Simplifikasi tidak perlu emosi.
Banyaknya media sosial dengan beragam aplikasi saat ini secara tidak langsung melahirkan para penulis, pujangga bahkan politisi dadakan.
Segala hal,baik rasa, karya bahkan tangisan semua bernada tulisan yang kerap memenuhi layar kaca smartphone kita. Tanpa bisa dipahami terkadang, kenapa bisa dengan mudahnya seseorang membagi semua perasaan, pikiran bahkan kemarahanya di aplikasi yang bisa diakses semua orang.
Meski demikian, tidak ada yang salah jika kita memikirkan dan mengkaitkannya dengan hak individu. Yang pasti sebenarnya apakah perlu semua itu dilakukan?
Terbuka.
Menjadi diri mampu dibaca lalu dimengerti orang lain, mungkin baik. Tapi realita kita hidup saat ini, tak berlebihan kan saya katakan bahwa kita bisa diawasi bahkan oleh penjahat sekalipun. Berapa banyak kasus kriminal diawali dari media sosial? Hoho ...tak terhitung.
Berlepas dari benar atau salahnya setiap status, membuka segala informasi pribadi pada orang lain baik asing atau tidak tidaklah hal yang baik. Itu tidak tepat. Bahkan jika kita sedekah saja sebaiknya tangan kiri tidak mengetahuinya dari tangan kanan..betul kan?
Menjadi pribadi yang proporsional tanpa harus menjadi superspesial meski beragam cara menjadi legal jauh lebih baik.
Tidak ada manusia yang sempurna. Begitulah adanya.
Tapi karena manusia merasa belum sempurna maka dia tidak akan berhenti meraih upaya menuju kesempurnaan. Tanpa banyak umbar kekuatan, seorang penulis cukup eksis hanya dengan karyanya. Tanpa umbar senyum seorang ibu akan meraih sukses jika anaknya mampu membawakan kebahagiaan akhirat untuknya. Tanpa umbar nilai seorang guru cerdas membuktikannya pada anak didiknya. Begitu pula seharusnya kita. Tanpa kata, prestasi seharusnya sudah mampu dibaca, tanpa suara kebahagiaan itu seharusnya sudah mampu terdengar. Tanpa tangis seharusnya air mata itu sudah meredam. Tanpa kata, kekuatan akhirnya teralur tanpa menciptakan riak gaduh cemoohan.
Hidup itu sederhana. Tinggal jalani, ujian diselesaikan, aturan dipakai dan kelemahan diakui, kekuatan disyukuri.
Simplifikasi masalah bukan berarti meningggalkan sisi kekuatan agar masalah selesai dengan sendirinya. Bukan berarti menganggap enteg setiap laku dan sikap penyelesaian.
Makanya simplifikasi masalah pakai otak bukan dengan emosi.
#RefleksiDiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar