuk melarang sivitas akademika ikut aksi. Bahkan, BMKG pun dipakai untuk membuat ramalan yang kemudian tidak terbukti, bahwa hujan dan petir akan turun tanggal 4/11. Tetapi, hebatnya, semua rekayasa dan instruksi itu tidak mempan, tidak sanggup menghentikan langkah kaki massa yang hendak mengikuti aksi.

Apa artinya? Saat itu yang berjalan hanyalah kekuasaan Allah. Kekuasaan manusia, betapapun hebatnya, ternyata lumpuh saat menghadapi umat yang hanya mendengar titah Rabb mereka. Kekuasaan manusia yang digunakan untuk mendukung penista kalam-Nya itu pun tak berkutik, lumpuh. Saya menyaksikan sendiri, saat melihat jutaan manusia tumpah ruah saat aksi 4/11, dan bagaimana dahsyatnya umat ini. Setelah itu, saya memonitor melalui siaran televisi dan sosmed, sungguh luar biasa.  Allah benar-benar tunjukkan kekuasaan-Nya kepada mereka, yang hingga saat ini masih terus menunjukkan keangkuhannya, bahwa kekuasaan itu dengan mudah diambil oleh-Nya.

Umat yang terluka, dan malam itu tetap bersabar saat dihujani tembakan, tidak lagi mempunyai rasa takut. Inilah yang dikembalikan oleh Allah ke dalam hati mereka. Mereka tidak lagi menjadi buih, seperti yang disindir oleh junjuangnya, Nabi Muhammad saw. Insya Allah, kini mereka telah mulai pulih kekuatannya. Tinggal ke mana muara kekuatan dan kekuasaan yang mereka miliki saat ini? Jika tetap konsisten dengan visi, misi dan tujuan menolong-Nya, menolong syariah-Nya, menolong para pejuang yang memperjuangkannya, maka Allah akan menolong mereka, dan mengembalikan kekuatan mereka jauh lebih dahsyat lagi.

Karena mereka adalah para wali/auliya’ [penolong] Allah. Allah pun pasti menjadi wali [penolong] mereka. Karena, balasan itu, mengutip penjelasan Ibn Katsir, sama dengan jenis amal yang diberikan kepada-Nya:

إِنْ تَنْصُرُوْا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Jika kalian menolong Allah, maka Allah pasti menolong kalian, dan akan meneguhkan kedudukan kalian.”  [Q.s. Muhammad: 07]

Semoga Allah senantiasa menjaga, melindungi dan memuliakan umat ini, sehingga kedudukan mereka sebagai umat terbaik kembali lagi.

Amin ya Mujibas Sailin.

#Khilafah
#umatislam

Rabu, 24 Agustus 2016

Merdeka Itu....

Untuk sebuah eksistensi, kaum nasionalis ada.
Awalnya mereka belajar keluar negeri lalu datang dengan sebuah ideologi
dan menyeru dengan lantang untuk kemerdekaan dari penjajahan di negeri ini.

Rakyat dan ulama yang sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu sudah mengangkat senjata speechless, tidak bisa bicara apa-apa melihat orang 'terpelajar' -karena di jaman susah ada sekelompok orang bisa sekolah keluar negeri- tiba-tiba datang meminta kemerdekaan semu.
Mereka naik mimbar, dan menyerukan sebuah jati diri yang sejatinya belum bisa dimengerti.
"Dengan ini menyatakan kemerdekaannya...."
Dan semua itu atas nama rakyat..Rakyat Indonesia.

Tidak bisa dimengerti karena pasca turun panggung mereka harus kembali mengangkat senjata.
Sedangkan predikat negeri mereka akhirnya diakui di dunia internasional.
Sebuah negara merdeka.
Dan akhirnya tombak kebanggaan pun berganti dengan warna merah putih sebuah pertanda.

Tahun demi tahun terus dirasakan.
Kaum nasionalis tetap bertengger kuat karena hanya ini modal untuk bisa menjaga 'kemerdekaan' itu.
Meski perih dirasakan rakyat, gelar nasionalis masih tetap harus dijaga, disandang.

Rakyat lapar, miskin, menderita karena gencatan hutang luar negeri yang tak terkira.
Angka gelandangan, pengangguran, pengemis kian hari kian nampak tapi mereka harus tetap lantang menyanyikan lagu kemerdekaan meski menyanyi dengan tangis darah.

Rakyat harus tetap membela kaum minoritas nasionalis karena mereka sudah dipilih oleh mayoritas rakyat meski rakyat tau beban hidup mereka tidak akan terkurangi.

Inilah ironi negeriku.
Negeri yang kucintai.
Negeri muslim terbesar yang kini menjadi percontohan negara sekuler di dunia.
Dan beberapa hari ini, pesta digelar diatas tangis rakyat.
Tawa dan kibaran bendera telah sejenak menutup mata, karena sesaknya hidup di negeri ini, membuat rakyat butuh hiburan sesaat.

#IroniNegeriTanpaKhilafah

Tobat dari Ghibah

CARA BERTAUBAT DARI DOSA GHIBAH

Yang perlu kita ketahui, bahwa ghibah merupakan dosa yang berkaitan dengan hak Allah. Sehingga pelakunya dituntut untuk bertaubat dan istighfar, juga menyesal serta bertekad untuk tidak mengulanginya kembali. Juga berkaitan dengan hak anak Adam. Sehingga untuk menggugurkan dosa ini, ada syarat selanjutnya yang harus dipenuhi, agar taubatnya diterima dan menjadi sempurna.
Perselisihan Pendapat Ulama Perihal Kafarah Ghibah
Syarat tambahan inilah yang menjadi perbincangan para ulama. Pendapat pertama mengatakan seorang yang menghibahi saudaranya tebusannya cukup dengan memohonkan ampunan untuk orang yang dighibahi. Mereka berdalil dengan hadits,

كفارة الغيبة أن تستغفر لمن اغتبته
“Tebusan ghibah adalah engkau memintakan ampun untuk orang yang engkau ghibahi.”

Hikmah dari permohonan ampun untuk orang yang di-ghibah-i ini adalah, sebagai bentuk tebusan untuk menutup kezaliman yang telah ia lakukan kepada orang yang dighibahi. Jadi tidak perlu mengabarkan ghibahnya untuk meminta kehalalan kepada orang yang di-ghibah-i.

Pendapat ini dipegang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, murid beliau Ibnul Qayyim, Ibnu Muflih, as-Safarini dan yang lainnya. Bahkan Ibnu Muflih menukilkan dari Ibnu Taimiyyah bahwa pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama [1].

Mereka menguatkan pendapat ini dengan tiga alasan:
Mengabarkan ghibah kepada orang yang di-ghibah-i akan menimbulkan dampak negatif (mafsadah) yang tak dapat dipungkiri, yaitu akan menambah sakit perasaannya. Karena celaan yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang dicela lebih menyakitkan ketimbang celaan yang dilakukan dengan sepengetahuan orang yang dicela. Dia mengira orang yang selama ini dekat dengannya dan berada di sekelilingnya, ternyata dia telah merobek-robek kehormatannya di balik selimut.

Mengabarkan ghibah kepada orang yang di-ghibah-i akan menimbulkan permusuhan. Karena jiwa manusia sering kali tidak bisa bersikap obyektif dan adil dalam menyikapi hal seperti ini.
Mengabarkan ghibah kepada orang yang dighibahi akan memupuskan rasa kasih sayang diantara keduanya. Yang terjadi justru semakin menjauhjan hubungan silaturahim.
Tak diragukan lagi, dampak kerusakan yang timbul dari mengabarkan ghibah ini, lebih buruk daripada pengaruh negatif perbuatan ghibah itu sendiri. Ini menyelisi tujuan syari’at (maqasid asy-syari’ah) yang bertujuan untuk menyatukan hati, memupuk rasa saling menyayangi dan persahabatan. Padahal diantara prinsip yang berlaku dalam syari’at Islam adalah,

تعطيل المفاسد وتقليلها لا على تحصيلها وتكميلها
“Mencegah kerusakan atau keburukan secara merata, atau memperkecil dampaknya. Bukan menimbulkan kerusakan atau menyempurnakan kerusakan” [2].

Pendapat kedua menyatakan, memohonkan ampunan saja tidak cukup. Akan tetapi harus ada usaha meminta kehalalan kepada orang yang dighibahi, agar taubatnya diterima di sisi Allah.
Dan bagi pihak yang di-ghibah-i, seyogyanya untuk memaafkan saudaranya yang meminta kehalalan karena telah menggunjingnya. Agar ia mendapatkan pahala memaafkan kesalahan orang lain dan keridoan Allah terhadap orang-orang yang pemaaf.
Pendapat ini dipegang oleh Abu Hanifah, Syafi’i, Malik dan riwayat dari Imam Ahmad (ketika membahas permasalahan qadzaf (tuduhan palsu); apakah diharuskan menceritakan tuduhannya kepada orang yang telah dituduh, dalam rangka meminta kehalalannya, atau tidak perlu diceritakan) [3].

Ulama yang menguatkan (merajihkan) pendapat ini adalah al-Ghazali, Qurtubi, Imam Nawawi dan ulama – ulama lainnya yang sependapat dengan mereka.

Mereka berdalil dengan hadis dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, yang mana beliau mengatakan,”Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Siapa yang pernah menzalimi saudaranya berupa menodai kehormatan atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya, hendaknya ia meminta kehalalannya dari kezaliman tersebut hari ini. Sebelum tiba hari kiamat yang tidak akan bermanfaat lagi dinar dan dirham. Pada saat itu bila ia mempunyai amal shalih maka akan diambil seukiran kezaliman yang ia perbuat. Bila tidak memiliki amal kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil kemudian dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 2449)

Dari hadis ini mereka menyimpulkan, ghibah adalah dosa yang berkaitan dengan hak manusia. Maka dosa tersebut tidak bisa gugur kecuali dengan meminta kehalalan dari orang yang telah ia zalimi.
Mereka menganalogikan (meng-qiyas-kan) masalah ini dengan permasalahan hak harta benda. Dimana bila seorang merusak harta benda milik orang lain atau mengambil tanpa hak, maka bentuk taubatnya adalah dengan menggantinya atau mengembalikannya kepada tuannya.

Mengenai hadis yang dijadikan argumen pendapat pertama,
كفارة الغيبة أن تستغفر لمن اغتبته
“Tebusan ghibah adalah engkau memintakan ampun untuk orang yang engkau ghibahi.”

Mereka menilai bahwa, hadis ini maudhu‘ (palsu) [4], dan matan-nya (pesan yang disampaikan dalam hadis) tidak benar. Karena dosa ghibah itu berkaitan dengan hak anak Adam. Sehingga untuk menggugurkan dosanya harus meminta kehalalan kepada orang dizalimi [5].

Pendapat yang Rajih (kuat)
Setelah pemaparan dua pendapat ulama di atas beserta argumen yang mereka utarakan, maka pendapat yang nampaknya lebih rajih -wal’ilmu ‘indallah- menurut keterbatasan ilmu kami adalah pendapat kedua; yang menyatakan wajibnya meminta kehalalan kepada orang yang di-ghibah-i.

Terlebih bila orang yang di-ghibah-i dikenal pemaaf dan berdada lapang. Terkadang orang yang meng-ghibah-i tidak bermaksud menghinakan, namun hanya saja dia tergelincir ketika berbicara atau mengobrol. Intinya, yang perlu dipahami bersama bahwa ini adalah konsekensi asal dari tebusan ghibah, yaitu meminta kehalalan kepada orang yang di-ghibah-i.

Adapun bila orang yang di-ghibah-i dikenal tidak pemaaf dan menurut prasangka kuatnya dia tidak akan memaafkan. Bahkan akan menambah kebencian dan permusuhan. Atau bila dia mengabarkan secara global perihal ghibah yang dia lakukan, yang bersangkutan akan meminta penjelasan secara rinci; yang mana bila ia tahu hal tersebut akan membuatnya semakin benci dan marah, maka dalam kondisi ini cukup dengan mendoakan kebaikan untuknya. Serta menyebutkan kebaikan-kebaikannya di hadapan orang-orang. Dan beristighfar kepada Allah atas dosa ghibah yang telah ia lakukan.

Wallahu a’lam

sumber: muslim.or.id

Refleksi Hati

Banyak yang bicara persatuan, sementara tangan dan kaki mereka memecahkan pemahaman umat islam dengan masalah cabang.

Banyak yang bicara 'guyup rukun', tapi mata mereka buta bahwa tetangga mereka ada yang kelaparan.

Banyak yang mengaku nasionalis, patriotis tapi negeri mereka di'jarah' asing mereka diam.

Banyak yang bicara cukup menyelamatkan diri dan keluarga mereka saja, tapi mereka tidak sadar sikapnya itu telah melanggengkan penjajahan sistemik oleh musuh Allah.

Banyak mencela orang yang hidupnya tak mampu terbeli dengan materi karena semata berjuang tanpa pamrih membela agama Allah, sementara mereka para pencela itu tak mampu hidup tanpa belas kasihan 'uang penjajah'.

Ini masalah kita, sadari bahwa hidup "enak" hari ini tak berarti apa-apa jika kita tidak memahami bahwa dunia hanya medan perjuangan, bukan surga kenikmatan.
Beban umat ini, terbebankan pula di pundak kita.

Apakah kita mampu memperjuangkan dan menangisi kondisi umat ini, sementara kehidupan dunia yang menipu ini masih menjadi orientasi hidup kita?

Minggu, 06 Maret 2016

Hukum Seputar Gambar dan Patung

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya menggambar makhluk bernyawa dan memanfaatkan gambar tersebut?

 

Jawab :                   

Sebelumnya perlu dijelaskan dulu dua istilah fiqih yang terkait hukum gambar atau patung. Pertama, istilah tashwiir, yang berarti perbuatan membuat bentuk sesuatu (rasm shuurah al syai`). Perbuatan yang disebut tashwiir ini tak terbatas membuat bentuk sesuatu yang mempunyai dua dimensi (tak mempunyai bayangan) seperti membuat lukisan, melainkan termasuk juga yang mempunyai tiga dimensi (mempunyai bayangan), seperti membuat patung. Istilah tashwiir juga mencakup pula mengukir/menatah/memahat (Arab : an naht). Namun istilah tashwiir tak mencakup fotografi. Kedua, istilahshuurah (jamaknya shuwar), yang berarti benda hasil dari perbuatan tashwiir, yang tak terbatas pada pengertian “gambar” (dua dimensi), melainkan juga termasuk “patung” (Arab : timtsaal) yang mempunyai tiga dimensi. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakshiyyah Al Islamiyyah, 2/349; Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 100; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 12/92-93).

Hukum tashwiir dengan objek makhluk yang bernyawa, seperti manusia atau binatang, yang paling rajih (kuat) adalah haram, baik tashwiir dalam arti membuat patung, maupun dalam arti menggambar, baik objeknya utuh yang memungkinkan hidup, maupun tak utuh yang tak memungkinkan hidup (misal hanya tubuh tanpa kepala). Semuanya haram hukumnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari madzhab Hanafi, Hambali, dan Syafi’i. Pendapat inilah yang dianggap paling rajih oleh Imam Taqiyuddin An Nabhani, radhiyallahu ‘anhu. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakshiyyah Al Islamiyyah, 2/349; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 12/102).

 

Dalil keharamannya, adalah keumuman nash-nash hadits yang telah mengharamkan tashwiir. Di antaranya dari Ibnu Abbas RA, bahwa Nabi SAW bersabda,”Barangsiapa yang membuat gambar/patung (shuurah), maka Allah akan mengazabnya hingga orang itu mampu meniupkan ruh (nyawa) ke dalam gambar/patung itu, padahal dia tak akan mampu meniupkan ruh selama-lamanya.” (HR Bukhari, no. 2112 & 5618).

 

Dikecualikan dari haramnya tashwiir ini, adalah membuat boneka untuk anak-anak, karena terdapat hadits-hadits shahih yang membolehkannya. Dari ‘A`isyah RA dia berkata, “Dulu aku pernah bermain boneka-boneka berbentuk anak perempuan di dekat Nabi SAW, waktu itu aku punya beberapa teman perempuan yang suka bermain-main denganku.” (HR Bukhari no. 5779 & Muslim no. 2440)

 

Adapun meletakkan gambar dengan objek bernyawa, hukumnya sbb :

Pertama, jika diletakkan di tempat ibadah, misalnya menjadi sajadah untuk sholat, atau dijadikan tirai masjid, atau ditempel di papan pengumuman masjid, hukumnya haram. Dalilnya hadits Ibnu Abbas RA bahwa Nabi pernah tak mau masuk ke Ka’bah hingga beliau memerintahkan menghapus gambar-gambar dua dimensi (shuwar) pada Ka’bah. (HR Bukhari no. 3174; Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakshiyyah Al Islamiyyah, 2/350).

Kedua, jika tak diletakkan di tempat ibadah, misalnya di rumah atau kantor, maka ada rinciannya :

(1) hukumnya makruh, jika diletakkan di tempat terhormat, misalnya dijadikan gordin, ditempel di dinding, terdapat di baju (seperti batik). Dalilnya, ada larangan Nabi SAW karena beliau pernah mencabut tirai rumah bergambar yang dipasang ‘A`isyah RA. (HR Muslim no 2107). Namun larangan itu takjazim/tegas, atau hukumnya makruh, karena malaikat tetap masuk ke dalam rumah yang ada gambarnya (dua dimensi), sesuai sabda Nabi SAW, “Malaikat tak akan masuk ke dalam rumah yang ada anjingnya atau patungnya,” lalu dalam hadits itu Nabi SAW mengatakan,”Kecuali gambar yang ada pada kain.” (HR Muslim no 2106).

(2) hukumnya mubah jika diletakkan di tempat tak terhormat, misalnya dijadikan keset, sarung bantal, sprei, dsb. Dalilnya hadits ‘A`isyah RA bahwa dia memasang tirai yang ada gambarnya, lalu Nabi SAW masuk rumah dan mencabut tirai itu. ‘A`isyah berkata,’Lalu aku jadikan tirai itu dua bantal dan Nabi bersandar pada keduanya.” (HR Muslim no 2107). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakshiyyah Al Islamiyyah, 2/353-355). Wallahu a’lam.[] M Shiddiq al-Jawi

Jumat, 04 Maret 2016

Refleksi Diri

Simplifikasi tidak perlu emosi.

Banyaknya media sosial dengan beragam aplikasi saat ini secara tidak langsung melahirkan para penulis, pujangga bahkan politisi dadakan.

Segala hal,baik rasa, karya bahkan tangisan semua bernada tulisan yang kerap memenuhi layar kaca smartphone kita. Tanpa bisa dipahami terkadang, kenapa bisa dengan mudahnya seseorang membagi semua perasaan, pikiran bahkan kemarahanya di aplikasi yang bisa diakses semua orang.

Meski demikian, tidak ada yang salah jika kita memikirkan dan mengkaitkannya dengan hak individu. Yang pasti sebenarnya apakah perlu semua itu dilakukan?
Terbuka.
Menjadi diri mampu dibaca lalu dimengerti orang lain, mungkin baik. Tapi realita kita hidup saat ini, tak berlebihan kan saya katakan bahwa kita bisa diawasi bahkan oleh penjahat sekalipun. Berapa banyak kasus kriminal diawali dari media sosial? Hoho ...tak terhitung.
Berlepas dari benar atau salahnya setiap status, membuka segala informasi pribadi pada orang lain baik asing atau tidak tidaklah hal yang baik. Itu tidak tepat. Bahkan jika kita sedekah saja sebaiknya tangan kiri tidak mengetahuinya dari tangan kanan..betul kan?

Menjadi pribadi yang proporsional tanpa harus menjadi superspesial meski beragam cara menjadi legal jauh lebih baik.
Tidak ada manusia yang sempurna. Begitulah adanya.
Tapi karena manusia merasa belum sempurna maka dia tidak akan berhenti meraih upaya menuju kesempurnaan. Tanpa banyak umbar kekuatan, seorang penulis cukup eksis hanya dengan karyanya. Tanpa umbar senyum seorang ibu akan meraih sukses jika anaknya mampu membawakan kebahagiaan akhirat untuknya.  Tanpa umbar nilai seorang guru cerdas membuktikannya pada anak didiknya. Begitu pula seharusnya kita. Tanpa kata, prestasi seharusnya sudah mampu dibaca, tanpa suara kebahagiaan itu seharusnya sudah mampu terdengar. Tanpa tangis seharusnya air mata itu sudah meredam. Tanpa kata, kekuatan akhirnya teralur tanpa menciptakan riak gaduh cemoohan.

Hidup itu sederhana. Tinggal jalani, ujian diselesaikan, aturan dipakai dan kelemahan diakui, kekuatan disyukuri.
Simplifikasi masalah bukan berarti meningggalkan sisi kekuatan agar masalah selesai dengan sendirinya. Bukan berarti menganggap enteg setiap laku dan sikap penyelesaian.
Makanya simplifikasi masalah pakai otak bukan dengan emosi.

#RefleksiDiri

Minggu, 28 Februari 2016

Nusaibah

#Nusaibah, #Wanita Sebanding Seribu Laki-laki

ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala mewajibkan peperangan pada kaum mukminin –walau mereka tidak menyukainya– karena berguna untuk melawan kesewenang-wenangan, mempertahankan tanah air, dan menjaga agama dari penghinaan tangan-tangan kaum tercela; serta melindung kehormatan, kemuliaan, dan harta benda.

Allah tidak mewajibkannya pada wanita karena mereka tidak akan mampu memikul beban-bebannya dan tidak kuasa menghadapi berbagai tekanan dan kesulitan. Allah menempatkan mereka di belakang kaum lelaki guna mendidik anak-anak, mengurus rumah tangga, melayani suami, dan tugas-tugas lain yang dibebankan pada kaum ibu.

Namun demikian, apabila kondisi mendesak, Allah mengizinkan mereka turut serta bersama kaum lelaki terjun dalam pertempuran. Sebab, dalam situasi seperti ini, wanita mampu menghadapi peperangan dan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi para tentara.

Para ahli sirah dan sejarawan menyebutkan bahwa wanita telah memberi sumbangsih besar pada kaum laki-laki dalam banyak pertempuran. Ia bahu membahu berperang bersamanya, atau berada di belakang pasukan untuk melindunginya dari tipu daya musuh, mengembalikan tentara yang lari dari medan tempur, menyediakan air, makanan serta senjata untuk mereka, dan hal-hal lain yang diperlukan dalam peperangan.

Di antara pejuang wanita yang memiliki nama harum dalam sejarah para wanita penyabar dan tulus adalah Ummu Umarah Nusaibah binti Ka’ab bin Amru bin Auf bin Mabdzul Al-Anshariyah Al-Khazrajiyah An-Najjariyah.

Ia satu di antara para #mujahid wanita terbaik yang telah menyumbang andil besar demi membela agama dalam berbagai peristiwa. Ia menyatakan pada seluruh dunia bahwa bila seorang wanita muslimah menyandang senjata iman yang sempurna, tekad tulus dan keinginan kuat, ia bisa menciptakan banyak keajaiban dan membuat contoh menakjubkan dalam bentuk kepahlawanan langka dan keberanian yang luar biasa.

Ia seorang wanita yang beriman kepada Rabb dan konsisten pada ajaran agamanya. Allah memberinya keyakinan dan petunjuk, serta menganugerahinya kekuatan menghadapi kesulitan dan menaklukkan berbagai halangan.

Ia adalah salah satu dari dua wanita yang datang bersama 73 lelaki ke Mekah untuk bertemu Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alahi Wasallam dan berjanji setia pada beliau di Aqabah. Selamanya, ia termasuk wanita yang berbai’at. Ia berbai’at kepada Nabi dalam Bai’atur Ridhwan yang berlangsung di bawah sebuah pohon, di mana Allah telah meridhai semua orang yang berbai’at di bawahnya dan mencatatkannya dalam Al-Qur’an.

Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Al-Fath: 18).

Bai’at ini dilakukan terkait kesediaan berperang melawan penduduk Mekah bila mereka berani mengganggu atau merintangi kaum muslimin masuk Mekah untuk mengunjungi Baitul Haram. Kisah bai’at ini dimuat dalam buku-buku sirah.

***

Nusaibah berangkat ke medan Uhud bersama suami dan kedua anaknya, Hubaib dan Abdullah putra Zaid bin Ashim bin Amru. Ia bertempur dengan gigih dan mendapat hadiah 12 luka.

Dalam berperang, ia menunjukkan keberanian luar biasa yang mampu menarik kekaguman Nabi dan para sahabat beliau yang menyaksikan. Ia meloncat, menerkam, dan mengayunkan pedangnya ke segala arah. Bersama suami dan kedua putranya bahu membahu menggempur musuh.

Nabi melihat keluarga ini membelah jalannya menuju Uhud dengan penuh percaya diri dan yakin. Beliau bersabda pada mereka, “Semoga Allah merahmati kalian wahai keluarga. Semoga Allah memberkahi kalian wahai keluarga.”

Nusaibah memanfaatkan kesempatan ini dengan berkata, “Wahai Rasulullah, mohonkan pada Allah agar kami dapat menemani baginda di surga.” Lantas beliau mengucapkan, “Ya Allah, jadikan mereka kawan-kawanku di surga.”

Kebahagiaan besar memancar dari hati Nusaibah. Ia menuturkan, “Setelah itu aku tidak peduli apa pun yang menimpaku dalam urusan dunia.”

Nusaibah pernah bertarung melawan musuh Allah, Amru bin Qum’ah. Dalam pertarungan ini, Nusaibah memperlihatkan keahlian bertempurnya dan semangat juangnya dalam berperang, sehingga musuh Allah ini tidak sanggup mengalahkannya. Hanya saja ia berhasil menimpakan luka mendalam yang cukup lama diderita Nusaibah.

Ummu Sa’ad binti Sa’ad bin Rabi’ pernah bertanya padanya tentang kenangan-kenangan jihad dan perjuangannya. Ia berkata, “Wahai bibi, ceritakan padaku kisahmu di perang Uhud.”

Kemudian Ummu Umarah menuturkan, “Menjelang siang, aku keluar melihat orang banyak. Aku membawa wadah berisi air. Aku sampai kepada Rasulullah yang berada di tengah-tengah para sahabat. Keuntungan berpihak pada pasukan muslimin –maksudnya, saat itu mereka unggul–. Kemudian ketika pasukan muslimin terdesak, aku bergabung bersama Rasulullah. Aku ikut terjun dalam perang, melindungi beliau dengan pedang dan membidikkan panah, hingga aku mengalami luka-luka.”

Lantas Ummu Sa’ad menanyakan luka di pundaknya yang dalam, siapa yang melukainya? Ia menjawab, “Ibnu Qum’ah, semoga Allah menghinakan dan menistakannya.”

Kisahnya, ketika orang-orang meninggalkan Rasulullah, Ibnu Qum’ah datang sambil berkata, “Tunjukkan padaku di mana Muhammad. Aku tidak selamat bila ia selamat.” Maka aku, Mus’ab bin Umair dan beberapa orang yang bertahan untuk melindungi Rasulullah menghadangnya. Ia memukulku hingga menyebabkan luka ini. Sebenarnya aku berhasil membalasnya dengan beberapa pukulan, sayangnya musuh Allah ini mengenakan dua lapis baju besi.”

Demikianlah, wanita yang diasuh Islam dan menjadi putri keimanan ini tidak gentar terhadap tebasan pedang dan tusukan tombak. Sebaliknya ia maju dengan gagah berani dan bertekad mengerahkan semua kemampuannya demi membela agama, kemerdekaan dirinya, dan kehormatan umatnya.

Ia membalas satu pukulan orang yang jahat lagi pendosa dengan beberapa pukulan yang kuat dan berbobot. Hanya saja musuh terlaknat ini melindungi tubuhnya dengan dua lapis baju besi. Lihat! Tidak cukup satu baju besi. Saat itu Ummu Umarah melupakan segala sesuatu selain bahwa dirinya berada di tengah-tengah medan yang memerlukan ketulusan dan pengorbanan. Karenanya, ia terus menikam dan memukul hingga Rasulullah pernah bertutur, “Aku tidak menoleh ke kanan dan kiri kecuali aku melihat Ummu Umarah bertempur melindungiku.”

Di perang Uhud, Nabi melihat seorang laki-laki yang membawa perisai, namun tidak ia pergunakan untuk melindungi diri. Sedangkan Ummu Umarah tidak membawa peralatan untuk melindungi dirinya. Maka Nabi berkata kepada lelaki tersebut seraya menunjuk pada Ummu Umarah, “Lemparkan perisaimu pada orang yang bertempur itu.”

Orang itu memberikan perisainya, lalu Ummu Umarah mempergunakannya untuk melanjutkan pertarungan.

MANAKALA Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam melihat luka Ummu Umarah mengalirkan darah, beliau memanggil putranya seraya berkata, “Hai putra Ummu Umarah, ibumu… ibumu! Balutlah lukanya! Semoga Allah memberkahi kalian wahai keluarga. Ibumu lebih baik daripada si fulan dan si fulan.”

Dan ketika putranya Abdullah terluka, darah mengalir deras. Maka Rasulullah bersabda kepadanya, “Balutlah lukamu!” Ummu Umarah mendengar ucapan Rasulullah dan ia membawa beberapa helai perban yang ia gantungkan di perut. Ummu Umarah mengambilnya, kemudian membalut luka putranya. Selanjutnya ia berkata, “Bangkitlah, gempurlah musuh-musuh itu.”

Dengan penuh kekaguman, Nabi bersabda kepadanya, “Siapa yang mampu melakukan apa yang telah engkau lakukan ini, wahai Ummu Umarah?” Tidak lama setelah itu, Rasulullah melihat orang yang telah melukai putra Ummu Umarah. Beliau menuding orang tersebut sembari berkata kepada Ummu Umarah, “Ia yang melukai putramu.”

Ummu Umarah segera berusaha mendekati orang tersebut dan memukul betisnya. Musuh itu jatuh tersungkur, kemudian Ummu Umarah menuntaskan kematiannya. Rasulullah bersabda kepadanya, “Segala puji bagi Allah yang telah memenangkanmu, membahagiakanmu dengan kematian musuhmu dan memperlihatkan terbalasnya dendammu pada kedua matamu.”

Ummu Umarah menuturkan apa yang ia alami dalam perang ini, “Aku melihat orang-orang berhamburan meninggalkan Rasulullah –mereka lari meninggalkan beliau karena sangat takut–. Dan hanya tersisa kira-kira 10 orang. Aku, dua putraku, dan suamiku, berdiri di depan beliau. Kami melindungi Rasuiuilah dari incaran musuh, sedang orang-orang hanya melewati beliau. Mereka terdesak mundur.

Beliau melihatku tidak memegang perisai. Ketika beliau melihat seorang prajurit yang lari dan ia membawa perisai, beliau berteriak, “Lemparkan perisaimu pada orang yang berperang itu.” Prajurit itu melemparkannya, lantas aku mengambilnya. Kemudian aku pergunakan sebagai perisai untuk melindungi Rasulullah.

Sungguh yang bisa membuat kami kerepotan hanya pasukan kuda. Andai mereka berjalan seperti kami, insya Allah kami sanggup mengalahkan mereka. Seseorang datang dengan menunggang kuda. Ia memukulku dan aku menangkisnya dengan perisai. Ia tidak dapat berbuat apa-apa dan berbalik. Aku segera memukul tumit kudanya, sehingga ia terjatuh dari punggung kuda. Spontan Nabi berteriak, “Ibumu… ibumu..” Lantas putraku membantuku mengalahkan orang itu hingga aku berhasil mengantarkannya menuju ajalnya.

Abdullah bin Zaid berkata, “Di hari itu aku mendapat luka mendalam dan darah tidak mau berhenti mengalir. Nabi bersabda, “Balutlah lukamu.” Ibu menghampiriku dengan membawa beberapa perban di pinggangnya. Ia membekap lukaku, sedang Nabi berdiri. Setelah selesai, ibu berkata, “Bangkitlah putraku, kalahkan orang-orang itu!”

Nabi bersabda, “Siapa yang sanggup memperbuat apa yang engkau perbuat, wahai Ummu Umarah?!”

***

Hari-hari terus berjalan dengan manis dan pahitnya, sedang Nusaibah binti Ka’ab setia berjihad di jalan Allah dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Rasulullah wafat, kemudian kaum muslimin membai’at Abu Bakar sebagai khalifah, dan kelompok murtadin berbalik meninggalkan agama Islam.

Di bawah pimpinan Musailamah Al-Kadzdzab, mereka menyuarakan peperangan terhadap kaum muslimin. Maka Abu Bakar menyiagakan beberapa gempuran pada kelompok murtad di semenanjung jazirah Arab tersebut.

Pertempuran Yamamah merupakan pertempuran terdahsyat bagi kaum muslimin, tapi mereka memperlihatkan keberanian yang tidak tertandingi.

Di antara para pejuangg di jalan Allah ini adalah Nusaibah binti Ka’ab dan kedua putranya, Hubaib dan Abdullah. Hubaib tertawan oleh Musailamah. Ia disiksa dan menerimanya dengan sabar.

Musailamah berkata pada Hubaib, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad Rasulullah?” Dengan tegas ia menjawab, “Ya”

Musailamah bertanya lagi, “Apakah engkau mengakui aku utusan Allah?” Ia menjawab, ‘Aku tidak mendengar.” Lantas Musailamah mencincang tubuh Hubaib hingga meninggal.

Nusaibah mengetahui kematian putranya. Ia bernazar tidak akan mandi hingga Musailamah mati. Ia pun menuju medan laga bersama putranya yang lain, Abdullah. Ia sangat ingin menghabisi nyawa Musailamah dengan tangannya. Tapi takdir menghendaki orang yang membunuh Musailamah adalah putranya, Abdullah, yang membalaskan dendam saudara kandungnya, Hubaib.

Ummu Umarah menuturkan, “Dalam pertempuran Yamamah, tanganku terputus padahal aku ingin membunuh Musailamah. Namun tidak ada yang mengendurkan keinginanku hingga aku melihat orang busuk tersebut terkapar tidak bernyawa. Ternyata putraku, Abdullah bin Zaid, tengah mengusap pedangnya dengan bajunya. Aku menanyainya, “Engkau telah membunuhnya?” Ia menjawab, “Ya.” Lantas aku sujud syukur kepada Allah.

Dalam membunuh Musailamah, Abdullah dibantu Wahsyi bin Harb –pembunuh Hamzah di perang Uhud. Ia telah masuk Islam dan bersungguh-sungguh menjalankan ajarannya.

Dalam berbagai palagan perang, Nusaibah sebanding dengan 1.000 lelaki. Ia memenggal tengkuk pasukan musyrikin dan tidak peduli dengan keselamatannya selagi demi membela Allah.

Nusaibah adalah teladan bagi setiap mukmin dan mukminah, dan figur perjuangan serta pengorbanan. Kiranya Nusaibah binti Ka’ab dan wanita-wanita mukminah mujahidah lainnya cukup menjadi teladan bagi setiap wanita beriman yang mampu memberi kontribusi berarti dalam membela agama, melindungi tanah air dan merealisasikan kemajuan serta kesejahteraan. Semoga Allah membimbing dan meluruskan langkah mereka.

Prof. Dr. Muhammad Bakr Ismail, terangkum dalam bukunya Bidadari 2 Negeri.

Kamis, 25 Februari 2016

Lirik Kekecewaan

💰Solusi kapitalisme dalam menyelesaikan masalah yang ditimbulkannya sendiri akhirnya berujung pada solusi parsial.

👦Ibarat anak sakit komplikasi, sebab awalnya adalah karena makanan yang dimakan itu racun, membawa penyakit beranekaragam. Pusing diobat khusus pusing, sakit perut diobar sendiri dll. Hasil akhirnya apa? Makin menambah beban terhadap penderita.

🌎Begitu pula realita sistem saat ini, jika tidak diketahui akar masalah munculnya problem saat ini yang ada hanya solusi parsial yang hanya akan menambah beban rakyat.

❓Kenapa rakyat sebagai penderita? Karena dalam reinventing goverment rakyat sebisa mungkin dimandirikan dalam urusan mereka. Dan pemerintah hanya fasilitator dan regulayor. Jika perlu biarkan ada kolaborasi dengan pihak asing bahkan sampai level hulu sekalipun.

💰Faktanya begini ini. Sistem yang membuarkan usaha rakyat berkompetisi dngan produksi negara kapitalis.
Sistem yang membiarkan rakyatnya hanya sebagai konsumen atas masuknya jutaan barang impor.
Sistem yang merelakan asing memiliki petak-petak tanah di negeri ini. Alih-alih menjaga wilayah dengan dana desa , ujungnya negara memfasilitasi asing berkecimpung dalam pembangunan desa ibarat jaman kolonialisme. Ada penjajah dan para centeng.

🌆Tidak heran solusi masalah sampah juga dibebankan kepada rakyat. Bukan kepada penciptaan produksi ramah lingkungan. Sementara perusahaan pemilik kapital, MNC akan terus memproduksi tanpa peduli kesehatan bahkan hingga limbahnya.

🌴Banyak asap pabrik, rakyat diminta sukseskan 1Milyar pohon, taman kota, reboisasi. Sementara pabrik-pabrik berdiri di tengaj pemukiman warga dibiarkan. Toh nanti rakyat yang bakalan menyingkir perlahan.

✔Jangan salahkan setiap wacana jika dalam sistem buatan manusia ini rentan akan kelemahan.
✔Kenapa masih keukeuh bertahan pada kapitalisme, sedang AS sendiri juga selalu memikirkan cara bagaimana mereka menyembuhkan diri mereka sendiri:  memerangi, membunuhi, memfitnah bahkan menjarah kekayaan negara lain atas nama kerjasama komprehe sif dan lain sebagainya.

❗❗Lebih baik pikirkan dulu jika hanya bisa melihat pada satu arah. Karena bisa jadi orang lain memiliki pandangan lebih luas dan solutif atas masalah negeri ini.

📌 Untukmu Saudaraku

Jumat, 19 Februari 2016

Pengemban Ideologi Tidak Menangis


"Seorang pengemban ideologi sejati tidak menangis"

Seorang pria menceritakan kisah berikut:

"Kami mengalami tindakan kekejaman yang luar biasa, bentuk paling keras dari hukuman di Irak, dan kami terbiasa berteriak dan menangis karena penyiksaan tersebut.”

“Tapi kami heran melihat seorang syaikh (laki-laki tua) yang sedang disiksa secara brutal, di mana ia dengan kaki yang diikat, digantung dan disiksa dengan sangat kejam yang tak bisa digambarkan layaknya ia disiksa oleh orang yang kesurupan.”

“Tapi ia tetap diam tanpa menumpahkan air mata. Padahal saat itu, ia hingga merangkak untuk minum air karena beratnya hukuman yang ia terima.”

“Suatu hari, saya mendekatinya untuk menanyakan apa rahasia dari kesabarannya hingga mampu bertahan dari siksaan.”

Saya berseru kepadanya: "Kami ini masih muda namun kami menangis dan menjerit dari keparahan penyiksaan yang kami terima, tapi Anda adalah seorang pria tua dan apa rahasia yang Anda pegang yang membuat Anda mampu bertahan dari semua ini?".

Dia menjawab "Pembawa ide tidak menangis".

“Setelah dibebaskan dari penjara, kami mencari tahu siapa orang tua ini, ternyata ia adalah Sheikh Taqi-uddin An-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir dan pembawa ideology untuk mendirikan kembali Khilafah.”

*
*
*
MasyaaAllah,

_
taken from: HT Australia

Senin, 01 Februari 2016

Tak Bisa Dibandingkan

Realitas pemimpin memanggul bahan makanan untuk warganya yang miskin dalam era kekhalifahan Umar bin Khathab dengan era kapitalis saat ini jelas tidak bisa dibandingkan.

Penerapan aturan negara khilafah yang berdasarkan hukum Allah, menerapkan syariatNya dalam berbagai aspek, memberikan pelayanan kepada rakyat, tidak menggunakan sistem pengelolaan kekayaan yang memperkaya diri penguasa. Karena kekuasaan sejatinya adalah amanah bukan jalan mencari kekayaan dan keuntungan pribadi atau pihak tertentu.

Umar menangis tatkala amanah kepemimpinan dibebankan di pundaknga karena ketakutannya jika lalai maka siksa baginya amatlah pedih.

Umar memanggul gandum dan daging untuk kelalaian petugas negara dalam masalah distribusi kekayaan, dimana negara memberikan hak kebutuhan rakyat dari kas keuangan negara. Bukan mengambil pajak dari kekayaan rakyatnya apalagi dari kemiskinan rakyatnya.

Umat khawatir kelalaiannya akan membawanya pada siksa neraka, bukan sebagai pencitraan karena sistem yang ada saat itu sangatlah dipenuhi keadilan.

Tapi bagaimana jika dalam sistem kapitalis, seorang pemimpin memberi sekantung beras karena ada rakyatnya yang miskin?
Hal ini justru makin menunjukkan tidak POLITISnya pemimpin.
Realita kapitalisme memiskinkan rakyat, tidak hanya 1%, 2% tapi memiskinkan secara sistematis dan dominasi kapital nampak makin terbuka. Tirani minoritas atas kekayaan rakyat.

Jangan bandingkan implementasi syariat dalam kekhilafahan dengan implementasi hukum sekuler dalam demokrasi.
Karena hal ini hanya makin menunjukkan  ketidakpahaman akan realita pemimpin, kekuasaan dan islam.

#CatatanMalam

Minggu, 31 Januari 2016

Hati-Hati dengan Lisan

Berhati-hatilah wahai lisan, bisa jadi lisan akan menghantarkan pada kemurkaan Allah.
Apalagi lisan yang mengutuk orang-orang yang memperjuangkan tegaknya agama Allah di muka bumi.
Berhati-hatilah wahai lisan, Allah Ta’ala berfirman, ”Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50] : 18).
Lisan penuh kebencian, fitnah, kedustaan dan propaganda untuk memusuhi islam semua dicatat sebagai amal kalian.
Berhati-hatilah wahai lisan, karena lisan bisa membawamu pada kesesatan atau kebaikan. Jadikan berpikir sebagai awal sebelum berucap.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.’ (HR. Bukhari dan Muslim).
Berhati-hatilah wahai lisan, apalagi lisan yang dipenuhi dengan tipu daya, makar dan propaganda untuk memusuhi islam dan perjuangan islam kafah.
“Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Ali Imran: 120)
"Sesungguhnya dari dulupun mereka telah mencari-cari kekacauan dan mereka mengatur berbagai macam tipu daya untuk (merusakkan)mu, hingga datanglah kebenaran (pertolongan Allah) dan menanglah agama Allah, padahal mereka tidak menyukainya.” (Q.S. At-Taubah: 48)
Maka mudah bagi Allah mencerai beraikan persatuan orang-orang yang memusuhi islam, dakwah islam dan pengembannya.
"Mereka (orang-orang kafir itu) membuat makar, dan Allah membalas makar mereka. Dan Allah sebaik-baik pembuat makar." [Ali Imran : 54]

Rabu, 20 Januari 2016

Pencari Kebenaran

" Orang-orang yang mencari kebenaran itu, seperti air.. Jika dihadang, ia berbelok. Dibendung, ia akan merembes. Bahkan jika dibendung dengan menggunakan beton dalam bendungan raksasa, ia akan menguap.. Ia tidak akan pernah lelah mencari jalannya…”

AKU


Terkadang godaan untuk terus mengenang itu ada.
Kadang godaan untuk menjauh dari syukur hari ini itu menguat.
Tapi segera ku menepis, membantah bahkan berlari menjauh.
Tidak imbang segala pengorbanan untuk sesuatu yang ber'bau' duniawi.
Dunia itu sempit, singkat, sementara dan penuh tipuan.
Ketika kita jalani hari ini, sejatinya kita menjalaninya untuk hari kemudian.
Terlalu egois jika realita berhenti pada saat ini saja.
Tak adil bagi para pejuang kehidupan jika waktu tanpa penghisaban.
Sedang aku ada dalam barisan yang terkadang masih belum tegap berdiri, lelah kadang menepi dan menangis jika terluka.
Dan meski kadang waktu berganti, aku tidak sama dengan hari ini.
Tap asaku hari ini selalu ada, meski esok aku tak bisa memastikannya.
Karena aku labil, aku beruntung.
Lalaiku ku tinggalkan.
Menepiku tak butuh waktu lama.
Sempoyonganku tidak butuh jarak panjang.
Tangisku mudah terganti dengan semangat baru.
Karena aku....akan tetap berusaha meski kadang tertatih dan berlari.
#DUSheart.

Minggu, 10 Januari 2016

Dalil Masyiroh

Ini Landasan Dalil Hizbut Tahrir Melakukan Masyiroh (Unjuk Rasa)

Hadits Pertama:

“Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah bin Ahmad bin Ishaq bin Musa bin Mahran al-Ashbahani (w. 430 H) dalam kitabnya Hilyatu al-Awliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’ dari Ibn Abbas, ia berkata: aku bertanya kepada Umar ra.:

“Karena apa engkau disebut al-Faruq?” Umar berkata: “Hamzah masuk Islam tiga hari sebelumku, kemudian Allah melapangkan dadaku untuk Islam… Aku berkata: “dimana Rasulullah saw? Saudara perempuanku berkata: “beliau di rumah al-Arqam bin al-Arqam di bukit Shafa”, maka aku datang ke rumah itu… lalu aku berkata: “aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” Umar berkata: “maka orang yang ada di rumah itu meneriakkan takbir sehingga terdengar oleh orang-orang di masjid.” Umar berkata: “lalu aku katakan: “ya Rasulullah saw, bukankah kita di atas kebenaran jika kita mati dan jika kita hidup? Beliau menjawab: “benar demi Zat yang jiwaku ada di genggaman tangannya, sungguh kalian berada di atas kebenaran jika kalian mati dan jika kalian hidup.” Umar berkata: “lalu aku katakan: “lalu kenapa sembunyi? Demi Zat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran sungguh kalian harus keluar. Maka kami keluar dalam dua barisan, Hamzah di salah satunya dan aku di barisan satunya lagi, ia memiliki garam halus seperti tepung, sampai kami masuk ke masjid.” Umar berkata: “lalu aku memandang kepada Quraisy dan kepada Hamzah, maka mereka ditimpa bencana yang semisalnya belum pernah menimpa mereka, maka Rasulullah saw pada saat itu menamaiku al-Faruq, dan Allah memisahkan antara yang haq dan yang batil.”

Hadits Kedua :

Di dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn karya al-Hakim dinyatakan:

Dari Utsman bin Abdullah bin al-Arqam dari kakeknya al-Arqam, dan ia Badriyan, dan Rasulullah saw berlindung di rumahnya di bukit Shafa sampai genap empat puluh orang muslim, dan yang terakhir keislamannya adalah Umar bin al-Khaththab radhiyallâh ‘anhum. Ketika mereka empat puluh orang mereka keluar kepada orang-orang musyrik…
Al-Hakim berkata: “ini adalah hadits shahih sanadnya, tetapi al-Bukhari dan muslim tidak mentakhrijnya” dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

Hadits Ketiga :

Di Thabaqât al-Kubrâ karya Ibn Sa’ad: ia berkata …. dari Yahya bin Imran bin Utsman bin al-Arqam, ia berkata; “aku mendengar kakekku Utsman bin al-Arqam mengatakan:

“Aku anak orang ketujuh di dalam Islam, bapakku masuk Islam sebagai orang ketujuh, rumahnya di Mekah di bukit shafa, dan itu adalah rumah yang Nabi saw ada di situ pada awal Islam, di situ beliau mengajak orang kepada Islam dan di situ banyak orang telah masuk Islam. Beliau pada satu malam Senin berdoa: “Ya Allah muliakan Islam dengan salah satu laki-laki yang lebih Engkau sukai: Umar bin al-Khathab atau Amru bin Hisyam”. Lalu Umar bin al-Khathab datang besoknya pagi-pagi lalu dia masuk Islam di rumah al-Arqam dan mereka keluar dari situ, mereka meneriakkan takbir dan berthawaf mengelilingi baitullah terang-terangan dan rumah al-Arqam disebut Dar al-Islam…”

Hadits Keempat :

Ibn Ishaq berkata di as-Sîrah an-Nabawiyyah:

“Umar berkata pada saat demikian, “Demi Allah, sungguh kita dengan Islam lebih berhak untuk menyeru… dan sungguh agama Allah akan nampak di Mekah, jika kaum kita ingin zalim terhadap kita maka kita lawan mereka dan jika kaum kita berlaku fair kepada kita maka kita terima dari mereka”. Lalu Umar dan sahabat-sahabatnya keluar dan mereka duduk di Masjid. Ketika Quraisy melihat Islamnya Umar maka jatuhlah (apa yang ada) di tangan mereka.”

Juga dinyatakan topik dua shaf itu di karya Taqiyuddin al-Maqrizi dalam Imtâ’ al-Asmâ’; dan Husain bin Muhammad ad-Diyar Bakri dalam Tarîkh al-Khamîs fî Ahwâl Anfusi an-Nafîs, dan Muhammad Abu Syuhbah dalam as-Sîrah an-Nabawiyyah ‘alâ Dhaw’ al-Qur’ân wa as-sunnah, dan Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam ar-Rahîq al-Makhtûm … dan selain mereka.

Sabtu, 09 Januari 2016

Imam Mahdi dan Khilafah

Imam Mahdi dan Khilafah

Soal:

Keyakinan kaum muslim akan kembalinyaKhilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah semakin meningkat. Namun, ada sebagian yang percaya, bahwa Khilafah akan berdiri sendiri, karena sudah merupakan janji Allah. Caranya, dengan menurunkan Imam Mahdi. Pertanyaannya, benarkan Imam Mahdi yang akan mendirikan Khilafah? Ataukah kaummuslim yang mendirikannya, kemudian lahirlah Imam Mahdi?

Jawab:

1- Kalaupun ada hadits yang menunjukkan Imam Mahdi akan mendirikan, maka hadits tersebut tetap tidak boleh dijadikan alasan untuk menunggu berdirinya Khilafah. Karena berjuang untuk menegakkanKhilafah hukumnya tetap wajib bagi kaum Muslimin, sebagaimana hadits Nabi:

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةِ اللهِ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَحُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

“Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menjumpai Allah pada Hari kiamat dengan tanpa mempunyai hujah. Dan, siapa saja yang mati sedangkan di atas pundaknya tidak terdapat bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” (Hr. muslim)[1]

Manthuq hadits di atas menyatakan, bahwa “Siapa saja yang mati, ketika Khilafahsudah ada, dan di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” Atau “Siapa yang mati, ketikaKhilafah belum ada, dan dia tidak berjuang untuk mewujudkannya, sehingga di atas pundaknya ada bai’at, maka dia pun mati dalam keadaan mati jahiliyah.” Karenanya, kewajiban tersebut tidak akan gugur hanya dengan menunggu datangnya Imam Mahdi.

2- Memang banyak hadits yang menuturkan akan lahirnya Imam Mahdi, namun tidak satupun hadits-hadits tersebut menyatakan, bahwa Imam Mahdilah yang akan mendirikan Khilafah. Hadits-hadits tersebut hanya menyatakan, bahwa Imam Mahdi adalah seorang khalifah yang saleh, yang akan memerintah dengan adil, dan akan memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kezaliman dan penyimpangan. Dari Abi Sa’id al-Hudhri ra. berkata, dari Nabi saw. bersabda:

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَمْتَلِيءَ الأَرْضُ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا، ثُمَّ يَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِيْ أَوْ عِتْرَتِيْ فَيَمْلَؤُهَا قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا

Hari kiamat tidak akan tiba, kecuali setelah bumi ini dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. Setelah itu, lahirlah seorang lelaki dari kalangan keluargaku (Ahlu al-Bait), atau keturunanku, sehingga dia memenuhi dunia ini dengan keseimbangan dan keadilan, sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. (Hr. Ibn Hibban)[2]

Dalam riwayat lain, dari Abdullah, dari Nabi Rasulullah saw. beliau bersabda:

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَمْلِكَ النَّاسَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُوَاطِىءُ اسْمَهُ اسْمِي وَاسْمَ أَبِيْهِ اسْمُ أَبِيْ فَيَمْلَؤُهَا قِسْطًا وَعَدْلاً

Hari kiamat tidak akan tiba, kecuali setelah manusia ini diperintah oleh seorang lelaki dari kalangan keluargaku (Ahlu al-Bait), yang namanya sama dengan namaku, dan nama bapaknya juga sama dengan nama bapakku. Dia kemudian memenuhi dunia ini dengan keseimbangan dan keadilan. (Hr. Ibn Hibban)[3]

3- Hanya saja, terdapat riwayat yang menyatakan, bahwa Imam Mahdi tersebut lahir setelah berdirinya Khilafah, bukan sebelumnya. Diriwayatkan dari Ummu Salamah, berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

يَكُوْنُ اخْتِلاَفٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيْفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ المَدِيْنَةِ هَارِبًا إِلَى مَكَّةَ فَيَأْتِيْهِ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ فَيَخْرُجُوْنَهُ وَهُوَ كاَرِهٌ فَيُبَايِعُوْنَهُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ وَيُبْعَثُ إِلَيْهِ بَعْثٌ مِنَ الشَّامِ فَيُخْسِفَ بِهِمْ بِالبَيْدَاءِ بَيْنَ مَكَّةَ وَالمَدِيْنَةِ فَإِذَا رَأَى النَّاسُ ذَلِكَ أَتَاهُ أَبْدَالُ الشَّامِ وَعَصَائِبُ أهْلِ العِرَاقِ فَيُبَايِعُوْنَهُ، ثُمَّ يَنْشَأُ رَجُلٌ مِنْ الشَّامِ أَخْوَالُهُ كَلْبٌ فَيَبْعَثُ إِلَيْهِمْ بَعْثًا فَيُظْهِرُوْنَ عَلَيْهِمْ وَذَلِكَ بَعْثُ كَلْبٍ وَالْخَيْبَةِ لِمَنْ لَمْ يَشْهَدْ غَنِيْمَةَ كَلْبٍ فَيُقَسِّمُ المَالَ وَيَعْمَلُ فِي النَّاسِ.. وَيُلْقِيَ الإِسْلاَمَ بِجِرَانِهِ فِي الأَرْضِ فَيَلْبَثُ سَبْعَ سِنِيْنَ ثُمَّ يَتَوَفَّى وَيُصَلِّى عَلَيْهِ الُمسْلِمُوْنَ وَفِي رِوَايَةٍ فَيَلْبَثُ تِسْعَ سِنِيْنَ

“Akan muncul pertikaian saat kematian seorang khalifah. Kemudian seorang lelaki penduduk Madinah melarikan diri ke kota Makkah. Penduduk Makkah pun mendatanginya, seraya memintanya dengan paksa untuk keluar dari rumahnya, sementara dia tidak mau. Lalu, mereka membai’atnya di antara Rukun (Hajar Aswad) dengan Maqam (Ibrahim). Disiapkanlah pasukan dari Syam untuknya, hingga pasukan tersebut meraih kemenangan di Baida’, tempat antara Makkah dan Madinah. Tatkala orang-orang melihatnya, dia pun didatangi oleh para tokoh Syam dan kepala suku dari Irak, dan mereka pun membai’atnya. Kemudian muncul seorang (musuh) dari Syam, yang paman-pamannya dari suku Kalb. Dia pun mengirimkan pasukan untuk menghadapi mereka, hingga Allah memenangkannya atas pasukan dari Syam tersebut, hingga al-Mahdi merebut kembali daerah Syam dari tangan mereka. Itulah suatu hari bagi suku Kalb yang mengalami kekalahan, yaitu bagi orang yang tidak mendapatkan ghanimah Kalb. Al-Mahdi lalu membagi-bagikan harta-harta tersebut dan bekerja di tengah-tengah masyarakat… menyampaikan Islam ke wilayah di sekitarnya. Tidak lama kemudian, selama tujuh atau, dia pun meninggal dunia, dan dishalatkan oleh kaum muslim. Dalam riwayat lain dinyatakan, tidak lama kemudian, selama sembilan tahun. ” (Hr. At-Thabrani)

Hadits di atas, dengan jelas menyatakan, bahwa akan lahir khalifahbaru setelah meninggalnya khalifahsebelumnya. Sebagaimana yang dinyatakan dalam lafadz:

يَكُوْنُ اخْتِلاَفٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيْفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ

“Akan muncul pertikaian saat kematian seorang khalifah. Kemudian keluarlah seorang lelaki..” (Hr. At-Thabrani)

Dengan demikian, pandangan yang menyatakan, bahwa Imam Mahdilah yang akan mendirikan Khilafah Rasyidah Kedua jelas merupakan pandangan yang lemah. Demikian juga pandangan yang menyatakan, bahwa tidak perlu berjuang untuk menegakkan Khilafah, karena tugas itu sudah diemban oleh Imam Mahdi, sehingga kaum muslim sekarang tinggal menunggu kedatangannya, adalah juga pandangan yang tidak berdasar.

Jadi jelas sekali, bahwa Imam Mahdi bukanlah orang yang mendirikan Khilafah, dan dia bukanlah khalifah yang pertama dalam Khilafah Rasyidah Kedua yang insya Allah akan segera berdiri tidak lama lagi. Karena itulah, tidak ada pilihan lain bagi setiap muslim yang khawatir akan mati dalam keadaan jahiliyah, selain bangkit dan berjuang bersama-sama para pejuangsyariah dan Khilafah hingga syariah danKhilafah tersebut benar-benar tegak di muka bumi ini. Allah Akbar.

[1] Lihat, muslimSahih muslimjuz , hal.

[2] Lihat, Ibn Hibban, Sahih Ibn Hibban,Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, cetakan II, 1993, juz XV, hal. 236.

[3] Lihat, Ibn Hibban, Sahih Ibn Hibban,Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, cetakan II, 1993, juz XV, hal. 236.

Kamis, 07 Januari 2016

Konspirasi Arab

Bagaimana Inggris Memecah Belah Dunia Arab

Perkembangan negara bangsa (nations state) modern di seluruh dunia Arab adalah proses menarik dan memilukan. 100 tahun yang lalu, sebagian besar wilayah Arab adalah bagian dari KhilafahUtsmani, suatu negara multi – etnis yang besar yang berbasis di Istambul. Pada hari ini, peta politik dunia Arab tampak seperti suatu teka-teki silang yang sangat rumit. Suatu perjalanan yang kompleks dan rumit dari peristiwa-perristiwa yang terjadi di tahun 1910-an yang mengakhiri Dinasti Utsmani dan bangkitnya negeri-negeri baru dengan perbatasan di sepanjang Timur Tengah, yang memecah kaum muslim satu sama lain. Meskipun ada banyak faktor yang berbeda yang menyebabkan hal ini, peran yang dimainkan Inggris dalam hal ini adalah jauh lebih besar daripada para pemain lain di wilayah tersebut. Tiga perjanjian terpisah membuat janji-janji yang saling bertentangan yang menjadikan Inggris harus siap siaga. Hasilnya adalah kekacauan politik yang memecah sebagian besar dunia muslim.

Pecahnya Perang Dunia I

Pada musim panas tahun 1914, perang pecah di Eropa. Suatu sistem aliansi yang kompleks, perlombaan senjata militeristik, ambisi kolonial, dan kesalahan manajemen di tingkat pemerintahan tertinggi menyebabkan perang itu begitu dahsyat dan merenggut nyawa 12 juta orang selama tahun 1914-1918. Di sisi “Sekutu” berdiri Kerajaan Inggris, Perancis, dan Rusia. Di sisi “Tengah” terdiri dari Jerman dan Austria – Hongaria.

Pada awalnya, Imperium Utsmani memutuskan untuk tetap bersikap netral. Mereka hampir tidak sekuat negara-negara lain yang ikut dalam perang, dan didera oleh ancaman internal dan eksternal. Sultan/khalifah Utsmani adalah tidak lebih dari boneka pada saat ini, dengan sultan terakhir yang kuat, Abdulhamid II, digulingkan pada tahun 1908 dan diganti dengan pemerintahanmiliter yang dipimpin oleh “Tiga Pasha”. Mereka berasal dari kelompok sekuleryang beraliran Barat, yakni kelompok Turki Muda. Secara finansial, Utsmani dalam kondisi terikat, karena utang yang besar kepada kekuatan Eropa sehingga mereka tidak mampu membayarnya. Setelah mencoba bergabung dengan pihak Sekutu dan ditolak, Utsmani memihak Blok Sentral pada bulan Oktober 1914.

Inggris segera mulai memahami rencana untuk membubarkan Imperium Utsmani dan memperluas kerajaan mereka di Timur Tengah. Mereka sudah punya kendali di Mesir sejak tahun 1888 dan India sejak tahun 1857. Utsmani Timur Tengah tergeletak tepat di tengah-tengah dua koloni penting, dan Inggris bertekad untuk memusnahkannya sebagai bagian dari perang dunia.

Revolusi Arab

Salah satu strategi Inggris adalah untuk mengubah penduduk Arab di Imperium Utsmani untuk melawan pemerintah. Mereka menemukan pembantu yang siap dan bersedia melakukan hal itu di Hijaz, di wilayah barat Semenanjung Arab. Sharif Hussein bin Ali, yakni Amir (Gubernur) dari Makkah menandatangani perjanjian dengan pemerintah Inggris untuk memberontak melawan Imperium Utsmani. Alasannya untuk bersekutu dengan Inggris untuk melawan umat Islam lainnya masih belum jelas. Kemungkinan alasan pemberontakan itu adalah: ketidaksetujuannya dengan tujuan nasionalis “Tiga Pasha” Turki, perseteruan pribadi dengan pemerintah Utsmani, atau hanya keinginan bagi kerajaannya sendiri.

Apapun alasannya itu, Sharif Hussein memutuskan untuk memberontak melawan pemerintah Utsmani dan bersekutu dengan Inggris. Sebagai imbalannya, Inggris berjanji untuk memberikan uang dan senjata kepada para pemberontak untuk membantu mereka agar bisa melawan tentara Utsmani dengan jauh lebih terorganisir. Juga, Inggris berjanji kepadanya bahwa setelah perang, dia akan diberi kerajaan Arab tersendiri yang akan mencakup seluruh Semenanjung Arab, termasuk Suriah dan Irak. Surat-surat di mana kedua belah pihak menegosiasikan dan membahas pemberontakan ini dikenal sebagai Korespondensi McMahon – Hussein, saat Sharif Hussein berkomunikasi dengan Komisaris Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon.

Pada bulan Juni tahun 1916, Sharif Hussein memimpin sekelompok prajurit Bedouin dari Hijaz dalam kampanye bersenjata melawan Utsmani. Dalam beberapa bulan, para pemberontak Arab berhasil menaklukan berbagai kota di Hijaz (termasuk Jeddah dan Makkah) dengan bantuan dari tentara dan angkatan laut Inggris. Inggris memberikan dukungan dalam bentuk tentara, senjata,uang, dan penasehat (termasuk penasehat “legendaris” Lawrence of Arabia), dan bendera. Di Mesir, Inggris membuat bendera untuk Arab untuk digunakan dalam pertempuran, yang dikenal sebagai “Bendera Revolusi Arab”. Bendera itu nantinya akan menjadi model bagi bendera Arab lainnya dari negara-negara seperti Yordania, Palestina, Sudan,Suriah, dan Kuwait.

Pada saat Perang Dunia I berkembang selama tahun 1917 dan 1918, para pemberontak Arab berhasil menaklukkan banyak kota-kota besar dari Utsmani. Saat Inggris memasuki Palestina dan Irak, mereka menaklukkan kota-kota seperti Yerusalem dan Baghdad, dan orang-orang Arab membantu mereka menaklukkan Amman dan Damaskus. Penting untuk dicatat bahwa Revolusi Arab tidak memiliki dukungan dari sebagian besar penduduk Arab. Revolusi itu adalah gerakan minoritas yang dipimpin oleh beberapa pemimpin yang berusaha untuk meningkatkan kekuatan mereka sendiri. Sebagian besar orang-orang Arab tinggal jauh dari wilayah konflik dan tidak mendukung pemberontak atau pemerintah Utsmani. Rencana Sharif Hussein untuk menciptakan kerajaan Arab sendiri sejauh itu telah berhasil, jika bukan karena janji-janji yang dibuat Inggris.
Perjanjian Sykes Picot

Sebelum Revolusi Arab dimulai dan bahkan sebelum Sharif Hussein bisa menciptakan kerajaan Arabnya, Inggris dan Perancis sudah punya rencana lain. Pada musim dingin tahun 1915-1916, dua orang diplomat, Sir Mark Sykes dari Inggris dan François Georges – Picot dari Perancis diam-diam bertemu untuk memutuskan nasib dunia pasca  Utsmani-Arab.

Menurut Perjanjian Sykes – Picot, Inggris dan Perancis sepakat untuk membagi dunia Arab diantara mereka berdua. Inggris mengambil kendali dari apa yang sekarang menjadi Irak, Kuwait, dan Yordania. Perancis diberi Suriah modern, Lebanon, dan Turki selatan. Status Palestina akan ditentukan kemudian, dengan memperhitungkan ambisi Zionis. Zona kontrol yang diberikan kepada Inggris dan Perancis memperbolehkan beberapa jumlah pemerintahan Arab sendiri di beberapa wilayah, meskipun dengan kontrol Eropa atas kerajaan-kerajaan Arab tersebut. Di wilayah lain, Inggris dan Perancis dijanjikan kontrol total.

Meskipun hal ini dimaksudkan untuk menjadi sebuah perjanjian rahasia pasca- Perang Dunia I di Timur Tengah, perjanjian ini mulai dikenal publik pada tahun 1917 ketika pemerintah BolshevikRusia mengungkapnya. Perjanjian Sykes Picot – secara langsung bertentangan dengan janji Inggris yang dibuat bagi Sherif Hussein dan menyebabkan ketegangan besar antara Inggris dan Arab. Namun, hal ini tidak menjadi perjanjian yang bertentangan yang terakhir yang dibuat Inggris.

Deklarasi Balfour

Kelompok lain yang menginginkan suara dalam lanskap politik di Timur Tengah adalah Zionis. Zionisme adalah gerakan politik yang menyerukan pembentukan sebuah negara Yahudi di Tanah Suci Palestina. Hal ini dimulai pada tahun 1800 sebagai sebuah gerakan yang berusaha untuk menemukan tanah air yang jauh dari Eropa bagi orang-orang Yahudi (yang sebagian besar tinggal di Jerman, Polandia, dan Rusia).

Akhirnya Zionis memutuskan untuk menekan pemerintah Inggris selama Perang Dunia I untuk memungkinkan mereka agar bisa menetap di Palestina setelah perang usai. Di dalam pemerintahInggris, ada banyak orang yang bersimpati kepada gerakan politik ini. Salah satunya adalah Arthur Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris. Pada tanggal 2 November 1917, dia mengirim surat kepada Baron Rothschild, pemimpin komunitas Zionis. Surat itu menyatakan dukungan resmi pemerintah Inggris untuk tujuan gerakan Zionis untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina:

“Pandangan pemerintahYang Mulia dengan mendukung pendirian di Palestina sebagai suatu tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi, dan menggunakan upaya terbaik untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, jelas dipahami bahwa tidak akan dilakukan hal-hal yang mungkin merugikan sipil dan keagamaan hak-hak masyarakat non – Yahudi yang ada di Palestina, atau hak-hak dan status politik yang dimiliki orang-orang Yahudi di negara lain.”


Tiga Perjanjian Yang Bertentangan 

Tahun 1917, Inggris membuat tiga perjanjian yang berbeda dengan tiga kelompok yang berbeda dan menjanjikan tiga masa depan politik yang berbeda bagi dunia Arab. Orang-orang Arab bersikeras mereka masih mendapatkan kerajaan Arab yang dijanjikan kepada mereka melalui Sharif Hussein. Perancis (dan Inggris sendiri) diharapkan membagi tanah yang sama di antara mereka sendiri. Dan Zionis diharapkan akan diberikan Palestina seperti yang dijanjikan oleh Balfour.

Pada tahun 1918 perang berakhir dengan kemenangan Sekutu dan kehancuran total Imperium Utsmani. Meskipun Utsmani hanya sebagai nama hingga tahun 1922 (dan kekhalifahan sebagai nama sampai tahun 1924), semua tanah bekas Utsmani kini di bawah pendudukan Eropa. Perang usai, tapi masa depan Timur Tengah masih dalam sengketa antara tiga sisi yang berbeda.

Sisi mana yang menang? Tidak satupun yang sepenuhnya mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sebagai buntut dari Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa (yang merupakan cikal bakal PBB) didirikan. Salah satu pekerjaannya adalah untuk memecah negeri-negeri Utsmani yang ditaklukan. Liga Bangsa-Bangsa (LBB) menyusun “mandat” bagi dunia Arab. Setiap mandat dikuasai oleh Inggris atau Perancis “sampai saat mereka mampu berdiri sendiri.” LBB adalah lembaga yang menyusun perbatasan seperti yang kita lihat pada peta politik modern di Timur Tengah. Perbatasan itu tibuat tanpa memperhatikan keinginan masyarakat yang tinggal di sana, atau di sepanjang batas-batas etnis, geografis, atau agama – mereka benar-benar berbuat sewenang-wenang. Penting untuk dicatat bahwa bahkan sampai hari ini, batas-batas politik di Timur Tengah tidak menunjukkan kelompok orang-orang yang berbeda . Perbedaan antara Irak,Suriah, Yordania, dll seluruhnya diciptakan oleh penjajah Eropa sebagai metode untuk memecah Arab satu sama lain.
Melalui sistem mandat, Inggris dan Prancis mampu mendapatkan kontrol yang mereka inginkan di Timur Tengah. Bagi Sharif Hussein, anak-anaknya diizinkan untuk memerintah dengan mandat di bawah “perlindungan” Inggris. Pangeran Faisal menjadi Raja Irak danSuriah dan Pangeran Abdullah diangkat menjadi Raja Yordania. Namun, dalam prakteknya, Inggris dan Perancis memiliki kewenangan yang nyata atas wilayah-wilayah tersebut.

Bagi Zionis, mereka diizinkan olehpemerintah Inggris untuk menetap di Palestina, meskipun dengan keterbatasan. Inggris tidak ingin kemarahan orang-orang Arab yang sudah tinggal di Palestina, sehingga mereka mencoba membatasi jumlah orang-orang Yahudi yang diizinkan untuk bermigrasi ke Palestina. Hal ini membuat marah kaum Zionis, yang kemudian mencari cara-cara ilegal untuk berimigrasi sepanjang tahun 1920 hingga 1940-an, serta orang-orang Arab, yang melihat imigrasi sebagai perambahan ke tanah dimana mereka telah menetap sejak Salahudin membebaskan wilayah itu pada tahun 1187.

Kekacauan politik yang diciptakan Inggris pada masa setelah Perang Dunia I masih terasa sampai sekarang. Perjanjian-perjanjian yang bertentangan dan negara-negara yang kemudian diciptakan untuk memecah belah umat Islam satu sama lain telah menyebabkan ketidakstabilan politik di seluruh Timur Tengah. Munculnya Zionisme ditambah dengan perpecahan umat Islam di wilayah itu telah menyebabkanpemerintahan yang korup dan kemerosotan ekonomi bagi Timur Tengah secara keseluruhan. Perpecahan yang dilembagakan oleh Inggris di duniamuslim tetap kuat hingga hari ini, meskipun dibuat dalam 100 tahun terakhir. (riza/ http://lostislamichistory.com/how-the-british-divided-up-the-arab-world/)

 

Daftar Pustaka :

Hourani, Albert Habib. A History Of The Arab Peoples. New York: Mjf Books, 1997. Print.Ochsenwald, William, and Sydney Fisher. The Middle East: A History. 6th. New York: McGraw-Hill, 2003. Print.