Jumat, 30 Maret 2018

Bila Istri Lebih "Mampu" dari Suami

Tanya:
Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh..
Ustadzah, ada pertanyaan titipan:
Saat ini saya berusaha untuk untuk memahami suami kurang dan lebihnya. Saya juga tidak tahu, apakah saya sudah menjadi istri sesuai harapan dan do'anya. Saya memaklumi keadaan suami yang belum bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Qadarulloh, Allah memberi saya kemampuan. Alhamdulillah. Setiap apa yang saya kerjakan bisa menghasilkan uang.  Saat ini saya fokus di jahit.
Namun  terkadang ada hal  yang saya sama suami terkadang tidak di satu pemikiran yang sama. Suami tidak ringan dalam urusan pekerjaan rumah, jadi saya memudahkan untuk membeli barang barang dalam rangka memudahkan pekerjaan saya. Terkadang ada raut wajah tidak ridho. Nah, saya jadi takut dosa. Tapi saya mengadu  ke Allah. Saya tidak punya niat melangkahi suami. Tapi karena suami tak memberikan solusi apapun, sedangkan semua pekerjaan harus jd tanggung jawab saya,  maka saya ambil keputusan terkadang tanpa bicara sama suami...
Kalo misalnya saya terlalu berat menjalaninya, kalau ngobrol dengan suami pasti ribut. Dia tidak  memberikan solusi. Akhirnya saya ambil keputusan sendiri. Ketika tak sesuai harapan, saya disalahkan juga. Makanya, ga nurut sama suami sih.
Intinya... Saya hanya ingin benar benar mendapatkan ridho dari suami saya. Tapi  jika dia tidak memberi solusi, ujungnya jadi masalah buat saya. Bagaimana menjadi istri yang cerdas? Melangkah dengan ridho suami meski cari jalan sendiri??

Jawab:

Alaikumussalam wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Ukhti sholihah. Betapa banyak istri-istri cerdas, tangguh dengan berbagai kelebihannya yang mengeluhkan interaksinya dengan suami mereka. Istri-istri ini kebanyakan bekerja dengan pendapatan yang melebihi atau jauh melebihi pendapatan suaminya, mereka juga mengatur urusan rumah tangga, serta kebanyakan mereka berpikir dan bertindak lebih cepat daripada suaminya. Tak jarang kondisi ini memunculkan friksi. Mereka memutuskan sendiri apa yang mereka inginkan. Misalnya, membeli barang-barang mahal seperti kulkas, mesin cuci, microwafe,  motor bahkan mobil.  Mereka merasa persoalan hidup begitu besar, baik urusan nafkah, pendidikan anak dll, namun suami tak pernah memberikan solusi.
Di sinilah ujian seorang muslimah yang dikarunia kecerdasan.  Untuk memudahkan hidupnya, maka hendaknya muslimah sholihah cerdas memetakan hidupnya sesuai dengan Islam. Islam menetapkan tugas utamanya adalah ummu wa robbatul baiti.  Kepada suami, ditetapkan tugas sebagai kepala keluarga, pengambil keputusan dan penanggung jawab nafkah keluarga.  Dengan demikian, suami harus diberi kesempatan untuk memimpin. Bila ia tidak mampu memimpin dengan baik, maka sebagai sahabat sejatinya, partner dalam rumah tangga dan kekasihnya, hendaknya istri membantu.

Salah satu ujian bagi seorang istri yang “lebih mampu” daripada suaminya adalah ia kurang menghormati suami, menganggap suami tak bisa menyelesaikan masalah, menganggap suami “lemot” cara kerjanya dan lain-lain yang menyebabkan rendahnya penghormatan (respek) terhadap suaminya. Padahal Islam memerintahkan istri untuk berbakti kepada suami.
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi n, beliau bersabda:

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.” Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan.”

Perasaan takzim, hormat dan menghargai suami sangat penting untuk memudahkan seorang istri berbakti. 

Bila demikian apa yang harus dilakukan seorang istri yang cerdas terhadap suaminya?

Ia harus berusaha membangun rasa hormat dan takzimnya terhadap suaminya.  Itulah yang akan membuatnya bisa mudah menjalankan kewajiban-kewajibannya, termasuk diantaranya memuliakan suaminya. Bila perasaan hormat dan takzim ditambah dengan cinta dan kasih sayang sudah tumbuh, maka menjalankan kewajiban akan terasa ringan dan membahagiakan. Inilah yang akan mewujudkan sakinah, mawaddah wa rahmah.

Mampukah seorang istri yang memiliki banyak kelebihan dibandingkan suaminya, untuk bersikap takzim?
In syaa Allah mampu, bila ia menjadikan keridhoan Allah Ta’ala sebagai tujuan dari segala tujuan amal perbuatannya.

Keteladanan mengenai hal ini bisa kita pelajari dari riwayat Khadijah Binti Khuwailid, istri pertama Rasulullah Saw.  Kecerdasan, kekuasaan, kekayaan, kehormatan, kemuliaan, kecantikan, dan lain-lain, semuanya diserahkan kepada suaminya, Rasulullah Saw. Semata-mata karena Allah.

Bila kondisi sekarang, suami tak semulia atau sewibawa Nabi Saw, maka bukankah kita pun tak bisa menyamai kemuliaan   Khadijah Binti Khuwailid ra?

Dalam masalah ini saya hanya memberikan saran:
1. Kecerdasan istri bisa digunakan untuk membangun kepemimpinan suami.  Terkadang seseorang menjadi lebih baik, karena sahabatnya. Maka sebagai istri hendaknya kita bisa menjadi pendamping suami yang akan menguatkan kepemimpinannya dan kemampuannya menyelesaikan masalah.

2. Seorang suami bila istrinya lebih mampu dan lebih sigap dan cekatan menyelesaikan masalah, maka bila istri tidak peka terhadap perasaan suami, hal ini akan membuat suami tertekan. Suami tidak nyaman, dirinya diatur istri, bukan ia yang mengatur istri. Keputusan rumah tangga tergantung istri. Istri sering memutuskan sesuatu tanpa meminta pertimbangannya. Hal ini bisa membuat suami tertekan dan merasa direndahkan. Akibatnya bisa marah-marah atau tidak peduli sama sekali.

3. Libatkan suami dalam urusan keuangan keluarga. Bila istri lebih banyak pendapatan, maka istri harus menyadari bahwa ia menjadi pintu datangnya rizki dalam keluarga itu. Bukan karena ia pandai mencari uang, namun karena Allah memilihkan untuk memberikan rizki yang mencukupi.

4. Bila istri banyak menyokong kebutuhan keluarga, maka ini adalah cara Allah agar istri bisa banyak beramal shalih. Bukankah bila ia membantu suaminya dalam nafkah keluarga, maka itulah sedekah yang terbaik baginya. Untuk itu istri harus bersyukur dan tidak boleh tinggi hati.

5. Kesadaran terhadap kewajiban seorang istri kepada suaminya, serta keimanan terhadap rizqi yang telah Allah tetapkan, in syaa Allah akan membuat istri merasa ringan dalam beramal. Taat kepada suami menjadi hal yang dijalani dengan ikhlas, karena meyakini bahwa Allah Ta’ala akan membalas/memberikan imbalan pahala atas usahanya. Mengeluarkan sedekah untuk keluarganya juga dilakukannya dengan bahagia, karena meyakini bahwa apa yang dilakukannya adalah sedekah yang bernilai besar. Adalah kebahagiaan bagi seorang hamba Allah ketika ia menjadi perantara datangnya rizqi kepada hamba Allah yang lain.

6. Bersikap takzim pada suami, adalah dengan memperlakukan suami sebagai seorang pemimpin yang ditaati. Bagi istri cerdas dengan banyak kemampuan, merendahkan diri di hadapan suami adalah kebutuhan baginya. Karena memiliki kecerdasan, kekayaan dan kemampuan bisa berpotensi menimbulkan rasa ujub (sombong).  Mengusir kesombongan yang mungkin melintas, adalah merendahkan diri dan hati semata-mata karena mengharap keridhoan Allah Ta’ala.

Wallahu a’lamu bish showab.

Sumber dari grup WhatsApp bersama Ustazah Lathifah Musa

LDR dalam Pernikahan, Bolehkah?

Oleh : Iwan Januar

Pernikahan itu menyatukan dua pasangan dalam satu kehidupan, juga satu atap. Tetapi kadangkala ada kondisi yang bisa membuat pasangan harus menjalin hubungan berpola LDR, Long Distance Relationship, alias hubungan jarak jauh.

Beragam kondisi yang membuat pasangan suami-istri harus menjalankan relasi pernikahan model LDR. Ada yang karena persoalan ikatan dinas yang melarang suami memboyong istri, bisa karena suami atau istri masih kuliah, atau bisa juga karena belum mendapatkan rumah yang cocok untuk memboyong keluarga ke tempat baru.

Kondisi LDR dalam pernikahan harus ditinjau dengan seksama dan hati-hati, tentu saja dengan kacamata syariat Islam. Setiap pasangan suami-istri sudah seharusnya mengikatkan diri pada hukum syara’ dalam semua hal, termasuk dalam relasi pernikahan LDR ini.

Bukan karena banyak pasangan melakukan LDR, lantas dipandang biasa dan boleh. Ada pertimbangan yang harus dinilai dalam sudut pandang hukum syara’, karena bagi setiap muslim tindakan terpuji (hasan) atau tercela (qabih) adalah menurut Allah SWT., bukan semata kerelaan kita. Kaidah syara’ mengatakan:

اَلْحَسَن مَا حَسَنَهُ الشَّرْعُ وَالْقَبِيْح مَا قَبَحَه الشَّرْعُ

Terpuji itu adalah apa yang syara’ telah memujinya, dan tercela itu adalah apa yang syara’ telah mencelanya

Karenanya mari kita tinjau hukum syara relasi LDR bagi pasangan suami-istri Islamiy. LDR dalam rumah tangga hukumnya jaiz/boleh dengan catatan sebagai berikut:

1. Dilakukan tanpa tekanan dari pihak manapun, melainkan karena kerelaan suami dan istri. Misalnya mereka berdua sepakat untuk melakukan LDR selama sekian waktu karena suami harus mengikuti program pendidikan atau kedinasan yang tidak mensyaratkan tinggal di asrama, atau tidak diperkenankan membawa istri. Bila ada pihak yang mengintimidasi pasangan suami-istri hingga terjadi LDR maka orang terkategori fasik karena menyebabkan hak dan kewajiban pasangan suami istri tidak tertunaikan sebagaimana mestinya.

2. Selama LDR nafkah lahir dan batin dari suami kepada istri tetap berjalan. Misalnya uang belanja tetap dikirim kepada istri dan anak, dan secara periodik mereka bisa bertemu sehingga nafkah batin pun tetap terpenuhi. Biasanya ada suami yang pulang setiap pekan atau mengikuti pola PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad), meski ada juga yang sebulan sekali, dst.

3. Andaipun suami belum bisa memberikan nafkah lahir, akan tetapi istri ridlo dengan keadaan ini, maka LDR pun menjadi boleh. Misalnya dalam kasus keduanya masih kuliah dan suami belum bekerja sementara waktu, lalu kedua orang tua masih bersedia menanggung nafkah mereka, maka hukumnya adalah boleh. Tentu saja keadaan ini tidak boleh berlangsung permanen, suami harus tetap berikhtiar mencari nafkah karena memang hukum syara mewajibkan ia menjadi tulang punggung keluarga.

4. Selama LDR, baik suami maupun istri harus menjaga diri dengan syariat Islam, terutama dalam pergaulan sosial. Suami harus menjaga iffah, kehormatan diri, dengan tidak bergaul bebas dengan lawan jenis. Istri pun sama. Jika ada persoalan rumah tangga maka selesaikanlah bersama jangan diumbar kepada pihak yang tidak berkepentingan, apalagi disuarakan di media sosial.

5. Bila istri yang meminta LDR karena alasan kuliah atau pekerjaan, atau karena ingin bertahan tinggal di rumah orang tuanya, sedangkan suami tidak ridlo, maka sang istri berdosa. Dalam hal ini istri dianggap bermaksiat karena tidak taat kepada suaminya.

Ketaatan pada suami adalah wajib bagi seorang muslimah manakala telah menikah. Pembahasan ini dapat dikaji dalam hadits mengenai seorang muslimah yang taat kepada perintah suaminya sehingga ia tidak menjenguk orang tuanya yang sakit. Bahkan ketika orang tuanya meninggal pun ia tetap tidak menjenguk mereka, karena ia menjaga ketaatan pada suami. Ketika Rasulullah SAW. dikabari tentang hal ini, Beliau memuji sikap muslimah tadi.

Maka seorang istri harus taat mengikuti kemanapun suaminya pergi. Meski untuk itu ia harus memendam rasa kangen pada kedua orang tua, atau mungkin harus meninggalkan karir atau jenjang kependidikannya. Insya Allah, dengan ketaatan pada suami niscaya Allah buka berbagai keberkahan bagi mereka. Dan suami yang baik pun akan memberi kesempatan kepada sang istri untuk misalnya melanjutkan studi lagi di tempat mereka tinggal tanpa perlu melakukan LDR.

Namun begitu, meski kondisi-kondisi di atas terpenuhi bukan berarti LDR selamanya mubah. Bisa saja terjadi kondisi dimana LDR harus diakhiri. Munculnya kemudlaratan dalam pernikahan salah satu alasan kuat untuk menyudahi LDR. Misalnya istri sudah kepayahan mengelola rumah tangga dan mengurus anak-anak, maka kehadiran suami menjadi wajib. Atau misalnya terlihat anak-anak mulai memperlihatkan kepribadian yang tidak Islami karena faktor fatherless, atau kurangnya peran ayah, maka LDR harus segera diakhiri.

Realita kekinian menunjukkan tidak sedikit pasangan suami-istri yang kemudian bubar karena tidak sanggup menjalani relasi LDR. Sebagian lagi masih menjalankan LDR tapi dengan tertatih-tatih karena merasa berat dengan berbagai problematika yang terjadi. Lebih tragis lagi ada suami/istri yang frustrasi karena mendapati pasangannya berselingkuh selama mereka menjalani relasi LDR.

Kehidupan rumah tangga adalah kehidupan milik bersama, suami, istri juga anak-anak. Hukum syara’ telah menetapkan bahwa masing-masing memiliki hak yang wajib ditunaikan.

Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (TQS. Al-Baqarah [2]: 228).

Rasulullah SAW. juga bersabda:

« وَلِنَفْسِكَ حَقٌّ وَلأَهْلِكَ حَقٌّ »

Sesungguhnya pada dirimu ada hak yang wajib ditunaikan, dan sesungguhnya pada keluargamu ada hak yang wajib ditunaikan (HR. Muslim).

Nah, para suami-istri yang dirahmati Allah, bila Anda menjalani rumah tangga dengan pola LDR, evaluasilah perjalanan rumah tangga selama ini. Para suami wajib menjaga nafkah dan seluruh hak istri dan anak-anak dengan sebaik-baiknya.

Sebaliknya, Anda para istri bersabarlah bila memang suami harus menjalani LDR karena pertimbangan yang sesuai syariat. Namun bila Anda yang memaksa LDR harus berjalan, maka sadarlah bahwa hal itu adalah merupakan pelanggaran atas perintah Allah, yakni wajibnya seorang muslimah taat kepada suami. Taatilah dan ikutlah suami di tempat baru. Nabi SAW. bersabda:

«أَذَاتَ زَوْجٍ أَنْتِ ؟ فَقَالَتْ : نَعَمْ ,قَالَ : فَإِنَّهُ جَنَّتُكِ وَ نَارُكِ»

“Apakah engkau memiliki suami?” wanita itu menjawab, “Ya.” Rasulullah berkata, “Sesungguhnya ia adalah surgamu dan nerakamu.”(HR. al-Hakim).

Semoga Allah senantiasa merahmati keluarga-keluarga muslim, mengikatkan hati mereka dengan keluarga mereka, dan menjaga hukum-hukumNya

Rabu, 28 Maret 2018

Mengoptimalkan Waktu Tidur

Oleh: M. Taufik NT

#MuslimahNewsID -- Jika rata-rata seseorang tidur 6 jam sehari, maka dalam 70 tahun berarti dia telah menghabiskan 17,5 tahun usianya untuk tidur. Jika tidurnya hanya sekedar tidur, tidak diberi nilai pahala kebaikan di sisi Allah Ta’ala, maka 25% usianya tidak bermakna apapun, sia-sia belaka. Jika yang dihitung hanya shalat, dan sekali shalat dia menghabiskan waktu 6 menit, maka shalatnya hanya 2% saja dari waktu hidup dia, alangkah ruginya.

Tidur merupakan satu bentuk dari rahmat Allah sebagaimana firman-Nya:

وَمِن رَّحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan karena rahmatNya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebagian dari karuniaNya (pada siang hari) dan supaya kamu bersyukur”. [Al Qashahs: 73].

وَمِنْ ءَايَاتِهِ مَنَامُكُم بِالَّليْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَآؤُكُم مِّن فَضْلِهِ
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya adalah tidurmu diwaktu malam dan siang hari serta usahamu mencari sebagian dari karuniaNya”. [Ar Rum: 23]

Dan tidur bisa ‘dioptimalkan’ sehingga bukan hanya sekedar tidur, namun menjadi bernilai ibadah yang bisa diharapkan pahalanya di sisi Allah Ta’ala. Bagaimana caranya? Secara ringkas adalah sebagai berikut:

/ 1. Menata Niat /

Ketika sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu ditanya bagaimana cara beliau membaca al Quran, beliau menjawab:

أَنَامُ أَوَّلَ اللَّيْلِ فَأَقُومُ وَقَدْ قَضَيْتُ جُزْئِي مِنْ النَّوْمِ فَأَقْرَأُ مَا كَتَبَ اللَّهُ لِي فَأَحْتَسِبُ نَوْمَتِي كَمَا أَحْتَسِبُ قَوْمَتِي
“aku tidur diawal malam kemudian bangun, kulaksanakan hak tidurku, dan aku baca apa yang Allah tetapkan bagiku, Aku berharap pahala dari tidurku sebagaimana berharap pahala dari ibadah malamku.” (HR. Al Bukhary)

Tentang riwayat ini, Al Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan:

وَمَعْنَاهُ أَنَّهُ يَطْلُبُ الثَّوَابَ فِي الرَّاحَةِ كَمَا يَطْلُبُهُ فِي التَّعَبِ لِأَنَّ الرَّاحَةَ إِذَا قُصِدَ بِهَا الْإِعَانَةُ عَلَى الْعِبَادَةِ حَصَّلَتِ الثَّوَابَ
“Maknanya adalah ia mencari ganjaran pahala dalam istirahatsebagaimana ia mencarinya dalam kelelahan (ibadah), karena istirahat jika dimaksudkan untuk membantu dalam beribadah maka akan mendatangkan pahala”[1].

Agar tidur tidak sia-sia, bisa dengan meniatkan dalam hati bahwa kita tidur bukan sekedar untuk melampiaskan rasa kantuk, namun dalam rangka menguatkan tubuh untuk beribadah, memenuhi hak tubuh, juga meniatkan untuk bangun malam melaksanakan tahajjud, karena dengan niat ini, walaupun misalnya dia tetap tertidur, maka fadhilah sholat malam sudahlah didapatnya, insya Allah. Jabir radhiyallahu anhu berkata: “kami bersama Nabi dalam sebuah peperangan (yakni perang Tabuk), maka Nabi berkata:

إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلاَّ كَانُوا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ
“Sesungguhnya di Madinah ada orang- orang yang tidak ikut melakukan perjalanan perang, juga tidak menyeberangi suatu lembah, namun mereka bersama kalian (dalam hal memperoleh pahala[2]), (mereka tidak berangkat karena) terhalang oleh (uzur) sakit.” (HR. Muslim).

/ 2. Menjalankan Tuntunan Rasulullah Terkait Tidur /

Diriwayatkan dari al-Bara’ bin Azib radhiyallahu anhu katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: “Apabila kamu ingin ke tempat tidur, berwudlu’lah terlebih dahulu sebagaimana kamu berwuduk untuk shalat. Kemudian berbaringlah di atas lambung kanan. Kemudian bacalah

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ
(Ya Allah, aku pasrahkan wajahku(diriku) kepada-Mu, aku serahkan urusanku kepada-Mu, aku sandarkan punggungku kepada-Mu dengan perasaan senang dan takut kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri dari siksa-Mu melainkan kepada-Mu. Ya Allah, aku beriman kepada kitab-Mu yang Engkau turunkan dan kepada Nabi-Mu yang Engkau utus)

Jika kamu meninggal pada malammu itu, maka kamu dalam keadaan fitrah dan jadikanlah do’a ini sebagai akhir kalimat yang kamu ucapkan.”

Al Bara’ bin ‘Azib berkata, “Maka aku ulang-ulang do’a tersebut di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga sampai pada kalimat: âmantu birasûlikalladzî arsalta (aku beriman kepada rasul-Mu yang telah Engkau utus), beliau bersabda: “(Jangan), tetapi katakanlah “âmantu binabiyyikalladzî arsalta”[3] (aku beriman kepada nabi-Mu yang telah Engkau utus).” (HR. Muslim)

Rasulullah juga tidak biasa tidur sebelum membaca dua surah, surat as Sajadah dan al Mulk (Tabarak). Dari Jabir radhiyallahu anhu, dia menyatakan:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنَامُ حَتَّى يَقْرَأَ الم تَنْزِيلُ السَّجْدَةَ، وَتَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ
“Rasulullah saw tidaklah beliau tidur hingga beliau membaca alif laam miim tanzil (as sajadah) dan tabaarakalladzii biyadihil mulk” (HR. Ahmad).

Dan masih banyak riwayat-riwayat bahwa beliau menghabiskan waktu sebelum tidur dengan berbagai dzikir.

/ 3. Tidur Seperlunya /

Point pertama dan kedua di atas janganlah menjadikan seseorang kemudian kerjaannya hanya tidur, karena walaupun tidurnya sudah diseting sedemikian rupa, tetap ada aktivitas lain yang lebih mulia daripada tidur, melalaikan kewajiban dengan sengaja tidur tetaplah dosa. Lagi pula banyak tidur bukanlah tabiat orang-orang shalih.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata:

ما ندمت على شيء ندمي على يوم غربت شمسه، نقص فيه أجلي، ولم يزد فيه عملي
“tidak ada penyesalanku atas sesuatu melebihi penyesalan ku atas suatu hari dimana matahari tenggelam, umurku berkurang dan tidak bertambah amalku” (Qîmatuz Zamân, hal 27).

Muhammad bin Hasan as Syaibani (w. 189 H), beliau tidaklah tidur malam kecuali hanya sebentar, beliau meletakkan kitab-kitab di sampingnya, jika beliau bosan membaca suatu kitab, maka beliau akan membaca kitab yang lainnya,beliau menghilangkan kantuknya dengan air, sembari mengatakan:

إن النوم من الحرارة
“Sesungguhnya tidur itu muncul dari nafsu” (Qîmatuz Zamân, hal 31).

Tidak heran jika mereka bisa berkarya sedemikian rupa, mereka mengurangi tidur untuk beramal, mereka tidur juga dalam rangka beramal shalih, bukan untuk sia-sia. Bisakah kita berupaya mencontohnya?. Semoga.

Sumber: https://mtaufiknt.wordpress.com/2018/03/24/mengoptimalkan-waktu-tidur/

Jumat, 23 Maret 2018

Hanya Allah Tempat Bergantung

Kecewa pada manusia, itu mah biasa.
Manusia tempat salah dan lupa. Tapi manusia bukan tempatnya dipersalahkan dan dilupakan.😊

Memiliki kepercayaan pada oranglain itu baik, tapi jika kepercayaan itu diingkari, dikhianati apalah arti kebaikan jika sepihak menuai duri. Tidak terusuk saat ini tapi suatu saat pasti akan ada yang terluka.😡

Merasakan kebahagiaan bersama itu baik, bisa berbagi banyak maslahat dalam taat. Tapi alangkah ruginya jika kau bagikan kepada orang yang taat saja tidak, bahkan justru menjurumuskanmu dalam maksiat. Buang jauh aja deh...😠

Berbagi cerita pada sahabat yang dekat itu meringankan. Tapi apa jadinya jika sahabat itu tak mampu kau percayai, ceritamu berkembang layaknya fiksi melesat di pasar bebas untuk dikonsumsi orang lain. Huffft!

Kecewa pada manusia itu biasa. Tapi jika kau gantungan segalanya pada Allah takkan ada kecewa dan luka. Kau akan menikmati khalwatmu hanya padaNya. Lukamu Dia gantikan dengan tambahan nikmatnya ibadah. Sedihmu Dia gantikan dengan bahagianya pahala ibadah. Allah itulah pengobat luka hatimu, penghilang laramu dan sahabat setiamu.😭😭

Sedih, senang, kagum, kecewa apapun yang kau rasakan larikan semuanya pada Allah Subhanahu wa ta'ala...Rabbul 'izzati....

Mencinta paling indah pada Rabbmu..tak bisa tergntikan oleh siapapun😍😍😍😍

Sabtu, 03 Maret 2018

3 Maret Titik Kelam Umat Muslim

3 MARET 1924, TITIK KELAM UMAT MUSLIM.
====================================

Tahukah kamu ada peristiwa apa di tanggal 3 Maret 1924 , tepatnya 94 tahun yang lalu?
Peristiwa yang mengubah nasib umat Muslim hingga detik ini.

Sejak saat itu, umat Islam yang sebelumnya menguasai dua per tiga dunia dihapuskan dalam tatanan dunia. Umat Islam kehilangan perisai pelindung, tidak ada lagi naungan, dan menjadi tercerai berai menjadi puluhan negara. Kemudian muncullah sekat-sekat kebangsaan yang bernama Nasionalisme. Naungan yang hilang tersebut bernama Khilafah. Yaitu sistem kepemimpinan warisan Rasulullah yang menjaga umat Muslim secara universal dan mampu membuat para kafir segan.

Penghancuran Khilafah yang di dalangi kaum kafir barat dan segelintir golongan zionis Yahudi inilah yang menjadi titik kelam kehidupan umat Islam.
Beberapa faktor mundurnya negara Khilafah saat itu diantaranya konspirasi negara-negara imperialis, pengkhianatan terhadap pejabat tinggi negara Khilafah, masuknya ide-ide rusak yang mulai meracuni pemikiran sebagian umat Muslim terutama kaum pemuda kala itu (Nasionalisme, Patriotisme, Demokrasi, HAM, dsb), terhentinya Ijtihad, upaya memasukkan undang-undang barat dalam konstitusi negara Khilafah, pemurtadan kaum Muslim yang dilakukan para missionaris Kristen, dan masih banyak lagi.

Kepala negara Khilafah -yang disebut dengan Khalifah- terakhir pada saat itu bernama Sultan Abdul Hamid II. Dan Kekhilafahan terakhir bernama Khilafah Ustmani.
Sultan Abdul Hamid II memegang tampuk kepemimpinan di tahun 1876. Salah satu  tindakan pertamanya pada saat naik tahta Utsmaniyah adalah mengumumkan konstitusi sebagai Puncak dari reformasi yang dia pimpin pemerintah selama empat dasawarsa yang dikenal sebagai Tanzimat. Saat itu dia terlihat sebagi seorang reformis tercerahkan.
Namun, pengalaman memerintah Khilafah Utsmaniyah mengeraskan sikap Abdul Hamid dari seorang reformis menjadi seorang absolut.

Akar absolutisme Abdul Hamid ini dapat ditelusuri pada serangkaian krisis yang dihadapi oleh sang sultan muda ini di awal kepemerintahannya. Khilafah yang dia warisi dari pendahulunya itu berada dalam kondisi yang carut marut. Kas pemerintah menyatakan bangkrut pada tahun 1875 dan kreditur Eropa dengan cepat menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Ustmaniyah.
Kebencian publik Eropa terhadap Ustmaniyah meningkat pada tahun 1876 akibat berita penindasan keras separatis Bulgaria oleh tentara Khilafah yang disebut "horor di Bulgaria" oleh pers barat.

Pemimpin kelompok liberal, William Gladstone, memimpin pernyataan pengutukan pemerintah Inggris terhadap Ustmani dan perang dengan Rusia semakin mengintai. Tekanan inilah yang sangat membebani para penguasa Khilafah.
Sekelompok pejabat reformis yang berkuasa sebelumnya pernah menggulingkan Sultan Abdul Aziz (Khalifah periode 1861-1876) yang kurang dari seminggu kemudian, ditemukan tewas di apartemennya dengan pembuluh darah pada pergelangan tangannya disayat, sehingga kematiannya dinyatakan sebagai tindakan bunuh diri. Lalu, penggantinya yaitu Murat V juga meninggal akibat depresi walaupun baru menduduki tahta selama tiga bulan. Dengan latar belakang yang kelam inilah, Sultan Abdul Hamid II akhirnya memegang tampuk kekuasaan di usia 33 tahun pada 31 Agustus 1876.

Tidak lupa pula sejumlah menteri kabinet yang berkuasa menekan Sultan Abdul Hamid II yang masih tergolong baru ini untuk mengumumkan konstitusi liberal dan membentuk parlemen yang di isi oleh anggota yang beragama Islam, Kristen dan Yahudi sebagai sarana untuk mencegah campur tangan Eropa lebih lanjut ke urusan dalam negeri Ustmaniyah. Lantas, Sultan Abdul Hamid II mengikuti tuntutan kaum reformis tersebut dalam pemerintahnya, lebih karena rasa pragmatisme bukan karena dia meyakininya sebagai keputusan terbaik.

Pada 23 Desember 1876, Sultan Abdul Hamid II mengumumkan konstitusi Ustmaniyah dan pada 19 Maret 1877, beliau membuka sesi pertama parlemen Ustmaniyah.
Namun, tidak lama setelah pertemuan parlemen tersebut, Khilafah terlibat perang dengan Rusia yang berakhir buruk.
Kekaisaran Rusia melihat dirinya sebagai penerus Bizantium dan pemimpin spiritual gereja Ortodoks Timur.

Maka dari itu, Rusia bernafsu ekspansi untuk menduduki Istanbul kembali, yang sebelumnya bernama Konstatinopel. Keinginan tersebut lebih dari sekedar ambisi budaya. Karena jika berhasil menguasai Istanbul, Rusia akan mengendalikan selat geostrategis Bosporus dan Dardanella yang menghubungkan pelabuhan Rusia di laut hitam ke laut tengah. Tapi, sepanjang abad ke-19, negara-negara tetangga Rusia di Eropa turut berkepentingan untuk membatasi armada Tsar Rusia di laut hitam dengan menjaga kesatuan wilayah Khilafah Ustmaniyah.
Frustasi akibat tidak terwujudnya hasrat untuk menduduki Istanbul dan kedua selat itu, Rusia mengeksploitasi gerakan kemerdekaan nasionalis Balkan agar merongrong urusan dalam negeri Ustmaniyah.
Sementara itu di sisi lain Rusia juga berusaha melanjutkan upayanya untuk memperluas wilayah melalui beberapa peperangan melawan Khilafah Utsmaniyah.

Pada akhir tahun 1876, gejolak yang terjadi di Serbia dan Bulgaria memberikan peluang kepada Rusia untuk melancarkan perang ekspansi lainnya. Setelah mendapatkan jaminan netralitas Austria dan izin dari Rumania yang memperbolehkan pasukan Rusia bergerak melalui wilayahnya, Rusia menyatakan perang terhadap Khilafah Utsmaniyah.

Namun, pada titik itu situasi militer Ustmaniyah sudah tidak bisa diselamatkan lagi dan Sultan Abdul Hamid II harus menerima gencatan senjata pada Januari 1878 dengan pasukan Rusia mengintai di gerbang ibu kotanya.

Sebagai buntut kekalahan atas Rusia pada tahun 1878, Khilafah Utsmaniyah menderita kerugian teritorial yang sangat besar dalam perjanjian damai yang dilakukan pada Kongres Berlin (Juni-Juli 1878) yang diselenggarakan di Jerman dan dihadiri oleh sejumlah negara Eropa (Inggris, Prancis, Austria-Hungaria, dan Italia). Kongres itu berusaha membahas perang Rusia-Ustmaniyah sekian banyak konflik di Balkan.

Berdasarkan perjanjian Berlin, Khilafah Utsmaniyah kehilangan dua perlima dari wilayahnya dan seperlima penduduknya di Balkan dan Anatolia Timur. Di antara wilayah yang di serahkan adalah tiga provinsi Anatolia Timur di daerah Kaukasus, Ardahan dan Batum yang sebagai jantung negara Muslim Turki tidak bisa direlakan begitu saja, akan menjadi Alsace-Lorraine (mengacu pada daerah Imperium Prancis yang dikuasai Jerman) bagi pemerintah Ustmaniyah.

Ustmaniyah juga melepaskan wilayah lain kepada beberapa negara Eropa selain daerah yang diserahkan dalam perjanjian Berlin. Inggris memperoleh Siprus sebagai jajahannya di tahun 1878, prancis menduduki Tunisia di tahun 1881, dan setelah krisis Mesir pada tahun 1882, Inggris menempatkan provinsi otonom Ustmaniyah itu dibawah kekuasaan kolonial Inggris.

Hilangnya sejumlah wilayah ini tampaknya meyakinkan Sultan Abdul Hamid II bahwa dia harus memerintah Khilafah Utsmaniyah dengan tangan besi, demi melindungi dari pembagian lebih lanjut oleh negara Eropa yang ambisius. Berkat dirinya, Sultan Abdul Hamid II mampu melindungi wilayah kekuasaan Ustmaniyah antara periode 1882-1908.

Setelah itu, kerapuhan di tubuh Ustmaniyah semakin menjadi.
Belum lagi ulah dari kaum zionis Yahudi yang sangat merambisi menduduki tanah Palestina, karena bagi mereka tanah Palestina adalah solusi dan tanah yang dijanjikan untuk kaum Yahudi seperti yang tertuang dalam Jurnal berbahasa Inggris yang berjudul "The Jewish State : Proposal of a modern solution for the Jewish Question".

Salah seorang zionis Yahudi yang bernama Theodore Herzl dan rekannya Philip Michael,  sudah berulang kali berusaha menemui Sultan Abdul Hamid II kala itu untuk berdiplomasi tentang tanah Palestina. Tapi tak semudah yang mereka pikirkan.
Theodore Herzl tidak berhenti sampai disitu, ia semakin gigih melakukan lobi kepada Sultan Abdul Hamid II. Tak tanggung-tanggung, Theodore Herzl mengirim delegasi dengan juru bicara, sekaligus pengacara Yahudi dari Selonika bernama Emanuel Carasso. Kali ini ia meminta kepada Sultan Abdul Hamid II agar berkenan menjual tanah ladang yang terletak di pesisir Palestina atau menyewakan selama 99 tahun dengan imbalan emas sebanyak tiga kali lipat keuangan daulah Khilafah Utsmaniyah. Karena mereka tahu bahwa Ustmaniyah sedang dalam ekonomi yang merosot dan terlilit hutang. Tawaran tersebut tentu saja sangat menggiurkan.

Namun Sultan Abdul Hamid II memberikan jawaban yang sungguh di luar bayangan mereka.
"Aku tidak bisa menjual meskipun hanya sejengkal dari wilayah ini. Sebab tanah-tanah tersebut adalah milik rakyatku. Rakyatku telah mendapatkan negeri ini dengan pertumpahan darah dan menyiraminya dengan darah. Aku pun akan turut menyiraminya. Kami tidak akan biarkan seorang pun merampoknya. Hendaknya orang-orang Yahudi menyimpan jutaan uang mereka. Kalau pemerintahan ini runtuh, maka kaum Yahudi bisa mendapatkan tanah Palestina gratis. Tapi kami tetap tidak akan pernah membagi pemerintahan ini, kecuali setelah melangkahi mayat-mayat kami!"

Emmanuel Carasso mendapatkan amarah dan kekecewaan yang luar biasa setelah kejadian itu. Dan dia berkata kepada sekretaris istana kesultanan bernama Tahsin Pasha, "Ingat, aku akan datang sekali lagi. Tapi peranku tidak seperti saat ini!"

5 tahun kemudian, yaitu 17 Mei 1901. Theodore Herzl kembali lagi ke Ustmaniyah namun dengan strategi yang baru.
Dia berpikir satu-satunya jalan untuk mewujudkan cita-cita besar zionis adalah dengan menghilangkan penghalang besar yaitu Khilafah Ustmaniyah dan Sultan Abdul Hamid II.

Theodore Herzl dan teman-temannya bergerak menyusupkan orang-orang nya ke berbagai organisasi pergerakan potensial yang ada di wilayah Ustmaniyah. Di antaranya mendukung pergerakan Armenia yang memberontak terhadap Ustmaniyah, menyokong gerakan nasionalisme Balkan, mendukung gerakan nasionalisme Kurdi, mendukung semua gerakan separatisme, dan yang paling penting ialah mendukung gerakan Young Turks (Turki muda) dan Ittihat ve Terraki atau Committee of Union and Progress (Komite persatuan dan kemajuan) untuk digerakkan menjadi Palu godam bagi Sultan Abdul Hamid II.

Anak-anak muda Ustmaniyah ditahun-tahun tersebut menjadi anak-anak muda yang sekuler progresif akibat terinfeksi oleh pendidikan sekuler ala Eropa. Tak terkecuali Young Turks, mereka adalah anak-anak muda yang tertarik bahkan tergila-gila pada pemikiran dan politik ala Eropa Barat serta berusaha menerapkannya di dalam tubuh daulah Ustmaniyah. Dari gerakan Young Turks inilah akhirnya lahir seorang anak muda yang namanya masih diingat sampai sekarang sebagai penyebab dan penyokong terbesar keruntuhan Ustmaniyah dari dalam, yaitu Mustafa Kemal. Berkat geraknya yang sangat sekuler dan liberal, Mustafa Kemal mengakhiri hidup Khilafah Ustmaniyah tepat di tanggal 3 Maret 1924 melalui Majelis Agung Nasional yang ia bentuk.

Setelah tragedi kelam tersebut, penderitaan umat Muslim dimulai bahkan hingga kini. Karena runtuhnya Khilafah melahirkan banyak petaka, musibah dan kerugian yang tidak terhitung bagi umat Muslim.
Seperti malapetaka ideologi, malapetaka pendidikan, malapetaka ekonomi, malapetaka peradilan, dan sebagainya.
Dan sejak saat itu, perang pemikiran (Ghazwul Fikr)  dan perang budaya (Ghazwul Tsaqofi) semakin menggila dan deras ibarat air bah yang jebol hingga menenggelamkan rumah-rumah.

Maka dari itu, sudah saatnya umat Muslim bangkit dari kejumudan dan keterpurukan selama 94 tahun terakhir.
Kaum kafir barat telah dengan berdosa merusak rumah dan perisai bagi umat Muslim. Apakah kita hanya tinggal berdiam diri dengan menyaksikan kedzaliman yang terjadi atas saudara-saudari kita di berbagai belahan dunia? Sudah cukup.
Sudah saatnya kita mengembalikan perisai umat yang mampu melindungi dan menyejahterakan mereka. Juga kita harus yakin bahwa hal tersebut tidaklah mustahil, karna Rasulullah telah berjanji bahwa Khilafah akan tegak kembali di akhir periode jaman setelah rezin diktator seperti sekarang ini runtuh.

Rasulullah shallallahu alahi wasallam bersabda:

تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ ا للهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَّرِيًّا ، فَتَكُوْنَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، ثُمَّ سَكَتَ

“Periode kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang periode khilafah aala minhaj nubuwwah (kekhilafahan sesuai manhaj kenabian), selama beberapa masa hingga Allah ta’ala mengangkatnya. Kemudian datang periode mulkan aadhdhan (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta’ala. Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah ‘ala minhaj nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw diam.”
(HR Ahmad)

Sumber :
1. The Fall of The Khilafah, Eugene Rogan
2. Api Tauhid, Habbiburahman El Shirazy
3. Malapetaka Runtuhnya Khilafah, Abdul Qodim Zallum

Copas dari postingan Sefti Rinanda Ardhana Putri

Jejak Khilafah di Nusantara

JEJAK KHILAFAH DI NUSANTARA

Dr. Maman,  Kh.

Adalah sangat jelas dalam sejarah Indonesia, bahwa syariah Islam pernah secara formal diterapkan di bumi Nusantara . Saat itu para Sultan menerapkan hukum Islam sebagai hukum negara. Hal ini membantah pendapat segelintir orang dari kelompok liberal, bahwa di Indonesia tidak pernah diterapkan syariah Islam secara formal oleh negara. Tidak hanya itu, kesultanan di Indonesia memiliki hubungan yang jelas dengan Khilafah Islam.

Tegaknya syariat Islam tidak lepas dari keberadaan penguasa kaum Muslim yang menerapkan hukum Islam, menjaga akidah Islam, melindungi kepentingan umat Islam, dan melakukan dakwah Islam. Penguasa tersebut sering disebut sebagai khalifah, imam, amirul mukminin, atau sultan.

Terlepas dari soal penamaan ini, penguasa kaum Muslim pada dasarnya adalah penguasa otoritatif yang diakui keberadaannya oleh kaum Muslim; mereka menjaga dan membela kaum Muslim dari berbagai pihak yang mencoba menganggu eksistensi kaum Muslim serta memelihara kaum Muslim sedunia.

Para ahli sejarah mengakui, Kekhilafahan Islam itu memang ada dan menjadi kekuatan politik real umat Islam. Setelah masa Khulafaur Rasyidin, di belahan Barat Asia muncul kekuatan politik yang mempersatukan umat Islam dari Spanyol sampai Sind di bawah Kekhilafahan Bani Umayah (660-749 M), dilanjutkan oleh Kekhilafahan Abbasiyah kurang lebih satu abad (750-870 M), serta Kekhilafahan Utsmaniyah sampai 1924 M.

Adanya kekuatan politik di Asia Barat yang berhadapan dengan Cina telah mendorong tumbuh dan berkembangnya perdagangan di Laut Cina Selatan, Selat Malaka, dan Samudra Hindia.[1] Hal ini dengan sendirinya memberi dampak bagi penyebaran Islam dan tumbuhnya kekuatan ekonomi, karena banyaknya pendakwah Islam yang sekaligus berprofesi sebagai pedagang.

Tulisan ini akan mengkaji pengaruh keberadaan Khilafah Islam yang berpusat di Timur Tengah, khususnya pada masa Utsmaniyah, terhadap kehidupan umat Islam di Nusantara. Kajian didasarkan pada suatu kerangka analisis bahwa dengan adanya Khilafah, umat Islam berada di bawah satu kepemimpinan. Khalifah merupakan pelindung kaum Muslim. Para penguasa kaum Muslim di berbagai belahan dunia dengan sendirinya akan mengakui dan tunduk pada Khalifah. Gangguan terhadap umat Islam di suatu negeri dianggap sebagai gangguan terhadap seluruh kaum Muslim; Khalifah akan berperan aktif mengamankannya.

Secara faktual, pada abad 16 dan 17, umat Islam di Kepulauan Nusantara sedang menghadapi serangan penjajah asing, khususnya Portugis dan Belanda. Kedatangan Portugis, sebagaimana diketahui, memiliki tujuan: merampas kekayaan umat Islam (gold), menjalankan tugas suci kristenisasi (gospel), dan melakukan pembalasan terhadap kaum Muslim yang telah menduduki Spanyol dan Portugal sejak zaman Kekhilafahan Bani Umayah (glory). Portugis ingin mewujudkan dominasi militer terhadap komunitas umat Islam.[2]

Bertolak dari fakta-fakta inilah, penulis melihat adanya hubungan antara Kekhilafahan Islam dan para Sultan di Kepulauan Nusantara.

Dua Pucuk Surat Pengakuan
Pengaruh keberadaan Khilafah Islam terhadap kehidupan politik Nusantara sudah terasa sejak masa-masa awal berdirinya Daulah Islam. Keberhasilan umat Islam melakukan penaklukan (futûhât) terhadap Kerajaan Persia serta menduduki sebagian besar wilayah Romawi Timur, seperti Mesir, Syria, dan Palestina di bawah kepemimpinan Umar bin al-Khaththab telah menempatkan Khilafah Islam sebagai superpower dunia sejak abad ke-7 M.
Ketika kekhilafahan berada di tangan Bani Umayyah (660-749 M), penguasa di Nusantara—yang masih beragama Hindu sekalipun—mengakui kebesaran Khilafah.

Pengakuan terhadap kebesaran Khilafah dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah masa Bani Umayah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyah dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz.[3] Surat pertama ditemukan dalam sebuah diwan (arsip, pen.) Bani Umayah oleh Abdul Malik bin Umair yang disampaikan kepada Abu Ya‘yub ats-Tsaqafi, yang kemudian disampaikan kepada Haitsam bin Adi. Al-Jahizh yang mendengar surat

itu dari Haitsam menceriterakan pendahuluan surat itu sebagai berikut:

Dari Raja al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah….[4]

Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329/860-940) dalam karyanya, Al-Iqd al-Farîd. Potongan surat tersebut ialah sebagai berikut:

Dari Raja Diraja…, yang adalah keturunan seribu raja.…kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.[5]

Ibnu Tighribirdi, yang juga mengutip surat ini dalam karyanya, An-Nujûm azh-Zhâhirah fî Mulûk Mishr wa al-Qâhirah, memberikan kalimat tambahan pada akhir surat ini, yakni, “Saya mengirimkan hadiah kepada Anda berupa bahan wewangian, sawo, kemenyan, dan kapur barus. Terimalah hadiah itu, karena saya adalah saudara Anda dalam Islam.”[6]
Namun demikian, sekalipun ada kalimat, “Saudara Anda dalam Islam,” belum ada indikasi Maharaja Sriwijaya memeluk Islam. Maharaja yang berkuasa pada masa itu ialah Sri Indravarman, yang disebut sumber-sumber Cina sebagai Shih-li-t’o-pa-mo. Nama ini mengisyaratkan bahwa ia belum menjadi pemeluk Islam.[7]

Sultan Rum, Khâdim al-Haramayn
Munculnya Kekhilafahan Islam Turki Utsmani, terutama setelah berhasil melakukan penaklukan atas Konstantinopel yang merupakan ibu kota Romawi Timur pada 857/1453, menyebabkan nama Turki melekat di hati umat Islam Nusantara. Nama yang terkenal bagi Turki di Nusantara ialah “Sultan Rum.”[8]

Sebelum kebangkitan Turki Utsmani, istilah Rum mengacu pada Byzantium, dan kadang-kadang juga pada Kerajaan Romawi. Akan tetapi,setelah kemunculan Turki Utsmani, istilah Rum beredar untuk menyebut Kesultanan Turki Utsmani. Mulai masa ini, supremasi politik dan kultural Rum (Turki Utsmani) menyebar ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk ke Nusantara.[9]

Kekuatan politik dan militer Kekhilafahan Turki Utsmani mulai terasa di kawasan Lutan India pada awal abad ke-16. Sebagai penguasa kaum Muslim, Khalifah Turki Utsmani memiliki posisi sebagai khâdim al-Haramayn (penjaga dua tanah haram, yakni Makkah dan Madinah). Pada posisi ini, para penguasa Turki Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan haji. Seluruh rute haji di wilayah kekuasaan Utsmani di tempatkan di bawah kontrolnya. Kafilah haji dengan sendirinya dapat langsung menuju Makkah tanpa hambatan berarti atau rasa takut menghadapi gangguan Portugis.

Pada tahun 954/1538, Sultan Sulaiman I (berkuasa 928/1520-66) melepas armada yang tangguh di bawah komando Gubernur Mesir, Khadim Sulaiman Pasya, untuk membebaskan semua pelabuhan yang dikuasai Portugis guna mengamankan pelayaran haji ke Jeddah.[10]

Turki Utsmani juga mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudera Hindia. Kehadiran angkatan laut Utsmani di Lautan Hindia setelah 904/1498 tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam perdagangan di kawasan ini. Pada gilirannya, hal ini memberikan konstribusi penting bagi pertumbuhan kegiatan ekonomi sebagai dampak sampingan perjalanan ibadah haji.

Pada saat yang sama, Portugis juga meningkatkan kehadiran armadanya di Lautan India, tetapi angkatan laut Utsmani mampu menegakkan supremasinya di kawasan Teluk Persia, Laut Merah, dan Lautan India sepanjang abad ke-16. [11]
Dalam kaitan dengan pengamanan rute haji, Selman Reis (w 936/1528), laksanama Turki di Laut Merah, terus memantau gerak maju pasukan Portugis di Lautan Hindia, dan melaporkannya ke pusat pemerintahan Khilafah di Istambul. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Obazan ialah sebagai berikut:

(Portugis) juga menguasai pelabuhan

(Pasai) di pulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera)….Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuhan Malaka yang berhadapan dengan Sumatera….Karena itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, insya Allah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu.[12]

Laporan ini memang cukup beralasan, karena pada tahun 941/1534, sebuah skuadron Portugis yang dikomandoi Diego da Silveira menghadang sejumlah kapal asal Gujarat dan Aceh di lepas Selat Bab el-Mandeb pada Mulut Laut Merah.

Membebaskan Malaka dan Menaklukan Daerah Batak
Sebagaimana disebutkan dalam berbagai buku sejarah, Semenanjung Malaka diduduki Portugis pada Abad ke-16. Ternyata hal ini juga menjadi perhatian Turki Utsmani.

Pada tahun 925/1519, Portugis di Malaka digemparkan oleh kabar tentang pelepasan armada Utsmani untuk membebaskan Muslim Malaka dari penjajahan kafir. Kabar ini, tentunya, sangat menggembirakan kaum Muslim setempat.[13]

Ketika Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar naik tahta Aceh pada tahun 943/1537, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada Turki, bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk melakukan futûhât ke wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak.

Al-Qahhar menggunakan pasukan Turki, Arab, dan Abesinia.[14] Pasukan Turki terdiri dari 160 orang, ditambah 200 orang tentara dari Malabar. Mereka membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Selanjutnya al-Qahhar dikirim untuk menaklukkan wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada tahun 946/1539.

Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.[15]

Seorang sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, mengakui adanya bantuan Turki Utsmani untuk melakukan futûhât terhadap wilayah sekitar Aceh. Menurut Thaib, hal ini merupakan ekspresi solidaritas umat Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan langsung terhadap wilayah sekitar Aceh.[16]

Demikianlah, hubungan Aceh dengan Turki sangat dekat. Aceh seakan-akan merupakan bagian dari wilayah Turki. Persoalan umat Islam Aceh dianggap Turki sebagai persoalan dalam negeri yang harus segera diselesaikan.

Nuruddin ar-Raniri, dalam Bustân as-Salâthîn, meriwayatkan, bahwa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar mengirim utusan ke Istambul untuk menghadap ‘Sultan Rum’. Utusan ini bernama Husain Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji.[17] Pada Juni 1562, utusan Aceh tersebut tiba di Istambul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika duta itu berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di Istambul, ia berhasil mendapat bantuan Turki, yang menolong Aceh membangkitkan kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor pada 973/1564.[18]

Khalifah dan Gubernurnya di Aceh
Dalam kaitan dengan utusan Aceh tersebut, Farooqi menemukan sebuah arsip Utsmani yang berisi sebuah petisi dari Sultan Alauddin Riayat Syah kepada Sultan Sulaiman al-Qanuni yang dibawa Husain Effendi. Dalam surat ini Aceh mengakui penguasa Utsmani sebagai khalifah Islam. Selain itu, surat ini melaporkan tentang aktivitas militer Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang Muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Makkah. Karena itu, bantuan Utsmani sangat mendesak untuk menyelamatkan kaum Muslim yang terus dibantai Farangi (Portugis) kafir.[19]
Khalifah Sulaiman al-Qanuni wafat tahun 974/1566. Akan tetapi, petisi Aceh mendapat dukungan Sultan Salim II (974-82/1566-74), yang mengeluarkan perintah Kekhilafahan untuk melakukan ekspedisi besar militer ke Aceh. Sekitar September 975/1567, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumlah ahli senapan api, ten

h dan Nafkah dalam Naskah Mir’at al-Tullab Kaarya Abd Raauf Singkel,” Disertasi Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, 1982), hlm. 15-16.

[31] Ibid. hlm. 32.

[32] Ibid hlm. 36.

[33] Ibid hlm. 38.

tara, dan artileri. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh Sultan.[20]

Namun, dalam perjalanan, armada besar ini hanya sebagian yang sampai Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir pada tahun 979/1571.[21] Menurut catatan sejarah, pasukan Turki yang tiba di Aceh pada tahun 1566-1577 sebanyak 500 orang, termasuk para ahli senjata api, penembak, dan para teknisi. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568.[22]

Kehadiran Kurtoglu Hizir Reis bersama armada dan tentaranya dengan sendirinya disambut dengan sukacita oleh umat Islam Aceh. Mereka disambut dengan upacara besar. Kurtoglu Hizir Reis kemudian diberi gelar sebagai gubernur (wali) Aceh,[23] yang merupakan utusan resmi Khalifah yang ditempatkan di daerah Aceh.

Bendera Turki di Kapal Aceh
Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani terus berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis. Menurut seorang penulis Aceh, pengganti al-Qahhar kedua, yakni Sultan Mansyur Syah (985-98/1577-88) memperbarui hubungan politik dan militer dengan Utsmani.[24] Hal ini dibenarkan oleh sumber-sumber historis Portugis. Uskup Jorge de Lemos, sekretaris Raja Muda Portugis di Goa, pada tahun 993/1585 melaporkan kepada Lisbon bahwa Aceh telah kembali berhubungan dengan Khilafah Utsmaniyah untuk mendapatkan bantuan militer guna melancarkan serangan baru terhadap Portugis. Penguasa Aceh berikutnya, Sultan Alauddin Riayat Syah (988-1013/1588-1604) juga dilaporkan telah melanjutkan hubungan politik dengan Turki. Dikatakan, Khilafah Utsmaniyah bahkan telah mengirimkan sebuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh dan memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Turki.[25]
Kapal-kapal atau perahu yang dipakai Aceh dalam setiap peperangan terdiri dari kapal kecil yang gesit dan kapal-kapal besar. Kapal-kapal besar atau jung yang mengarungi lautan hingga Jeddah berasal dari Turki, India, dan Gujarat. Dua daerah terakhir ini merupakan bagian dari wilayah Kekhilafahan Turki Utsmani. Menurut Court, kapal-kapal ini cukup besar, berukuran 500 sampai 2000 ton.[26] Kapal-kapal besar yang berasal dari Turki, yang dilengkapi meriam dan persenjataan lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari Eropa yang menganggu wilaya-wilayah Muslim di Nusantara.[27] Aceh benar-benar tampil sebagai kekuatan besar yang sangat ditakuti Portugis karena diperkuat oleh para ahli persenjataan dari Kekhilafahan Turki sebagai bantuan Khalifah terhadap Aceh.[28]

Menurut sumber-sumber Aceh, Sultan Iskandar Muda (10116-46/1607-36) mengirimkan armada kecil yang terdiri dari tiga kapal, yang mencapai Istambul setelah dua setengah tahun pelayaran melalui Tanjung Harapan. Ketika misi ini kembali ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata, 12 pakar militer, dan sepucuk surat yang merupakan keputusan Khilafah Utsmaniyah tentang persahabataan dan hubungan dengan Aceh. Kedua belas pakar militer tersebut disebut pahlawan di Aceh. Mereka dikatakan sangata ahli sehingga mampu membantu Sultan Iskandar Muda tidak hanya dalam membantu membangun benteng tangguh di Banda Aceh, tetapi juga istana kesultanan.[29]

As-Singkeli dan Qanun Syariah di Aceh
Sebagai bagian Khilafah Islam, Aceh menerapkan syariat Islam sebagai patokan kahidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, Aceh banyak didatangi para ulama dari berbagai belahan Dunia Islam lainnya. Syarif Makkah mengirimkan ke Aceh utusannya, seorang ulama bernama Syaikh Abdullah Kan’an sebagai guru dan muballig. Sekitar tahun 1582, datang dua orang ulama besar dari negeri Arab, yakni Syaikh Abdul Khair dan Syaikh Muhammad Yamani. Di samping itu, di Aceh sendiri lahir sejumlah ulama besar, seperti Syamsuddin as-Sumatrani dan Abdur Rauf as-Singkeli. [30]

Abdur Rauf Singkel mendapat tawaran dari Sultan Aceh, Safiyatuddin Shah untuk menduduki jabatan kadi/ hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi al-Malik al-Adil yang sudah lowong beberapa lama karena Nuruddin ar-Raniri kembali ke Ranir (Gujarat). Setelah melakukan berbagai pertimbangan, Abdur Rauf menerima t

awaran tersebut.[31] Karena itu, ia resmi menjadi kadi/hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi al-Malik al- Adil. Selanjutnya, sebagai seorang kadi/hakim, Abdur Rauf diminta Sultan untuk menulis sebuah kitab sebagai patokan (qânûn) penerapan syariat Islam.[32] Buku tersebut kemudian diberi judul Mir’ah al-Thullâb.

Menurut Abdur Rauf, naskah Mir’ah ath-Thullâb mengacu pada kitab Fath al-Wahhâb karya Abi Yahya Zakariyya al-Ansari (825-925 H). Sumber lain yang digunakan untuk menulis buku ini ialah: Fath-al-Jawwâd, Tuhfah al-Muhtâj, Nihâyah al-Muhtâj, Tafsîr al-Baydawi, al-Irsyâd, dan Sharh Shahîh Muslim.[33]

Mir’ah ath-Tullâb mengandung semua hukum fikih Imam asy-Syafi’i, kecuali masalah ibadah. Peunoh Daly dalam disertasinya hanya menguraikan sebagian kandungan Mir’ah ath-Thullâb, terdiri dari: Hukum Nikah, Talak, Rujuk, Hadanah (Penyusuan), dan Nafkah. Namun, terlepas dari itu, Aceh sebagai bagian dari Khilafah Islam memiliki qânûn (undang-undang) penerapan syariat Islam yang ditulis oleh Abdur Rauf as-Singkeli.

Penutup
Banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan yang dekat antara Aceh dan Khilafah Utsmani. Aceh seakan-akan dianggap sebagai bagian dari wilayah Turki Utsmani. Persoalan yang menimpa umat Islam di Aceh seakan-akan dianggap sebagai persoalan umat Islam secara keseluruhan. Khilafah Utsmani melindungi wilayah Aceh serta membantu Aceh melakukan futûhât dan dakwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.

[Dr. Maman Kh.  staf pengajar UIN Syarief Hidayatullah Jakarta)



[1] Uka Tjandrasasmita, “Hubungan Perdagangan Indonesia-Persia (Iran) Pada Masa Lampau (Abad VII-XVII M) daan Dampaknya terhadaap Beberapa Unssur Kebudayaan” Jauhar Vol. 1, No. 1, Desember 2000 hlm. 29.

[2] Mengenai motif kedatangan Portugis di Nusantara, lihat Uka Tjandrasasmita, “The Indonesian Harbour Cities and The Coming of Portruguese” dalam Ivo Carnerio de Sousa dan RZ. Leirissa (eds.), Indonesia-Portugal: Five Hundred Years of Historical Relationship (International Seminar Organized by Fakultas Sastra, Universitas Indonesia aand The Portugueese Center for The Study of Southeast Asia, Depok, 9-11 Oktober 2000).

[3] Uka Tjandrasasmita, op.cit. hlm. 32.

[4] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Edisi Revisi (Jakarta: Prenada Media, 2004) hlm. 27-28.

[5] Ibid. hlm. 28.

[6] Ibid. hlm. 29.

[7] Ibid. hlm. 29.

[8] Para khalifah Turki Ustmani sering disebut sebagai “Sultan Rum” karena menduduki Konstantinopel yang merupakan bekas Kerjaaan Romawi Timur. Ini merupakan hasil wawancara penulis dengan Prof.Dr. Uka Tjandrasasmita, Selasa, 11 Januari 2005.

[9] Azyumardi Azra, op.cit. hlm. 36.

[10] Ibid hlm. 38.

[11] Ibid. hlm. 36.

[12] Saleh Obazan, dikutip dari Azyumardi Azra, op.cit. hlm. 40-41.

[13] Ibid. hlm. 41.

[14] Marwati Djuned Pusponegoro (eds.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III (Jakarta: Balai Pustaka, 1984) hlm. 33.

[15] Azyumardi Azra, op.cit. hlm. 42.

[16] Lukman Thaib, “Aceh Case: Possible Solution to Festering Conflict,” Journal of Muslim Minorrity Affairs, Vol. 20, No. 1, tahun 2000 hlm. 106.

[17] Metin Innegollu, “The Early Turkish-Indonesian Relation,” dalam Hasan M. Ambary dan Bachtiar Aly (ed.), Aceh dalam Retrospeksi dan Reflkesi Budaya Nusantara (Jakarta: Informasi Taman Iskandar Muda, tt) hlm. 53.

[18] Azyumardi Azra, op.cit. hlm. 43-44.

[19] Farooqi, “Protecting the Routhers to Mecca,” hlm. 215-6, dikutip dari Ibid., hlm. 44.

[20] Metin Innegollu, op.cit. hlm. 54.

[21] Azyumardi Azra, op.cit. hlm. 44.

[22] Marwati Djuned Pusponegoro dan Nugroho Noto Susanto, op.cit. hlm. 54.

[23] Metin Innegollu, op.cit. hlm. 54.

[24] H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961) hlm. 272-77; lihat juga, op.cit. hlm. 44.

[25] Azyumardi Azra, op.cit. hlm. 44-45.

[26] Marwati Djuned Puspo dan Nugroho Notosusanto, op.cit. hlm. 56.

[27] Marwati Djuned Puspo dan Nugroho Notosusanto, op.cit. hlm. 96.

[28] Ibid. hlm. 257.

[29] Azyumardi Azra, op.cit. hlm. 45.

[30] Peunoh Daly, ‘Hukum Nikah, Talak, Rujuk, Hadana

Ingatkah Peristiwa Berdarah 3Maret 1924?

INGATKAH PERISTIWA BERDARAH 3 MARET 1924 ?
.
3 Maret 1924 (28 Rajab 1342) merupakan tanggal penting dalam perjalanan sejarah umat Islam. Pada saat itu, secara resmi Khilafah Islamiyah dibubarkan oleh Mustafa Kamal At-Taturk, seorang keturunan Yahudi agen Inggris.
.
Sejak saat itu umat Islam tidak lagi memiliki institusi politik yang menyatukan umat Islam di seluruh dunia. Umat Islam tercerai-berai menjadi lebih dari 50 negara bangsa (nation state) yang membuat umat Islam lemah.
.
Pernyataan Menteri Luar Negeri Inggris Lord Curzon tahun 1924 menggambarkan kondisi itu dengan sangat jelas, "Hari ini Turki telah dihancurkan, dan tidak akan bangkit kembali karena kita telah menghancurkan kekuatan jantung spiritualnya: Khilafah dan Islam."
.
#Remember3March1924
#KhilafahAjaranIslam
#KhilafahJanjiAllah
.
Follow
@risemedia_
@risemedia_
@risemedia_

Peta Kmenangan Umat Islam di Akhir Jaman

INILAH PETA KEMENANGAN UMAT ISLAM DI AKHIR ZAMAN.

_Mohon dibaca berulang kali, dipahami, disebarkan, dan didiskusikan dengan kerabat._

Tentu untuk menang, kita perlu memahami peta peperangannya. Agar tahu siapa lawan dan siapa kawan. Karena tidak mungkin menang, jika belum paham ini. Betul ?

Dari zaman ke zaman, ideologi ada 3 :
- Sekuler/kapitalis (neolib), Agama boleh tapi tdk boleh atur kehidupan publik.
- Komunis, agama tidak boleh blas
- Islam, baik kehidupan pribadi maupun publik diatur oleh aturan Islam.

Hanya kapitalis yang sedang tegak. Krn USSR negara adidaya pengusung komunisme sdh runtuh, rusia sekarang kapitalis sekuler. Begitu juga dengan negara2 republik Islam maupun kerajaan Islam, hari ini basis ideologinya adalah Kapitalis sekuler. Amerika masih menjadi kekuatan dan kiblat politik dunia, TANPA PENYEIMBANG.

Dengan begitu dunia kacau balau hari ini adalah karena dikuasai kapitalis sekuler. Komunis yg jadi tandingannya sdh tdk ada, dan sedang mau muncul tandingan baru Yaitu *Islam*, dengan diupayakannya penerapan hukum Islam yg menyeluruh oleh suatu partai Islam ideologis di seluruh dunia.

Tentu bangkitnya Islam melalui tegaknya hukum Islam akan menjadi ancaman bagi Kapitalis. Agenda penjajahannya bisa bubar.
Untuk bisa menekan bangkitnya Ideologi Islam, maka kaum kapitalis sipemimpin dunia ini membuat skenario untuk mengadu Islam dengan Komunis. Ini lagu lama, yang beradu akan terus lemah, sedang yg mengadu domba akan survive.

Jadi Komunis ideologis (murni) sebenarnya sudah tidak ada. Yang ada hanya komunis piaraan kapitalis, menyuarakan sosialisme yg menjanjikan keberpihakan pada rakyat jelata, pemerataan, "partainya orang kecil", namun jika berkuasa tetap saja kebijakannya kapitalistik yang berpihak pada kapitalis asing dan aseng.

Supaya terbayang lebih jelas, seperti komunis jajaden buatan kapitalis, ada juga Islam jajaden buatan kapitalis. Partainya berisi ulama, tapi pemikirannya liberal, kalau jadi penguasapun kebijakannya kapitalistik. Ini contohnya berlaku di jaman GusDur, ulama tapi mendorong liberalisasi BUMN dan dangdutan.

Ini sebetulnya berjalan sejak lama. Ingat sebelum reformasi, ada 3 partai, di kiri ada PDI yg "mewakili proletar", ditengah ada Golkar yg nasionalis sekuler yg menjadi kaki tangan kapitalis, dan di kanan ada PPP yang "mewakili Islam"- lambangnya ka'bah lho bro.. beratt. Ketiganya tetap ada di bawah skenario kapitalis, menyuburkan sistem demokrasi yang menghidupkan hukum buatan manusia, manusia jaman belanda kalau di Indonesia.

Metode ini dipakai sejak lama, di jaman Orba, maupun Orref. Bedanya sekarang partainya lebih banyak saja, tapi politik *kanalisasi* atau politik penyaluran aspirasi bagi komunis dan Islam tetap dilanjutkan, supaya tdk terjadi ledakkan. Di saat yg sama, komunis dan Islam dibenturkan untuk terus saling dilemahkan, sedang pemikiran sekuler liberalistik terus disuburkan.

*Pemetaan ideologi hari ini.*

Kalau tadi ada kiri, tengah, dan kanan, maka kita bisa sebut komunis ideologis ada di kiri jauh, dan Islam ideologis ada di kanan jauh.

Kiri jauh seperti RRC dan Unisovyet sudah tdk ada, tinggal Korut yg sibuk di dalam dan minder karena gagal sejahtera, dan tdk menyebarkan ideologinya ke luar. Maka *Kanan Jauh* lah yg menjadi momok kapitalis liberal hari ini, siapa mereka? tidak lain adalah Islam ideologis, sekelompok orang yang berusaha ingin menegakkan ideologi Islam. Kelompok inilah yg bikin repot Kapitalis hari ini, dan kerap di monsterisasi dengan label Islam Radikal (islam yg mengakar). Padahal mereka yg kapitalis itu adalah sekuler radikal (tengah jauh).. hahaha.

Itulah kenapa HTI dibubarkan, yg lain tidak. Karena HTI bisa membangkitkan ideologi yg akan mematikan ideologi kapitalis sekuler.

Ini juga yg menjadi jawaban, kenapa HT dibubarkan di 20 negara lain yg kebanyakan justru di wilayah berpenduduk mayoritas Islam. Suka tidak suka, fakta brutalnya adalah karena penguasa di ke20 negara tersebut adalah boneka dan kaki tangan Kapitalis. Iya, kapitalis yg biasa disebut dengan Zionis kah, Wahyudi kah, Israel kah, dan Amerika serta sekutunya itu.

Lalu ada pertanyaan, lha kenapa di Inggris dan Amerika justru HT tidak dibubarkan ? Politik itu ada hitungannya. Muslim di AS hanya 0.8% sedang di UK 5%, maka pendukung HT akan lebih kecil jumlahnya dari itu. Tentu belum bisa disebut ancaman.
Di sisi lain, jika AS dan UK menutup HT, akan bertolak belakang dengan jaminan kebebasan berbicara yg digiatkan oleh demokrasi itu sendiri.

Jadi kalau ada yg berpendapat HT memanfaatkan alam demokrasi untuk menyebarkan pemikirannya, ya boleh² saja. Tapi yg sebenarnya terjadi, itulah konsekwensi yg harus ditelan oleh negara² penegak demokrasi kapitalis. Dari sudut pandang langitan, mungkin itulah Makar Allah yang mematikan Makar hambaNya.

Kalau anda sedikit pintar, anda akan dengan gampang menemukan di situs2 yg menuliskan spekulasi bahwa HT itu dibuat dan dipelihara oleh UK dan AS. Tapi kalau anda pintarnya banyak, tentu anda akan mencari informasi tentang itu langsung dari orang HTnya. Orang bisa saja berteori bahwa pengikut HT tdk tahu siapa pemimpinnya, tidak tahu siapa yg menggerakkan, dan mulai mengarang2 cerita berdasarkan prasangka, karena itulah yg bisa dilakukan dari luar, tidak dari dalam. Pameonya, _Masak mau tahu tentang nabi Muhammad tapi malah nanya Abu jahal dan Abu Lahab... Infonya pasti akan salah... Tanyalah ke Nabi langsung, atau ke pengikutnya._

*Pertarungan Ideologi adalah keniscayaan yg tdk bisa dihindari*

Memahami ideologi dan petanya adalah sangat penting bagi umat Islam hari ini, karena akhir zaman Umat Islam akan terpecah karena politik. Imam Mahdi akan menjadi satu poros politik, begitu juga pun dajjal menjadi poros politik. Maka cara untuk menghindari fitnah politik dajjal, kaum muslimin harus memahami siapa kawan dan siapa lawan, dan modalnya adalah pengetahuan tentang perang pemikiran, yg intinya adalah peta perang ideologi.

*Dari zaman ke zaman perang ideologi terjadi.*

Musa melawan 2 musuh: Firaun yg Sosialis (atheis) dan Korun yg Sekuler kapitalis (beriman tapi tak taat).

Rosul SAW punya musuh 2 macam: kafir qurays yg musyrik, dan juga kaum Yahudi-Nasrani yg sekuler (beriman tapi tdk menerima nabi terakhir).

Sama, hari ini juga umat Islam punya musuh 2 macam: Komunis (anti Tuhan dan Agama), dan sekuler kapitalis yg dibidani AS dan Zionis ( beriman tapi hidup dengan hukum buatan manusia).

Jadi Penting sekali Umat Islam jika ingin bangkit, berdirilah di kanan jauh, Islam Ideologis, bukan di Islam yg agak ke tengah, ditengah atau di kiri. Imam Mahdi yg kita songsong itu akan menjadi penegak Ideologi Islam, menerapkan syariat Islam, bukan islam yg campuran seperti 'Islam tengah' buatan (modifan) kapitalis hari ini. Dan bukan juga berada di kanan yang terlalu jauh hingga keluar ring seperti ISIS (yg juga buatan kapitalis).

Maka yakinlah pertolongan Allah akan turun kepada kita yang berdiri tegak di metode kebangkitan Rasulullah.. Dakwah dan tholabunnusroh,hingga khilafah tegak, menerapkan syariat Islam dan mewujudkan Rahmat bagi seliruh alam. Kita hanya berusaha, Allahlah yang memenangkan perangnya.

*Takbir !*
Allahua'lam

#copas

REKONSTRUKSI KHILAFAH DAN MASA DEPAN CERAH PERADABAN ISLAM

REKONSTRUKSI KHILAFAH DAN MASA DEPAN CERAH PERADABAN ISLAM

(Mengenang Keruntuhan Khilafah 3 Maret 1924)

Oleh: Arief B. Iskandar

"Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi." (Jacques C. Reister).

"Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa." (Montgomery Watt).

"Peradaban berhutang besar pada Islam. "(Presiden AS, Barack Obama).

*****

Pernyataan dari dua cendekiawan Barat dan satu dari mantan orang nomor satu Amerika Serikat ini sengaja saya kutip sekadar ingin menunjukkan, bahwa siapapun yang jujur melihat sejarah tak akan bisa mengelak untuk mengakui keagungan peradaban Islam pada masa lalu dan sumbangsihnya bagi dunia, termasuk dunia Barat, yang denyutnya masih terasa hingga hari ini. Meski banyak ditutup-tutupi, pengaruh peradaban Islam terhadap kemajuan Barat saat ini tetaplah nyata.

Tulisan berikut tidak bermaksud membangkitkan romantisme sejarah Islam masa lalu yang gemilang, yang memang merupakan sebuah realitas sejarah. Kalaupun secuil gambaran masa lalu peradaban Islam yang cemerlang sengaja ditampilkan di sini, itu tidak lain sebagai bentuk restrospeksi sekaligus instrospeksi, yang tentu amat diperlukan oleh kaum Muslim saat ini.

Dengan itu, kaum Muslim secara sadar dan jujur akan mampu melihat kembali kebesaran peradaban Islam masa lalu sekaligus potensinya untuk kembali hadir pada masa depan untuk yang kedua kalinya. Karena itu, selain merestrospeksi keagungan peradaban Islam masa lalu, tulisan ini juga lebih dimaksudkan sebagai upaya untuk memproyeksi sekaligus merekontruksi kembali masa depan perabadan Islam di tengah-tengah hegemoni perabadan Barat sekular saat ini, yang sesungguhnya mulai tampak jompo, rapuh dan makin kelihatan tanda-tanda kemundurannya.

Peradaban Islam: Peradaban Emas

1.Tingginya Kemampuan Literasi.

Sebuah peradaban maju, termasuk peradaban Islam, tentu mencakup ruang-lingkup yang sangat luas. Kemajuan peradaban Islam masa lalu pun demikian. Jika buku dianggap sebagai salah satu warisan sebuah peradaban yang gilang-gemilang maka peradaban Islam menjadi peradaban garda depan yang ditopang oleh buku.

Di samping menjadi sumber inspirasi bagi kemajuan sebuah peradaban, buku juga menjadi ukuran sejauh mana sebuah peradaban dipandang maju. Para khalifah Islam pada masa lalu memahami benar hal ini. Pada abad ke-10, misalnya, di Andalusia saja terdapat 20 perpustakaan umum. Yang terkenal di antaranya adalah Perpustakaan Umum Cordova, yang saat itu memiliki tidak kurang dari 400 ribu judul buku. Ini termasuk jumlah yang luar biasa untuk ukuran zaman itu.

Padahal empat abad setelahnya, dalam catatan Chatolique Encyclopedia, Perpustakaan Gereja Canterbury saja, yang terbilang paling lengkap pada abad ke-14, hanya miliki 1800 (1,8 ribu) judul buku. Jumlah itu belum seberapa, apalagi jika dibandingkan dengan Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo yang terkenal itu, yang mengoleksi tidak kurang 2 juta judul buku.

Perpustakaan Umum Tripoli di Syam—yang pernah dibakar oleh Pasukan Salib Eropa—bahkan mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku, termasuk 50 ribu eksemplar al-Quran dan tafsirnya. Di Andalusia, pernah pula terdapat Perpustakaan al-Hakim yang menyimpan buku-bukunya di dalam 40 ruangan. Setiap ruangan berisi tidak kurang dari 18 ribu judul buku. Artinya, perpustakaan tersebut menyimpan sekitar 720 ribu judul buku.

Pada masa Kekhilafahan Islam yang cukup panjang, khususnya masa Kekhalifahan ‘Abbasiyyah, perpustakaan-perpustakaan semacam itu tersebar luas di berbagai wilayah Kekhilafahan, antara lain: Baghdad, Ram Hurmuz, Rayy (Raghes), Merv (daerah Khurasan), Bulkh, Bukhara (kota kelahiran Imam al-Bukhari), Ghazni, dsb. Lebih dari itu, hal yang lazim saat itu, di setiap masjid pasti terdapat perpustakaan yang terbuka untuk umum.

Menggambarkan hal ini, Bloom dan Blair menyatakan, “Rata-rata tingkat kemampuan literasi (kemampuan melek huruf membaca dan menulis) Dunia Islam di abad pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa. Karya tulis ditemukan di setiap tempat dalam peradaban ini.” (Jonathan Bloom & Sheila Blair, Islam – A Thousand Years of Faith and Power, Yale University Press, London, 2002, p-105).

2.Lahirnya Banyak Ilmuwan Besar dan Karya-karya Fenomenal Mereka.

Dari perpustakaan-perpustakaan itulah dimulainya penerjemahan buku-buku, yang dilanjutkan dengan pengkajian dan pengembangan atas isi buku-buku tersebut. Dari sini pula sesungguhnya dimulainya kelahiran para ilmuwan dan cendekiawan Muslim yang kemudian melahirkan karya-karya yang amat mengagumkan, yang mereka sumbangkan demi kemajuan peradaban Islam saat itu.

Bahkan tokoh-tokoh seperti Ibn Sina (terkenal di Barat sebagai Aveciena), Ibn Miskawaih, Asy-Syabusti dan beberapa nama lain mengawali karirnya—sebagai cendekiawan dan ilmuwan Muslim—dari ‘profesi’-nya sebagai penjaga dan pengawas perpustakaan. Ibn Sina, misalnya, adalah seorang pakar kedokteran. Ia meninggalkan sekitar 267 buku karyanya. Al-Qanun fi al-Thibb adalah bukunya yang terkenal di bidang kedokteran.

Beberapa nama lain adalah Ibn Rusyd (terkenal di Barat sebagai Averous); seorang filosof, dokter sekaligus pakar fikih dari Andalusia. Al-Kulliyat, salah satu bukunya yang terpenting dalam bidang kedokteran, berisi kajian ilmiah pertama mengenai fungsi jaringan-jaringan dalam kelopak mata.

Ada juga az-Zahrawi, kelahiran Cordova. Ia adalah orang pertama yang mengenalkan teknik pembedahan organ tubuh manusia. Karyanya berupa eksiklopedia pembedahan dijadikan referensi dasar dunia kedokteran dalam bidang pembedahan selama ratusan tahun.

Sejumlah universitas Barat juga menjadikannya sebagai acuan. Lalu ada az-Zarkalli, masih dari Cordova. Ia adalah salah seorang ahli astronomi yang pertama kali mengenalkan astrolobe, yakni istrumen yang digunakan untuk mengukur jarak sebuah bintang dari horison bumi. Penemuan ini menjadi revolusioner karena dapat membantu navigasi laut yang kemudian mendorong berkembangnya dunia pelayaran secara pesat.

Kemudian ada al-Khawarizmi, ahli matematika sekaligus penemu angka nol dan penemu salah satu cabang ilmu matematika, Algoritma, yang diambil dari namanya. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad Ibn Musa al-Khwarizmi (770-840) lahir di Khwarizm (Kheva), kota di selatan sungai Oxus (sekarang Uzbekistan) tahun 770 masehi. Pengaruhnya dalam perkembangan matematika, astronomi dan geografi tidak diragukan lagi dalam catatan sejarah.

Beberapa bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada awal abad ke-12 oleh dua orang penerjemah terkemuka, yaitu Adelard Bath dan Gerard Cremona. Risalah-risalah aritmatikanya, seperti Kitab al-Jam’a wa at-Tafriq bi al-Hisab al-Hindi, Algebra dan Al-Maqal fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabilah hanya dikenal dari translasi berbahasa Latin. Buku-buku itu terus dipakai hingga abad ke-16 sebagai buku pegangan dasar oleh universitas-universitas di Eropa.

Buku geografinya berjudul Kitab Surat al-Ard yang memuat peta-peta dunia pun telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Selanjutnya ada al-Idrisi, pakar geografi. Orang Barat menyebutnya Dreses. Al-Idris (1099-1166) dikenal oleh orang-orang Barat sebagai seorang ahli geografi. Ia pernah membuat bola dunia dari bahan perak seberat 400 kilogram untuk Raja Roger II dari Sicilia.

Globe buatan al-Idrisi ini secara cermat memuat pula ketujuh benua dengan rute perdagangannya, danau-danau dan sungai, kota-kota besar, dataran serta pegunungan. Beliau memasukkan pula beberapa informasi tentang jarak, panjang dan ketinggian secara tepat. Bola dunianya itu, oleh Idris sengaja dilengkapi pula dengan Kitâb ar-Rujari (Roger’s Book).

Dialah yang pertama kali memperkenalkan teknik pemetaan dengan metode proyeksi; suatu metode yang baru dikembangkan oleh ilmuwan Barat, Mercator, empat abad kemudian.

Selain beliau, masih ada nama yang patut disebut sebagai penyumbang peradaban untuk dunia. Dialah Jabir Ibn Hayyan, masternya ilmu kimia yang diakui oleh dunia. Ide-ide eksperimen Jabir sekarang lebih dikenal sebagai dasar untuk mengklasifikasikan unsur-unsur kimia, utamanya pada bahan metal, non-metal dan penguraian zat kimia.

Pada abad pertengahan karya-karya beliau di bidang ilmu kimia—termasuk kitabnya yang masyhur, Kitab al-Kimya dan Kitab as-Sab’în—sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa latin. Terjemahan Kitab al-Kimya bahkan telah diterbitkan oleh orang Inggris bernama Robert Chester tahun 1444, dengan judul The Book of the Composition of Alchemy.

Buku kedua (Kitab as-Sab’în) diterjemahkan juga oleh Gerard Cremona. Lalu tak ketinggalan Berthelot pun menerjemahkan beberapa buku Jabir, yang di antaranya dikenal dengan judul Book of Kingdom, Book of the Balances dan Book of Eastern Mercury.

Masih ada ilmuwan lainnya. Dia adalah Nashiruddin ath-Thusi, masternya ilmu astronomi dan perbintangan. Ada Ibnu al-Haitsam, jagoannya ilmu alam dan ilmu pasti. Beliau menulis buku berjudul Al-Manazhir yang berisi tentang ilmu optik. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Frederick Reysnar, dan diterbitkan di kota Pazel, Swiss, pada tahun 1572 dengan judul Opticae Thesaurus.

Ada lagi seorang ahli geografi ulung bernama Muhammad bin Ahmad al-Maqdisi. Bukunya, Ahsan at-Taqasim, merupakan buku geografi yang nilai sastra Arabnya paling tinggi. Buku tersebut menguraikan tentang semenanjung Arabia, Irak, Syam, Mesir, Maroko, Khurasan, Armenia, Azerbaijan, Chozistan, Persia dan Karman. Kemudian ada al-Kindi.

Beliau adalah simbol kedigdayaan ilmuwan Muslim. Jempolan dalam ilmu fisika dan filsafat. Beliau bahkan mewariskan sekitar 256 jilid buku. Lima belas buku di antaranya khusus mengenai meteorologi, anemologi, udara (iklim), kelautan, mata dan cahaya; juga dua buah buku mengenai musik. Muhammad, Ahmad dan Hasan—tiga keturunan Musa Ibnu Syakir, menyumbangkan ilmu teknik pengairan dan matematika.

Lalu mengenai dunia sejarah, filsafat dan sosiologi, ada sang maestronya, yaitu Ibnu Khaldun. Selain mereka, masih banyak lagi ilmuwan dan cendekiawan Muslim lainnya dengan keunggulan dan kepakarannya di bidangnya masing-masing. Orang-orang seperti merekalah yang kemudian memberikan banyak sekali sumbangsihnya bagi kemajuan peradaban Islam pada masa lalu yang masih terasa denyutnya hingga kini, justru pada saat orang-orang Eropa masih bergulat dengan masa kegelapannya yang panjang.

Tanpa kehadiran para ilmuwan dan cendekiawan Muslim yang telah mewariskan peradaban yang sangat agung, kemajuan peradaban Barat saat ini tidak mungkin terjadi. Sebab, merekalah sesungguhnya yang menjadi penghubung peradaban Yunani dan Romawi dengan peradaban Eropa saat ini. Secara jujur, hal ini diakui oleh salah seorang cendekiawan Barat sendiri, yakni Emmanuel Deutscheu yang asal Jerman itu.

Ia mengatakan, “Semua ini (yakni kemajuan peradaban Islam) telah memberikan kesempatan baik bagi kami untuk mencapai kebangkitan (renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern. Karena itu, sewajarnyalah kami senantiasa mencucurkan airmata tatkala kami teringat akan saat-saat jatuhnya Granada.” (Granada adalah benteng terakhir Kekhilafahan Islam di Andalusia yang jatuh ke tangan orang-orang Eropa).

Hal senada diungkapkan oleh Montgomery Watt, ketika ia menyatakan, “Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa.”

Jacques C. Reister juga berkomentar, “Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi.”

Bahkan yang menarik sekaligus mengejutkan, sumbangsih peradaban Islam terhadap dunia, termasuk dunia Barat, juga diakui oleh Presiden Amerika Serikat saat ini, Barack Obama. Hal itu terungkap saat dia berpidato tanggal 5 Juli 2009. Dia antara lain menyatakan:

"Peradaban berhutang besar pada Islam. Islamlah—di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar—yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad serta membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan era Pencerahan di Eropa.
Inovasi dalam masyarakat Muslimlah yang mengembangkan urutan aljabar; kompas magnet dan alat navigasi; keahlian dalam menggunakan pena dan percetakan; dan pemahaman mengenai penularan penyakit serta pengobatannya.
Budaya Islam telah memberi kita gerbang-gerbang yang megah dan puncak-puncak menara yang menjunjung tinggi; puisi-puisi yang tak lekang oleh waktu dan musik yang dihargai; kaligrafi yang anggun dan tempat-tempat untuk melakukan kontemplasi secara damai. Sepanjang sejarah, Islam telah menunjukkan melalui kata-kata dan perbuatan bahwa toleransi beragama dan persamaan ras adalah hal-hal yang mungkin."(http://jakarta.usembassy.gov.).

Sisi lain Keagungan Peradaban Islam

Selain itu, setidaknya berdasarkan pengakuan Will Durant, kebesaran peradaban Islam juga tampak pada beberapa hal berikut:

a.Jaminan atas keamanan dunia.

Dalam hal ini, Will Durant jelas mengatakan:

"Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad." (Will Durant – The Story of Civilization).

b.Menyatukan umat manusia.

Dalam hal ini, Will Durant terang mengakui:

"Agama Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan hingga Maroko dan Spanyol. Islam pun telah memiliki cita-cita mereka, menguasai akhlaknya, membentuk kehidupan¬nya, dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan urusan kehidupan maupun kesusahan mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka sehingga jumlah orang yang memeluknya dan ber¬pegang teguh padanya pada saat ini [1926] sekitar 350 juta jiwa.
Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hati¬nya walaupun ada perbedaan pendapat maupun latar belakang politik di antara mereka." (Will Durant – The Story of Civilization).

c.Menciptakan kemajuan ekonomi.

Dalam hal ini, Will Durant pun jujur bertutur:

"Pada masa pemerintahan Abdurrahman III diperoleh pendapatan sebesar 12,045,000 dinar emas  (lebih  dari  Rp 24 triliun). Diduga kuat bahwa jumlah tersebut melebihi pendapatan pemerintahan negeri-negeri Masehi Latin jika digabungkan. Sumber pendapatan yang besar tersebut bukan berasal dari pajak yang tinggi, melainkan salah satu pengaruh dari pemerintahan yang baik serta kemajuan pertanian, industri, dan pesatnya aktivitas perdagangan." (Will Durant – The Story of Civilization).

d.Menjamin kesehatan masyarakat.

Dalam hal ini, Will Durant secara jelas juga menegaskan:

"Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya adalah al-Bimarustan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160, telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun." (Will Durant – The Story of Civilization).

Bukti-bukti Arkeologis Keagungan Peradaban Islam

Pada masa-masa ‘kemunduran’-nya pun, peradaban Islam tetaplah mengagumkan. Sejumlah dokumen di sejumlah museum di Turki adalah di antara saksi bisu keagungan peradaban Islam masa lalu. Kita tahu, Turki pada masa Khilafah Utsmaniah adalah saksi terakhir kemajuan peradaban Islam.

Di Turki hingga hari ini, misalnya, ada sebuah masjid/museum terkenal bernama Aya Sofia. Di Aya Sofia dipamerkan surat-surat Khalifah (“Usmans Fermans”) yang menunjukkan kehebatan Khilafah Utsmaniyah dalam memberikan jaminan, perlindungan dan kemakmuran kepada warganya maupun kepada orang asing pencari suaka, tanpa pandang agama mereka.

Yang tertua adalah surat sertifikat tanah yang diberikan tahun 925 H (1519 M) kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman Inquisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia. Kemudian surat ucapan terima kasih dari Pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan yang dikirim Khalifah ke Amerika Serikat yang sedang dilanda kelaparan (pasca perang dengan Inggris), abad 18.

Lalu surat jaminan perlindungan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan mencari eksil ke Khalifah, 30 Jumadil Awal 1121 H (7 Agustus 1709). Selanjutnya ada surat tertanggal 13 Rabiul Akhir 1282 H (5 September 1865 M) yang memberikan ijin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang telah beremigrasi ke Rusia namun ingin kembali ke wilayah Khilafah, karena di Rusia mereka justru tidak sejahtera. Yang paling mutakhir adalah peraturan yang membebaskan bea cukai barang bawaan orang-orang Rusia yang mencari eksil ke wilayah Utsmani pasca Revolusi Bolschewik, tertanggal 25 Desember 1920.

Peradaban Islam juga tampak dari berbagai bangunan kuno yang saat ini masih bisa disaksikan di berbagai penjuru dunia. Kordoba sebagai ibukota Khilafah Umayah di Spanyol dibangun pada tahun 750 M. Ia menjadi pusat peradaban hingga 1258 M. Kota tua Kordoba masih bisa kita saksikan sekarang. Sejak berdirinya, kota ini memiliki drainase yang bagus sehingga jalan-jalan tampak bersih dan asri. Ini adalah suatu teknologi sanitasi—yang Jakarta hari ini perlu iri.

Masjid Agung Kordoba, yang saat ini hanya tinggal sebagai museum, memiliki arsitektur yang sangat indah; sekaligus memiliki fungsi akustik sehingga meskipun saat itu belum ada alat pengeras suara elektronik, suara khatib bisa terdengar jelas hingga pojok-pojok masjid yang cukup besar. Tata ruang masjid juga ditambah dengan pola ventilasi yang luar biasa, yang menjamin cukupnya cahaya dan segarnya udara.

Tidak jauh dari masjid terdapat Taman Alcazar yang sangat indah. Mengingat Andalusia dikelilingi oleh tanah-tanah yang gersang maka keberadaan taman itu membuktikan sistem irigasi yang baik. Irigasi memang salah satu teknologi yang diwariskan Islam.

Di banyak negeri Timur Tengah, masih dijumpai kincir untuk menaikkan air yang dibangun berabad-abad yang silam—dan kincir ini masih berfungsi! Di beberapa kota gurun pasir juga masih dijumpai sistem distribusi air bawah tanah, yang disebut Qanat.

Dari sekian banyak bangunan fisik berusia tua di Istanbul, yang paling menarik tentu saja adalah masjid-masjid yang indah. Ikon Istanbul adalah masjid Sultan Ahmet, yang berhadapan dengan Aya Sofia. Masjid ini dibangun pada Abad 16 dan satu-satunya masjid yang punya enam minaret.

Ketahanan bangunan ini terhadap gempa telah teruji. Harus diingat bahwa Turki adalah wilayah pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu Eropa, Asia, dan Afrika-Mediteran. Wilayah ini sangat sering diguncang gempa hingga data pertanahan di sana harus terus-menerus di-update karena titik-titiknya akan selalu bergeser oleh dinamika bumi. Namun, masjid-masjid di Turki yang dibangun berabad-abad yang lalu terbukti bertahan hingga kini.

Bangunan bersejarah semacam ini berserakan di seluruh dunia, di tempat Islam pernah berkuasa. Di Cina juga terdapat banyak masjid berusia minimal 1000 tahun. Di India, meski sejak masa penjajahan Inggris didominasi oleh warga beragama Hindu, sebagian besar bangunannya berarsitektur Islam; termasuk Tajmahal, sebuah bangunan mirip masjid yang sangat indah, padahal sebenarnya hanya makam.

Beberapa bangunan tua masih memegang fungsi seperti saat didirikan dulu, sekalipun mengalami renovasi berkali-kali. Contohnya adalah berbagai masjid dan universitas di Mesir, Damaskus, atau Istanbul. Universitas al-Azhar di Mesir faktanya adalah universitas tertua di dunia!

Pengaruh Peradaban Islam di Indonesia

Sesungguhnya pengaruh peradaban Islam di Nusantara nyaris merata, mewarnai sebagian besar wilayah, dari ujung barat hingga ke ujung timur. Aceh, yang dijuluki sebagai ‘Serambi Makah’ hanyalah salah satunya. Sejak sebelum kadatangan penjajah Belanda, Aceh telah menerapkan syariah Islam sebagai patokan kahidupan bermasyarakat dan bernegara.

Aceh juga banyak didatangi para ulama dari berbagai belahan dunia Islam lainnya. Syarif Makkah mengirimkan utusannya ke Aceh seorang ulama bernama Syaikh Abdullah Kan’an sebagai guru dan mubalig. Sekitar tahun 1582, datang dua orang ulama besar dari negeri Arab, yakni Syaikh Abdul Khayr dan Syekh Muhammad Yamani. Selain itu, di Aceh sendiri lahir sejumlah ulama besar, seperti Syamsuddin Al-Sumatrani dan Abdul Rauf al-Singkeli.

Abdul Rauf Singkel mendapat tawaran dari Sultan Aceh, Safiyat al-Din Shah, untuk menduduki jabatan Kadi dengan sebutan Qadi al-Malik al- Adil yang sudah lowong beberapa lama karena Nur al-Din Al-Raniri kembali ke Ranir (Gujarat). Setelah melakukan berbagai pertimbangan, Abdul Rauf menerima tawaran tersebut.

Karena itu, ia resmi menjadi qadi dengan sebutan Qadi al-Malik al- Adil. Selanjutnya, sebagai seorang kadi Abd Rauf diminta Sultan untuk menulis sebuah kitab sebagai patokan (qanun) penerapan syariah Islam. Buku tersebut kemudian diberi judul Mir’at al-Tullab.

Menurut Abd Rauf, naskah Mir’at al-Tullab mengacu pada kitab Fath al-Wahhab karya Abi Yahya Zakariyya al-Ansari (825-925 H). Sumber lain yang digunakan untuk menulis buku ini ialah: Fath-al-Jawwad, Tuhfat al-Muhtaaj, Nihayat al-Muhtaj, Tafsir Baydawi, al-Irsyad, dan Sharh Sahih Muslim. Mir’at al-Tullab mengandung semua hukum fiqh Imam Syafii, kecuali masalah ibadah. Walhasil, Aceh sesungguhnya sejak lama telah memiliki qanun penerapan syariah Islam yang ditulis oleh Abd Rauf al-Singkeli.

Bahkan banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan yang dekat antara Aceh dan Khilafah Turki Utsmani, sebagai pusat peradaban Islam saat itu.

Peran Sentral Khilafah

Dengan secuil gambaran historis mengenai kehebatan peradaban Islam di atas, tentu wajar jika muncul sejumlah pengakuan dari para cendekiawan yang jujur, sebagaimana terpapar di awal. Pengakuan jujur ini penting dicatat untuk membantah pandangan beberapa pihak yang mengidap Islamophobia akut seakan-akan Islam tidak pernah memberikan sumbangan apapun terhadap peradaban dunia.

Namun, ada satu hal yang belum secara jujur diakui atau paling tidak sering ditutupi, bahwa peradaban Islam yang memberikan sumbangan besar bagi dunia ini terjadi di era Kekhilafahan Islam. Bahkan boleh dikatakan, semua pencapaian kemajuan peradaan Islam itu tidak lepas dari peran sentral Khilafah. Kecemerlangan sejarah itu terjadi ketika umat Islam menerapkan sistem negara Khilafah yang menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan syariah Islam sebagai dasar hukum yang mengatur segenap aspek kehidupan manusia.

Karena itu, sebuah kepicikan atau kedustaan yang fatal jika di satu sisi memuji peradaban Islam, tetapi di sisi lain melepaskan seluruh kemajuan itu dari peran sentral Khilafah, selain karena faktor akidah dan syariah Islam. Ketiga hal inilah (akidah, syariah dan Khilafah) yang paling menentukan kemunculan peradaban Islam yang agung.

Sayang, ketiga hal ini sering ditutup-tutupi bahkan menjadi obyek penyesatan dengan membangun stigma negatif terhadapnya. Pada tanggal 5 September 2006 Presiden George W. Bush, misalnya, mengatakan, “They hope establish a violent political utopia across the Middle East, which they call Caliphate, where all would be ruled according to their hateful ideology (Mereka berangan-angan untuk membangun utopia-politik kekerasan di sepanjang Timur Tengah, yang mereka sebut dengan Khilafah, dimana semua akan diatur berdasar pada ideologi yang penuh kebencian).”

Senada dengan itu Tony Blair saat menjadi perdana menteri Inggris menyatakan bahwa salah satu ciri dari ‘ideolog iblis’ (evil ideology) adalah keinginan menegakkan syariah dan Khilafah. Tentu menggelikan sekaligus tidak masuk akal, bagaimana sebuah ideologi kebenciaan, utopis dan penuh kekerasan—ada juga yang menyebutkan sebagai sistem zaman batu—bisa menghasilkan peradaban agung yang diakui cemerlang oleh dunia; bagaimana sistem zaman batu bisa menyatukan berbagai bangsa, warna kulit dan ras di seluruh dunia; bagaimana mungkin pula ‘ideolog setan’ bisa diyakini bahkan diperjuangkan oleh pemeluknya dan bertahanan selama 13 abad. Padahal masa kecemerlangan itu terjadi di bawah naungan sistem Khilafah, yang sering oleh para sejarahwan Barat sering secara kurang pas disebut peradaban Arab, dinasti atau imperium.

Para ahli sejarah pun mengakui, Kekhilafahan itu memang ada dan menjadi kekuatan politik real umat Islam. Setelah masa Khulafaur Rasyidin, di belahan Barat Asia muncul kekuatan politik yang mempersatukan umat Islam dari Spanyol sampai al-Sind di bawah Kekhilafahan Bani Umayyah (660-749 M), dilanjutkan Khalifah Abbasiyyah kurang lebih satu abad (750-870 M), serta Khilafah Utsmani sampai 1924 M.

Adanya kekuatan politik di Asia Barat yang berhadapan dengan Cina telah mendorong tumbuh dan berkembangnya perdagangan di Laut Cina Selatan, Selat Malaka dan Samudra Hindia. Hal ini dengan sendirinya memberikan dampak bagi penyebaran Islam dan tumbuhnya kekuatan ekonomi, karena banyak pendakwah Islam sekaligus sebagai pedagang.

Khilafah dan Kembalinya Peradaban Islam: Pasti!

Di tengah hegemoni peradaban Barat yang tampak mulai jompo saat ini, bahkan sedang menuju titik balik ke arah kehancurannya, bagaimana dengan masa depan peradaban Islam? Adakah peradaban Islam memiliki peluang untuk kembali tampil ke permukaan? Mampukah peradaban Islam menjadi tantangan baru bagi hegemoni peradaban Barat saat ini?

Jawabannya: pasti! Tentu jawaban ini bukan sekadar sebuah apologia. Pasalnya, sumber inspirasi bahkan rahasia hidup peradaban Islam adalah al-Quran yang diturunkan empat belas abad lalu, yang keberadaannya akan terpelihara hingga Hari Kiamat. Artinya, selama al-Quran ada, potensi kebangkitan kembali peradaban Islam juga tetap ada. Sebab, sekali lagi, al-Quranlah sumber inspirasi sekaligus rahasia hidup peradaban Islam, baik pada masa lalu maupun pada masa depan. Kenyataan ini diakui pula oleh sejumlah cendekiawan Barat berikut ini:

"Hendaklah diingat, al-Quran memegang peranan yang lebih besar bagi kaum Muslim daripada Bibel dalam agama Kristen. Ia bukan saja kitab suci dari kepercayaan mereka, tetapi juga merupakan text-book dari upacara agamanya dan prinsip-prinsip hukum kemasyarakatan…Demikianlah, setelah melintasi masa selama 13 abad al-Quran tetap merupakan kitab suci bagi seluruh Turki, Iran, dan hampir seperempat penduduk India. Sungguh, sebuah kitab seperti ini patut dibaca secara meluas di Barat, terutama di masa kini…" (E. Denisen Ross, seperti dikutip dalam buku Kekaguman Dunia Terhadap Islam).

Prof. G. Margoliouth dalam De Karacht van den Islam juga menulis:

"Penyelidikan telah menunjukkan, bahwa yang diketahui oleh sarjana-sarjana Eropa tentang falsafah, astronomi, ilmu pasti, dan ilmu pengetahuan semacam itu, selama beberapa abad sebelum Renaissance, secara garis besar datang dari buku-buku Latin yang berasal dari bahasa Arab dan al-Quranlah yang—walaupun tidak secara langsung— memberikan dorongan pertama untuk studi-studi itu di antara orang-orang Arab dan kawan-kawan mereka."

Itu sebabnya, W.E. Hocking berkomentar:

"Oleh karena itu, saya merasa benar dalam penegasan saya, bahwa al-Quran mengandung banyak prinsip yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya sendiri. Sesunguhnya dapat dikatakan bahwa hingga pertengahan abad ke tigabelas, Islamlah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat dibanggakan oleh dunia Barat." (The Spirit of World Politics, 1932, hlm. 461).

Persoalannya tinggal berpulang pada kaum Muslim saat ini sebagai pewaris hakiki peradaban Islam yang gemilang: Maukah kita kembali pada al-Quran? Berminatkah kita kembali menjadikan al-Quran sebagai rujukan hidup? Terpanggilkah kita untuk menjadikan kembali al-Quran sebagai sumber inspirasi sekaligus rahasia hidup peradaban Islam masa depan?

Pertanyaan di atas tampaknya mulai terjawab dengan munculnya antusiasme kaum Muslim di seluruh dunia untuk kembali pada al-Quran dan Islam. Di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, kerinduan kaum Muslim terhadap akidah, syariah, juga Khilafah—sebagai tiga pilar peradaban Islam—mulia menggeliat sejak beberapa tahun lalu.

Karena itu, pada saat peradaban Barat saat ini hampir-hampir tersungkur, masa depan peradaban Islam sesungguhnya amatlah cerah. Sebentar lagi, kebangkitan kembali peradaban Islam--yang diawali dengan kebangkitan kembali Khilafah 'ala minhaj an-Nubuwwah, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw.--bukan lagi sekadar mimpi, tetapi pasti akan mewujud dalam kenyataan.

Alhasil, rekonstruksi Khilafah adalah niscaya demi masa depan cerah peradaban Islam.

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []