Tanya:
Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh..
Ustadzah, ada pertanyaan titipan:
Saat ini saya berusaha untuk untuk memahami suami kurang dan lebihnya. Saya juga tidak tahu, apakah saya sudah menjadi istri sesuai harapan dan do'anya. Saya memaklumi keadaan suami yang belum bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Qadarulloh, Allah memberi saya kemampuan. Alhamdulillah. Setiap apa yang saya kerjakan bisa menghasilkan uang. Saat ini saya fokus di jahit.
Namun terkadang ada hal yang saya sama suami terkadang tidak di satu pemikiran yang sama. Suami tidak ringan dalam urusan pekerjaan rumah, jadi saya memudahkan untuk membeli barang barang dalam rangka memudahkan pekerjaan saya. Terkadang ada raut wajah tidak ridho. Nah, saya jadi takut dosa. Tapi saya mengadu ke Allah. Saya tidak punya niat melangkahi suami. Tapi karena suami tak memberikan solusi apapun, sedangkan semua pekerjaan harus jd tanggung jawab saya, maka saya ambil keputusan terkadang tanpa bicara sama suami...
Kalo misalnya saya terlalu berat menjalaninya, kalau ngobrol dengan suami pasti ribut. Dia tidak memberikan solusi. Akhirnya saya ambil keputusan sendiri. Ketika tak sesuai harapan, saya disalahkan juga. Makanya, ga nurut sama suami sih.
Intinya... Saya hanya ingin benar benar mendapatkan ridho dari suami saya. Tapi jika dia tidak memberi solusi, ujungnya jadi masalah buat saya. Bagaimana menjadi istri yang cerdas? Melangkah dengan ridho suami meski cari jalan sendiri??
Jawab:
Alaikumussalam wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Ukhti sholihah. Betapa banyak istri-istri cerdas, tangguh dengan berbagai kelebihannya yang mengeluhkan interaksinya dengan suami mereka. Istri-istri ini kebanyakan bekerja dengan pendapatan yang melebihi atau jauh melebihi pendapatan suaminya, mereka juga mengatur urusan rumah tangga, serta kebanyakan mereka berpikir dan bertindak lebih cepat daripada suaminya. Tak jarang kondisi ini memunculkan friksi. Mereka memutuskan sendiri apa yang mereka inginkan. Misalnya, membeli barang-barang mahal seperti kulkas, mesin cuci, microwafe, motor bahkan mobil. Mereka merasa persoalan hidup begitu besar, baik urusan nafkah, pendidikan anak dll, namun suami tak pernah memberikan solusi.
Di sinilah ujian seorang muslimah yang dikarunia kecerdasan. Untuk memudahkan hidupnya, maka hendaknya muslimah sholihah cerdas memetakan hidupnya sesuai dengan Islam. Islam menetapkan tugas utamanya adalah ummu wa robbatul baiti. Kepada suami, ditetapkan tugas sebagai kepala keluarga, pengambil keputusan dan penanggung jawab nafkah keluarga. Dengan demikian, suami harus diberi kesempatan untuk memimpin. Bila ia tidak mampu memimpin dengan baik, maka sebagai sahabat sejatinya, partner dalam rumah tangga dan kekasihnya, hendaknya istri membantu.
Salah satu ujian bagi seorang istri yang “lebih mampu” daripada suaminya adalah ia kurang menghormati suami, menganggap suami tak bisa menyelesaikan masalah, menganggap suami “lemot” cara kerjanya dan lain-lain yang menyebabkan rendahnya penghormatan (respek) terhadap suaminya. Padahal Islam memerintahkan istri untuk berbakti kepada suami.
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi n, beliau bersabda:
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.” Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan.”
Perasaan takzim, hormat dan menghargai suami sangat penting untuk memudahkan seorang istri berbakti.
Bila demikian apa yang harus dilakukan seorang istri yang cerdas terhadap suaminya?
Ia harus berusaha membangun rasa hormat dan takzimnya terhadap suaminya. Itulah yang akan membuatnya bisa mudah menjalankan kewajiban-kewajibannya, termasuk diantaranya memuliakan suaminya. Bila perasaan hormat dan takzim ditambah dengan cinta dan kasih sayang sudah tumbuh, maka menjalankan kewajiban akan terasa ringan dan membahagiakan. Inilah yang akan mewujudkan sakinah, mawaddah wa rahmah.
Mampukah seorang istri yang memiliki banyak kelebihan dibandingkan suaminya, untuk bersikap takzim?
In syaa Allah mampu, bila ia menjadikan keridhoan Allah Ta’ala sebagai tujuan dari segala tujuan amal perbuatannya.
Keteladanan mengenai hal ini bisa kita pelajari dari riwayat Khadijah Binti Khuwailid, istri pertama Rasulullah Saw. Kecerdasan, kekuasaan, kekayaan, kehormatan, kemuliaan, kecantikan, dan lain-lain, semuanya diserahkan kepada suaminya, Rasulullah Saw. Semata-mata karena Allah.
Bila kondisi sekarang, suami tak semulia atau sewibawa Nabi Saw, maka bukankah kita pun tak bisa menyamai kemuliaan Khadijah Binti Khuwailid ra?
Dalam masalah ini saya hanya memberikan saran:
1. Kecerdasan istri bisa digunakan untuk membangun kepemimpinan suami. Terkadang seseorang menjadi lebih baik, karena sahabatnya. Maka sebagai istri hendaknya kita bisa menjadi pendamping suami yang akan menguatkan kepemimpinannya dan kemampuannya menyelesaikan masalah.
2. Seorang suami bila istrinya lebih mampu dan lebih sigap dan cekatan menyelesaikan masalah, maka bila istri tidak peka terhadap perasaan suami, hal ini akan membuat suami tertekan. Suami tidak nyaman, dirinya diatur istri, bukan ia yang mengatur istri. Keputusan rumah tangga tergantung istri. Istri sering memutuskan sesuatu tanpa meminta pertimbangannya. Hal ini bisa membuat suami tertekan dan merasa direndahkan. Akibatnya bisa marah-marah atau tidak peduli sama sekali.
3. Libatkan suami dalam urusan keuangan keluarga. Bila istri lebih banyak pendapatan, maka istri harus menyadari bahwa ia menjadi pintu datangnya rizki dalam keluarga itu. Bukan karena ia pandai mencari uang, namun karena Allah memilihkan untuk memberikan rizki yang mencukupi.
4. Bila istri banyak menyokong kebutuhan keluarga, maka ini adalah cara Allah agar istri bisa banyak beramal shalih. Bukankah bila ia membantu suaminya dalam nafkah keluarga, maka itulah sedekah yang terbaik baginya. Untuk itu istri harus bersyukur dan tidak boleh tinggi hati.
5. Kesadaran terhadap kewajiban seorang istri kepada suaminya, serta keimanan terhadap rizqi yang telah Allah tetapkan, in syaa Allah akan membuat istri merasa ringan dalam beramal. Taat kepada suami menjadi hal yang dijalani dengan ikhlas, karena meyakini bahwa Allah Ta’ala akan membalas/memberikan imbalan pahala atas usahanya. Mengeluarkan sedekah untuk keluarganya juga dilakukannya dengan bahagia, karena meyakini bahwa apa yang dilakukannya adalah sedekah yang bernilai besar. Adalah kebahagiaan bagi seorang hamba Allah ketika ia menjadi perantara datangnya rizqi kepada hamba Allah yang lain.
6. Bersikap takzim pada suami, adalah dengan memperlakukan suami sebagai seorang pemimpin yang ditaati. Bagi istri cerdas dengan banyak kemampuan, merendahkan diri di hadapan suami adalah kebutuhan baginya. Karena memiliki kecerdasan, kekayaan dan kemampuan bisa berpotensi menimbulkan rasa ujub (sombong). Mengusir kesombongan yang mungkin melintas, adalah merendahkan diri dan hati semata-mata karena mengharap keridhoan Allah Ta’ala.
Wallahu a’lamu bish showab.
Sumber dari grup WhatsApp bersama Ustazah Lathifah Musa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar