Menteri Pendidikan dan Kebudyaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim telah mengumumkan diperbolehkannya kegiatan belajar tatap muka untuk kembali digelar, disampaikan pada Jumat (20/11/2020).
Nadiem menyebut, kebijakan ini berdasarkan keputusan bersama empat menteri, yakni Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri. Nadiem mengatakan pemerintah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah (pemda) atau kantor wilayah kementerian agama untuk menentukan pembelajaran tatap muka.Adapun kebijakan tersebut mulai berlaku pada semester genap tahun ajaran 2020/2021 atau mulai Januari tahun depan.
Meski dibolehkan melakukan tatap muka dan tidak diwajibkan, pembelajaran tatap muka diperbolehkan atas keputusan tiga piha yaitu pemda, kepala sekolah dan orang tua yaitu komite sekolah. Semua pun dilakukan apabila sudah memenuhi enam syarat yakni sanitasi dan kebersihan toilet, sarana cuci tangan dan desinfektan, kedua akses kepada fasilitas pelayanan kesehatan, ketiga adalah kesiapan menerapkan wajib masker, keempat memiliki thermogun. Kelima, pemetaan warga satuan pendidikan, harus mengetahui siapa yang memiliki komorbiditas dari guru-gurunya dan muridnya, yang tidak memiliki akses transportasi yang aman dan tentunya riwayat perjalanan dari daerah dengan tingkat risiko yang tinggi. Enam hal ini adalah daftar periksa untuk memberikan kepastian bahwa sekolah itu boleh dibuka.
Tapi apakah solutif untuk dunia pendidikan jika beberapa waktu ini peningkatan pasien covid terus meningkat?
Kasus Covid di negeri ini hingga akhir November sudah mencapai angka diatas 500 ribu, dengan kematian diatas 16.500. Angka yang fantastis untuk negeri yang termasuk lambat merespon Covid sejak awal tahun 2020 ini. Bahkan korban dan dampaknya dirasa jauh lebih besar dari negara asal Covid sendiri.
Penanganan Covid yang dinilai lambar dr awal merespon, ditambah dengan pengaturan solusi negara yang enggan melakukan lockdown dari awal, serta beragam alasan pendanaan menjadikan penanganan Covid di negeri ini sangat terkesan lamban. Bahkan dinilai stagnan pada penanganan, dana keluar banyak hingga ratusan triliyun, tapi ciri menurunnya penularan Covid masih belum nampak. Peningkatan 5000 kasus dalam sehari menunjukkan bahwa ada masalah dalam penanganan Covid ini.
Apakah kita akan mengorbankan anak-anak kita dengan kebijakan pendidikan yabg membolehkan mereka melakukan tatap muka dalam pembelajarannya? Apakah kita yakin akan mampu menjamin kualitas anak didik kita di tengah suasana pandemi seperti ini, sementara kurikulum sendiri selalu mengalami perubahan. Seakan ganti mentri ganti kurikulum menjadi pemandangan tiap periodenya.
Yang ada hari ini menjadikan rakyat ada dalam posisi dilema, dimana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja masyarakat harus tetap keluar rumah beraktivitas seperti biasa. Karena kalau tidak keluar tidak akan ada yang dimakan. Begitu juga untuk pendidikan seakan-akan tidak ada solusi lain, di mana menjadikan anak-anak sebagai objek percobaan kurikulum juga objek dalam penanganan covid.
Hal ini pun menjadikan anak didik ada dalam posisi dilema, antara kebutuhan untuk mendapatkan pendidikan yang merupakan hak dan juga menjaga kesehatan yang merupakan kewajiban. Sangat dibutuhkan sekali kebijakan yang komprehensif untuk menyelesaikan masalah ini.
Islam menyelesaikan masalah pendidikan di tengah pandemi. Di dalam Islam penyelesaian masalah pandemi akan dapat dituntaskan jika negara adalah pengambil peran utama dalam penanganannya. Bagaimanapun wabah penyakit pernah pada zaman-zaman sebelumnya. Secara keimanan, wabah yang melanda dunia merupakan keputusan (qadha) Allah SWT. Oleh karena itu, sikap pertama yang harus diambil oleh manusia adalah ridha dengan (qadha) keputusan Allah SWT. Kedua, setiap manusia harus instropeksi. Sebabnya, meskipun semuanya adalah kehendak Allah, suatu kejadian, termasuk wabah, kadang dipicu oleh kesalahan atau dosa manusia. Ketiga, saat wabah menimpa, kita harus berikhtiar untuk mengatasinya.
Menangani Wabah dengan Tepat, Solusi Masalah Lainnya
Islam dalam mengatasi wabah tidak bisa dilepaskan dari komprehensivitas ajaran Islam. Negara berperan maksimal dalam menangani pandemi ini. Rasulullah saw bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dia pimpin.” (HR al-Bukhari).
Pandemi yang sudah menelan banyam korban harus dikembalikan kepada bagaimana paradigma Islam melihatnya. Hilangnya nyawa seorang muslim harus dipandang sebagai perkara krusial melebihi keuntungan materil dari sektor ekonomi, pariwisata hingga devisa. Maka negara tidk boleh memprioritaskan maslahat duniawi tapi tak menghiraukan keselamatan warganya.
Negara memiliki semua elemenn untuk Menentukan tes dan tracing dengan cepat.
Kelambanan dalam melakukan tes dan tracing berarti membiarkan masyarakat lebih banyak terkena wabah dan semakin banyak masyarakat yang meninggal. Orang yang terbukti positif harus segera diisolasi dan diobati. Dengan perangkat lengkap dan dana yang ada negara seharusnya mampu menanggung segala kebutuhannya hingga pasien dinyatakan sembuh.
Pusat wabah harus segera ditentukan dengan cepat dan menjaga secara ketat agar wabah tidak meluas. Hal ini telah disampaikan oleh Rasulullah saw: “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” (HR al-Bukhari). Isolasi ini akan efektif jika diputuskan dan dijalankan oleh negara.
Dalam penanganan pandemi ini negara harus benar-benar hadir dihadapan warganya. Saat terjadi isolasi, pasti masyarakat tidak bisa mencari nafkah, mengakibatkan kelaparan, kesempitan sehingga dapat menyebabkan kematian rakyat. Oleh karena itu, saat negara melakukan isolasi atau karantina, kebutuhan rakyat harus ditanggung oleh negara. Negara tidak boleh berlepas tangan.
Masyarakat yang tekena virus harus segera diobati dengan pengobatan yang serius. Dalam kasus virus Corona, negara sangat mungkin sekali memotivasi para ahli untuk seaegera mungkin mencari obat dari oenyakit ini, karena tidaklah Allah ciptakan penyakit kecuali Allah berikan obatnya. Berikan penghargaan dan apresiasi pada setiap keunngulan dan kreatifitas ilmu, bukan semata mindset kapitalis dalam melihat setiap masalah.
Jika negara benar- benar hadir dalam menangani wabah, dan kesulitan masyarakat pastinya daya dukunga masyarakat kepada penguasa pun akan makin menguat. Dan hal ini akan berimbas pada sektor-sektor lainnya. Termasuk masalah pendidikan.
Daya dukung umat kepada penguasa untuk melepas anak mereka menghadiri tatap muka pembelajaran selama pandemi sangat tergantung pada kredibilitas pemerintah dalam mengatasi pandemi ini. Jika penanganan pandemi dirasakan stagnan, bahkan angkanya terus naik, disisi lain negara justru menghidupkan sektor pariwisata beberapa waktu lalu dengan harapan mampu membangkitkan geliat ekonomi negara, hingga berakibat pada akhir tahun ini justru angka penderita covid semakin meningkat, hal ini justru semakin membuat kredibilitas pemerintah turun di hadapan rakyatnya.
Jika mengorbankan anak didik dalam situasi yang masih belum menentu dna kecenderungan politik kapitalis dalam penanganan pandemi jelas hal ini akan membuat dilema dan ada keresahan masyarakat yang makin dalam.
Seakan rakyat berjuang sendiri menghadapi Covid ini, jika untung hidup, jika tidak beruntung seakan bisa mati. Apakah seperti ini realita yang diharapkan? Dimana negara dalam melindungi ribuan nyawa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar