Sekilas Tentang Perang Asimetris
Sebenarnya munculnya wacana perang asimetris/ Asymetric warfare kurang tepat jika penempatannya hanya untuk menganalisa dominasi Cina saat ini di Indonesia.
Beranjak dari definisi bahwa perang asimetris adalah model perang yang dikembangkan dengan berpikir yang tidak lazim dan diluar aturan peperangan yang berlaku dengan spektrum perang yang lebih luas dan mencakup berbagai aspek. (Definisi Dewan Riset Nasional)
Sebuah konflik dari 2 pihak yang bertikai berbeda sumber daya inti dan perjuangannya,cara berinteraksinya dan upaya untuk saling eksploitasi karakteriatik kelemahan lawannya.(Definisi US Army War College)
Maka poin penting dari perang asimetris ini adalah adanya kontrol ekonomi negara lawan dan penguasaan SDA dsb.
Dan memang banyak pihak mengatakan Cina telah mengalami transformasi dari sebuah negara yang dulunya cenderung pada sosialis, saat ini Cina menjadi sebuah negara dengan 2 sistem (one country and two system):kapitalis dan sosialis. Bahkan dominasi Cina telah merajai ekonomi dunianya dengan kebijakan luar negerinya. Tak terkecuali di Indonesia.
Dominasi ekonomi Cina sejak 2012 memang sudah dirasa sangat kuat. Bahkan di pasar lokal pun, barang produksi Cina sudah sangat dekat dengan telinga kita. Bahkan barang produksi Cina seolah mampu mengerti apa yang menjadi kebutuhan rakyat negeri ini.
Hal yang sangat berbeda dengan produksi dalam negeri, yang justrilu malah banyak menyajikan barang industri 'kreatif' yang jarang dibutuhkan masyarakat.
Akan tetapi, satu hal seharusnya bangsa kita tidak lupa. Bahwa dominasi asing di negeri ini bukan hanya dari Cina. Sejak kemerdekaan, bangsa kita seolah tergadai dengan kebijakan pembebanan hutang akibat bangsa kita harus menanggung biaya perang Belanda yang menjajah negeri ini. Kita diperangi, tapi demi kata 'Merdeka', bangsa ini harus membayarnya dengan kebijakan 'aneh' ala kapitalis saat itu. Hasilnya, negeri ini akhirnya hingga hari ini tidak pernah terbebas dari hutang.
Bahkan penguasaan kapitalisme Barat sejatinya sudah berpuluh tahun lamanya, hingga akhirnya berbagai perjanjian diperbaharui karena ternyata kekayaan negeri ini belumlah habis untuk dieksploitasi. Katakanlah PT.Freeport Indonesia, yang dengan santainya bisa terus menjarah kekayaan negeri ini bahkan dengan tunggakan deviden yang menahun. Malahan mereka memperpanjang kontrak hingga 2035. Astaghfirullah!
Dan parahnya bukan hanya Freeport saja yang menguasai kekayaan alam negeri ini.
Dengan dukungan pendanaan asing dalam meng'goal'kan regulasi undang-undang pro investasi dari Barat, negeri ini makin mudah dijarah tanpa batas. Pada akhirnya efeknya dirasakan rakyat kita hari. Kita seakan terlahir sebagai konsumen, buruh bahkan tak sedikit yang mati di lumbung padi.
Negeri yang bangsanya tidak perlu bersusah payah membeli barang impor, karena semua produk datang menghampiri. Kita tinggal kerja,kerja, kerja cari uang agar mampu memenuhi kebutuhan hidup kita.
Inilah sebenarnya yang seharusnya membuka mata kita, dominasi asing di negeri kaya ini sudah melampaui batas. Dominasi neoliberalisme neoimperialisme telah makin memposisikan penguasa jauh dari rakyatnya. Kebijakan pro investasi bukan rakyat, rakyat terbebani dengan kemiskinan,kriminalitas, kekacauan dan beragam masalah kompleks lainnya.
Kapitalisme ala Amerika sejatinya pula sudah lebih lama mengawali perang asimetris di negeri ini. Seperti statement Henry Kisinger, "Kuasai minyak maka anda mengendalikan negara, kendalikan pangan maka anda mengontrol rakyat". Mereka memang merealisasikannya di negeri ini.
Dan ibarat "Keluar dari lubang buaya malah masuk ke sarang harimau" itulah gambaran negeri ini.
Kebijakan demi kebijakan seolah seperti skenario yang mudah ditebak pada akhirnya. "Sad ending".
Seharusnya rakyat makin berpikir dengan kondisi yang menimpa negeri ini. Jangan cuek, jangan malas untuk mencari solusi terbaik. Karena bangsa kita yang mayoritas muslim sejatinya memiliki potensi luar biasa untuk menjadi negara nomer satu.
Bukan hanya ganti penguasanya, tapi ganti juga sistemnya dengan sistem Islam.
Dan apa sebenarnya yang menjadi alasan untuk menolak Khilafah tegak di negeri ini?
Sebenarnya sudah tidak ada alasan lagi yang bisa menjadi solusi, kecuali tegaknya khilafah di negeri ini.
*Catatan pagi
tulisan fb 14 Juni 2015
Dewi Ummu Syahidah
Sebenarnya munculnya wacana perang asimetris/ Asymetric warfare kurang tepat jika penempatannya hanya untuk menganalisa dominasi Cina saat ini di Indonesia.
Beranjak dari definisi bahwa perang asimetris adalah model perang yang dikembangkan dengan berpikir yang tidak lazim dan diluar aturan peperangan yang berlaku dengan spektrum perang yang lebih luas dan mencakup berbagai aspek. (Definisi Dewan Riset Nasional)
Sebuah konflik dari 2 pihak yang bertikai berbeda sumber daya inti dan perjuangannya,cara berinteraksinya dan upaya untuk saling eksploitasi karakteriatik kelemahan lawannya.(Definisi US Army War College)
Maka poin penting dari perang asimetris ini adalah adanya kontrol ekonomi negara lawan dan penguasaan SDA dsb.
Dan memang banyak pihak mengatakan Cina telah mengalami transformasi dari sebuah negara yang dulunya cenderung pada sosialis, saat ini Cina menjadi sebuah negara dengan 2 sistem (one country and two system):kapitalis dan sosialis. Bahkan dominasi Cina telah merajai ekonomi dunianya dengan kebijakan luar negerinya. Tak terkecuali di Indonesia.
Dominasi ekonomi Cina sejak 2012 memang sudah dirasa sangat kuat. Bahkan di pasar lokal pun, barang produksi Cina sudah sangat dekat dengan telinga kita. Bahkan barang produksi Cina seolah mampu mengerti apa yang menjadi kebutuhan rakyat negeri ini.
Hal yang sangat berbeda dengan produksi dalam negeri, yang justrilu malah banyak menyajikan barang industri 'kreatif' yang jarang dibutuhkan masyarakat.
Akan tetapi, satu hal seharusnya bangsa kita tidak lupa. Bahwa dominasi asing di negeri ini bukan hanya dari Cina. Sejak kemerdekaan, bangsa kita seolah tergadai dengan kebijakan pembebanan hutang akibat bangsa kita harus menanggung biaya perang Belanda yang menjajah negeri ini. Kita diperangi, tapi demi kata 'Merdeka', bangsa ini harus membayarnya dengan kebijakan 'aneh' ala kapitalis saat itu. Hasilnya, negeri ini akhirnya hingga hari ini tidak pernah terbebas dari hutang.
Bahkan penguasaan kapitalisme Barat sejatinya sudah berpuluh tahun lamanya, hingga akhirnya berbagai perjanjian diperbaharui karena ternyata kekayaan negeri ini belumlah habis untuk dieksploitasi. Katakanlah PT.Freeport Indonesia, yang dengan santainya bisa terus menjarah kekayaan negeri ini bahkan dengan tunggakan deviden yang menahun. Malahan mereka memperpanjang kontrak hingga 2035. Astaghfirullah!
Dan parahnya bukan hanya Freeport saja yang menguasai kekayaan alam negeri ini.
Dengan dukungan pendanaan asing dalam meng'goal'kan regulasi undang-undang pro investasi dari Barat, negeri ini makin mudah dijarah tanpa batas. Pada akhirnya efeknya dirasakan rakyat kita hari. Kita seakan terlahir sebagai konsumen, buruh bahkan tak sedikit yang mati di lumbung padi.
Negeri yang bangsanya tidak perlu bersusah payah membeli barang impor, karena semua produk datang menghampiri. Kita tinggal kerja,kerja, kerja cari uang agar mampu memenuhi kebutuhan hidup kita.
Inilah sebenarnya yang seharusnya membuka mata kita, dominasi asing di negeri kaya ini sudah melampaui batas. Dominasi neoliberalisme neoimperialisme telah makin memposisikan penguasa jauh dari rakyatnya. Kebijakan pro investasi bukan rakyat, rakyat terbebani dengan kemiskinan,kriminalitas, kekacauan dan beragam masalah kompleks lainnya.
Kapitalisme ala Amerika sejatinya pula sudah lebih lama mengawali perang asimetris di negeri ini. Seperti statement Henry Kisinger, "Kuasai minyak maka anda mengendalikan negara, kendalikan pangan maka anda mengontrol rakyat". Mereka memang merealisasikannya di negeri ini.
Dan ibarat "Keluar dari lubang buaya malah masuk ke sarang harimau" itulah gambaran negeri ini.
Kebijakan demi kebijakan seolah seperti skenario yang mudah ditebak pada akhirnya. "Sad ending".
Seharusnya rakyat makin berpikir dengan kondisi yang menimpa negeri ini. Jangan cuek, jangan malas untuk mencari solusi terbaik. Karena bangsa kita yang mayoritas muslim sejatinya memiliki potensi luar biasa untuk menjadi negara nomer satu.
Bukan hanya ganti penguasanya, tapi ganti juga sistemnya dengan sistem Islam.
Dan apa sebenarnya yang menjadi alasan untuk menolak Khilafah tegak di negeri ini?
Sebenarnya sudah tidak ada alasan lagi yang bisa menjadi solusi, kecuali tegaknya khilafah di negeri ini.
*Catatan pagi
tulisan fb 14 Juni 2015
Dewi Ummu Syahidah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar