Munculnya Pakta Integritas ini mengatur soal kehidupan politik dan berorganisasi mahasiswa baru. Meski dalam pemberitaan sudah dilakukan revisi tapi beberapa kalangan terutama BEM UI tetap menolak adanya pakta integritas tersebut. Msnurutnya hal ini akan mengekang kehidupan berdemokrasi mahasiswa, salah satunya mahasiswa tidak akan bisa mengkritik kebijakan pemerintah atau melakukan aksi demonstrasi. Bahkan mewajibkan mahasiswa menerima dan menjalankan sanksi atas sikap, tindakan dan aktivitas yang mencoreng nama baik kampus secara daring maupun luar jaringan (luring). Ini menunjukkan pihak kampus berlaku otoriter terhadap mahasiswanya.
Mengoreksi penguasa yang lalai, salah dan keliru, termasuk perkara yang ma’lûm bagian dari agama ini. Salah satu hadits yang mendorong untuk mengoreksi penguasa, menasihati mereka, adalah hadits dari Tamim al-Dari –radhiyaLlâhu ’anhu-, bahwa Nabi Muhammad –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– bersabda:
«الدِّينُ النَّصِيحَةُ»
“Agama itu adalah nasihat”
Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi–shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– bersabda:
«لِلّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَتِهِمْ»
“Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum Muslimin pada umumnya.”(HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim)
Di sisi lain, Rasulullah–shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– pun secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi penguasa zalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya:
«أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)
«سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ»
“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath)
Hukum asal amar makruf nahi mungkar harus dilakukan secara terang-terangan, dan tidak boleh disembunyikan. Namun, sebagian orang berpendapat bahwa menasihati seorang penguasa haruslah dengan cara sembunyi-sembunyi (empat mata). Menurut mereka, seorang Muslim dilarang menasihati penguasa secara terang-terangan di depan umum, mengungkap kesalahan mereka di muka publik, karena ada dalil yang mengkhususkan. Pendapat semacam ini adalah pendapat tidak tepat.
Perilaku Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– tidak segan-segan mengumumkan perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum Muslim, dengan tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain tidak melakukan perbuatan serupa. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid Al-Sa’idi bahwasanya ia berkata: “Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia bergegas menghadap Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-; dan Nabi Muhammad –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- menanyakan tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ”Bagian ini kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku.”
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– berkata, ”Jika engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu”. Beliau –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah SWT, beliau bersabda,”’Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata, ”Bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan kepadaku. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah swt dengan membawanya. Ketahuilah, aku benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah swt dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu, Nabi–shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- mengangkat kedua tangannya memohon kepada Allah swt, hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas adalah dalil sharih yang menunjukkan bahwa Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– pernah menasihati salah seorang pejabatnya dengan cara mengungkap keburukannya secara terang-terangan di depan publik. Beliau tidak hanya menasihati Ibnu Luthbiyyah dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi membeberkan kejahatannya di depan kaum Muslim. Lantas, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasihati penguasa haruslah dengan sembunyi-sembunyi (empat mata), sedangkan Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-, manusia yang paling mulia akhlaknya, justru menasihati salah satu pejabatnya (penguasa Islam) dengan terangan-terangan, bahkan diungkap di depan khalayak ramai?
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– bersabda:
«سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا»
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat” Jawab Rasul.” (HR. Muslim)
· Ketika Umar bin Khaththab –radhiyaLlâhu ’anhu– berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”.
Inilah realitas kepemimpinan dalam Islam, jauh dari otoriter dan zalim dengan kekuasaannya. Jika ada keluhan dari rakyat sejatinya penguasa mendengar karena kekuasaan adalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkannya.
Rasulullah Saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Maka dalam Islam, membahas pentingnya kepemimpinan dalam Islam jelas bukan merupakan perkara radikal. Bahkan merupakan kewajiban adanya satu pemimpin di tengah kehidupan umat Islam. Inilah realitas keadaan yang seharusnya diperjuangan. Maka pakta integritas di kalangan manapun sebagai upaya membentengi muhasabah kepada tindak kezhaliman dan mencegah umat Islam untuk berislam kaffah sebenarnya merupakan bentu kewaspadaan hegemoni kekuasaan kafir yang khawatir kekuasaan demokrasi akan digantikan dengan Islam.
WalLahu a’lam.