Dengan menghentikan beragam aktivitas di masyarakat, dianggap tak biasa di masyarakat kita menjadikan kekhawatiran dan ketakutan pada sebagian besar masyarakat. Tapi tak sedikit juga yang masih menghadapi dengan santai dengan tetap beraktivitas bebas seperti biasa di luar rumah. Banyak beredar beragam dalil, hujjah dan beragam fatwa terkait larangan sholat Jumat, bahkan sholat jamaah pun dibuat dirumah saja. Tak sedikit yang berbeda pendapat, karena fungsi penguasa hari ini bukanlah ahli dalam urusan agama, jadi masyarakat dibiarkan berada dalam kebimbangan masalah bagaimana mereka menjaga syariat.
Seperti pemerintah Indonesia menyikapi cukup dengan social distance, tidak sampai kebijakan lockdown, untuk menstop masuknya orang asing atau siapapun masuk ke negeri ini. Bisa jadi karena beragam kebijakan ekonomi sebelumnya yang Indonesia memberlakukan investasi besar-besaran, sehingga sulit menutup diri dari masuknya asing ke negeri ini.
Padahal kita tau, bahwa akibat virus ini, telah tersebar di 28 negara menginfeksi Saat ini virus corona telah menginfeksi 272.167 orang di dunia dan 369 orang di Indonesia dan menimbulkan korban meninggal dunia terus bertambah. Corona telah menjadi virus yang menakutkan di dunià saat ini. Ditambah dengan opini yang terus digulirkan oleh media makin menambah ketakutan dan perubahan sikap muslim dalam menghadapi qodho dan menyikapinya dengan ikhtiar.
Hakikat wabah dalam Islam
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal”. (QS At Taubah 51)
Artinya jika kita belajar dari ayat tersebut, perkara darangnya musibah Corona merupakan sesuatu yang telah ditetapkan Allah. Dari situlah kewajiban seorang muslim bertawakkal kepada Allah. Menyerahkan segala sesuatunya hanya kepada Allah semata.
Berlepas dari adanya konspirasi yang membuka peluang terciptanya virus atau penyebarannya, tugas kita sebagai muslim dengan adanya musibah adalah kembalikan segala sesuatunya kepada Allah. Akan tetapi keyakinan terhadap ketetapan Allah azza wa jall tentang wabah ini tidak berarti mengindikasikan kepada manusia (terutama kaum mukmin) untuk bersikap fatalistik (pasrah terhadap nasib). Karena jelas sikap kita hari ini akan menentukan hisab kita kelak, dan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Menghadapi wabah
Ada beberapa hadist tentang wabah berkaitan dengan tuntunan bagaimana seharusnya muslim berperilaku.
Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُوْرِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ
“Janganlah unta yang sehat dicampur dengan unta yang sakit”.
Pemisahan unta adalah upaya manusia, yang merupakan pilihan aktifitasnya, untuk menghindari meluasnya penyakit. Hal ini mengindikasikan adanya karantina terhadap penderita atau tempat terjadinya wabah. Dengan adanya teknologi hari ini sebenarnya memudahkan mendeteksi persebaran virus Corona di dunia. Jadi sikap lambat melakukan upaya prefentif menunjukkan kelemahan berpikir dengan lemah berikhtiyar.
Sudah sepatutnya manusia memahami bahwa hidup di dunia merupakan ladang uji, dan Allah akan menguji manusia dengan berbagai macam cara sebagai ujian atas kesabarannya.
وَلَـنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَـوْفِ وَا لْجُـوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَ مْوَا لِ وَا لْاَ نْفُسِ وَا لثَّمَرٰتِ ۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ ۙ
"Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar," (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 155)
Tapi ingat, ada ayat lain yang menjadikan manusia sebagai subjek atas beragam ujian yang allah berikan.
إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.(QS.Arra'du (13):11)
Artinya dalam masalah wabah ini, ada peran manusia untuk bisa meneliti, memaksimalkan usaha untuk mengobati dan mencegahnya karena di wilayah itulah manusia akan dihisab. Menempatkan Corona sebagai qodho bukan berarti melepas usaha kita untuk memaksimalkan upaya pencegahan, pengobatan dan pendalaman atas apa yang menimpa manusia.
Sebagaimana dahulu Khalifah Umar bin Khathab pernah menyikapi wabah yang terjadi pada masanya.
Abu Ubaidah bin Jarrah RA sebagai komandan pasukan Jihad di Syam bertemu dengan Khalifah Umar bin Khattab RA di Sargh. Khalifah berniat untuk membawa kembali Abu Ubaida ke Madinah mengingat adanya wabah yang sedang melanda wilayah Syam. Abu Ubaidah menolak dan mengingatkan apakah Sang Khalifah ‘lari dari taqdir Allah’?
Hal ini dijawab oleh Khalifah Umar bahwa ‘kita lari dari taqdir Allah ke taqdir Allah yang lain’ seraya menjelaskan pilihan seorang penggembala yang membawa kambingnya ke lembah yang hijau ketimbang lembah yang tandus. Pilihan Khalifah Umar RA untuk memutuskan meninggalkan Syam, dan pilihan Abu Ubaidah untuk tetap berada di Syam ternyata mendapatkan legitimasi dari hadist yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Auf
Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
“Jika kalian mendengar suatu negeri dilanda wabah, maka jangan kalian memasukinya. Jika wabah itu terjadi di negeri yang kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar darinya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hal inilah merupakan sikap bijak dan tepat ketika seorang pemimpin memutuskan sebuah kebijakan. Apa yang dilakukan pemerintah hari ini sangat jauh dari apa yang dilakukan oleh Khalifah dalam Islam. Kecenderungan pemerintah mengikuti agenda global kapitalisme dengan skenario Corona Loan, pinjaman IMF untuk mengatasi Corona di negara penghutang, justru hari ini menjadi wacana. Tidak menutup akses masuknya asing, justru memasukkan hutang baru atas nama rakyat. Tindakan ini merupakan bentuk pelalaian, kelemahan riayah negara kepada warganya.
Seharusnya menempatkan posisi para ilmuwan untuk menganalisa, mendalami dan melakukan rekomendasi atas penanganan Corona, mendapatkan prioritas untuk kemaslahatan. Karena demikianlah peran ilmu dalam Islam. Untuk mengukur kadar yang Allah tetapkan dalam ciptaanNya.
الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (Al Furqan 25:3).
Disinilah kemaksimalan ikhtiar manusia dengan adanya para ahli untuk segera menemukan analisa dan obat yang tepat mencegah penularan wabah tersebut. Bukan justru menarik keuntungan bahkan merugikan rakyat dengan menambah hutang dan ketergantungannya kepada pihak yang jelas memanfaatkan atas nama kapitalisme. Penyepelean terhadap hal ini akan menyebabkan dosa akibat berlepasnya tanggung jawab penguasa dalam urusan rakyatnya.
Penyikapan Atas Wabah
Lemahnya penguasa dalan nengatur masalah wabah ini tetap harus disikapi dengan ikhtiar individual yang maksimal bisa dilakukan.
1. Lakukan ikhtiar yang maksimal; Stop berkunjung ke daerah atau negara dan menerima kunjungan dari asal munculnya wabah. Lakukan karantina, isolasi pada setiap orang tersuspect. Sering cuci tangan, makan yang sehat, jaga jarak kontak dengan sesama disebut Sosial Distance, tidak keluar kecuali penting. Jika perlu segera Lock Down, tutup aktivitas kota atau negara secara masal. Hal demikian pernah dilakukan saat terjadi wabah dalam sejarah Islam. Karena pada yang demikian ada hisab.
2. Sabar dalam ujian dan tawakal penuh kepada Allah Swt. Mestinya Peristiwa ini menjadikan semakin taqarub kepada Allah, beristighfar dan berzikir serta memohon ampun kepada-Nya, meminta agar segera wabah ini dicabut dan diganti dengan berkah.
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun (QS.Al-Anfal (8): 33)
Ali Bin Abi Thalib Ra berkata.
مَا نَزَلَ البَلَاءُ إلٌَا بِذَنْبٍ وَمَا رَفَعَ إلَّا بِتوبَةّ
“Setiap musibah yang turun disebabkan oleh dosa, dan tidak akan terangkat kecuali dengan taubat”
3. Ridla terhadap yang sudah menjadi qadlanya dan tak putus asa. Terlebih jika wafat karena terserang wabah akan mendapat derajat syahid akhirat.
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Orang yang mati syahid ada lima, yakni orang yang mati karena tho’un (wabah), orang yang mati karena menderita sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan dan orang yang mati syahid di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Tetap ada amar ma'ruf nahy munkar kepada pihak penguasa karena pada merekalah segala kebijakan dihandle. Pengaturan negara yang sesuai dengan Islam akan memberikan maslahat yang besar jika olmuwàn mendapatkan perhatian khusus untuk semata kemaslahatan umat bukan mindset untung rugi ala kapitalisme. Teruslah mendorong penguasa untuk menerapkan solusi Islam dan meminta semua masyarakat dan penguasa bertaubat atas kelalaiannya menerapkan hukum Allah dalam kehidupan. Karena kemaksiatan kita hari ini memang menjadi syarat didatangkannya adzab Allah di muka bumi.
Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar