Kamis, 29 November 2018

Dalil Tentang Aktivitas Dakwah Jama’ah

Oleh : Ust Rokhmat S. Labib

Assalamu’alaikum. Ustadz saya mau tanya, adakah dalil yang mengharuskan seorang muslim untuk bergabung dalam aktivitas dakwah jama’ah?

Jawab:

Dalilnya firman Allah Swt:
وَلْتَكُن مِّنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنْكَرِ وَأُوْلَـٰئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imron [3]: 104).

Ayat ini menjadi dalil bagi wajibnya keberadaan organisasi politik atau partai politik Islam. Hal ini dapat disimpulkan dari alur pemikiran berikut.

Pertama, perkara yang diperintahkan ayat ini. Sebagaimana telah terpapar, perkara yang diperintahkan terhadap umat adalah membentuk suatu ummat atau jamaah dari kalangan mereka yang mengerjakan aktiviras menyeru kepada al-khayr atau Islam dan amar ma’ruf nahi munkar. Bukan dua aktivitas itu sendiri. Frasa: waltakun minkum ummah (hendaklah ada ummat di antara kalian) dalam ayat ini, jelas menunjukkan pengertian demikian.

Dalam tataran ini, ummah yang diperintahkan itu bisa berbentuk kelompok, organisasi, atau partai. Sebab, semua itu termasuk dalam cakupan kata ummah. Hanya saja, kelompok, organisasi, atau partai itu harus memiliki sifat layaknya sebuah jamaah sebagaimana ditetapkan ayat ini dan nash-nash lain.

Sebagai sebuah ummah, maka kelompok, organisasi, atau partai harus memiliki perkara yang dijadikan sebagai pengikat di antara anggota-anggotanya. Mengingat jamaah yang diperintahkan itu harus mengemban tugas dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar, maka perkara yang menjadi pengikat kelompok, organisasi, atau partai itu harus berdasarkan Islam. Konsekuensinya, ide-ide, hukum-hukum, dan pemecahan masalah yang diadopsi oleh kelompok, organisasi, atau partai tersebut harus bersumber dari Islam.
Apabila perkara pengikat kelompok, organisasi, atau partai itu tidak berdasarkan kepada Islam, tidak bisa menggugurkan kewajiban ayat ini. Terlebih jika kelompok, organisasi, atau partai itu berlandaskan paham dan ideologi selain Islam. Bukan hanya tidak menggugurkan kewajiban, umat Islam haram mendirikannya, bergabung dengannya, dan berjuang bersamanya. Sebab, ketika didasarkan kepada paham atau ideologi selain Islam, seperti sosialisme, kapitalisme, patriotisme, sektarianisme, dan sebagainya, niscaya kelompok, organisasi, atau partai tersebut akan menyerukan dan memperjuangkan paham atau ideologi kufur itu. Suatu tindakan yang dilarang keras (lihat QS Ali Imron [3]: 85).
Di samping perkara pengikat, kelompok, organisasi, atau partai itu juga harus memiliki sorang amir atau pemimpin yang ditaati seluruh anggotanya. Sebab, syara’ telah mewajibkan kepada setiap jama’ah yang mencapai tiga orang atau lebih untuk memiliki seorang amir yang ditaati. Rasulullah saw bersabda:
لَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةٍ يَكُوْنُوْنَ بِفَلَاةٍ مِنَ الْأَرْضِ إِلَّا أَمَّرُوْا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ
Tidak halal bagi tiga orang yang berjalan di muka bumi kecuali mereka mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.

Kedua, aktivitas yang dikerjakan oleh jamaah tersebut. Secara jelas, ayat ini menyebutkan dua aktivitas yang wajib dijalankan jamaah tersebut, yakni dakwah kepada al-khayr atau Islam dan amar ma’ruf nahi munkar.

Berkaitan dengan aktivitas pertama, yakni dakwah kepada Islam, masih bisa dilakukan oleh semua jenis jamaah, baik yang berbentuk kelompok, organisasi, atau partai, baik bersifat politik maupun tidak. Namun tidak demikian dengan aktivitas kedua: amar ma’ruf nahi munkar. Aktivitas ini hanya bisa dijalankan secara sempurna oleh jamah yang bersifat politik, baik organisasi politik ataupun partai politik. Pasalnya, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar juga wajib ditujukan kepada penguasa.

Tiga kata kerja pada ayat ini, yakni yad’ûna, ya’murûna, dan yanhawna tidak disebutkan maf’ûl (objek)nya. Menurut al-Alusi, itu disebabkan karena objeknya telah diketahui, yakni manusia. Sehingga, seruan kepada Islam dan amar ma’ruf nahi munkar harus ditujukan seluruh manusia, sekalipun mereka bukan termasuk mukallaf. Sudah barang tentu, penguasa termasuk dalamnya.

Di samping itu, kata al-ma’rûf dan kata al-munkar dalam ayat ini bersifat umum. Termasuk di dalamnya, perbuatan ma’ruf atau munkar yang dilakukan penguasa. Karena tercakup di dalamnya, amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan kepada penguasa juga harus dilakukan. Bahkan, amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan kepada penguasa itu termasuk amal yang paling utama. Dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah saw bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ

Seutama-utamanya jihad adalah ucapan yang haqq di hadapan penguasa yang fasik atau amir yang fasik (HR Ahmad, al-Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Demikian mulianya amal tersebut hingga pelakunya dimasukkan dalam sayyid al-syuhadâ’ (peghulu para syahid) apabila gugur tatkala melakukannya. Rasulullah saw bersabda:

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامً جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ وَقَتَلَهُ

Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah dan seseorang yang di depan pemimpin yang lalim, lalu ia memerintahkan (yang ma’ruf) dan melarang (yang mungkar), kemudian ia dibunuhnya (HR al-Hakim dari Jabir).

Di sisi lain, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan kepada penguasa itu termasuk aktivitas siyâsah atau politik Sebab, pengertian siyâsah atau politik –baik secara istilah maupun syar’i– adalah ri’âyah syu’ûn al-ummah (pengaturan dan pemeliharaan urusan ummat). Di antara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

Dahulu Bani Israil selalu dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, digantikan oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Tetapi nanti akan ada banyak khalifah. Para Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, dan yang pertama saja. Berikanlah hak mereka, sesungguhnya Allah akan memintai pertanggungjawaban terhadap urusan yang dibebankan kepada mereka” (Muttafaq ‘alayh dari Abu Hurairah, dengan lafadz al-Bukhari).

Kata tasûsuhum berarti ra’â syu’ûnahum (memelihara urusan mereka). Sebagaimana dinyatakan Hadits tersebut, tugas ri’âyah ini secara praktis dilakukan oleh khalifah. Bahwa sepeninggal Rasulullah saw, yang mengurusi dan melayani urusan umat Islam adalah khulafâ’ (bentuk jamak dari kata khalîfah). Karena menjadi tugasnya, dia akan ditanya terhadap tugas ri’âyah dibebankan kepadanya itu. Dalam Hadits tersebut dinyatakan: ‘ammâ [i]star’âhum (perkara yang mereka diminta mengurus dan mengaturnya) yang berasal dari kata ra’â (bentuk mashdar-nya ri’âyah). Berkaitan dengan tugas tersebut, Rasulullah saw juga bersabda:

وَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ

Dan imam atau pemimpin adalah râ’in, dan ia dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya itu (HR Muslim).

Menurut al-Ashfani, kata al-ra’yu pada awalnya berarti menjaga hewan (piaraan), baik dari segi makanannya agar tetap hidup atau menjaganya dari serangan musuh. Kata ini kemudian digunakan bagi setiap upaya penjagaan, pemeliharaan, dan pengaturan. Dengan demikian, tugas utama seorang pemimpin adalah menjaga, memelihara, dan mengatur rakyatnya.
Jika tugas ri’âyah terhadap urusan umat yang dilakukan penguasa disebut sebagai aktivitas politik, demikian pula dengan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar terhadap para penguasa agar mereka menjalankan ri’âyah secara benar. Aktivitas tersebut itu juga disebut sebagai aktivitas politik.
Bertolak dari kenyataan ini, jamaah yang memenuhi kriteria ayat ini hanyalah organisasi politik atau partai politik. Sebab, jika bukan organisasi politik atau partai politik, maka ada bagian dari amar ma’ruf nahi munkar yang tidak dijalankan, yakni amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan kepada penguasa. Apabila itu terjadi, berarti jamaah itu tidak memenuhi secara total kriteria ummah yang diwajibkan ayat ini.

Patut ditegaskan, keberadaan organisasi politik atau partai politik fardhu kifayah. Bentuk perintah untuk membentuk jamaah dalam ayat ini memang sekadar menunjukkan adanya thalab (seruan). Namun demikian terdapat qarînah (indikasi) lain yang menunjukkan bahwa seruan itu adalah suatu kewajiban. Qarînah itu adalah aktivitas yang dikerjakan oleh jamaah ini, yakni dakwah kepada Islam dan amar ma’rif nahi mukar. Berdasarkan nash-nash lainnya, dua aktivitas itu adalah fardu kifayah. Di antara dalilnya adalah Hadits dari Hudzaifah bin al-Yamani bahwa Rasulullah saw bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ

Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh kalian (mempunyai dua pilihan, yaitu) melakukan amar ma’ruf nahi munkar ataukah Allah mendatangkan kepada kalian siksa dari-Nya yang menimpa kalian. Kemudian setelah itu kalian berdoa, maka (doa itu) tidak akan dikabulkan (HR Ahmad dan al-Tirmidzi).

Hadits ini menjadi qarinah aktivitas amar ma’ruf nahi munkar berhukum fardhu. Karena aktivitasnya fardhu, maka keberadaan jamaah yang mengerjakan aktivitas itu juga wajib. Aktivitas tersebut tergolong fardhu kifayah karena jika telah tuntas dilakukan oleh sebagian orang, kewajiban menjadi gugur.

Karena fardhu kifayah, apabila sudah ada organisasi politik atau partai politik yang memenuhi kriteria ayat ini, kewajiban umat Islam telah gugur. Meskipun demikian, mereka tidak dilarang untuk mendirikan organisasi politik atau partai politik lagi. Sebab, umat Islam diperbolehkan mendirikan organisasi politik atau partai politik lebih dari satu.

Dalam ayat ini dinyatakan: ummat[un], dan bukan ummat[un] wâhidah. Kata ummat[un] merupakan ism al-jins yang berbentuk nakirah. ini tidak memberikan batasan jumlah. Ini seperti kata nafs[un] pada firman Allah Swt:

وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

Hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dalam (QS al-Haysr [59]).

Kata nafs[un] tidak menunjuk pada satu jiwa saja. Namun siapa saja yang tercakup dalam kata nafs[un] termasuk di dalamnya. Demikian pula kata ummat[an]. Asalkan termasuk dalam cakupan ummah dan memenuhi kriteria yang diwajibkan ayat ini, organisasi politik atau partai politik itu boleh saja didirikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar