Kamis, 29 November 2018

AKSI UNJUK RASA TIDAK DICONTOHKAN OLEH GENERASI SALAF? WANITA TIDAK BOLEH IKUT AKSI MASSA?

Menjelang digelarnya Aksi Massa 212 di Jakarta, bermunculan tulisan dan ceramah dari kalangan mereka yang menisbatkan manhajnya kepada generasi salaf yang isinya mengecam dan membid’ahkan aksi tersebut, terlebih bagi kaum muslimah. Dengan alasan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan shahabat, tabi’in dan pengikut mereka (generasi salaf). Benarkah demikian?

Aksi massa atau unjuk rasa dalam rangka menyampaikan aspirasi, mengadukan permasalahan, menuntut solusi, memberi masukan, menyerukan kebenaran, melarang dari kemungkaran, dan semacamnya hukumnya boleh, baik bagi laki-laki maupun bagi wanita. Selama tidak melanggar batasan-batasan syari’at terkait. Misal tidak dengan kekerasan, tidak merusak fasilitas umum, tidak mencabut tanaman, tidak menampakkan aurat, tidak bercampur baur selama memungkinkan, khusus wanita: mendapat izin suami atau wali, tidak bertabarruj, disertai mahram jika perjalanan panjang, dan sebagainya. 

Kebolehannya masuk dalam dalil umum dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar yang tidak terbatas waktu dan tempat, sehingga boleh dilakukan di manapun (termasuk di area sekitar monas) dan kapanpun (termasuk tanggal 2/12) oleh siapapun dari kaum muslimin, dan dengan _uslub_ (cara) atau media apapun (termasuk bendera tauhid, banner seruan, taushiyah dengan pengeras suara, dsb) selama tidak melanggar batasan-batasan syara’ semisal di atas tadi.

Jadi amalan itu untuk dikatakan boleh tidak harus ada dalil spesifik yang menunjukkannya, dan juga tidak harus pernah dicontohkan oleh generasi salaf. Misalnya berdakwah via sosmed atau di dunia maya sebagaimana juga banyak dilakukan oleh kalangan salafiyun. Jika ditanya mana dalil spesifik yang membolehkan serta mana contohnya oleh generasi salaf tentu tidak akan ada, apakah berarti selama ini hal tersebut perbuatan bid’ah yang dicela? Mengingat kegiatan berkenaan dengan agama (amar ma’ruf nahi munkar), tidak ada dalil spesifiknya, dan tidak pernah dicontohkan oleh generasi salaf. Tidak bukan? Alasannya tentu sama, yaitu bahwa kebolehannya lantaran dinaungi oleh keumuman dalil dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar.

Terlebih lagi terdapat bukti bahwa di masa Nabi SAW pun telah ada aksi unjuk rasa yang melibatkan banyak massa. Bahkan dilakukan oleh kaum wanita, dan berlangsung di malam hari!

عن إياس بن عبد الله بن أبي ذباب، قال: قال النبي - صلى الله عليه وسلم -: "لا تضربن إماء الله" فجاء عمر إلى النبي - صلى الله عليه وسلم - فقال: يا رسول الله، قد ذئر النساء على أزواجهن، فأمر بضربهن. فضربن فطاف بآل محمد - صلى الله عليه وسلم - طائف نساء كثير، فلما أصبح قال: "لقد طاف الليلة بآل محمد سبعون امرأة، كل امرأة تشتكي زوجها، فلا تجدون أولئك خياركم". رواه ابن ماجة ، وقال الشيخ شعيب الأرنؤوط: إسناده صحيح
Dari Iyas bin Abdillah bin Abi Dzubab beliau berkata, Nabi bersabda: _“Janganlah kalian memukul hamba-hamba wanita Allah”_. Lalu datanglah Umar kepada Nabi dan berkata: _“Wahai Rasulullah, kaum wanita telah berani terhadap suami-suami mereka”_, maka beliau memerintahkan untuk memukulnya, maka merekapun dipukul. Kemudian datang sekelompok wanita dalam jumlah besar mengintari kediaman keluarga Nabi Muhammad. Maka dipagi harinya beliau berkata: _“Tadi malam keluarga Muhammad telah dikelilingi oleh kaum wanita dalam jumlah sangat banyak, setiap mereka mengadukan suaminya. Maka kalian tidak akan menjumpai mereka itu (para lelaki yang memukul istrinya tersebut) sebagai orang-orang yang terbaik di antara kalian.”_ HR. Ibnu Majah, Syu’aib al-Arnauth: sanadnya Shahih.

Dalam riwayat Ibnu Hibban dengan redaksi:

عن إياس بن أبي ذباب قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «لا تضربوا إماء الله» قال: فذئر النساء وساءت أخلاقهن على أزواجهن فقال عمر بن الخطاب: ذئر النساء وساءت أخلاقهن على أزواجهن منذ نهيت عن ضربهن فقال النبي صلى الله عليه وسلم: «فاضربوا» فضرب الناس نساءهم تلك الليلة فأتى نساء كثير يشتكين الضرب فقال النبي صلى الله عليه وسلم، حين أصبح:  «لقد طاف بآل محمد الليلة سبعون امرأة كلهن يشتكين الضرب وايم الله لا تجدون أولئك خياركم». رواه ابن حبان
Dari Iyas bin Abi Dzubab beliau berkata, Rasulullah bersabda: _“Janganlah kalian memukul hamba-hamba wanita Allah”._ Perawi berkata: Maka kemudian kaum wanita menjadi lancang dan berakhlak buruk, maka Umar bin Khaththab berkata: _“Kaum wanita telah menjadi lancang dan berakhlak buruk (terhadap suami mereka) sejak Engkau mengeluarkan larangan untuk memukul mereka”,_ maka beliau berkata: _“Maka pukullah”._ Kemudian orang-orang pada memukul istri-isitri mereka malam itu, lalu datanglah kaum wanita dalam jumlah besar mengadukan pukulan tersebut. Maka saat pagi hari tiba Nabi berkata: _“Tadi malam keluarga Muhammad telah didatangi dan dikelilingi kaum wanita dalam jumlah sangat banyak, semua mereka mengadu telah dipukul. Demi Allah, kalian tidak akan menjumpai mereka itu (para lelaki yang memukul istrinya tersebut) sebagai orang-orang yang terbaik di antara kalian.”_ HR. Ibnu Hibban – Syu’aib al-Arnauth: hadits Shahih.

Dari segi periwayatan, hadits di atas memiliki sanad yang kuat, dan kecenderungannya sebagai hadits shahih. al-Imam al-Hakim meriwayatkannya dalam al-Mustadrak (hadits nomor 2765 dan 2774) dengan memberi keterangan: hadits ini shahih meski tidak dikeluarkan oleh Syaikhani, dan al-Imam al-Dzahabi menyepakati kesahihannya dalam al-Talkhish nya. Al-Imam Ibnu Hibban mencantumkan hadits ini di kitab shahih nya, dan dinyatakan shahih pula oleh pentahqiq kontemporer al-Syaikh Syu’aib al-Arnauth.

Kedatangan kaum wanita dalam jumlah besar ke kediaman keluarga Nabi dalam hadits tersebut memenuhi kriteria sebagai aksi massa di muka publik dalam jumlah besar. Juga kriteria sebagai unjuk rasa menyampaikan keluhan sekaligus meminta solusi kepada Nabi atas persoalan yang sedang mereka hadapi dan rasakan. Mengingat kedudukan Nabi di situ sebagai penguasa yang memiliki kewenangan dalam menentukan kebijakan. Dan bagian penting yang berimplikasi hukum dari riwayat tersebut adalah sikap Nabi yang tidak mengingkari adanya aksi massa tersebut, tapi justru menyambut baik serta mengakomondasi keluhan mereka.

Adapun terkait jumlah massa yang datang dalam riwayat tersebut disebutkan ada 70 orang wanita. Hal ini mengandung dua kemungkinan: pertama dengan makna hakiki bahwa jumlah mereka benar-benar 70 orang persis, atau dengan makna kiasan bahwa bilangan 70 disitu disebutkan untuk menunjukkan jumlah yang sangat banyak. Karena merupakan kebiasaan orang Arab, menjadikan bilangan 70 untuk mubalaghah (melebih-lebihkan) dalam ucapan mereka. Al-Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya atas surah At-Taubah 80 mencantumkan penjelasan:

لأن العرب في أساليب كلامها تذكر السبعين في مبالغة كلامها، ولا تريد التحديد بها
_Sebab orang Arab itu dalam gaya berbicara mereka menyebutkan bilangan 70 dalam rangka melebih-lebihkan ucapan mereka, bukan maksud membatasi dengan angka tersebut._

Dalam bahasa Indonesia yang semisal ini adalah bilangan 7 pada ungkapan “pusing tujuh keliling”. Bukan berarti benar-benar pusingnya seperti pusing disebabkan tujuh kali keliling, melainkan berarti sangat pusing. Jadi kemungkinan di riwayat di atas adalah dengan makna ini (mubalaghah), juga mengingat keadaan malam kala itu tidak seterang saat ini.

Walhasil, aksi massa dalam rangka untuk menyampaikan aspirasi, dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, mesyi’arkan Islam dan kalimat tauhid, serta mensyi’arkan persatuan umat Islam, adalah boleh hukumnya. Bahkan dalam kondisi tertentu menjadi suatu tuntutan, agar opini yang berkembang di tengah masyarakat tidak didominasi oleh kabatilan, diskriminasi terhadap ajaran islam, persekusi terhadap para pengemban dakwah, tuduhan radikal dan teroris, dan sebagainya. Dan jika dalam riwayat tadi wanita bisa dan boleh berunjuk rasa, maka untuk kaum laki-laki tentu lebih utama akan kebolehannya (min bâbil-awlâ).

Ust. Azizi Fathoni
Wallâhu a’lam wa ahkam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar