Kamis, 29 November 2018

AKSI UNJUK RASA TIDAK DICONTOHKAN OLEH GENERASI SALAF? WANITA TIDAK BOLEH IKUT AKSI MASSA?

Menjelang digelarnya Aksi Massa 212 di Jakarta, bermunculan tulisan dan ceramah dari kalangan mereka yang menisbatkan manhajnya kepada generasi salaf yang isinya mengecam dan membid’ahkan aksi tersebut, terlebih bagi kaum muslimah. Dengan alasan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan shahabat, tabi’in dan pengikut mereka (generasi salaf). Benarkah demikian?

Aksi massa atau unjuk rasa dalam rangka menyampaikan aspirasi, mengadukan permasalahan, menuntut solusi, memberi masukan, menyerukan kebenaran, melarang dari kemungkaran, dan semacamnya hukumnya boleh, baik bagi laki-laki maupun bagi wanita. Selama tidak melanggar batasan-batasan syari’at terkait. Misal tidak dengan kekerasan, tidak merusak fasilitas umum, tidak mencabut tanaman, tidak menampakkan aurat, tidak bercampur baur selama memungkinkan, khusus wanita: mendapat izin suami atau wali, tidak bertabarruj, disertai mahram jika perjalanan panjang, dan sebagainya. 

Kebolehannya masuk dalam dalil umum dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar yang tidak terbatas waktu dan tempat, sehingga boleh dilakukan di manapun (termasuk di area sekitar monas) dan kapanpun (termasuk tanggal 2/12) oleh siapapun dari kaum muslimin, dan dengan _uslub_ (cara) atau media apapun (termasuk bendera tauhid, banner seruan, taushiyah dengan pengeras suara, dsb) selama tidak melanggar batasan-batasan syara’ semisal di atas tadi.

Jadi amalan itu untuk dikatakan boleh tidak harus ada dalil spesifik yang menunjukkannya, dan juga tidak harus pernah dicontohkan oleh generasi salaf. Misalnya berdakwah via sosmed atau di dunia maya sebagaimana juga banyak dilakukan oleh kalangan salafiyun. Jika ditanya mana dalil spesifik yang membolehkan serta mana contohnya oleh generasi salaf tentu tidak akan ada, apakah berarti selama ini hal tersebut perbuatan bid’ah yang dicela? Mengingat kegiatan berkenaan dengan agama (amar ma’ruf nahi munkar), tidak ada dalil spesifiknya, dan tidak pernah dicontohkan oleh generasi salaf. Tidak bukan? Alasannya tentu sama, yaitu bahwa kebolehannya lantaran dinaungi oleh keumuman dalil dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar.

Terlebih lagi terdapat bukti bahwa di masa Nabi SAW pun telah ada aksi unjuk rasa yang melibatkan banyak massa. Bahkan dilakukan oleh kaum wanita, dan berlangsung di malam hari!

عن إياس بن عبد الله بن أبي ذباب، قال: قال النبي - صلى الله عليه وسلم -: "لا تضربن إماء الله" فجاء عمر إلى النبي - صلى الله عليه وسلم - فقال: يا رسول الله، قد ذئر النساء على أزواجهن، فأمر بضربهن. فضربن فطاف بآل محمد - صلى الله عليه وسلم - طائف نساء كثير، فلما أصبح قال: "لقد طاف الليلة بآل محمد سبعون امرأة، كل امرأة تشتكي زوجها، فلا تجدون أولئك خياركم". رواه ابن ماجة ، وقال الشيخ شعيب الأرنؤوط: إسناده صحيح
Dari Iyas bin Abdillah bin Abi Dzubab beliau berkata, Nabi bersabda: _“Janganlah kalian memukul hamba-hamba wanita Allah”_. Lalu datanglah Umar kepada Nabi dan berkata: _“Wahai Rasulullah, kaum wanita telah berani terhadap suami-suami mereka”_, maka beliau memerintahkan untuk memukulnya, maka merekapun dipukul. Kemudian datang sekelompok wanita dalam jumlah besar mengintari kediaman keluarga Nabi Muhammad. Maka dipagi harinya beliau berkata: _“Tadi malam keluarga Muhammad telah dikelilingi oleh kaum wanita dalam jumlah sangat banyak, setiap mereka mengadukan suaminya. Maka kalian tidak akan menjumpai mereka itu (para lelaki yang memukul istrinya tersebut) sebagai orang-orang yang terbaik di antara kalian.”_ HR. Ibnu Majah, Syu’aib al-Arnauth: sanadnya Shahih.

Dalam riwayat Ibnu Hibban dengan redaksi:

عن إياس بن أبي ذباب قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «لا تضربوا إماء الله» قال: فذئر النساء وساءت أخلاقهن على أزواجهن فقال عمر بن الخطاب: ذئر النساء وساءت أخلاقهن على أزواجهن منذ نهيت عن ضربهن فقال النبي صلى الله عليه وسلم: «فاضربوا» فضرب الناس نساءهم تلك الليلة فأتى نساء كثير يشتكين الضرب فقال النبي صلى الله عليه وسلم، حين أصبح:  «لقد طاف بآل محمد الليلة سبعون امرأة كلهن يشتكين الضرب وايم الله لا تجدون أولئك خياركم». رواه ابن حبان
Dari Iyas bin Abi Dzubab beliau berkata, Rasulullah bersabda: _“Janganlah kalian memukul hamba-hamba wanita Allah”._ Perawi berkata: Maka kemudian kaum wanita menjadi lancang dan berakhlak buruk, maka Umar bin Khaththab berkata: _“Kaum wanita telah menjadi lancang dan berakhlak buruk (terhadap suami mereka) sejak Engkau mengeluarkan larangan untuk memukul mereka”,_ maka beliau berkata: _“Maka pukullah”._ Kemudian orang-orang pada memukul istri-isitri mereka malam itu, lalu datanglah kaum wanita dalam jumlah besar mengadukan pukulan tersebut. Maka saat pagi hari tiba Nabi berkata: _“Tadi malam keluarga Muhammad telah didatangi dan dikelilingi kaum wanita dalam jumlah sangat banyak, semua mereka mengadu telah dipukul. Demi Allah, kalian tidak akan menjumpai mereka itu (para lelaki yang memukul istrinya tersebut) sebagai orang-orang yang terbaik di antara kalian.”_ HR. Ibnu Hibban – Syu’aib al-Arnauth: hadits Shahih.

Dari segi periwayatan, hadits di atas memiliki sanad yang kuat, dan kecenderungannya sebagai hadits shahih. al-Imam al-Hakim meriwayatkannya dalam al-Mustadrak (hadits nomor 2765 dan 2774) dengan memberi keterangan: hadits ini shahih meski tidak dikeluarkan oleh Syaikhani, dan al-Imam al-Dzahabi menyepakati kesahihannya dalam al-Talkhish nya. Al-Imam Ibnu Hibban mencantumkan hadits ini di kitab shahih nya, dan dinyatakan shahih pula oleh pentahqiq kontemporer al-Syaikh Syu’aib al-Arnauth.

Kedatangan kaum wanita dalam jumlah besar ke kediaman keluarga Nabi dalam hadits tersebut memenuhi kriteria sebagai aksi massa di muka publik dalam jumlah besar. Juga kriteria sebagai unjuk rasa menyampaikan keluhan sekaligus meminta solusi kepada Nabi atas persoalan yang sedang mereka hadapi dan rasakan. Mengingat kedudukan Nabi di situ sebagai penguasa yang memiliki kewenangan dalam menentukan kebijakan. Dan bagian penting yang berimplikasi hukum dari riwayat tersebut adalah sikap Nabi yang tidak mengingkari adanya aksi massa tersebut, tapi justru menyambut baik serta mengakomondasi keluhan mereka.

Adapun terkait jumlah massa yang datang dalam riwayat tersebut disebutkan ada 70 orang wanita. Hal ini mengandung dua kemungkinan: pertama dengan makna hakiki bahwa jumlah mereka benar-benar 70 orang persis, atau dengan makna kiasan bahwa bilangan 70 disitu disebutkan untuk menunjukkan jumlah yang sangat banyak. Karena merupakan kebiasaan orang Arab, menjadikan bilangan 70 untuk mubalaghah (melebih-lebihkan) dalam ucapan mereka. Al-Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya atas surah At-Taubah 80 mencantumkan penjelasan:

لأن العرب في أساليب كلامها تذكر السبعين في مبالغة كلامها، ولا تريد التحديد بها
_Sebab orang Arab itu dalam gaya berbicara mereka menyebutkan bilangan 70 dalam rangka melebih-lebihkan ucapan mereka, bukan maksud membatasi dengan angka tersebut._

Dalam bahasa Indonesia yang semisal ini adalah bilangan 7 pada ungkapan “pusing tujuh keliling”. Bukan berarti benar-benar pusingnya seperti pusing disebabkan tujuh kali keliling, melainkan berarti sangat pusing. Jadi kemungkinan di riwayat di atas adalah dengan makna ini (mubalaghah), juga mengingat keadaan malam kala itu tidak seterang saat ini.

Walhasil, aksi massa dalam rangka untuk menyampaikan aspirasi, dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, mesyi’arkan Islam dan kalimat tauhid, serta mensyi’arkan persatuan umat Islam, adalah boleh hukumnya. Bahkan dalam kondisi tertentu menjadi suatu tuntutan, agar opini yang berkembang di tengah masyarakat tidak didominasi oleh kabatilan, diskriminasi terhadap ajaran islam, persekusi terhadap para pengemban dakwah, tuduhan radikal dan teroris, dan sebagainya. Dan jika dalam riwayat tadi wanita bisa dan boleh berunjuk rasa, maka untuk kaum laki-laki tentu lebih utama akan kebolehannya (min bâbil-awlâ).

Ust. Azizi Fathoni
Wallâhu a’lam wa ahkam

Dalil Tentang Aktivitas Dakwah Jama’ah

Oleh : Ust Rokhmat S. Labib

Assalamu’alaikum. Ustadz saya mau tanya, adakah dalil yang mengharuskan seorang muslim untuk bergabung dalam aktivitas dakwah jama’ah?

Jawab:

Dalilnya firman Allah Swt:
وَلْتَكُن مِّنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنْكَرِ وَأُوْلَـٰئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imron [3]: 104).

Ayat ini menjadi dalil bagi wajibnya keberadaan organisasi politik atau partai politik Islam. Hal ini dapat disimpulkan dari alur pemikiran berikut.

Pertama, perkara yang diperintahkan ayat ini. Sebagaimana telah terpapar, perkara yang diperintahkan terhadap umat adalah membentuk suatu ummat atau jamaah dari kalangan mereka yang mengerjakan aktiviras menyeru kepada al-khayr atau Islam dan amar ma’ruf nahi munkar. Bukan dua aktivitas itu sendiri. Frasa: waltakun minkum ummah (hendaklah ada ummat di antara kalian) dalam ayat ini, jelas menunjukkan pengertian demikian.

Dalam tataran ini, ummah yang diperintahkan itu bisa berbentuk kelompok, organisasi, atau partai. Sebab, semua itu termasuk dalam cakupan kata ummah. Hanya saja, kelompok, organisasi, atau partai itu harus memiliki sifat layaknya sebuah jamaah sebagaimana ditetapkan ayat ini dan nash-nash lain.

Sebagai sebuah ummah, maka kelompok, organisasi, atau partai harus memiliki perkara yang dijadikan sebagai pengikat di antara anggota-anggotanya. Mengingat jamaah yang diperintahkan itu harus mengemban tugas dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar, maka perkara yang menjadi pengikat kelompok, organisasi, atau partai itu harus berdasarkan Islam. Konsekuensinya, ide-ide, hukum-hukum, dan pemecahan masalah yang diadopsi oleh kelompok, organisasi, atau partai tersebut harus bersumber dari Islam.
Apabila perkara pengikat kelompok, organisasi, atau partai itu tidak berdasarkan kepada Islam, tidak bisa menggugurkan kewajiban ayat ini. Terlebih jika kelompok, organisasi, atau partai itu berlandaskan paham dan ideologi selain Islam. Bukan hanya tidak menggugurkan kewajiban, umat Islam haram mendirikannya, bergabung dengannya, dan berjuang bersamanya. Sebab, ketika didasarkan kepada paham atau ideologi selain Islam, seperti sosialisme, kapitalisme, patriotisme, sektarianisme, dan sebagainya, niscaya kelompok, organisasi, atau partai tersebut akan menyerukan dan memperjuangkan paham atau ideologi kufur itu. Suatu tindakan yang dilarang keras (lihat QS Ali Imron [3]: 85).
Di samping perkara pengikat, kelompok, organisasi, atau partai itu juga harus memiliki sorang amir atau pemimpin yang ditaati seluruh anggotanya. Sebab, syara’ telah mewajibkan kepada setiap jama’ah yang mencapai tiga orang atau lebih untuk memiliki seorang amir yang ditaati. Rasulullah saw bersabda:
لَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةٍ يَكُوْنُوْنَ بِفَلَاةٍ مِنَ الْأَرْضِ إِلَّا أَمَّرُوْا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ
Tidak halal bagi tiga orang yang berjalan di muka bumi kecuali mereka mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.

Kedua, aktivitas yang dikerjakan oleh jamaah tersebut. Secara jelas, ayat ini menyebutkan dua aktivitas yang wajib dijalankan jamaah tersebut, yakni dakwah kepada al-khayr atau Islam dan amar ma’ruf nahi munkar.

Berkaitan dengan aktivitas pertama, yakni dakwah kepada Islam, masih bisa dilakukan oleh semua jenis jamaah, baik yang berbentuk kelompok, organisasi, atau partai, baik bersifat politik maupun tidak. Namun tidak demikian dengan aktivitas kedua: amar ma’ruf nahi munkar. Aktivitas ini hanya bisa dijalankan secara sempurna oleh jamah yang bersifat politik, baik organisasi politik ataupun partai politik. Pasalnya, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar juga wajib ditujukan kepada penguasa.

Tiga kata kerja pada ayat ini, yakni yad’ûna, ya’murûna, dan yanhawna tidak disebutkan maf’ûl (objek)nya. Menurut al-Alusi, itu disebabkan karena objeknya telah diketahui, yakni manusia. Sehingga, seruan kepada Islam dan amar ma’ruf nahi munkar harus ditujukan seluruh manusia, sekalipun mereka bukan termasuk mukallaf. Sudah barang tentu, penguasa termasuk dalamnya.

Di samping itu, kata al-ma’rûf dan kata al-munkar dalam ayat ini bersifat umum. Termasuk di dalamnya, perbuatan ma’ruf atau munkar yang dilakukan penguasa. Karena tercakup di dalamnya, amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan kepada penguasa juga harus dilakukan. Bahkan, amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan kepada penguasa itu termasuk amal yang paling utama. Dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah saw bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ

Seutama-utamanya jihad adalah ucapan yang haqq di hadapan penguasa yang fasik atau amir yang fasik (HR Ahmad, al-Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Demikian mulianya amal tersebut hingga pelakunya dimasukkan dalam sayyid al-syuhadâ’ (peghulu para syahid) apabila gugur tatkala melakukannya. Rasulullah saw bersabda:

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامً جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ وَقَتَلَهُ

Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah dan seseorang yang di depan pemimpin yang lalim, lalu ia memerintahkan (yang ma’ruf) dan melarang (yang mungkar), kemudian ia dibunuhnya (HR al-Hakim dari Jabir).

Di sisi lain, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan kepada penguasa itu termasuk aktivitas siyâsah atau politik Sebab, pengertian siyâsah atau politik –baik secara istilah maupun syar’i– adalah ri’âyah syu’ûn al-ummah (pengaturan dan pemeliharaan urusan ummat). Di antara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

Dahulu Bani Israil selalu dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, digantikan oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Tetapi nanti akan ada banyak khalifah. Para Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, dan yang pertama saja. Berikanlah hak mereka, sesungguhnya Allah akan memintai pertanggungjawaban terhadap urusan yang dibebankan kepada mereka” (Muttafaq ‘alayh dari Abu Hurairah, dengan lafadz al-Bukhari).

Kata tasûsuhum berarti ra’â syu’ûnahum (memelihara urusan mereka). Sebagaimana dinyatakan Hadits tersebut, tugas ri’âyah ini secara praktis dilakukan oleh khalifah. Bahwa sepeninggal Rasulullah saw, yang mengurusi dan melayani urusan umat Islam adalah khulafâ’ (bentuk jamak dari kata khalîfah). Karena menjadi tugasnya, dia akan ditanya terhadap tugas ri’âyah dibebankan kepadanya itu. Dalam Hadits tersebut dinyatakan: ‘ammâ [i]star’âhum (perkara yang mereka diminta mengurus dan mengaturnya) yang berasal dari kata ra’â (bentuk mashdar-nya ri’âyah). Berkaitan dengan tugas tersebut, Rasulullah saw juga bersabda:

وَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ

Dan imam atau pemimpin adalah râ’in, dan ia dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya itu (HR Muslim).

Menurut al-Ashfani, kata al-ra’yu pada awalnya berarti menjaga hewan (piaraan), baik dari segi makanannya agar tetap hidup atau menjaganya dari serangan musuh. Kata ini kemudian digunakan bagi setiap upaya penjagaan, pemeliharaan, dan pengaturan. Dengan demikian, tugas utama seorang pemimpin adalah menjaga, memelihara, dan mengatur rakyatnya.
Jika tugas ri’âyah terhadap urusan umat yang dilakukan penguasa disebut sebagai aktivitas politik, demikian pula dengan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar terhadap para penguasa agar mereka menjalankan ri’âyah secara benar. Aktivitas tersebut itu juga disebut sebagai aktivitas politik.
Bertolak dari kenyataan ini, jamaah yang memenuhi kriteria ayat ini hanyalah organisasi politik atau partai politik. Sebab, jika bukan organisasi politik atau partai politik, maka ada bagian dari amar ma’ruf nahi munkar yang tidak dijalankan, yakni amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan kepada penguasa. Apabila itu terjadi, berarti jamaah itu tidak memenuhi secara total kriteria ummah yang diwajibkan ayat ini.

Patut ditegaskan, keberadaan organisasi politik atau partai politik fardhu kifayah. Bentuk perintah untuk membentuk jamaah dalam ayat ini memang sekadar menunjukkan adanya thalab (seruan). Namun demikian terdapat qarînah (indikasi) lain yang menunjukkan bahwa seruan itu adalah suatu kewajiban. Qarînah itu adalah aktivitas yang dikerjakan oleh jamaah ini, yakni dakwah kepada Islam dan amar ma’rif nahi mukar. Berdasarkan nash-nash lainnya, dua aktivitas itu adalah fardu kifayah. Di antara dalilnya adalah Hadits dari Hudzaifah bin al-Yamani bahwa Rasulullah saw bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ

Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh kalian (mempunyai dua pilihan, yaitu) melakukan amar ma’ruf nahi munkar ataukah Allah mendatangkan kepada kalian siksa dari-Nya yang menimpa kalian. Kemudian setelah itu kalian berdoa, maka (doa itu) tidak akan dikabulkan (HR Ahmad dan al-Tirmidzi).

Hadits ini menjadi qarinah aktivitas amar ma’ruf nahi munkar berhukum fardhu. Karena aktivitasnya fardhu, maka keberadaan jamaah yang mengerjakan aktivitas itu juga wajib. Aktivitas tersebut tergolong fardhu kifayah karena jika telah tuntas dilakukan oleh sebagian orang, kewajiban menjadi gugur.

Karena fardhu kifayah, apabila sudah ada organisasi politik atau partai politik yang memenuhi kriteria ayat ini, kewajiban umat Islam telah gugur. Meskipun demikian, mereka tidak dilarang untuk mendirikan organisasi politik atau partai politik lagi. Sebab, umat Islam diperbolehkan mendirikan organisasi politik atau partai politik lebih dari satu.

Dalam ayat ini dinyatakan: ummat[un], dan bukan ummat[un] wâhidah. Kata ummat[un] merupakan ism al-jins yang berbentuk nakirah. ini tidak memberikan batasan jumlah. Ini seperti kata nafs[un] pada firman Allah Swt:

وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

Hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dalam (QS al-Haysr [59]).

Kata nafs[un] tidak menunjuk pada satu jiwa saja. Namun siapa saja yang tercakup dalam kata nafs[un] termasuk di dalamnya. Demikian pula kata ummat[an]. Asalkan termasuk dalam cakupan ummah dan memenuhi kriteria yang diwajibkan ayat ini, organisasi politik atau partai politik itu boleh saja didirikan.

Jumat, 23 November 2018

Peran Remaja dalam Sejarah Islam


▪️Banyak para Sahabat yang menjadi pemimpin dalam sejarah Islam, yang mana mereka memeluk Islam sejak usia remaja.

▪️Rasulullah SAW memberdayakan para remaja. Beliau mengasah bakat mereka, dan memberikan kesempatan mereka untuk berkembang.

1⃣ Abdullah bin Mas'ud, termasuk Sahabat yang paling berpengetahuan sehingga dijuluki 'al-Mu'allim' oleh para Sahabat. Masuk Islam pada usia 16 tahun.
2⃣ Abdurrahman bin Auf, termasuk Sahabat yang berkemampuan dan pebisnis yang sukses. Masuk Islam pada usia 17 tahun.
3⃣ Asma' binti Abu Bakr, Sahabiyah yang melawan tirani di kaumnya, yaitu Abu Jahal ketika hendak membunuh Rasulullah SAW. Masuk Islam pada usia 17 tahun.
4⃣ Sa'ad bin Abi Waqqash, pemanah ulung yang melindungi Rasulullah SAW pada perang Uhud. Masuk Islam pada usia 17 tahun.
5⃣ Mush'ab bin Umair, Sahabat yang cerdas, dan kharismatik. Diutus Rasulullah SAW ke Madinah untuk berdakwah. Masuk Islam pada usia 18 tahun.

▪️Rasulullah SAW menginvestasikan waktu dan energi beliau untuk mengembangkan para remaja.
▪️Hasilnya? Para Legenda yang mengguncang dunia hingga saat ini.

(Source: @AbdulNasirJ)
seraamedia

Silaturahim

📋 #Silaturahim Meminimalisir Kerusakan

📗 "Ada hubungan tak terpisahkan antara menyambung shilaturahim dengan munculnya kerusakan.  Shilaturrahim dapat menyebarkan kasih sayang dan menyebabkan rasa malu sehingga meminimalisir kerusakan yang diakibatkan manusia."

📖 Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :

أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ
"Kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?" (QS. Muhammad [47]: 22)

📚 Dr. 'Aqil Syamri
___________________
UBN Digital Academy
Instagram : @ubndigitalacademy

================

TULUSKAH KITA MENCINTAI NABI SAW?


Oleh : Arief B. Iskandar

Memasuki bulan Rabi’ul Awwal seperti saat ini, sebagian umat Islam biasa merayakan Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. dengan segala ekspresi kegembiraan dan rasa syukur. Tentu itu dilakukan karena dorongan rasa cinta umat ini kepada beliau. Namun demikian, sepantasnya—terutama dalam suasana Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. ini—setiap  Muslim merenungkan satu pertanyaan saja: Tuluskah kita mencintai Rasulullah saw.?

Terkait pertanyaan di atas, saya ingin mengutip sebuah riwayat dalam Kitab Shahih al-Bukhari. Disebutkan kira-kira demikian: Suatu hari, Senin, Tsuwaibah datang kepada tuannya, Abu Lahab seraya menyampaikan kabar tentang kelahiran bayi mungil bernama Muhammad, keponakan barunya. Mendengar itu Abu Lahab pun bersukacita. Ia kegirangan seraya meneriakkan kata-kata pujian sepanjang jalan.

Sebagai bentuk luapan kegembiraan, ia segera mengundang para tetangga dan kerabat dekatnya untuk merayakan kelahiran keponakan tercintanya ini: bayi laki-laki yang mungil, lucu dan sempurna.

Sebagai penanda sukacitanya, ia pun berkata kepada budaknya, Tsuwaibah, di hadapan khalayak ramai yang mendatangi undangan perayaan kelahiran keponakannya itu, “Tsuwaibah, sebagai tanda syukurku atas kelahiran keponakanku (Muhammad), anak dari saudara laki-lakiku, Abdullah, maka kamu menjadi manusia merdeka mulai hari ini!”

Sayang, siapapun tahu, kelak Abu Lahab—yang notabene paman Nabi Muhammad saw. ini—justru tampil menjadi salah satu musuh utama beliau. Ia mengingkari risalah kenabian beliau sekaligus menentang al-Quran yang beliau bawa. Karena itu sosoknya lalu dikecam dalam satu surat tersendiri dalam al-Quran, yakni Surat Al-Masad.

Namun demikian, karena ekspresi kegembiraannya menyambut kelahiran Muhammad, Abu Lahab mendapatkan keringanan siksaan, yakni pada setiap hari Senin. Imam al-Hafizh as-Suyuthi berkata dalam Al-Hawy (I/196-197), “Saya melihat Imamul Qurra`, Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Jauzi, berkata dalam kitab beliau yang berjudul, ‘Urf at-Ta’rif bi al-Mawlid asy-Syarif, dengan teks sebagai berikut: Telah diperlihatkan Abu Lahab setelah meninggalnya di dalam mimpi. Dikatakan kepada dia, “Bagaimana keadaanmu?” Dia menjawab, “(Aku) di dalam neraka. Hanya saja, diringankan atas diriku siksaan setiap malam Senin. Hal ini karena aku memerdekakan Tsuwaibah ketika dia menyampaikan kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Muhammad dan karena dia telah menyusuinya.”

As-Suyuthi berkata, “Jika Abu Lahab yang kafir ini, yang telah dicela oleh al-Quran, diringankan siksaannya dengan sebab kegembiraannya karena kelahiran Nabi Muhammad saw., maka bagaimana lagi keadaan seorang Muslim dari kalangan umat beliau yang bertauhid, yang gembira dengan kelahiran beliau dan mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mencintai beliau?! Saya bersumpah, tidak ada balasan dari Allah Yang Maha Pemurah kecuali Dia akan memasukkannya ke dalam surga.”

Riwayat tentang Abu Lahab ini pun dicantumkan di dalam Kitab Al-Barjanji yang terkenal, juga dinukil oleh Syaikh Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam risalahnya, Hawla al-Ihtifal bi al-Mawlid hlm.8.

Riwayat ini kemudian dijadikan 'dalil' oleh sebagian ulama tentang keabsahan merayakan Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw.

Tentu menarik jika riwayat ini dikaitkan dengan realitas umat Islam hari ini. Banyak dari umat ini yang begitu antusias dengan Perayaan Kelahiran Nabi Muhammad saw. Namun, saat yang sama, sebagian dari mereka—khususnya para penguasanya—sering tak berbeda sikapnya dengan Abu Lahab: mengabaikan al-Quran yang dibawa oleh Nabi saw., mencampakkan syariahnya dan menolak hukum-hukumnya dengan berbagai alasan.

Padahal bukankah demi al-Quran, syariah dan hukum-hukumnya, Nabi Muhammad saw. dilahirkan dan diutus?

Jika demikian, sekali lagi kita layak bertanya kepada diri sendiri: Tuluskah kita mencintai Rasulullah saw.?

Di sisi lain, kita berduka sekaligus murka saat al-Quran yang dibawa oleh Rasulullah saw. dinistakan.

Namun, apakah kita juga berduka dan murka saat al-Quran sekian lama dicampakkan; saat syariahnya sekian lama tak dipedulikan; dan saat hukum-hukumnya sekian lama tak diterapkan?

Padahal bukankah demi al-Quran, syariah dan hukum-hukumnya, Nabi Muhammad saw. rela mengorbankan harta, keluarga, bahkan jiwanya?

Jika demikian, kita pun layak bertanya kepada diri sendiri: Tuluskah ekspresi kesedihan dan kemarahan kita saat al-Quran dinistakan?

Faktanya, kita pun telah mengecewakan beliau. Bahkan kita telah benar-benar menyakiti perasaan beliau hingga beliau mengadu kepada Allah SWT: “Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Quran ini sebagai perkara yang diabaikan.” (TQS al-Furqan [25]: 30).

Semoga kita tidak seperti Abu Lahab, yang hanya bersukacita atas kelahiran Nabi Muhammad saw., tetapi saat yang sama mengabaikan al-Quran, menolak syariahnya dan enggan diatur dengan hukum-hukumnya.

Wa ma tawfiqi illa bilLah. []

Bendera Rasulullah ﷺ

Al-Hafizh Muhammad bin Yusuf as-Syamiy ash-Shalihiy dalam Subulul Huda wa ar-Rasyad mengungkapkan:

كان له صلى الله عليه وسلم لواء أبيض مكتوب عليه «لا إله إلا الله محمد رسول الله» وآخر أسود، وآخر أغبر ... وروى الإمام أحمد، والترمذي بسند جيد والطبراني- برجال الصحيح- غير حيان بن عبيد الله عن بريدة وابن عباس، وابن عدي عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنهم قالوا: كانت راية رسول الله صلى الله عليه وسلم سوداء، ولواؤه أبيض، زاد أبو هريرة وابن عباس- كما عند الطبراني- مكتوب فيه «لا إله إلا الله محمد رسول الله» ، رواه أبو الشّيخ عن ابن عباس... (محمد بن يوسف الصالحي الشامي، سبل الهدى والرشاد،7/373)

“Nabi ﷺ memiliki liwa’ berwarna putih bertuliskan (لا إله إلا الله محمد رسول الله) dan yang lain berwarna hitam, dan berwarna debu tanah ... diriwayatkan oleh Imam Ahmad , dan at-Tirmidzi dengan sanad yang baik dan ath-Thabraniy  – para perawi ash-shahih – kecuali  Hayyan (tertulis حبان maksudnya حيان ) bin ‘Ubaidillah dari Buraidah dan Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum. Ibn ‘Adiy dari Abu Hurairah radhiyallahu ta’ala ‘anhum, mereka mengatakan: panji Rasulullah ﷺberwarna hitam dan liwa’-nya berwarna putih. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu –sebagaimana riwayat ath-Thabrani- menambahkan : tertulis (لا إله إلا الله محمد رسول الله). Abu asy-Syaikh  juga meriwayatkan dari ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu ... ”

Berdasarkan informasi berharga ini, diketahui bahwa Nabi ﷺ memiliki bendera hitam, putih atau berwarna debu tanah dan tertulis kalimah ((لا إله إلا الله محمد رسول الله)). Dikatakan informasi berharga karena:

(a) Dari pakar riwayat yang adil dan berilmu, yakni Syaikh al-Hafizh Muhammad bin Yusuf as-Syamiy ash-Sholihiy (w. 942 H ). Mengenai beliau, Syaikh Muhammad Abdul Hayy al-Kattaniy  dalam Fihris al-Faharis (2/1062): “asy-Syamiy ialah al-Imam al-Hafizh Muhadits ad-Diyar al-Mishriyyah Musnid Syamsuddin Muhammad bin Yusuf bin ‘Aliy bin Yusuf asy-Syamiy ash-Shalihiy ad-Dimsyaqiy”. Syaikh Khairuddin az-Zirikliy  dalam al-A’lam (7/155): “muhadits, pakar bidang sejarah, bermazhab syafi’iyyah” . Syaikh Abdul Hayy bin Ahmad Ibn al-‘Imad al-Hanbaliy dalam Syadzarat adz-Dzahab (10/353): “orang yang berpegang teguh pada sunnah Nabi ﷺ  ...orang  yang berilmu, shalih, menguasai berbagai cabang ilmu, ... ucapannya indah, pandangannya agung, banyak berpuasa dan shalat malam, dan sedikit tidur di waktu malam ... bila seorang pelajar meninggal dan meninggalkan anak-anak yang lemah, maka ia senantiasa mengutus pegawai untuk berangkat ke al-Qadiy (hakim) mengurusi hal itu dan mengambil tunjangan hidup untuk anak-anak tersebut hingga mereka bisa mengurusinya sendiri...  ia tidak menerima harta dari penguasa dan bantuan mereka sedikitpun, ia tidak makan dari makanan mereka ... akhlaqnya terpuji ... ”. Syaikh Iyad Khalid dalam al-Imam al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthiy (hal. 423): “Muhammad bin Yusuf bin ‘Aliy asy-Syamiy, Syamsuddin, al-Imam al-‘Alamah az-Zahid ... belajar di hadapan al-Hafizh as-Suyuthiy, akhlaqnya terpuji, wara’, dan ahli ibadah yang terkenal”.

(b) Dari kajian mendalam dan beragam referensi. Mengenai hal ini, Syaikh al-Hafizh as-Syamiy dalam pendahuluan Subulul Huda (1/3): “saya merangkumnya lebih dari 300 kitab, saya jelaskan didalamnya yang benar ... saya tidak menyebutkan didalamnya satupun dari hadits-hadits yang maudhu’ ...  ” . Syaikh Muhammad Abdul Hayy al-Kattaniy  dalam Fihris al-Faharis (2/1063): “(kitabnya) menghimpun dari 1000 kitab dan menjelaskan yang benar”, adapun Syaikh Abdul Hayy bin Ahmad Ibn al-‘Imad al-Hanbaliy  dalam Syadzarat adz-Dzahab (8/247): “ia menghimpunnya dari 1000 kitab dan berbagai kalangan menerima kitabnya, dan mendapat pelajaran didalamnya sajian yang belum ada pendahulunya”.

Data di atas untuk menunjukkan bahwa keterangan dalam kitab sirah tersebut datang dari pakar yang terpercaya, adil dan berilmu dibidangnya. Hal ini cukup bagi umat muslim secara umum saat opini atas bendera Rasulullah ﷺ menyebar, disebut bendera ormas radikal, bendera teroris, bendera pemberontak, bendera yang menyelisihi kesepakatan teritorial dan yang semisal. Berpegang pada pendapat al-Hafizh asy-Syamiy dalam rangka mengamalkan dalil syar’iy. Diantaranya ialah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا (الحجرات: 6)

“hai orang-orang yang beriman, jika orang fasiq datang kepadamu membawa berita, maka carilah kebenaran berita itu”

عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: «قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ... يَا عَبْدَ اللَّهِ هَلْ تَدْرِي أَيُّ النَّاسِ أَعْلَمُ؟ قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: فَإِنَّ أَعْلَمَ النَّاسِ أَبْصَرُهُمْ بِالْحَقِّ إِذَا اخْتَلَفَ النَّاسُ وَإِنْ كَانَ مُقَصِّرًا بِالْعَمَلِ (المستدرك على الصحيحين للحاكم)

“dari ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ berkata kepada saya: wahai Abdullah, tahukah kamu siapa manusia yang paling paham ?, saya menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui, Nabi ﷺ menjawab : manusia yang paling paham ialah orang yang paling mengerti kebenaran ketika manusia berselisih pendapat, meskipun ia sedikit amalnya ”

Ada pola syarat ditandai dengan (إِنْ ... فَتَبَيَّنُوا), dari mafhum syarat bisa diambil mafhum mukhalafah, Syaikh ‘Aly ash-Shabuniy  dalam Rawa-i’ al-Bayan (2/484):  (فلما دلّ الأمر بالتثبت في خبر الفاسق، وجب قبول خبر العدل) “ketika ada perintah memeriksa kebenaran berita orang fasiq, maka pemberitaan orang adil wajib diterima”. Ayat ini menggunakan redaksi (نبأ) bermakna berita penting, bila tidak penting maka tidak disebut (نبأ), dari segi bab yang lebih utama, menyampaikan agama lebih utama mensyaratkan sifat adil agar diterima dan diamalkan. Dan juga disyaratkan berilmu, (هَلْ تَدْرِي أَيُّ النَّاسِ أَعْلَمُ؟) diikuti (إِنَّ أَعْلَمَ النَّاسِ أَبْصَرُهُمْ بِالْحَقِّ إِذَا اخْتَلَفَ النَّاسُ) dan redaksi (إِنْ كَانَ مُقَصِّرًا بِالْعَمَلِ) merupakan bentuk tuntutan, yakni dituntut untuk mengetahui orang yang lebih berilmu saat terjadi perbedaan, dari sisi bab yang lebih utama, dalam keadaan sulit membedakan antara pendapat islamiy atau pendapat bathil, maka mengetahui orang yang lebih berilmu dan mengikuti pendapatnya lebih utama dibanding dalam persoalan khilafiyyah dimana kesemuanya pendapat islamiy. Dengan demikian, berpegang pada pendapat al-Hafizh asy-Syamiy termasuk mengikuti dalil syar’iy, dalam rangka mengikuti perintah mengambil persoalan agama dari orang yang adil dan berilmu dibidang tersebut.

===
disusun oleh ibn mukhtar

Sanad kami : dari guru kami Prof. Yusuf al-Mar’asyaliy, beliau dari asy-Syaikh Muhammad asy-Syadziliy an-Naifar dan asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad ash-Shiddiq al-Ghumariy dan asy-Syaikh Muhammad Yasin al-Fadaniy al-Makkiy, ketiganya rahimahumullah dari asy-Syaikh Muhammad Abdul Hayy al-Kattaniy, dan beliau melalui jalur (a) al-Badr al-Qarafiy dari asy-Syamsu Muhammad bin Muhammad al-Fisyiy dari al-Hafizh Muhammad bin Yusuf ash-Shalihiy asy-Syamiy, dan (b) dari jalur Abu Salim al-‘iyasiy dari asy-Syamsu Muhammad ath-Thahthawiy al-Malikiy al-Mishriy dari asy-Syaikh Muhammad dari al-Hafizh asy-Syamiy.

Hukum Menuliskan Kalimat Tauhid di Atas Bendera dan Semisalnya (Meluruskan Pandangan Pihak yang Memakruhkan secara Mutlak)

Oleh: Robi Pamungkas
Peneliti Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat

Memang benar bahwa jumhur ulama memakruhkan menuliskan ayat-ayat al-Quran ke atas sesuatu yang bisa mengakibatkan penghinaan terhadap ayat al-Quran, dan sebagian ulama mengharamkannya. Berikut beberapa qaul ulama terkait masalah ini:

قال ابن الهمام رحمه الله في فتح القدير (1/ 169): " تكره كتابة القرآن وأسماء الله تعالى على الدراهم والمحاريب والجدران وما يفرش" انتهى.

“Berkata Ibnu al Hamam –رحم الله تعالى dalam Fath al-Qadir (1/169): dimakruhkan menulis al-Quran dan nama-nama Allah di atas dirham, mihrab, tembok, dan apa-apa yang membentang”

وقال الدردير رحمه الله في الشرح الكبير (1/ 425): " وظاهره أن النقش مكروه ، ولو قرآنا [أي على القبور] ، وينبغي الحرمة؛ لأنه يؤدي إلى امتهانه . كذا ذكروا
ومثله : نقش القرآن وأسماء الله في الجدران" انتهى

“Berkata ad-Dardir – رحم الله تعالى – dalam as-Syarh al-Kabir (1/425): dan yang nampak bahwa sesuatu yang diukir adalah makruh sekalipun al-Quran (yaitu yang diatas kubur). Bahkan seharusnya adalah haram karena bisa menyebabkan kepada penghinaan terhadap al-Quran. Sebagaimana yang mereka telah sebutkan” dan semisalnya adalah mengukir al-Quran dan nama-nama Allah di atas tembok”

وقال النووي رحمه الله في روضة الطالبين (1/ 80): " ويكره كتابته على الحيطان، سواء المسجد وغيره، وعلى الثياب"

“Berkata Imam Nawawi –رحم الله تعالى - dalam Raudhah ath-Thalibin (1/80): dimakruhkan menulis al-Quran di atas tembok. Sama saja apakah di masjid atau selainnya, begitupun di atas pakaian”

Jika kita teliti lebih dalam perkataan para ulama, mereka memakruhkan atau mengharamkan menulis al-Quran di tembok dan semisalnya adalah karena sebab adanya sesuatu yang bisa menghantarkan kepada pelecehan dan penghinaan terhadap al-Quran. Sedangkan secara asal hukumnya adalah mubah, karena tidak ada satupun dalil yang mengharamkan menulis al-Quran di atas suatu benda. Alasan para ulama sampai kepada kesimpulan memakruhkan atau mengharamkan berdasarkan keumuman firman Allah تعالى  dan hadis-hadis Nabi صلى الله عليه وسلم untuk mengagungkan ayat-ayat Allah dan nama-nama Allah تعالى . Diantaranya :

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah-perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati” (Qs. al Hajj; 32)

Syaikh Ali as-Shabuni berkata dalam tafsirnya:

أي ذلك ما وضحه الله لكم من الأحكام والأمثال ومن يعظم أمور الدين ومنها أعمالُ الحج والأضاحي والهدايا {فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى القلوب} أي فإن تعظيمها من أفعال المتقين لله

“Yaitu hal-hal yang telah dijelaskan oleh Allah kepada kalian berupa hukum-hukum dan permisalan. Barang siapa yang mengagungkan perkara agama dan diantaranya aktivitas haji, penyembelihan dan hadaya. Karena mengagungkan urusan agama termasuk perbuatannya orang-orang yang bertakwa kepada Allah” (Syaikh Ali as-Shabuni, Shafwah at-Tafasir, Maktabah Syamilah, tt, 2/264 )

Dari ayat di atas kita bisa tarik mafhum mukhalafah, karena ayat diatas termasuk kalimat syarthiyah yang bisa diambil mafhumnya. Barang siapa yang tidak mengagungkan perkara agama termasuk mengagungkan al-Quran dan nama-nama Allah, maka tidak ada ketakwaan di dalam hatinya. Jelas hal ini adalah suatu ancaman yang keras, karena tidak adanya ketakwaan dalam hati menandakan hatinya mati dari iman.

Ayat ini saja sudah cukup untuk menunjukan wajibnya kita mengagungkan semua syiar agama. Barang siapa yang melecehkan syiar agama seperti al Quran dan nama-nama Allah dengan sengaja, maka ulama sepakat pelakunya jatuh murtad dari Islam.

Dari sinilah para ulama mengambil istidlal (pendalilan) bahwa menulis al-Quran diatas suatu benda hukumnya makruh bahkan bisa haram, karena bisa akan menyebabkan kepada pelecehan al-Quran walaupun dilakukan tanpa sengaja.

Hal ini ditunjukan dengan fakta kebalikannya, ulama justru membolehkan menuliskan al-Quran atau nama-nama Allah diatas sesuatu jika memang ada hajat, seperti untuk membuat mushaf al-Quran , untuk kebutuhan ruqyah, untuk kebutuhan mengajar, dsb.

حكم كتبه على الاواني
[فصل] اختلف العلماء في كتابة القرآن في إناء ثم يغسل ويسقى المريض
فقال الحسن ومجاهد وأبو قلابة والأوزاعي لا بأس به وكرهه النخعي * قال القاضي حسين والبغوي وغيرهما من أصحابنا ولو كتب القرآن على الحلوى وغيرها من الأطعمة فلا بأس باكلها قال القاضي ولو كان خشبة كره إحراقها
[فصل] مذهبنا أنه يكره نقش الحيطان والثياب بالقرآن وبأسماء الله تعالى قال عطاء لا بأس بكتب القرآن في قبلة المسجد وأما كتابة الحروف من القرآن فقال مالك لا بأس به إذا كان في قصبة أو جلد وخرز عليه وقال بعض أصحابنا إذا كتب في الخرز قرآنا مع غيره فليس بحرام ولكن الأولى تركه لكونه يحمل في حال الحدث وإذا كتب يصان بما قاله الامام مالك رحمه الله وبهذا أفتى الشيخ أبو عمرو بن الصلاح رحمه الله

Hukum Menuliskan al-Quran di atas wadah
(Pasal) para ulama berbeda pendapat dalam menuliskan al Quran dalam wadah kemudian dicuci lalu diminumkan kepada orang sakit

Berkata al Hasan, Mujahid, Abu Qilabah, dan al-Awza’i tidak mengapa dan Imam an-Nakha’i memakruhkannya. Berkata al-Qadhi Husain dan al-Baghawi serta selain keduanya dari kalangan ashab kami seandainya al-Quran ditulis di atas al-Halwa (sejenis makanan) dan makanan lainnya maka tidak mengapa memakannya. Berkata al-Qadhi seandainya di atas kayu maka makruh dibakar.

(Pasal) madzhab kami (Syafii) makruh mengukir tembok dan pakaian dengan al-Quran dan nama-nama Allah. Berkaa ‘Atha tidak mengapa menulis al-Quran di kiblat masjid, adapun menuliskan huruf al Quran maka Imam Malik berkata tidak mengapa apabila di buluh atau kulit lalu diikatkan. Berkata sebagian ashab kami: apabila al-Quran ditulis didalam jimat dengan selain al-Quran maka tidak haram, tetapi lebih utama ditinggalkan, karena bisa terbawa ketika hadas. Apabila al-Quran ditulis (pada sesuatu) harus dijaga sebagaimana perkataan Malik -  رحم الله تعالى – dan dengan ini Abu ‘Amr bin as Shalah berfatwa” (Imam Nawawi, at-Tibyan fi Adab al-Hamlati al-Quran, Darul Kutub al-Islamiyah, Jakarta, Indonesia, cet. I, 2012, hal. 95)

Kesimpulannya hukum asal menuliskan al-Quran atau nama-nama Allah di atas sesuatu adalah mubah, karena tidak ada dalil yang mengharamkannya. Hanya saja menjadi makruh bahkan haram apabila bisa menghantarkan kepada pelecehan dan penghinaan al-Quran atau nama-nama Allah.

Sehingga boleh menuliskan kalimat tauhid di atas bendera, apalagi ada hadis yang bisa dijadikan sandarannya. Diriwayatkan dari Abu Syaikh al-Ashbahany dalam Akhlaq an-Nabi:

(404)- [1 : 126] حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ زَنْجُوَيْهِ الْمُخَرِّمِيُّ، نَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي السَّرِيِّ الْعَسْقَلانِيُّ، نَا عَبَّاسُ بْنُ طَالِبٍ، عَنْ حَيَّانَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِي مَجَلزٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " كَانَتْ رَايَةُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم سوداء ولواءه أبيض مكتوب فِيهِ: لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ

“Dari Ibnu Abbas – رضي الله عنه –ia berkata : Rayahnya Rasulullah  صلى الله عليه وسلم hitam dan liwanya berwarna putih. Tertulis padanya : لا إله إلا الله محمد رسول الله”

Waallahua’lam.

BID'AH


(Syarh Hadis No. 5 Kitab Al-Arba’un An-Nawawiyah)

Oleh: Robi Pamungkas
Peneliti Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat

عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه، فهو ردّ)) : رواه البخاري ومسلمٌ ، وفي روايةٍ لمسلمٍ : ((من عمل عملًا ليس عليه أمرنا، فهو ردٌّ ))

Dari Ummu al-Mu’minin Ummu Abdillah ‘Aisyah رضي الله عنها beliau berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Barang siapa yang membuat-buat dalam urusan kami (agama) ini yang tidak ada dasar (agamanya) maka tertolak” (HR. Bukhari & Muslim). Dalam riwayat Muslim: “Barang siapa yang beramal dengan amalan yang tidak ada dasarnya dalam urusan kami (agama) maka tertolak”.

Keutamaan Hadis

Imam Ibnu Rajab al Hanbali berkata: “Hadis ini adalah termasuk pondasi penting dalam Islam, sebagaimana hadis (“amal tergantung niatnya”) adalah ukuran untuk amal yang bersifat batin, maka hadis (Aisyah) adalah ukuran untuk amal yang bersifat dzahir. Sebagaimana setiap amal yang tidak dimaksudkan untuk mengharapkan ridha Allah tidak ada baginya pahala, begitupun setiap amal yang tidak sesuai denga perintah Allah dan Rasulnya maka amal itu tertolak” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 68)

Hadis ini salah satu pondasi penting didalam Islam, Imam Ahmad berkata: “Pondasi Islam berputar pada tiga hadis: hadis (إنما الأعمال بالنيات ) , hadis (من أحدث في أمرنا ), dan hadis (الحلال بين والحرام بين ) (al-Asybah wa an-Nazhair. Hal. 33) .

*Penjelasan Hadis*

Hadis ini menjadi takhsis (pengkhusus) dari keumuman hadis:

حديث جابر بن عبد الله رضي الله عنه ، وفيه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول في خطبته : ( إن أصدق الحديث كتاب الله ، وأحسن الهدي هدي محمد ، وشر الأمور محدثاتها ، وكل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة ، وكل ضلالة في النار )

Dari Jabir bin Abdillah رضي الله عنه: Bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم berkata dalam khutbahnya : “Sebenar-benarnya perkataan adalah kitabullah, sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad صلى الله عليه وسلم, seburuk-buruknya perkara adalah perkara yang diada-adakan, setiap perkara yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan didalam neraka” (HR. An-Nasai)

Hadis ini datang dengan lafadz umum (كل بدعة) . Lafadz umum adalah lafadz mufrad yang memiliki makna satu tetapi mencakup dua bagian atau lebih dibawahnya, tanpa keutamaan salah satu bagiannya terhadap yang lain dalam dilalahnya (penunjukan maknanya), kecuali apabila terdapat takhsis (Taysir al-Wushul ila al-Ushul, hal. 202)

Artinya bid’ah yang ditunjukan oleh hadis Jabir ini mencakup semua hal, baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan ibadah, baik ada dalilnya walaupun bersifat umum ataupun tidak ada dalilnya sama sekali. Sedangkan hadis ibunda Aisyah mentakhsis keumuman hadis Jabir dengan lafadz (ما ليس منه: yang bukan bagian dari urusan kami), dalam riwayat lain disebutkan (من أحدث في ديننا ما ليس فيه فهو رد: barang siapa yang mengada-adakan dalam agama kami yang bukan termasuk agama maka tertolak). Hadis ini sangat jelas sekali, bahwa bid’ah yang dimaksudkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah perkara bid’ah dalam urusan agama yang sama sekali tidak bisa dikembalikan kedalam dalil manapun (agama). Hal ini berdasarkan mafhum mukhalafah dari kalimat (ما ليس منه ), karena kalimat tersebut datang dengan bentuk sifat sehingga bisa ditarik mafhum mukhalafahnya (pemahaman kebalikan), bahwa setiap perkara yang masih ada dalam naungan agama (dalil) maka hal tersebut bukan termasuk kedalam bid’ah yang dimaksudkan oleh Rasulullah dalam hadis Jabir. Ini senada dengan perkataannya Ibnu Rajab: “hadis ini secara tersurat menunjukan bahwa setiap amal yang tidak ada dasar syariatnya maka tertolak. Sedangkan secara tersirat hadis ini menunjukan bahwa setiap amal yang ada dasarnya dalam syariat maka tidak tertolak” (Jami al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 68)

Sehingga bid’ah yang ada dalam hadis Jabir tidak mencakup semua perkara baru, karena ada dalil pentakhsis yang menjelaskan jika masih ada dalam naungan dalil maka hal tersebut bukan termasuk bid’ah yang tercela. Maka kalimat (كل بدعة ) dalam kajian ilmu balaghah termasuk majaz mursal dengan ‘alaqah (إطلاق الكل وإرادة الجزء ) menyebutkan semua tetapi yang dimaksud sebagian.  Sebagaimana dalam hadis riwayat Bukhari , Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

الحبة السوداء شفاء من كل داء إلا السأم

“Habat as-Sauda (biji hitam) adalah obat dari segala penyakit kecuali kematian”
hadis ini ada dalam Shahih Bukhari, para pensyarah hadis sepakat bahwa hadis ini tidaklah bersifat umum walaupun didalam hadis ini terdapat lafadz (كل) (as-Sunnah wa al-Bid’ah, hal. G), dan kalimat yang berisfat umum tetapi yang dimaksud khusus banyak bertebaran didalam Al Quran dan Sunnah jika kita mau menelitinya. 

Sikap suka membid’ahkan amalan orang lain hanya karena dianggap tidak ada contoh atau perintah dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم itu dibangun berdasarkan pemahaman yang keliru terhadap bid’ah, yaitu dengan men-generalisir semua perkara baru baik ada dalilnya ataupun tidak kalau tidak dicontohkan dan diperintahkan oleh Rasulullah maka bid’ah, dan juga dibangun berdasarkan kesalahan pemahaman akan sunnah yang menjadi lawan dari bid’ah.

Berdasarkan itu sebelum kita masuk kedalam makna bid’ah, terlebih dahulu kita harus pahami makna sunnah yang menjadi lawan bid’ah. Kalau kita perhatikan hadis-hadis yang berbicara bid’ah pasti diiringi oleh kalimat sunnah atau petunjuk Nabi (هدى النبي). Contoh dalam hadis-hadis berikut:

1. حديث جابر بن عبد الله رضي الله عنه ، وفيه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول في خطبته : ( إن أصدق الحديث كتاب الله ، وأحسن الهدي هدي محمد ، وشر الأمور محدثاتها ، وكل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة ، وكل ضلالة في النار )

Dari Jabir bin Abdillah رضي الله عنه: Bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم berkata dalam khutbahnya: “Sebenar-benarnya perkataan adalah kitabullah, sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad صلى الله عليه وسلم, seburuk-buruknya perkara adalah perkara yang diada-adakan, setiap perkara yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan di dalam neraka” (HR: An Nasai)

2.   فَقَالَ الْعِرْبَاضُ " صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا؟ فَقَالَ: أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ "

Berkata al-‘Irbadh: Rasulullah صلى الله عليه وسلم pada suatu hari mengimami kami, kemudian beliau menghadap kami lalu beliau memberikan nasihat yang sangat menyentuh yang menjadikan mata menangis dan hati berguncang. Lalu ada seseorang berkata: Wahai Rasulullah seolah-olah ini adalah nasihat perpisahan, maka apa yang engkau wasiatkan kepada kami ? Rasulullah bersabda: “aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah dan taat patuh sekalipun kepada hamba sahaya habasyi, karena siapa yang hidup dari kalian setelahku, dia akan melihat banyak perbedaan. Maka peganglah oleh kalian sunnahku dan sunnah khulafa ar-Rasyidin, pegang eratlah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah perkara baru, karena semua perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” (HR: Abu Dawud, Tirmidzi, dll)

3. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ "

Rasulullah صلى الله عليه وسلم  bersabda: “Barang siapa yang membuat dalam Islam sunnah yang baik maka baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka, dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk dalam Islam, maka baginya dosa dan dosa yang melakukannya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka” (HR: Muslim)

Maka kita perhatikan dihadis yang pertama lawannya perkara baru dan bid’ah adalah petunjuk Nabi, dan petunjuk Nabi adalah sebaik-baiknya petunjuk, dan buruknya perkara baru yang menyelisihi petunjuk Nabi dan itu adalah bid’ah. Sedangkan dalam hadis kedua lebih jelas lagi lawannya sunnah Nabi dan sunnah Khulafa ar-Rasyidin adalah perkara muhdats dan bid’ah. Hadis ketig jelas sunnah hasanah adalah asala, maka apa yang keluar darinya adalah sunnah sayyiah yang itu dijelaskan dalam hadis nomor satu dengan bid’ah (as-Sunnah wa al-Bid’ah, hal. 6)
Artinya makna sunnah yang berlawanan dengan bid’ah bukanlah sunnah dalam arti fiqh, uhsul fiqh atau pun hadis.Melainkan bermakna metode atau cara hidup, karena sunnah secara bahasa adalah jalan (ath-Thariqah), sedangkan secara makna syar’i sunnah adalah jalan (petunjuk) Nabi صلى الله عليه وسلم yang ada dalam hadis Jabir dan juga hadis: لتتبعن سنن من قبلكم  (janganlah kalian mengikuti sunnah-sunnah (cara/metode hidup) orang-orang sebelum kalian). Sehingga ini menjadi penafsir dari hadis (من سن في الإسلام سنة حسنة ) bahwa sunnah yang dimaksud adalah cara Nabi dalam menerima dan menolak suatu amalan dalam kehidupan beliau, juga bermakna cara menerima dan menolaknya para  khulafa ar rasyidin suatu amalan dalam kehidupan mereka. Kesimpulannya sunnah yang dimaksud oleh Nabi dalam hadis-hadis yang berlawanan dengan bid’ah adalah qawaid (kaidah) yang digunakan oleh Nabi dan khulafa ar-rasyidin dalam menerima dan menolak suatu amalan.

Contoh Nabi menerima suatu amalan:

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ أَبِي حَيَّانَ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، " أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قال لِبِلَالٍ عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ: يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ، قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ "

Dari Abu Hurairah bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم berkata kepada Bilal ketika shalat subuh: wahai bilal ceritakan kepadaku amalan apa yang engkau paling sukai dalam Islam, karena aku mendengar suara kedua terompahmu disurga. Bilal berkata: tidaklah aku beramal dengan amal yang paling aku sukai kecuali aku bersuci baik pada siang atau pun malam hari kecuali aku shalat dengan bersuci itu yang telah Allah tuliskan aku untuk shalat” (HR: Bukhari)
Imam Ibnu Hajar al Asqalani berkata dalam Fathu al Bari : “dari hadis ini bisa diambil faidah bolehnya berijtihad dalam penentuan waktu ibadah, karena Bilal telah sampai kepada (kesimpulan) yang telah disebutkan dalam hadis dengan istinbatnya (penggalian hukum), lalu Nabi membenarkan perbuatan Bilal” (Fathu al-Bari, 8/312; As-Sunnah wa al-Bid’ah, hal. 12)

Dalam hadis ini sangat nyata Bilal melakukan suatu amalan yang tidak pernah dicontohkan dan diperintahkan oleh Nabi, namun Nabi bukan menyalahkan Bilal tapi justru menyanjungnya dengan mengatakan suara terompahnya ada dalam surga. Hal itu karena Bilal melakukan suatu amalan yang masih ada pijakan dalilnya, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam al Hakim:

الصَّلَاةُ خَيْرُ مَوْضُوعٍ، فَمَنْ شَاءَ اسْتَقَلَّ، وَمَنْ شَاءَ اسْتَكْثَر

“Shalat adalah sebaik-baiknya tempat, maka barang siapa yang ingin (shalat) sedikitkanlah dan barang siapa yang ingin (shalat) perbanyaklah”

Contoh hadis lain:

عنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِيِّ، قَالَ: " كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ، قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ، قَالَ: مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟ قَالَ: أَنَا، قَالَ: رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا
يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ "

“Dari Rifa’ah bin Rafi az Zuraqiy dia berkata: pada suatu hari kami shalat dibelakang Nabi صلى الله عليه وسلم, ketika Nabi mengangkat kepalanya dari rakaat pertama (dari ruku’ ke i’tidal) Nabi berkata: سمع الله لمن حمده , lalu seseorang dibelakang Nabi berkata: ربنا  ولك الحمد حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه. Ketika Nabi selesai shalat, beliau berkata: siapa yang berkata seperti itu? , maka seseorang tadi berkata: saya, lalu Nabi berkata: “aku melihat 35 malaikat saling berebut untuk mencatatnya pertama kali” (HR. Bukhari)

Berkata Ibnu Hajar: “hadis ini dijadikan dalil akan bolehnya membuat-buat dzikr dalam shalat yang tidak diriwayatkan dari Nabi apabila tidak bertentangan dengan yang ma’tsur dan juga bolehnya mengangkat suara dengan dzikr selaam tidak mengganggu” (as-Sunnah wa al-Bid’ah, hal. 13)

Hadis ini menunjukan bahwa qaidah yang digunakan oleh Rasulullah adalah selama amalan itu masih tercakup dalam dalil umum maka tidak bisa dikategorikan bid’ah, buktinya Nabi justru malah memuji perbuatan seseorang tadi padahal tidak diperintahkan dan dicontohkan oleh Nabi.

Kesimpulannya bid’ah itu perkara yang diada-adakan dalam urusan agama yang tidak ada sama sekali dalil yang menanunginya seperti shalat subuh tiga rakaat dan inilah yang disebut dengan bid’ah menurut syara’. Sedangkan perbuatan yang tidak dilakukan oleh Nabi atau diperintahkan, namun masih dinaungi oleh dalil umum atau bisa dikembalikan kepada syariat, maka ini bukan termasuk ke dalam bid’ah menurut syara’. Waallahua’lam.

Jumat, 10 Agustus 2018

Memaknai Ruang

Judul itu membatasi. Begitu juga jika kita membatasi hidup kita dengan satu judul diatas sejarah tulisan hidup kita. Pastinya hidup akan jauh lebih terarah.

Referensi itu mengisi. Jika hidup kita ibarat rutin mengisi pikiran dengan referensi bacaan, menanggapi hidup ini pasti jauh lebih tenang dan mendalam. Banyak kosakata untuk kadi solusi hidup.

Pikiran itu mengarahkan. Buah pikiran kita adalah penentu kualitas tulisan. Begitu pula hidup, jika banyak berpikir pastinya akan makin berkualitas hidup kita. Tau kebenaran atas kekeliruan. Mengetahui kemana arah perjuangan.

Hidup layaknya buku yang tertulis. Akan kau oles tinta warna apa pada kertas putih. Disitulah kau akan mewarnai hidup.

Dan disemua itu ada Rabb, ada Illahi. Yang menjadikan akal, dan segala itu ada di muka bumi.