Jumat, 23 November 2018

Hukum Menuliskan Kalimat Tauhid di Atas Bendera dan Semisalnya (Meluruskan Pandangan Pihak yang Memakruhkan secara Mutlak)

Oleh: Robi Pamungkas
Peneliti Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat

Memang benar bahwa jumhur ulama memakruhkan menuliskan ayat-ayat al-Quran ke atas sesuatu yang bisa mengakibatkan penghinaan terhadap ayat al-Quran, dan sebagian ulama mengharamkannya. Berikut beberapa qaul ulama terkait masalah ini:

قال ابن الهمام رحمه الله في فتح القدير (1/ 169): " تكره كتابة القرآن وأسماء الله تعالى على الدراهم والمحاريب والجدران وما يفرش" انتهى.

“Berkata Ibnu al Hamam –رحم الله تعالى dalam Fath al-Qadir (1/169): dimakruhkan menulis al-Quran dan nama-nama Allah di atas dirham, mihrab, tembok, dan apa-apa yang membentang”

وقال الدردير رحمه الله في الشرح الكبير (1/ 425): " وظاهره أن النقش مكروه ، ولو قرآنا [أي على القبور] ، وينبغي الحرمة؛ لأنه يؤدي إلى امتهانه . كذا ذكروا
ومثله : نقش القرآن وأسماء الله في الجدران" انتهى

“Berkata ad-Dardir – رحم الله تعالى – dalam as-Syarh al-Kabir (1/425): dan yang nampak bahwa sesuatu yang diukir adalah makruh sekalipun al-Quran (yaitu yang diatas kubur). Bahkan seharusnya adalah haram karena bisa menyebabkan kepada penghinaan terhadap al-Quran. Sebagaimana yang mereka telah sebutkan” dan semisalnya adalah mengukir al-Quran dan nama-nama Allah di atas tembok”

وقال النووي رحمه الله في روضة الطالبين (1/ 80): " ويكره كتابته على الحيطان، سواء المسجد وغيره، وعلى الثياب"

“Berkata Imam Nawawi –رحم الله تعالى - dalam Raudhah ath-Thalibin (1/80): dimakruhkan menulis al-Quran di atas tembok. Sama saja apakah di masjid atau selainnya, begitupun di atas pakaian”

Jika kita teliti lebih dalam perkataan para ulama, mereka memakruhkan atau mengharamkan menulis al-Quran di tembok dan semisalnya adalah karena sebab adanya sesuatu yang bisa menghantarkan kepada pelecehan dan penghinaan terhadap al-Quran. Sedangkan secara asal hukumnya adalah mubah, karena tidak ada satupun dalil yang mengharamkan menulis al-Quran di atas suatu benda. Alasan para ulama sampai kepada kesimpulan memakruhkan atau mengharamkan berdasarkan keumuman firman Allah تعالى  dan hadis-hadis Nabi صلى الله عليه وسلم untuk mengagungkan ayat-ayat Allah dan nama-nama Allah تعالى . Diantaranya :

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah-perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati” (Qs. al Hajj; 32)

Syaikh Ali as-Shabuni berkata dalam tafsirnya:

أي ذلك ما وضحه الله لكم من الأحكام والأمثال ومن يعظم أمور الدين ومنها أعمالُ الحج والأضاحي والهدايا {فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى القلوب} أي فإن تعظيمها من أفعال المتقين لله

“Yaitu hal-hal yang telah dijelaskan oleh Allah kepada kalian berupa hukum-hukum dan permisalan. Barang siapa yang mengagungkan perkara agama dan diantaranya aktivitas haji, penyembelihan dan hadaya. Karena mengagungkan urusan agama termasuk perbuatannya orang-orang yang bertakwa kepada Allah” (Syaikh Ali as-Shabuni, Shafwah at-Tafasir, Maktabah Syamilah, tt, 2/264 )

Dari ayat di atas kita bisa tarik mafhum mukhalafah, karena ayat diatas termasuk kalimat syarthiyah yang bisa diambil mafhumnya. Barang siapa yang tidak mengagungkan perkara agama termasuk mengagungkan al-Quran dan nama-nama Allah, maka tidak ada ketakwaan di dalam hatinya. Jelas hal ini adalah suatu ancaman yang keras, karena tidak adanya ketakwaan dalam hati menandakan hatinya mati dari iman.

Ayat ini saja sudah cukup untuk menunjukan wajibnya kita mengagungkan semua syiar agama. Barang siapa yang melecehkan syiar agama seperti al Quran dan nama-nama Allah dengan sengaja, maka ulama sepakat pelakunya jatuh murtad dari Islam.

Dari sinilah para ulama mengambil istidlal (pendalilan) bahwa menulis al-Quran diatas suatu benda hukumnya makruh bahkan bisa haram, karena bisa akan menyebabkan kepada pelecehan al-Quran walaupun dilakukan tanpa sengaja.

Hal ini ditunjukan dengan fakta kebalikannya, ulama justru membolehkan menuliskan al-Quran atau nama-nama Allah diatas sesuatu jika memang ada hajat, seperti untuk membuat mushaf al-Quran , untuk kebutuhan ruqyah, untuk kebutuhan mengajar, dsb.

حكم كتبه على الاواني
[فصل] اختلف العلماء في كتابة القرآن في إناء ثم يغسل ويسقى المريض
فقال الحسن ومجاهد وأبو قلابة والأوزاعي لا بأس به وكرهه النخعي * قال القاضي حسين والبغوي وغيرهما من أصحابنا ولو كتب القرآن على الحلوى وغيرها من الأطعمة فلا بأس باكلها قال القاضي ولو كان خشبة كره إحراقها
[فصل] مذهبنا أنه يكره نقش الحيطان والثياب بالقرآن وبأسماء الله تعالى قال عطاء لا بأس بكتب القرآن في قبلة المسجد وأما كتابة الحروف من القرآن فقال مالك لا بأس به إذا كان في قصبة أو جلد وخرز عليه وقال بعض أصحابنا إذا كتب في الخرز قرآنا مع غيره فليس بحرام ولكن الأولى تركه لكونه يحمل في حال الحدث وإذا كتب يصان بما قاله الامام مالك رحمه الله وبهذا أفتى الشيخ أبو عمرو بن الصلاح رحمه الله

Hukum Menuliskan al-Quran di atas wadah
(Pasal) para ulama berbeda pendapat dalam menuliskan al Quran dalam wadah kemudian dicuci lalu diminumkan kepada orang sakit

Berkata al Hasan, Mujahid, Abu Qilabah, dan al-Awza’i tidak mengapa dan Imam an-Nakha’i memakruhkannya. Berkata al-Qadhi Husain dan al-Baghawi serta selain keduanya dari kalangan ashab kami seandainya al-Quran ditulis di atas al-Halwa (sejenis makanan) dan makanan lainnya maka tidak mengapa memakannya. Berkata al-Qadhi seandainya di atas kayu maka makruh dibakar.

(Pasal) madzhab kami (Syafii) makruh mengukir tembok dan pakaian dengan al-Quran dan nama-nama Allah. Berkaa ‘Atha tidak mengapa menulis al-Quran di kiblat masjid, adapun menuliskan huruf al Quran maka Imam Malik berkata tidak mengapa apabila di buluh atau kulit lalu diikatkan. Berkata sebagian ashab kami: apabila al-Quran ditulis didalam jimat dengan selain al-Quran maka tidak haram, tetapi lebih utama ditinggalkan, karena bisa terbawa ketika hadas. Apabila al-Quran ditulis (pada sesuatu) harus dijaga sebagaimana perkataan Malik -  رحم الله تعالى – dan dengan ini Abu ‘Amr bin as Shalah berfatwa” (Imam Nawawi, at-Tibyan fi Adab al-Hamlati al-Quran, Darul Kutub al-Islamiyah, Jakarta, Indonesia, cet. I, 2012, hal. 95)

Kesimpulannya hukum asal menuliskan al-Quran atau nama-nama Allah di atas sesuatu adalah mubah, karena tidak ada dalil yang mengharamkannya. Hanya saja menjadi makruh bahkan haram apabila bisa menghantarkan kepada pelecehan dan penghinaan al-Quran atau nama-nama Allah.

Sehingga boleh menuliskan kalimat tauhid di atas bendera, apalagi ada hadis yang bisa dijadikan sandarannya. Diriwayatkan dari Abu Syaikh al-Ashbahany dalam Akhlaq an-Nabi:

(404)- [1 : 126] حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ زَنْجُوَيْهِ الْمُخَرِّمِيُّ، نَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي السَّرِيِّ الْعَسْقَلانِيُّ، نَا عَبَّاسُ بْنُ طَالِبٍ، عَنْ حَيَّانَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِي مَجَلزٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " كَانَتْ رَايَةُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم سوداء ولواءه أبيض مكتوب فِيهِ: لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ

“Dari Ibnu Abbas – رضي الله عنه –ia berkata : Rayahnya Rasulullah  صلى الله عليه وسلم hitam dan liwanya berwarna putih. Tertulis padanya : لا إله إلا الله محمد رسول الله”

Waallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar