Minggu, 20 September 2020

Pakta Integritas, Bukti Otoritarianisme Kampus

 Munculnya Pakta Integritas di kampus UI beberapa waktu lalu menuai pro kontra. Banyak pihak menolak dan menilai pakta ini sebagai upaya memberangus kebebasan berpolitik mahasiswa. Penolakan datang dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia yang menentang pakta integritas untuk mahasiswa baru tahun ajaran 2020/2021 dan menyebut perjanjian di atas meterai itu bisa mengekang hak berpolitik mahasiswa. 

Penolakan lainnya datang dari Mantan Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang mendukung Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia menolak menandatangani Pakta Integritas untuk mahasiswa baru tahun ajaran 2020-2021. Dia mengingatkan bahwa jangan sampai hal tersebut memasung hak politik. Rocky Gerung pun menilai penandatanganan Pakta Integritas untuk mahasiswa baru Universitas Indonesia (UI) mengancam kebebasan mahasiswa, dan tidak sesuai dengan tradisi di Kampus Perjuangan itu. Bahkan anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Gerindra Ali Zamroni menilai materi pakta integritas bagi mahasiswa baru UI seolah menarik mund2😊😊😑ur demokrasi di Indonesia.

Yang menjadi pro kontra pakta ini karena dianggap ada beberapa poin yang menunjukkan sikap "takut" pihak UI akan munculnya mahasiswa aktivis yang kritis pada kondisi bangsa. Berikut isi Pakta Integritas yang beredar di media sosial dan wajib ditandatangani oleh mahasiswa baru UI angkatan 2020:
"Sebagai mahasiswa UI dan selama menjadi mahasiswa UI, dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab berjanji untuk:" 
1. Menerapkan 9 nilai-nilai dasar Universitas Indonesia dalam perilaku sehari-hari
2. Menaati aturan dan tata tertib yang berlaku di Universitas Indonesia, sebagaimana tercantum dalam peraturan rektor tentang organisasi tata dan laksana kemahasiswaan universitas indonesia
3. Menerima dan menjalankan sanksi akademik dan non-akademik ketika melakukan pelanggaran selama menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia
4. Menerima dan menjalankan sanksi pidana dan/atau perdata ketika melakukan pelanggaran terhadap hukum positif yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia
5. Menerima dan menjalankan sanksi atas segala tindakan, sikap, perkataan dan aktivitas mahasiswa yang mencoreng nama baik pribadi dan institusi Universitas Indonesia di ruang luring dan daring, sesuai peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
6. Memberikan informasi dan data yang sebenar-benarnya sesuai kebutuhan universitas
7. Menjaga harkat dan martabat pribadi, keluarga, dan institusi Universitas Indonesia
8. Mempersiapkan diri dan menjalankan dengan sungguh-sungguh apabila diminta mewakili Universitas Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam berbagai program akademik dan non akademik
9. Siap menjaga kesehatan fisik dan mental serta bertanggungjawab secara pribadi jika dikemudian hari mengalami gangguan kesehatan fisik dan/atau mental
10. Tidak terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara
11. Tidak melaksanakan dan/atau mengikuti kegiatan yang bersifat kaderisasi/orientasi studi/latihan/pertemuan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan yang tidak mendapat izin resmi dari pimpinan fakultas dan/atau pimpinan universitas Indonesia
12. Tidak terlibat dalam tindakan kriminal, sebagai pengguna maupun pengedar minuman keras (miras), narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba)
13. Tidak melakukan aktivitas kekerasan fisik, mental, verbal, non-verbal dan/atau seksual terhadap sivitas akademika dan masyarakat baik secara luring dan daring, serta siap menerima sanksi akademik, non-akademik, pidana dan/atau perdata atas pelanggaran yang dilakukan. 

Munculnya Pakta Integritas ini mengatur soal kehidupan politik dan berorganisasi mahasiswa baru. Meski dalam pemberitaan sudah dilakukan revisi tapi beberapa kalangan terutama BEM UI tetap menolak adanya pakta integritas tersebut. Msnurutnya hal ini akan mengekang kehidupan berdemokrasi mahasiswa, salah satunya mahasiswa tidak akan bisa mengkritik kebijakan pemerintah atau melakukan aksi demonstrasi. Bahkan mewajibkan mahasiswa menerima dan menjalankan sanksi atas sikap, tindakan dan aktivitas yang mencoreng nama baik kampus secara daring maupun luar jaringan (luring). Ini menunjukkan pihak kampus berlaku otoriter terhadap mahasiswanya. 

Pakta Integritas ini bagi kalangan yang pro dinilai mampu menjamin bahwa mahasiswa UI tidak hanya mendapatkan Ilmu Pengetahuan dan keterampilan tapi juga penguatan karakter dan kepribadian sebagai orang Indonesia melalui berbagai kegiatan akademik dan non-akademik. Mahasiswa baru dinilai banyak diperebutkan untuk dikader oleh banyak kelompok/ organisasi yang memiliki afiliasi paham tertentu dan menjadi sayap organisasi/ partai tertentu. Di masa lalu, kampus UI (dan juga kampus lain) menjadi persemaian jaringan fundamentalisme, gerakan tarbiyah kemudian mendominasi Badan Eksekutif Mahasiswa. Mereka banyak dibina oleh dosen-dosen lulusan Perguruan Tinggi di Timur Tengah dan sempalan binaan intelejen. Inilah sebenarnya alasan ketakutan utamanya. 


Pakta Integritas Membungkam Jiwa Kritis Mahasiswa

Pakta Integritas bisa dikata lahir dari menguatnya Narasi Radikalisme akhir-akhir ini. Ditambah makin besarnya gelombang kritis di kalangan mahasiswa. Ada pihak yang khawatir peristiwa 98 kembali terulang.  Pakta integritas seakan menunjukkan sebuah upaya membentengi mahasiswa dari ancaman dan pemanfaatan. Meski sebenarnya justru yang nampak adalah kediktatoran pihak kampus karena adanya dorongan rezim otoriter anti kritik yang ada untuk saat ini. 

Mahasiswa sejauh ini dinilai merupakan pihak yang mampu mendorong terjadinya perubahan dan sangat identik dengan sikap kritis terhadap realita politik kekinian. Kita tidak lupa reformasi 98 juga diawali dari letupan sikap kritis para mahasiswa dalam menggulingkan rezim Soeharto. Ada kekhawatiran dari sebagian kalangan saat ini, mengingat kalangan mahasiswa pun sudah banyak yang ikut dalam partisipasi politik terutama dalam menuangkan sikap kritisnya kepada pemerintah. 

Upaya menggandeng kampus dalam upaya mencegah radikalisme sudah dilakukan sejak 2018. Beragam kalangan seperti BNPT, Menristek Dikti pun sudah diarahkan untuk mencegah masuknya paham radikal di kalangan mahasiswa. Meski radikalisme disini masih sangat subyektif sekali. Karena hanya ditujukan kepada upaya dakwah Islam kaffah. 

Mengeluarkan pakta ini ditengah lemahnya pengaturan kehidupan yang dilakukan pemerintah pada rakyatnya, makin derasnya narasi radikalisme di negeri ini menunjukkan bahwa sikap otoriter akhirnya menjadi pilihan pihak yang berkuasa sebagai bentuk anti kritik atas kebijakan zhalim yang dirasakan rakyat. 


Islam Membuka Peluang Msngoreksi Penguasa 

Di dalam Islam pihak yang berkuasa tidak akan bisa menggunakan posisinya untuk kepentingan individual atau kelompoknya. Karena di dalam Islam siapapun yang berkuasa bukanlah anti kritik, justru membuka kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan muhasabah kepada penguasa sekalipun aturan yang ditegakkan adalah aturan syariat Allah akan tetapi secara implementasi memungkinkan tetap terbukanya masukan dan muhasabah dari masyarakat. 

Apalagi dalam tataran dunia pendidikan negara memiliki peran utama dalam mengarahkan anak didik memiliki sikap militansi besar untuk membela negara dan bangsanya dari kerusakan. Dengan tetap menjaga pada keterikatannya terhadap syariat. 

Mengoreksi penguasa yang lalai, salah dan keliru, termasuk perkara yang ma’lûm bagian dari agama ini. Salah satu hadits yang mendorong untuk mengoreksi penguasa, menasihati mereka, adalah hadits dari Tamim al-Dari –radhiyaLlâhu ’anhu-, bahwa Nabi Muhammad –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– bersabda:

«الدِّينُ النَّصِيحَةُ»

Agama itu adalah nasihat

Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi–shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– bersabda:

«لِلّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَتِهِمْ»

Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum Muslimin pada umumnya.”(HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim)

Di sisi lain, Rasulullah–shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– pun secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi penguasa zalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya:

«أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»

Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)

«سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ»

Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath)


Hukum asal amar makruf nahi mungkar harus dilakukan secara terang-terangan, dan tidak boleh disembunyikan. Namun, sebagian orang berpendapat bahwa menasihati seorang penguasa haruslah dengan cara sembunyi-sembunyi (empat mata). Menurut mereka, seorang Muslim dilarang menasihati penguasa secara terang-terangan di depan umum, mengungkap kesalahan mereka di muka publik, karena ada dalil yang mengkhususkan. Pendapat semacam ini adalah pendapat tidak tepat. 

Perilaku Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– tidak segan-segan mengumumkan perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum Muslim, dengan tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain tidak melakukan perbuatan serupa. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid Al-Sa’idi bahwasanya ia berkata: “Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia bergegas menghadap Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-; dan Nabi Muhammad –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- menanyakan tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ”Bagian ini kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku.”

Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– berkata, ”Jika engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu”. Beliau –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah SWT, beliau bersabda,”’Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata, ”Bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan kepadaku. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah swt dengan membawanya. Ketahuilah, aku benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah swt dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu, Nabi–shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- mengangkat kedua tangannya memohon kepada Allah swt, hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas adalah dalil sharih yang menunjukkan bahwa Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– pernah menasihati salah seorang pejabatnya dengan cara mengungkap keburukannya secara terang-terangan di depan publik. Beliau tidak hanya menasihati Ibnu Luthbiyyah dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi membeberkan kejahatannya di depan kaum Muslim. Lantas, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasihati penguasa haruslah dengan sembunyi-sembunyi (empat mata), sedangkan Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-, manusia yang paling mulia akhlaknya, justru menasihati salah satu pejabatnya (penguasa Islam) dengan terangan-terangan, bahkan diungkap di depan khalayak ramai?

Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– bersabda:

«سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا»

Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat” Jawab Rasul.” (HR. Muslim)

· Ketika Umar bin Khaththab –radhiyaLlâhu ’anhu– berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”.

Inilah realitas kepemimpinan dalam Islam, jauh dari otoriter dan zalim dengan kekuasaannya. Jika ada keluhan dari rakyat sejatinya penguasa mendengar karena kekuasaan adalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkannya.

Rasulullah Saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Maka dalam Islam, membahas pentingnya kepemimpinan dalam Islam jelas bukan merupakan perkara radikal. Bahkan merupakan kewajiban adanya satu pemimpin di tengah kehidupan umat Islam. Inilah realitas keadaan yang seharusnya diperjuangan. Maka pakta integritas di kalangan manapun sebagai upaya membentengi muhasabah kepada tindak kezhaliman dan mencegah umat Islam untuk berislam kaffah sebenarnya merupakan bentu kewaspadaan hegemoni kekuasaan kafir yang khawatir kekuasaan demokrasi akan digantikan dengan Islam.

WalLahu a’lam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar