Untuk sebuah eksistensi, kaum nasionalis ada.
Awalnya mereka belajar keluar negeri lalu datang dengan sebuah ideologi
dan menyeru dengan lantang untuk kemerdekaan dari penjajahan di negeri ini.
Rakyat dan ulama yang sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu sudah mengangkat senjata speechless, tidak bisa bicara apa-apa melihat orang 'terpelajar' -karena di jaman susah ada sekelompok orang bisa sekolah keluar negeri- tiba-tiba datang meminta kemerdekaan semu.
Mereka naik mimbar, dan menyerukan sebuah jati diri yang sejatinya belum bisa dimengerti.
"Dengan ini menyatakan kemerdekaannya...."
Dan semua itu atas nama rakyat..Rakyat Indonesia.
Tidak bisa dimengerti karena pasca turun panggung mereka harus kembali mengangkat senjata.
Sedangkan predikat negeri mereka akhirnya diakui di dunia internasional.
Sebuah negara merdeka.
Dan akhirnya tombak kebanggaan pun berganti dengan warna merah putih sebuah pertanda.
Tahun demi tahun terus dirasakan.
Kaum nasionalis tetap bertengger kuat karena hanya ini modal untuk bisa menjaga 'kemerdekaan' itu.
Meski perih dirasakan rakyat, gelar nasionalis masih tetap harus dijaga, disandang.
Rakyat lapar, miskin, menderita karena gencatan hutang luar negeri yang tak terkira.
Angka gelandangan, pengangguran, pengemis kian hari kian nampak tapi mereka harus tetap lantang menyanyikan lagu kemerdekaan meski menyanyi dengan tangis darah.
Rakyat harus tetap membela kaum minoritas nasionalis karena mereka sudah dipilih oleh mayoritas rakyat meski rakyat tau beban hidup mereka tidak akan terkurangi.
Inilah ironi negeriku.
Negeri yang kucintai.
Negeri muslim terbesar yang kini menjadi percontohan negara sekuler di dunia.
Dan beberapa hari ini, pesta digelar diatas tangis rakyat.
Tawa dan kibaran bendera telah sejenak menutup mata, karena sesaknya hidup di negeri ini, membuat rakyat butuh hiburan sesaat.
#IroniNegeriTanpaKhilafah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar