Sabtu, 03 Maret 2018

3 Maret Titik Kelam Umat Muslim

3 MARET 1924, TITIK KELAM UMAT MUSLIM.
====================================

Tahukah kamu ada peristiwa apa di tanggal 3 Maret 1924 , tepatnya 94 tahun yang lalu?
Peristiwa yang mengubah nasib umat Muslim hingga detik ini.

Sejak saat itu, umat Islam yang sebelumnya menguasai dua per tiga dunia dihapuskan dalam tatanan dunia. Umat Islam kehilangan perisai pelindung, tidak ada lagi naungan, dan menjadi tercerai berai menjadi puluhan negara. Kemudian muncullah sekat-sekat kebangsaan yang bernama Nasionalisme. Naungan yang hilang tersebut bernama Khilafah. Yaitu sistem kepemimpinan warisan Rasulullah yang menjaga umat Muslim secara universal dan mampu membuat para kafir segan.

Penghancuran Khilafah yang di dalangi kaum kafir barat dan segelintir golongan zionis Yahudi inilah yang menjadi titik kelam kehidupan umat Islam.
Beberapa faktor mundurnya negara Khilafah saat itu diantaranya konspirasi negara-negara imperialis, pengkhianatan terhadap pejabat tinggi negara Khilafah, masuknya ide-ide rusak yang mulai meracuni pemikiran sebagian umat Muslim terutama kaum pemuda kala itu (Nasionalisme, Patriotisme, Demokrasi, HAM, dsb), terhentinya Ijtihad, upaya memasukkan undang-undang barat dalam konstitusi negara Khilafah, pemurtadan kaum Muslim yang dilakukan para missionaris Kristen, dan masih banyak lagi.

Kepala negara Khilafah -yang disebut dengan Khalifah- terakhir pada saat itu bernama Sultan Abdul Hamid II. Dan Kekhilafahan terakhir bernama Khilafah Ustmani.
Sultan Abdul Hamid II memegang tampuk kepemimpinan di tahun 1876. Salah satu  tindakan pertamanya pada saat naik tahta Utsmaniyah adalah mengumumkan konstitusi sebagai Puncak dari reformasi yang dia pimpin pemerintah selama empat dasawarsa yang dikenal sebagai Tanzimat. Saat itu dia terlihat sebagi seorang reformis tercerahkan.
Namun, pengalaman memerintah Khilafah Utsmaniyah mengeraskan sikap Abdul Hamid dari seorang reformis menjadi seorang absolut.

Akar absolutisme Abdul Hamid ini dapat ditelusuri pada serangkaian krisis yang dihadapi oleh sang sultan muda ini di awal kepemerintahannya. Khilafah yang dia warisi dari pendahulunya itu berada dalam kondisi yang carut marut. Kas pemerintah menyatakan bangkrut pada tahun 1875 dan kreditur Eropa dengan cepat menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Ustmaniyah.
Kebencian publik Eropa terhadap Ustmaniyah meningkat pada tahun 1876 akibat berita penindasan keras separatis Bulgaria oleh tentara Khilafah yang disebut "horor di Bulgaria" oleh pers barat.

Pemimpin kelompok liberal, William Gladstone, memimpin pernyataan pengutukan pemerintah Inggris terhadap Ustmani dan perang dengan Rusia semakin mengintai. Tekanan inilah yang sangat membebani para penguasa Khilafah.
Sekelompok pejabat reformis yang berkuasa sebelumnya pernah menggulingkan Sultan Abdul Aziz (Khalifah periode 1861-1876) yang kurang dari seminggu kemudian, ditemukan tewas di apartemennya dengan pembuluh darah pada pergelangan tangannya disayat, sehingga kematiannya dinyatakan sebagai tindakan bunuh diri. Lalu, penggantinya yaitu Murat V juga meninggal akibat depresi walaupun baru menduduki tahta selama tiga bulan. Dengan latar belakang yang kelam inilah, Sultan Abdul Hamid II akhirnya memegang tampuk kekuasaan di usia 33 tahun pada 31 Agustus 1876.

Tidak lupa pula sejumlah menteri kabinet yang berkuasa menekan Sultan Abdul Hamid II yang masih tergolong baru ini untuk mengumumkan konstitusi liberal dan membentuk parlemen yang di isi oleh anggota yang beragama Islam, Kristen dan Yahudi sebagai sarana untuk mencegah campur tangan Eropa lebih lanjut ke urusan dalam negeri Ustmaniyah. Lantas, Sultan Abdul Hamid II mengikuti tuntutan kaum reformis tersebut dalam pemerintahnya, lebih karena rasa pragmatisme bukan karena dia meyakininya sebagai keputusan terbaik.

Pada 23 Desember 1876, Sultan Abdul Hamid II mengumumkan konstitusi Ustmaniyah dan pada 19 Maret 1877, beliau membuka sesi pertama parlemen Ustmaniyah.
Namun, tidak lama setelah pertemuan parlemen tersebut, Khilafah terlibat perang dengan Rusia yang berakhir buruk.
Kekaisaran Rusia melihat dirinya sebagai penerus Bizantium dan pemimpin spiritual gereja Ortodoks Timur.

Maka dari itu, Rusia bernafsu ekspansi untuk menduduki Istanbul kembali, yang sebelumnya bernama Konstatinopel. Keinginan tersebut lebih dari sekedar ambisi budaya. Karena jika berhasil menguasai Istanbul, Rusia akan mengendalikan selat geostrategis Bosporus dan Dardanella yang menghubungkan pelabuhan Rusia di laut hitam ke laut tengah. Tapi, sepanjang abad ke-19, negara-negara tetangga Rusia di Eropa turut berkepentingan untuk membatasi armada Tsar Rusia di laut hitam dengan menjaga kesatuan wilayah Khilafah Ustmaniyah.
Frustasi akibat tidak terwujudnya hasrat untuk menduduki Istanbul dan kedua selat itu, Rusia mengeksploitasi gerakan kemerdekaan nasionalis Balkan agar merongrong urusan dalam negeri Ustmaniyah.
Sementara itu di sisi lain Rusia juga berusaha melanjutkan upayanya untuk memperluas wilayah melalui beberapa peperangan melawan Khilafah Utsmaniyah.

Pada akhir tahun 1876, gejolak yang terjadi di Serbia dan Bulgaria memberikan peluang kepada Rusia untuk melancarkan perang ekspansi lainnya. Setelah mendapatkan jaminan netralitas Austria dan izin dari Rumania yang memperbolehkan pasukan Rusia bergerak melalui wilayahnya, Rusia menyatakan perang terhadap Khilafah Utsmaniyah.

Namun, pada titik itu situasi militer Ustmaniyah sudah tidak bisa diselamatkan lagi dan Sultan Abdul Hamid II harus menerima gencatan senjata pada Januari 1878 dengan pasukan Rusia mengintai di gerbang ibu kotanya.

Sebagai buntut kekalahan atas Rusia pada tahun 1878, Khilafah Utsmaniyah menderita kerugian teritorial yang sangat besar dalam perjanjian damai yang dilakukan pada Kongres Berlin (Juni-Juli 1878) yang diselenggarakan di Jerman dan dihadiri oleh sejumlah negara Eropa (Inggris, Prancis, Austria-Hungaria, dan Italia). Kongres itu berusaha membahas perang Rusia-Ustmaniyah sekian banyak konflik di Balkan.

Berdasarkan perjanjian Berlin, Khilafah Utsmaniyah kehilangan dua perlima dari wilayahnya dan seperlima penduduknya di Balkan dan Anatolia Timur. Di antara wilayah yang di serahkan adalah tiga provinsi Anatolia Timur di daerah Kaukasus, Ardahan dan Batum yang sebagai jantung negara Muslim Turki tidak bisa direlakan begitu saja, akan menjadi Alsace-Lorraine (mengacu pada daerah Imperium Prancis yang dikuasai Jerman) bagi pemerintah Ustmaniyah.

Ustmaniyah juga melepaskan wilayah lain kepada beberapa negara Eropa selain daerah yang diserahkan dalam perjanjian Berlin. Inggris memperoleh Siprus sebagai jajahannya di tahun 1878, prancis menduduki Tunisia di tahun 1881, dan setelah krisis Mesir pada tahun 1882, Inggris menempatkan provinsi otonom Ustmaniyah itu dibawah kekuasaan kolonial Inggris.

Hilangnya sejumlah wilayah ini tampaknya meyakinkan Sultan Abdul Hamid II bahwa dia harus memerintah Khilafah Utsmaniyah dengan tangan besi, demi melindungi dari pembagian lebih lanjut oleh negara Eropa yang ambisius. Berkat dirinya, Sultan Abdul Hamid II mampu melindungi wilayah kekuasaan Ustmaniyah antara periode 1882-1908.

Setelah itu, kerapuhan di tubuh Ustmaniyah semakin menjadi.
Belum lagi ulah dari kaum zionis Yahudi yang sangat merambisi menduduki tanah Palestina, karena bagi mereka tanah Palestina adalah solusi dan tanah yang dijanjikan untuk kaum Yahudi seperti yang tertuang dalam Jurnal berbahasa Inggris yang berjudul "The Jewish State : Proposal of a modern solution for the Jewish Question".

Salah seorang zionis Yahudi yang bernama Theodore Herzl dan rekannya Philip Michael,  sudah berulang kali berusaha menemui Sultan Abdul Hamid II kala itu untuk berdiplomasi tentang tanah Palestina. Tapi tak semudah yang mereka pikirkan.
Theodore Herzl tidak berhenti sampai disitu, ia semakin gigih melakukan lobi kepada Sultan Abdul Hamid II. Tak tanggung-tanggung, Theodore Herzl mengirim delegasi dengan juru bicara, sekaligus pengacara Yahudi dari Selonika bernama Emanuel Carasso. Kali ini ia meminta kepada Sultan Abdul Hamid II agar berkenan menjual tanah ladang yang terletak di pesisir Palestina atau menyewakan selama 99 tahun dengan imbalan emas sebanyak tiga kali lipat keuangan daulah Khilafah Utsmaniyah. Karena mereka tahu bahwa Ustmaniyah sedang dalam ekonomi yang merosot dan terlilit hutang. Tawaran tersebut tentu saja sangat menggiurkan.

Namun Sultan Abdul Hamid II memberikan jawaban yang sungguh di luar bayangan mereka.
"Aku tidak bisa menjual meskipun hanya sejengkal dari wilayah ini. Sebab tanah-tanah tersebut adalah milik rakyatku. Rakyatku telah mendapatkan negeri ini dengan pertumpahan darah dan menyiraminya dengan darah. Aku pun akan turut menyiraminya. Kami tidak akan biarkan seorang pun merampoknya. Hendaknya orang-orang Yahudi menyimpan jutaan uang mereka. Kalau pemerintahan ini runtuh, maka kaum Yahudi bisa mendapatkan tanah Palestina gratis. Tapi kami tetap tidak akan pernah membagi pemerintahan ini, kecuali setelah melangkahi mayat-mayat kami!"

Emmanuel Carasso mendapatkan amarah dan kekecewaan yang luar biasa setelah kejadian itu. Dan dia berkata kepada sekretaris istana kesultanan bernama Tahsin Pasha, "Ingat, aku akan datang sekali lagi. Tapi peranku tidak seperti saat ini!"

5 tahun kemudian, yaitu 17 Mei 1901. Theodore Herzl kembali lagi ke Ustmaniyah namun dengan strategi yang baru.
Dia berpikir satu-satunya jalan untuk mewujudkan cita-cita besar zionis adalah dengan menghilangkan penghalang besar yaitu Khilafah Ustmaniyah dan Sultan Abdul Hamid II.

Theodore Herzl dan teman-temannya bergerak menyusupkan orang-orang nya ke berbagai organisasi pergerakan potensial yang ada di wilayah Ustmaniyah. Di antaranya mendukung pergerakan Armenia yang memberontak terhadap Ustmaniyah, menyokong gerakan nasionalisme Balkan, mendukung gerakan nasionalisme Kurdi, mendukung semua gerakan separatisme, dan yang paling penting ialah mendukung gerakan Young Turks (Turki muda) dan Ittihat ve Terraki atau Committee of Union and Progress (Komite persatuan dan kemajuan) untuk digerakkan menjadi Palu godam bagi Sultan Abdul Hamid II.

Anak-anak muda Ustmaniyah ditahun-tahun tersebut menjadi anak-anak muda yang sekuler progresif akibat terinfeksi oleh pendidikan sekuler ala Eropa. Tak terkecuali Young Turks, mereka adalah anak-anak muda yang tertarik bahkan tergila-gila pada pemikiran dan politik ala Eropa Barat serta berusaha menerapkannya di dalam tubuh daulah Ustmaniyah. Dari gerakan Young Turks inilah akhirnya lahir seorang anak muda yang namanya masih diingat sampai sekarang sebagai penyebab dan penyokong terbesar keruntuhan Ustmaniyah dari dalam, yaitu Mustafa Kemal. Berkat geraknya yang sangat sekuler dan liberal, Mustafa Kemal mengakhiri hidup Khilafah Ustmaniyah tepat di tanggal 3 Maret 1924 melalui Majelis Agung Nasional yang ia bentuk.

Setelah tragedi kelam tersebut, penderitaan umat Muslim dimulai bahkan hingga kini. Karena runtuhnya Khilafah melahirkan banyak petaka, musibah dan kerugian yang tidak terhitung bagi umat Muslim.
Seperti malapetaka ideologi, malapetaka pendidikan, malapetaka ekonomi, malapetaka peradilan, dan sebagainya.
Dan sejak saat itu, perang pemikiran (Ghazwul Fikr)  dan perang budaya (Ghazwul Tsaqofi) semakin menggila dan deras ibarat air bah yang jebol hingga menenggelamkan rumah-rumah.

Maka dari itu, sudah saatnya umat Muslim bangkit dari kejumudan dan keterpurukan selama 94 tahun terakhir.
Kaum kafir barat telah dengan berdosa merusak rumah dan perisai bagi umat Muslim. Apakah kita hanya tinggal berdiam diri dengan menyaksikan kedzaliman yang terjadi atas saudara-saudari kita di berbagai belahan dunia? Sudah cukup.
Sudah saatnya kita mengembalikan perisai umat yang mampu melindungi dan menyejahterakan mereka. Juga kita harus yakin bahwa hal tersebut tidaklah mustahil, karna Rasulullah telah berjanji bahwa Khilafah akan tegak kembali di akhir periode jaman setelah rezin diktator seperti sekarang ini runtuh.

Rasulullah shallallahu alahi wasallam bersabda:

تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ ا للهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَّرِيًّا ، فَتَكُوْنَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، ثُمَّ سَكَتَ

“Periode kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang periode khilafah aala minhaj nubuwwah (kekhilafahan sesuai manhaj kenabian), selama beberapa masa hingga Allah ta’ala mengangkatnya. Kemudian datang periode mulkan aadhdhan (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta’ala. Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah ‘ala minhaj nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw diam.”
(HR Ahmad)

Sumber :
1. The Fall of The Khilafah, Eugene Rogan
2. Api Tauhid, Habbiburahman El Shirazy
3. Malapetaka Runtuhnya Khilafah, Abdul Qodim Zallum

Copas dari postingan Sefti Rinanda Ardhana Putri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar