Corona mengubah wajah kehidupan kita hari ini. Kebutuhan yang dianggap perlu lagi bergeser hanya karena makhluq kecil tak kasat mata ini. Dahulu manusia mementingkan sekolah, bekerja, liburan dan wajah pariwisata dan aneka kuliner serta dunia hiburan seakan kini tak ada nilainya dibanding pentingnya menjaga eksistensi hidup. Meski dilema tetap dirasakan, karena tidak ada yang menjamin bagaimana terpenuhinya kebutuhan mendasar masyarakat, kecuali diri mereka sendiri.
Banyak yang down, tak terbiasa dengan kondisi ini. Kondisi lemah secara pemikiran justru akan menjadi penyebab atas lemahnya fisik seseorang sehingga rentan terserang penyakit. Inilah kondisi yang seharusnya bisa dihindari. Karena daya tahan tubuh kita fit, maka kecenderungan pulih dan sembuh dari serangan virus sangat besar.
Dorongan terkuat seorang muslim terhadap kondisi saat ini adalah dengan makin meningkatkan taqarrub ilallah. Karena bagaimanapun virus Corona merupakan makhluq Allah juga. Tiada daya dan daya kecuali hanya milik Allah semata. Sesombong-sombongnya manusia takkan mampu melawan kebesaran Allah dan ke Maha Agung-anNya.
Jika saat ini kondisi serasa mencekam, lalu muncul pemberitaan yang setiap hari menampilkan berapa korban yang ODP dan PDP, bahkan hingga meninggal, karena memang Corona telah menjadi pandemi yang tersebar di dunia. Dunia mengalami wabah yang sama, dan disinilah kita butuh adanya pengaturan yang memang hanya datang dari Sang Pencipta.
Terbiasanya kita hidup dalam aturan buatan manusia yang dilegalkan demokrasi telah menjadikan kita memiliki ketergantungan pada standar kelemahan manusia sebagai pembuat aturan kehidupan. Padahal Allah telah mengingatkan kita, bahwa tak ada hukum yang lebih baik dari hukum buatan Allah.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?.” (QS. Al Maidah: 50).
Jika hari ini untuk menyelesaikan masalah wabah ini kita seakan diliputi dengan kebimbangan, kebingungan, lalu kenapa kita masih sombong dan tidak mau meyerahkannya kepada aturan Allah yang jelas ada dan Islam pernah terbukti mampu menyelesaikan masalah wabah ini dengan cara yang terbaik dan manusiawi. Bahkan menerapkan lockdown di beberapa negara sudah diberlakukan, tapi negeri seribu pulau ini justru masih menerapkan social distancing, dan tiap hari jumlah korban wabah terus bertambah. Hingga petugas medis sendiri pun tak sedikit yang menjadi korbannya.
Sedih, galau, penuh tanda tanya kapan berakhir mungkin ini yang dirasakan banyak pihak. Tapi yakin saja bahwa permasalahan wabah ini akan berakhir jika Allah menghendakinya berakhir. Tugas kita hari ini adalah melakukan ikhtiar semaksimal mungkin akan adanya wabah ini dan bisa melakukan yang terbaik dengan memahami realita kebenaran dari adanya pandemi ini.
Wabah pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW. Wabah itu ialah kusta yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya. Untuk mengatasi wabah tersebut, salah satu upaya Rasulullah saw. adalah menerapkan karantina atau isolasi terhadap penderita. Ketika itu Rasulullah saw. memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat para penderita kusta tersebut. Beliau bersabda:
لاَ تُدِيمُوا النَّظَرَ إِلَى الْمَجْذُومِينَ
”Janganlah kalian terus-menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta” (HR al-Bukhari).
Dengan demikian, metode karantina sudah diterapkan sejak zaman Rasulullah saw. untuk mencegah wabah penyakit menular menjalar ke wilayah lain. Untuk memastikan perintah tersebut dilaksanakan, Rasul saw. membangun tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah. Peringatan kehati-hatian pada penyakit kusta juga dikenal luas pada masa hidup Rasulullah saw. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jauhilah orang yang terkena kusta, seperti kamu menjauhi singa.” (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw. juga pernah memperingatkan umatnya untuk jangan mendekati wilayah yang sedang terkena wabah. Sebaliknya, jika sedang berada di tempat yang terkena wabah, mereka dilarang untuk keluar. Beliau bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
"Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninginggalkan tempat itu". (HR al-Bukhari).
Inilah dalil pemberlakuan lockdown pada masa Rasulullah SAW. Artinya jika hari ini terjadi lockdown atau akan diberlakukan lockdown maka sejatinya semua dilakukan dengan berdasarkan dalil hadits tersebut, bukan karena mengikuti trending dunia atau alasan lainnya. Semata kita melakukannya karena keimanan. Begitupun kita hari ini melakukan karantina dini, dan banyak melakukan aktivitas hanya di dalam rumah saja merupakan bentuk ketundukan kita pada syariatNya.
Jadi tetap jalani ketaatan dengan perasaan ridho, tenang dan ketundukkan yang sempurna. Begitupun dalam masa musibah wabah ini, jalani dengan sikap tenang, ridho pada ketetapannya apapun itu, dan wa yusalimu taslimaa- lakukan dengan perasaan penuh ketundukkan kepada Allah dengan setunduk-tunduknya.
Lockdown jangan sampai membuat down karena seakan hidup tidak bebas lagi. Dibayangi dengan ketakutan akan wabah, terbatasnya sarana hidup, tak mampu mlagi menikmati indahnya bertemu teman dan nikmatnya mengenyam bangku sekolah. Jangan berpikir demikian. Berpikirlah rasional, bahwa ada wabah atau tak ada wabah, kita pasti mati, meninggalkan dunia ini dan kembali kepada Allah. Ada lockdown tidak ada lockdown kita bisa jadi akan menghadapi tanda kiamat, dukhon dan rangkaian tanda kiamat lainnya, jika Allah memperkenankan kita hidup hingga merasakan semua tanda kiamat tersebut. Jangan berlebihan dan berlarut-larut baper menghadapi wabah, justru bentuk kasih sayang Allah kepada kita karena masih ada kesempatan kita untuk bertaubat dan merenungi kehidupan yang bisa jadi berhenti disaat yang tak terduga. Karena sejatinya musibah merupakan sebuah jalan menuju ampunan Allah jika manusia mau berpikir. Justru ada yang jauh lebih berbahaya dari musibah. Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
كـثير مـن النـاس يظنـون أن العقـوبة إنـما تـكون فـي الأمـور الظاهـرة كـالأبدان والأمـوال والأولاد ،والحقيقة أن العقـوبة بمـرض
القلـوب وفسادهـا أشـد وأعـظم مـن العـقوبة بـمثل تـلك الأمـور.
"Mayoritas orang menyangka bahwa musibah itu hanya terjadi pada hal-hal yang tampak seperti fisik, harta dan anak-anak. Pada hakikatnya, musibah berupa penyakit hati dan kerusakannya lebih parah dan berat dari musibah pada semisal hal-hal yang tampak tadi." (Ahkam minal Quranil Karim: 1/87)
Janganlah Down dengan musibah, tetaplah semangat dan tetap jaga keimanan dannkualitas hidup terbaik kita, raih pahala terbaik selama Allah masih memberi nafas pada kehidupan kita. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar