Jumat, 27 September 2019

DOYAN GUYON, GA SEMUA BAIK GIRLS!


Negeri ini dirundung kesedihan. Korban alsi mahasiswa terus berjatuhan, korban kerusuhan Wamena pun tak sedikit korban, kisruh fisik mewarnai pemberitaan akhir-akhir ini. Dan beragam masalah sosial, ekonomi dan lainnya pun makin hari seakan sulit ditanggulangi.

Diantara semua keseriusan masalah tersebut, tetap saja banyak pemberitaan yang hoax, lebay, bahkan dikemas dengan beragam bentuk kelucuan dan guyonan. Kita hari ini disuguhi beragam masalah tapi seakan kita menyepelekan masalah dengan menjadikannua lelucon.

Tak sedikit peran para lawakers membangun mindset berpikir demikian. Bahkan undangan stand up comedy di DPR pun dijadikan sebuah hiburan meski konten guyonannya sebenarnya tidaklah berisi kelucuan tapi kejahatan.

Apalagi peran para pengocok perut yang ditampilkan di media visual seringkali diliputi dengan kebohongan-kebohongan bahkan hal tabu dan porno demi banyak penggemar. Miris.
Lalu sebenarnya bagaimana hukum guyonan dalam Islam?

Islam Memandang Guyonan

Canda (gurauan) dalam bahasa Arab disebut mizah atau mumaazahah. Al-Jailany dalam _Syarah Al-Adabul Mufrad,_ mendefinisikan canda adalah berbicara secara ramah dan menciptakan kegembiraan terhadap orang lain. (Ath-Thahthawi, _Senyum dan Tangis Rasulullah,_ hlm. 116).

Menurut Imam An-Nawawi hukum guyonan adalah adalah mubah (diperbolehkan syariah). (An-Nawawi, _Al-Adzkar,_ hlm.279). Bahkan di dalam kitab itu Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bercanda yang hukum asalnya mubah, dapat naik derajatnya menjadi sunnah juka bertujuan merealisasikan kebaikan, atau untuk menghibur lawan atau untuk mencairkan suasana.

Sejalan dengan pendapat Imam Nawawi tersebut, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan, “Candaan yang bersih dari segala yang dilarang dalam agama hukumnya mubah. Apabila bertepatan dengan suatu kemaslahatan seperti bisa menghibur lawan bicara atau mencairkan suasana, maka hukumnya mustahab (sunnah)." (_Fathul Bari,_ X/257).

Dalil bolehnya bercanda, antara lain hadits dari Abu Hurairah RA, bahwa para shahabat bertanya,” Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anda telah mencandai kami.” Rasulullah SAW menjawab “Sesungguhnya tidaklah aku berbicara, kecuali yang benar.” (HR Tirmidzi, Lihat Imam An Nawawi, _al-Adzkar,_ hlm. 279).

Dalil lainnya, Rasulullah SAW pernah bercanda dengan seorang nenek tua bahwa nenek tua tidak akan masuk surga, karena yang masuk surga akan menjadi muda lagi.

Dari Al Hasan, bahwa pernah seorang nenek tua mendatangi Nabi SAW. Nenek itu pun berkata, “Wahai Rasulullah, berdo’alah pada Allah agar Dia memasukkanku ke dalam surga.” Nabi SAW menjawab, “Wahai Ummu Fulan, Surga tak mungkin dimasuki oleh nenek tua.” Nenek tua itu pun pergi sambil menanngis. Nabi SAW pun bersabda kepada para shahabat, “Kabarilah dia bahwa surga tidaklah mungkin dimasuki dia sedangkan ia dalam keadaan tua. Karena Allah Ta’ala berfirman (artinya),“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqi’ah: 35-37). (HR. Tirmidzi).

Artinya, orang yang masuk surga memang tidak ada yang tua, karena mereka ketika itu akan kembali muda lagi.

Dalil lainnya, Rasulullah SAW pernah menjawab pertanyaan dengan nada canda. Dari Anas bin Malik RA, bahwa suatu ketika  ada seorang lelaki datang menghadap Rasulullah SAW kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, tolong bawa aku (naik).” Rasulullah SAW pun menjawab dengan nada canda, “Kami akan menaikkanmu di atas anak unta.” Lelaki itu bertanya, “ Apa yang bisa aku perbuat dengan seekor anak unta?” Rasulullah SAW menjawab, “Bukankah unta hanya melahirkan anak unta (maksudnya unta dewasa sebenarnya juga anak unta)?” (HR. Abu Dawud).

Jadi, bercanda itu hukumnya mubah berdasarkan dalil-dalil di atas.

Tetapi meski mubah secara syar’i, wajib diperhatikan beberapa rambu syariahnya. Antara lain sebagai berikut :
1. Tidak mengolok-ngolok/mempermainkan ajaran Islam. (Lihat QS At Taubah : 65-66)
2. Tidak mengejek atau menyakiti perasaan orang lain. (Lihat QS Al Hujurat : 11).
3. Tidak mengandung kebohongan. (QS Al Ahzab : 70-71).
4. Tidak mengandung ghibah (menggunjing) orang lain. (QS Al Hujurat : 12).
5. Tidak mengandung kecabulan (rafats) (kisah porno). (QS Al Baqarah : 197).
6. Tidak melampaui batas, yakni tidak membuat melalaikan kewajiban dan tidak menjerumuskan pada yang haram.
(Lihat : ‘Aadil bin Muhammad Al-‘Abdul ‘Aali, _Pemuda dan Canda,_ hlm. 38-44).

Jadi guyonlah yang berpahala, bukan mendatangkan kepada maksiat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar