Selasa, 07 Januari 2025

Swasembada Pangan Dengan Perikanan, Tak Sekedar Impian


Penulis: Dewi Ummu Syahidah


 Pj Gubernur Jawa Tengah, Komjen Pol (P) Drs. Nana Sudjana A.S.. M.M., mengatakan, swasembada pangan tidak hanya bertumpu pada sektor pertanian. Namun, sektor perikanan juga dibutuhkan dalam penyediaan makanan bergizi bagi masyarakat.

Selain wilayah Jawa Tengah sebagai lumbung pangan nasional, ternyata wilayah Jateng juga sebagai menyumbang hasil ikan tangkap yang cukup besar. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) mencatat hasil tangkapan ikan nelayan mengalami peningkatan. Bahkan pada tahun 2023 lalu, produksi ikan tangkap mencapai 396.084 ton dengan nilai tukar berkisar Rp7,6 triliun. Nana Sudjana pernah menjelaskan, luas budidaya ikan di Jateng mencapai 40.871 hektar, dengan jumlah pembudidaya ikan sebanyak 204.516 orang. Produksi utama adalah lele, nila dan bandeng. Dengan potensi ini, maka akan menjadi salah satu sumber kebutuhan protein, yang kebutuhan ini diprediksi akan meningkat hingga 70 persen pada tahun 2050. Oleh karena itu, beragam upaya terus dilakukan untuk meningkatkan produksi agar Jateng menjadi sektor perikanan yang kuat.(jateng.tribunnews.com, 2/1/2025)

Atas dasar inilah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berkomitmen memperkuat sektor perikanan untuk mendukung percepatan swasembada pangan. Sektor perikanan juga menjadi perhatian untuk menyediakan pangan bergizi bagi masyarakat. 

Seperti yang kita tau, swasembada pangan menjadi salah satu misi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang kini memimpin Kabinet Merah Putih. Hal inilah yang makin mendorong pemerintah Jawa Tengah untuk mengupayakan penambahan area tambak di sejumlah lokasi dengan penggunaan teknologi budidaya hemat air, seperti bioflog dan close recirculation system, serta pemilihan benih ikan yang tahan penyakit. 
Nana Sudjana bahkan mengusulkan rehabilitasi saluran pasok air untuk tambak ikan maupun udang, dan fasilitasi Industri garam rakyat melalui program Pengelolaan Irigasi Tambak Partisipatif (PITAP). Selain itu juga pengembangan keramba jaring apung untuk budidaya laut di wilayah 0-12 mil. (rri.co.id, 1/1/2025) 

Menjadi sebuah kebanggaan dimana total produksi perikanan budidaya di Provinsi Jawa Tengah menduduki peringkat ketiga se-Indonesia berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. (jateng.antaranews.com,11/12/2023). 

Hal inilah yang memotivasi Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Sumarno, mendorong hilirisasi di sektor perikanan. Musababnya, dari tahun ke tahun ekspor produk olahan ikan Jateng terus meningkat. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, Fendiawan Tiskiantoro, membeberkan ekspor produk olahan ikan Jateng terus naik. Pada tahun 2022 ekspor produk perikanan Jateng mencapai 63.445 ton senilai Rp 4,1 triliun. Pada tahun 2023 jumlahnya meningkat menjadi 78.399 ton dengan nilai transaksi Rp4,3 triliun. Adapun saat ini terdapat 77 Unit Pengolahan Ikan (UPI) di Jawa Tengah yang berorientasi ekspor. Sementara 8.521 UPI berorientasi pada pasar lokal. (mediaindonesia.com, 23/10/2024) 

Sebagai salah satu negara dengan tingkat produksi perikanan yang tinggi di dunia, Indonesia memiliki total produksi perikanan tahunan yang menjangkau 22,2 juta ton. Kementerian Kelautan dan Perikanan akan mengoptimalkan potensi pangan biru (pangan akuatik) untuk mendukung pencapaian target swasembada pangan tahun 2028, serta mendukung pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG).



Jauh Panggang Dari Api Perikanan Jawa Tengah

Besarnya cita-cita untuk merealisasikan swasembada pangan melalui perikanan, ternyata tak sejalan dengan realita yang dihadapi nelayan lokal. Kenyataannya, ruang tangkap nelayan Jawa Tengah menyempit setelah pemerintah menetapkan pesisir dan laut sebagai kawasan industri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Fahmi Bastian, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Tengah (Walhi Jateng) dalam keterangan resminya mengatakan, nelayan Semarang kehilangan wilayah tangkapnya karena wilayah pesisir Semarang kini menjadi kawasan industri. Nelayan di Batang juga mengalamai hal sama, karena di sana akan dibangun kawasan industri terpadu beserta pelabuhan.


Sisi lain, Pada 2025, Indonesia menargetkan kenaikan ekspor udang hingga 250%. Jika kita tengok lagi, ternyata data ikan dan udang berfokus pada nilai ekspor. Komoditas bernilai protein tinggi ini ditujukan untuk dikirim keluar negeri, bahkan utamanya negara maju. Artinya, ekspor berkorelasi erat dengan nilai standar pertumbuhan ekonomi dan peningkatan PDB. Hal ini cukup kontradiktif dengan tujuan Asta Cita dan Swasembada pangan yang dicanangkan. 

Lalu bagaimana dengan kondisi anak negeri? Apakah anak negeri tidak membutuhkan gizi terbaik dan tidak berhak mendapatkan gizi terbaik? Apakah cukup hanya mendapatkan udang sisa ekspor yang ditolak atau udang reject dengan kualitas nutrisi yang sudah jauh menurun?

Dengan kekayaan laut yang sedemikian rupa, semestinya kebutuhan protein balita, bahkan seluruh penduduk Indonesia, bisa didapatkan dengan mudah dan murah. Terlebih, jaminan tersedianya pangan yang halal dan thayib erat kaitannya dengan pembangunan kualitas sumber daya manusia. 

Apa yang dicita-citakan Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk segera menuntaskan masalah kemiskinan dan kelaparan di Indonesia di periode kepemimpinannya dengan swasembada pangan dianggap bisa menjadi salah satu jalan keluar membawa Indonesia terbebas dari kelaparan sekaligus mencapai kemandirian pangan. Tapi kenyataannya negeri ini berjalan dengan skenario yang telah ditetapkan oleh SDGs. 

Pada kenyataannya komitmen pemerintah untuk berani mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk dan dimensi pada tahun 2030 merupakan bentuk realisasi dari SDGs. Target nomor dua Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs ”tanpa kelaparan” pada 2030 tampaknya sulit tercapai, baik di tingkat global maupun nasional.


Karena kenyataannya yang mendasari swasembada pangan adalah prinsip politik ekonomi kapitalistik liberal, maka akan mengalami kegagalan dalam merealisasikannya. Beragam program dibuat, cita-cita dirancang, dan strategi inovasi dilakukan bahkan anggaran juga terus bertambah, Swasembada pangan kenyataannya akan berujung pada titik yang sama, gagal dan rakyat tetap tak sejahtera. 

Hal ini dikarenakan sistem aturan yang digunakan dalam menegakkan swasembada pangan adalah kapitalisme liberal. Akan berujung pada penguasaan aset, yang kuat mendominasi bahkan akan selalu menguasai demi menguatkan oligarki di negeri ini. Hal ini terbukti dengan makin menguatnya orang kaya dan makin banyaknya orang miskin yang lemah akan pangan. 

Meski sudah dilakukan kampanye merdeka protein 100 gram dalam Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan) bersama mitra di 77 kabupaten/kota, serta kampanye protein ikan guna mendukung program makan bergizi dan total, kegiatan tersebut melibatkan lebih dari 300 ribu peserta, khususnya anak-anak atau para siswa dan santri. Tapi hal ini jelas tak sebanding dengan nilai ekspor hasil perikanan sebanyak 1,15 juta ton dengan nilai USD 4,81 Miliar pada periode Januari - Oktober 2024. Akhirnya berbagai strategi pemasaran dilakukan untuk meningkatkan serapan ekspor hasil perikanan di pasar global dan domestik. 


Bahkan kita tidak lupa bahwa proyek Shrimp Estate pernah dicanangkan pemerintah sebagai proyek hulu perikanan. Shrimp estate sudah dibangun oleh pemerintah dan berfokus pada komoditas udang vaname. Komoditas udang vaname dipilih karena mempunyai pasar yang tinggi, baik di dalam maupun luar negeri. Salah satu proyek shrimp estate ini berlokasi di Kebumen, Jawa Tengah yang bernilai Rp175 miliar di atas lahan seluas 100 hektare. Pembangunan shrimp estate merupakan upaya pemerintah untuk meraih target produksi dan peningkatan nilai ekspor udang nasional. 

Pembangunan shrimp estate berdampak buruk pada masyarakat dan lingkungan. Berdasarkan catatan Walhi, lahan pesisir yang dibuka di sana sangat luas, yaitu mencapai 1.800 hektare sehingga berdampak pada makin menyusutnya ekosistem mangrove. Jika seperti ini, proyek swasembada hanya akan menjadi pemanis bibir atas program-program kepentingan kapitalisme di negeri ini. Ini hanya satu dari sekian proyek perikanan yang pernah dijalankan. Berujung pada kepentingan kapitalistik. 


Islam Solusi Kesejahteraan

Dalam Islam, penguasa adalah penanggung jawab rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda,

 أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رعيته وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ ألا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin atas anggota keluarganya dan akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya dan akan ditanya perihal tanggung jawabnya. Seorang pembantu rumah tangga bertugas memelihara barang milik majikannya dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya. Kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya.” (HR Muslim).

Berdasarkan hadits ini, tujuan adanya kekuasaan adalah adalah untuk teraturnya urusan rakyat dan mewujudkan kesejahteraannya. Oleh karenanya, Islam akan memberikan hak kepada penguasa untuk menerapkan aturan sesuai syariat, baik itu untuk merealisasikan pembangunan, mewujudkan program swasembada pangan dengan tetap memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan. Kebijakan pemerintah tidak akan didikte atau disetir oleh para pemilik modal (kapitalis), bahkan tidak akan mengikuti rancangan dari negara Barat demi mewujudkan tujuan pembangunan. 

Dengan demikian, sistem pemerintahan khilafah tidak akan mengadakan proyek yang merugikan masyarakat dan merusak alam. Dan terkait dengan pencapaian target produksi pangan, negara akan memfasilitasi rakyat dengan teknologi dan metode perikanan yang modern sehingga hasil perikanan lebih banyak dan membangkitkan ekonomi masyarakat agar terwujud kesejahteraan. Akan sangat mudah bagi negara yang menerapkan Islam mewujudkan swasembada pangan dan mensejahterakan warganya, karena hukum yang diterapkan datang dari Sang Maha Pencipta.

Jumat, 25 Oktober 2024

Proyek Bendungan Tak Mampu Membendung Nafsu Kapitalis


Penulis : Dewi Ummu Syahidah


Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, telah ada pembangunan besar-besaran di wilayah Jawa Tengah. Salah satunya adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digarap di Jawa Tengah adalah proyek bendungan. setidaknya ada empat proyek pembangunan bendungan di Jawa Tengah yang termasuk PSN. Antara lain:
 Bendungan Bener Purworejo
Bendungan Bener di Purworejo, Jawa Tengah adalah salah satu proyek strategis nasional (PSN) dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional. Proyek ini konstruksinya dimulai dari 2018 dan ditargetkan beroperasi pada 2023. Bendungan tersebut nantinya bakal memiliki kapasitas sebesar 100,94 meter kubik dan diharapkan dapat mengairi lahan seluas 15.069 hektar (Ha). Bendungan yang membentang dari Kabupaten Purworejo hingga Wonosobo ini merupakan yang tertinggi di Indonesia dan paling tinggi kedua di Asia.
 Waduk Gondang Karanganyar 
Bendungan Gondang di Karanganyar, Jawa Tengah merupakan salah satu dari program pembangunan 65 bendungan yang bertujuan menambah kapasitas tampungan air sehingga keberlanjutan suplai air irigasi ke sawah terjaga. Kehadiran bendungan ini juga memiliki potensi air baku, energi, pengendalian banjir, dan pariwisata yang akan menumbuhkan ekonomi lokal.
Waduk ini mengairi lahan seluas 4.680 hektare di wilayah Kabupaten Karanganyar dan Sragen. Selain sebagai irigasi, manfaat lainnya adalah menjadi sumber air baku bagi Kabupaten Karanganyar dan Sragen masing-masing sebesar 100 liter/detik, mereduksi debit banjir sebesar 6,74% dari 639,22 m3/detik menjadi 596,12 m3/detik dan menghasilkan listrik sebesar 0,327 MW, konservasi air (groundwater recharge), destinasi wisata, dan sebagai kawasan konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Garuda.
 Bandungan Jlantah
Bendungan Jlantah ini ditarget menghasilkan air baku sebesar 150 liter/detik, serta mampu mengairi lahan seluas 1.493 Ha di kawasan Kecamatan Jatiyoso, Jumapolo, dan Jatipuro. Bendungan di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah ini dirancang dengan kapasitas tampungan total sebanyak 10,97 juta m3. Bendungan ini juga dapat dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) sebesar 0,625 mega watt, pengendalian banjir, serta konservasi pariwisata di wilayah Kabupaten Karanganyar.
 Waduk Pidekso Wonogiri
Bendungan Pidekso di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah konstruksinya telah dimulai sejak 2015. Bendungan multifungsi ini memiliki daya tampung 25 juta m3 dan direncanakan mampu mengairi lahan seluas 15.519 Ha dan suplai air baku sebesar 300 liter/detik. Biaya pembangunan waduk yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada Desember 2021 ini mencapai Rp730 miliar.
 Bendungan Randugunting Blora
Bendungan Randugunting di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, menjadi penyuplai air untukl lahan seluas seluas 630 Ha. Waduk ini juga menjadi pemasok air baku sebesar 150 liter per detik serta destinasi wisata di Kabupaten Blora.

Adanya bendungan ini pemerintah berharap akan memperbaiki dari sisi manajemen air di Indonesa, untuk meningkatkan storage, kapasitas tampungan ketika di musim hujan tidak banjir, di kemarau tidak kekeringan. Dari sini kemudian Jokowi juga menekankan pentingnya pengelolaan air untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dan pertanian. Untuk target masa kepemimpinan Jokowi merampungkan 61 proyek infrastruktur bendungandi sejumlah daerah pada tahun 2024. Penugasan ini diberikan kepada Kementrian PUPR sejak tahun 2014, tepatnya saat Jokowi pertama menjabat sebagai presiden. Hingga Agustus 2024, baru selesai 44 dari target 61 bendungan.

Meski dibandingkan dengan negara lain jumlah bendungan Indonesia masih sangat jauh tertinggal. Indonesia total memiliki bendungan sekitar 292 bendungan. Sementara Jepang memiliki 3000 bendungan, padahal wilayah Jepang hanya seperempat wilayah Indonesia. Amerika memiliki 6.100 bendungan, China memiliki 98.000 bendungan. Korea Selatan memiliki 18.000 bendungan, meski luas Korea 19 kali lebih kecil dibanding luas Indonesia. Inilah yang kemudian dikejar pemerintahan Jokowi dengan alasan mengejar ketertinggalan infrastruktur bendungan. Kebut infrastruktur juga sebenarnya untuk mendukung pencapaian SDGs( Suistainable Development Goals) terutama poin ke 6 yakni, memastikan ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi berkelanjutan untuk semua.


Bendungan, Sarat Problematika

Meskipun ada kendala dalam perealisasiannya terutama dalam masalah pendanaan. Sehingga menurut Menteri PUPR Basuki Hadimuljono era Jokowi, untuk mencapai target ambisius pembangunan sumber daya air dan air minum, Indonesia masih mengandalkan belanja publik atau anggaran APBN yang tidak akan mencukupi. Oleh karena itu kesenjangan pembiayaan harus diatasi dengan solusi terintegrasi yang didukung dengan skema pembiayaan baru, seperti memobilisasi pembiayaan dari swasta untuk menjembatani kesenjangan pembiayaan dan memperkuat sistem pembiayaan melalui skema pembiayaan campuran. Hal inilah yang kemudian membuka kran investasi asing. Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Investment Authority (INA) mengerjakan due diligence atau uji kelayakan sekitar 8 hingga 10 proyek strategis nasional (PSN) untuk ditawarkan kepada investor asing. Menurut Anggota Dewan Direksi INA Marita Alisjahbana, tugas utama INA adalah mencari investor asing yang bersedia membiayai berbagai pembangunan infrastruktur di Indonesia. Beberapa negara yang telah bermain dalam investasi bendungan ini antara lain Investor dari luar negeri ada dari Korea Selatan, Jerman, dan Cina. Skemanya dilakukan dengan availability payment atau AP. Artinya, pemerintah akan mencicil biaya pembangunan bendungan dan imbal investasi setelah bendungan terbangun selama sisa masa konsesi. Dan hal ini sebenarnya jelas akan membebani pemerintah karena harus mengeluarkan biaya untuk mengembalikan investasi.

Pada Konferensi Tenurial, Selasa (17-10-2023), Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menjelaskan bahwa sejak 2020—2023 sudah terjadi 660 letusan konflik agraria di Indonesia. Sebanyak 105 konflik terjadi imbas rencana proyek strategis nasional (PSN). (CNN Indonesia, 18-10-2023). YLBHI juga menyampaikan temuan yang sama. YLBHI menyatakan bahwa PSN justru menimbulkan kerusakan alam dan berbagai konflik besar. Bahkan, agar ambisi program tersebut tercapai, pemerintah justru memakai aparat keamanan untuk mengendalikan masyarakat yang menolak. Mereka melakukan tindakan represif, bahkan menggunakan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) kepada warga yang mempertahankan tanah, air, dan ruang hidupnya. (Situs YLBHI, 24-9-2023).

Konflik agraria, kekurangan dana,terjebak hutang karena pembangunan PSN, mengikuti skenario SDGs seperti ini lalu apakah sebanding dengan dampak positifnya untuk rakyat? kebijakan yang diambil pemerintah hanya menjadi beban untuk anak cucu kita, akibat pengelolaan negara yang tidak tepat. Perusahaan tambang dikuasai asing, rakyat tak menikmati hasil. Infrastruktur berujung investasi yang jelas takkan pernah menguntungkan rakyat. Pemikiran kapitalisme ini sejatinya telah menjadi dasar pemikiran pemerintah dalam mengikuti skenario penjajahan ala imperialisme modern. Terjajah dengan hutang, investasi, tapi sumber daya alam dieksploitasi untuk kepentingan asing. Beban terberat APBN hanya bersandar pada pajak yang ditanggung rakyat. Lagi- lagi kebijakan pro asing telah menomersekiankan rakyat. Inilah tabiat kapitalis, rakus, buas dan akan terus menghisap rakyat. Padahal sebenarnya amanah kekuasaan ada pada pemerintah seharusnya menjadikan aturan justru berpihak pada rakyat bukan kepada kepentingan oligarki dan asing. Akan tetapi selama aturan hidup kita bersandar pada aturan kapitalisme, kenyataan pahit ini akan terus dirasakan.


Solusi Islam Akan Proyek Infrastruktur

Berbeda dengan Islam dalam memberikan solusi kehidupan dalam hal ini untuk masalah pembangunan infrastruktur dan proyek negara. Islam memandang bahwa infrsastruktur menjadi salah satu pilar dalam membangun peradaban. Dmana kesejahteraan masyarakat akan tergantung seberapa kuat infrastruktur yang dibangun oleh negara. Sehingga atas dasar hal ini, negara wajib mengambil peran langsung dengan menjadi penanggungjawab utama scara independen tidak menggantungkannya kepada asing. Karena bagaimanapun infrastruktut dalam Islam akan digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, sehungga tidak boleh memebebani kepada rakyat, apalagi sampai menyerahkannya kepada asing.

Realita sejarah Islam telah membuktikan bahwa Pada masa akhir Kekhalifahan Utsmani, dunia Islam berupaya dipersatukan dengan jalur kereta api Hijaz. Diperintahkan oleh Sultan Abdul Hamid II pada 1900, jalur kereta api Hijaz dibangun untuk memudahkan jemaah haji saat menuju Makkah. Sebelumnya, mereka melakukan perjalanan dengan menunggangi unta selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Dr Kasem Ajram (1992) dalam bukunya, The Miracle of Islam Science, 2nd Edition memaparkan pesatnya pembangunan infrastruktur transportasi, yakni jalan umum. “Yang paling canggih adalah jalan-jalan di Kota Baghdad, Irak. Jalannya sudah dilapisi aspal pada abad ke-8 M. Menurut catatan sejarah transportasi dunia, negara-negara di Eropa baru mulai membangun jalan pada abad ke-18 M. Insinyur pertama Barat pertama yang membangun jalan adalah Jhon Metcalfe. Itu artinya 10 abad setelah pembangunan jalan beraspal di dunia Islam.

Di bidang fasilitas kesehatan, Kekhilafahan Abbasiah sudah membangun rumah sakit dengan konsep terintegrasi dan modern. Rumah sakit Islam pertama dibangun pada abad ke-9, pada masa pemerintahan khalifah Abbasiyah Harun Ar-Rashid di Baghdad. Rumah sakit ini diberi nama Bimaristan. 

Bidang pertanian dan penyediaan air, menurut Josef Schnitter, seorang arsitek dan ahli teknik, Muslim telah membangun banyak bendungan dengan beragam struktur dan bentuk. Mayoritas bendungan paling awal dibangun di wilayah Arabia, yang menjadi awal pusat penyebaran Islam.
Schnitter mencontohkan keberadaan Qusaybah, sebuah bendungan yang ada di dekat Madinah, memiliki tinggi 30 meter dan panjang 205 meter. Berdasarkan penemuannya, sepertiga dari bendungan yang dibangun pada abad ke-7 dan ke-8 itu masih utuh hingga sekarang. Hal ini tentu saja menunjukkan kekuatan bangunan bendungan dan kemampuan arsitekturnya yang dimiliki para cendekiawan Muslim. Di Irak, di sekitar Kota Baghdad, terdapat sejumlah besar bendungan yang dibangun pada masa Kalifah Abbasiyah. Kebanyakan bendungan tersebut dibangun di Sungai Tigris yang menggambarkan kemampuan teknik sipil yang tinggi. 

Demikianlah era keemasan kekhilafahan, infrastruktur maju pesat dan kokoh untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pembangunan infrastruktur bisa diwujudkan yang nampak mudah karena sokongan keuangan negara, aparat yang amanah, dan tuntutan wajar sebagai negara yang penuh peradaban. Islam ketikan diterapkan secara kaffah akan melahirkan keadaan yang berbeda jauh dengan peradaban kapitalisme yang saat ini kita rasakan.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

________________________________________
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”(al A’Raf 96)

Rabu, 25 September 2024

Surga Tol di Jawa Tengah

Kembali, proyek jalan tol berlanjut di Jawa Tengah. Kali ini pemerintah sedang mengupayakan pembangunan jalan tol menghubungkan Yogyakarta hingga Cilacap Jawa Tengah. Dan nantinya ada sejumlah Kabupaten akan terimbas proyek jalan tol Jogja-Cilacap, salah satunya adalah Kabupaten Kebumen Jawa Tengah.

Sebelumnya sudah diberitakan proyek tol yang sedang berjalan di Jateng dan akan mulai diresmikan sebagiannya di 2024 ini. Antara lain: Tol Semarang-Demak, Tol Semarang-Kendal, Tol Bawen-Yogya, Tol Solo-Yogya, juga tol Demak-Tuban yang menghubungkan ke Jawa Timur.

Mega proyek jalan Tol Cilacap-Yogyakarta akan menghabiskan anggaran sebesar Rp 38,47 triliun. Tol ini akan melibas 22 desa di 3 kecamatan di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Desa terbanyak yang terlibas ada di Kecamatan Sumpiuh dan Kecamatan Kemranjen. Jalan tol Cilacap-Yogyakarta juga akan menerjang sejumlah wilayah di Kabupaten Purworejo dan Kebumen. 

Sementara untuk tol Semarang-Demak sejauh 16,01 km dan menelan dana sebanyak 5,9 Triliun. Berdampak pada 21 desa dan kelurahan di Kota Semarang dan Kabupaten Demak terkena dampak pembangunan jalan tol Semarang-Demak. Jalan tol Semarang-Demak akan melewati tiga kelurahan di Kota Semarang dan 18 desa di Kabupaten Demak.

Untuk Tol Semarang-Kendal, yang sudah rampung sejak 2023,menelan anggaran Rp 6T dan sepanjang 39,3km. Pembangunan ini berdampak pada 120 Kepala Keluarga (KK) yang menghuni di 5 kecamatan dari 5 desa di Kabupaten Kendal, akibat proyek tol Semarang-Batang.

Proyek Tol Jogja Bawen menghabiskan biaya Rp21 triliun, meliputi Rp7 triliun untuk ganti rugi lahan dan Rp14 triliun untuk pembangunan. Dengan panjang 75,82 km, Tol Jogja Bawen memerlukan lahan seluas 8.788.019 meter persegi. Uang yang dikucurkan untuk ganti rugi lahan sebesar Rp7,36 triliun. Untuk daerah terdampak paling banyak adalah Kabupaten Magelang. Untuk wilayah Kabupaten Magelang ada beberapa kecamatan yang akan dilintas yaitu Ngluwar, Muntilan, Mungkid, Borobudur, Candimulyo, Tegalrejo, Secang, Grabag.

Untuk Tol Solo Jogja, Tol yang dibangun sejak 2021 lalu itu menelan biaya mencapai Rp 5,6 triliun. Dua dukuh di Desa Joton, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah terkena dampak pembangunan jalan tol Solo-Yogyakarta. Sekitar 85 persen penduduk di dua dukuh tersebut harus merelakan lahannya untuk proyek strategi nasional (PSN) tersebut. Ada sekitar 85 kepala keluarga (KK) di dua dukuh tersebut yang terkena dampak dari pembangunan jalan tol.

Sementara untuk proyek pembangunan Jalan Tol Demak-Tuban sepanjang 180,58 km diperkirakan akan menelan dana sebesar Rp 45,71 triliun. Dari total dana investasi Rp 45,71 triliun tersebut, sebanyak Rp 2,68 triliun akan digunakan sebagai biaya pembebasan lahan (porsi pemerintah). 40 desa di Kabupaten Tuban bakal tergusur dampak proyek tol Demak-Tuban. Pembangunan tol Demak-Tuban rencananya akan mulai dilaksanakan pada 2025. Ruas tol ini nantinya akan melintasi Kabupaten Kudus.

Atas nama pembangunan dan proyek strategis nasional, negara terus melakukan berbagai upaya pembangunan ruas jalan tol demi alasan meningkatkan perekonomian. Akankah hal ini berdampak pada perbaikan ekonomi di Jawa Tengah? 



Dampak Pembangunan Jalan Tol

Dalam buku Dampak Jalan Tol terhadap Pulau jawa, dijelaskan bahwa pembangunan jalan tol juga memengaruhi ekonomi wilayah setempat dengan berbagai cara. Nilai properti menjadi meningkat, tetapi banyak juga yang kehilangan pekerjaan. Terutama terasa pada masyarakat yang direlokasi, yang terkadang mengalami penurunan pendapatan dan pekerjaan mereka. Sebelum memulai proyek pembangunan jalan tol, pemerintah melakukan negosiasi dengan masyarakat setempat untuk pembebasan lahan.Bagi para petani yang lahan garapannya diambil, mereka harus merelakan mata pencaharian utama mereka demi pembangunan jalan tol.

Pembangunan jalan tol juga sering kali menyebabkan polusi udara dan air di sekitar wilayah proyek. Hal ini berdampak buruk pada kesehatan masyarakat yang terpaksa menghirup udara yang tidak sehat setiap hari. Mereka juga harus hidup di lingkungan baru, yang dapat memengaruhi kualitas hidup dan kesejahteraan mereka dalam jangka panjang. Hal ini mengakibatkan beberapa petani terpaksa harus menghadapi peningkatan harga properti di wilayah lain, yang membuat sulit bagi mereka untuk membeli lahan baru. 

Dalam konteks pembangunan infrastruktur, seharusnya penting bagi pemerintah dan pihak terkait untuk mempertimbangkan dampak negatif ini dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menguranginya. Akan tetapi yang terjadi, karena mindset kapitalisme menjadi dasar pengambilan kebijakan proyek pembangunan infrastruktur, yang terjadi berbagai dampak seakan tidak dihiraukan, demi tujuan yang mereka katakan, kemajuan, pemerataan, pertumbuhan hingga kemajuan. Meski kenyataannya, rakyat banyak yang menjadi korban, jurang kemiskinan makin menganga dan perekonomian tak makin baik bagi masyarakat, tapi menguntungkan hanya bagi kaum kapitalis. 


Proyek Infrastruktur Target SDGs

Tak sekedar teori bahwa negeri inj mengikuti manhaj ekonomi kapitalisme. Realitanya, berbagai upaya percepatan pembangunan infrastruktur merupakan realisasi atas target poin ke 9 dari SDGs (Sustainable Development Goals) yaitu Membangun Infrastruktur yang Tangguh, Meningkatkan Industri Inklusif dan Berkelanjutan, Serta Mendorong Inovasi. 

Dengan target meraih Indonesia Emas 2045, menjadi negara maju, infrastruktur menjadi penunjang utama yang 'dikebut' demi atas nama kemajuan. Tak heran jika tol salah satu yang diprioritaskan dengan pertimbangan untuk memperlancar proses distribusi serta transportasi kemajuan masa depan. Meski dilewati dengan harga mahal, prioritas kemajuan ini tetap berjalan. 

Banyak keluhan terkait mahalnya tarif tol trans Jawa. Beberapa jalan tol dengan tarif termahal di Indonesia ini memang didominasi oleh jalanan di Provinsi Jawa Tengah. Tarif Jalan Tol Trans Jawa yang mahal telah melahirkan keluhan dari sejumlah kalangan. Mereka antara lain pengusaha dan sopir angkutan barang maupun penumpang. Dampak ekonomi dalam harapan untuk memajukan perekonomian tapi karena pembangunan infrastruktur berasal dari investor , akhirnya pemerintah menetapkan harga tarif agar mampu menguntungkan investor, pengelola dan pemerintah sendiri. Jadilah tarif tol tinggi, demi kemajuan, kenyataannya rakyat juga yang akan menerima semua beban berat ini. 

Memang, Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur fisik berkualitas akan memicu proses ekonomi sehingga menimbulkan dampak positif bagi ekonomi maupun sosial. Pembangunan infrastruktur yang berkualitas akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya saing wilayah, mempermudah arus pergerakan orang dan barang sehingga menimbulkan multiplier effect yang positif bagi kesejahteraan penduduk.Infrastruktur jalan merupakan salah satu infrastruktur yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan yang menjelaskan bahwa jalan merupakan prasarana transportasi yang memiliki peran penting dalam ekonomi sehingga diistilahkan seperti urat nadi kehidupan masyarakat.

Tapi tak bisa ditutupi, banyak pengusaha jasa transportasi mengeluhkan tarif tol yang dinilai terlalu mahal. Bahkan, hasil riset CNBC (2022) menunjukkan bahwa pada tanggal 25 Januari 2022, di Kota Pekalongan terjadi peningkatan volume kendaraan hingga 70% akibat berlaku penuhnya tarif tol Trans Jawa. Hal tersebut mengindikasikan bahwa faktor harga masih menjadi penentu utama keputusan pengguna jalan tol. Selain itu, dengan tarif yang masih relatif tergolong mahal, masyarakat kalangan bawah tidak dapat merasakan keuntungan infrastruktur jalan tol karena sebagian besar dari mereka lebih memilih tidak menggunakan jalan tol. Ruas jalan tol cenderung lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kalangan ekonomi menengah – atas yang membutuhkan ke efisiensi waktu yang relatif cepat dan bebas hambatan.
Jika antar kebijakan, tumpang tindih, modal besar hingga akhirnya menekan masyarakat kecil, lalu perekonomian siapa yang ditargetkan akan maju, kecuali untuk kepentingan kaum kapitalis? 


Solusi Infrastruktur Dalam Islam

Bukan kapitalisme jika tak bicara keuntungan semata. Bahkan dalam pembangunan infrastruktur pun, yang dipikirkan adalah cuan, manfaat dan keuntungan. Hal ini jelas berbeda dengan bagaimana cara Islam membangun infrastruktur. 

Dalam Islam, pemimpin tidak boleh mengambil kebijakan hanya karena standar materi, tetapi wajib menjadikan hukum syariat sebagai sandaran. Dalam pandangan Islam, Jalan adalah salah satu kebutuhan rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Rakyat sangat mendambakan jalan yang aman, mudah dilewati, dan murah. Oleh karena itu, negara wajib mewujudkannya. Ketika negara membangun jalan tol, tujuannya adalah memudahkan keperluan rakyat. Jadi negara tidak boleh menarik biaya atas pemanfaatannya.

Berkaitan dengan investasi, Islam juga punya pandangan khas. Islam mengatur investasi dengan akad kerja sama sesuai hukum syariat. Islam mengharamkan investasi pada bidang yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, termasuk pembangunan jalan. Oleh karena itu, untuk membangun fasilitas jalan negara akan mengandalkan biaya yang berasal dari baitulmal. Menggunakan anggaran mutlak, yakni ada atau tidak ada kekayaan negara untuk pembiayaan transportasi publik yang ketiadaannya berakibat dlarar pada masyarakat, maka wajib diadakan oleh penguasa sebagai institusi yang memberikan solusi bagi layanan transportasi publik yang aman, nyaman, dan selamat. Modalnya bisa berasal dari hasil pengelolaan SDA dan pemasukan lain seperti kharaj, fai, jizyah, ghanimah, dll.

Dengan kemandirian ini, Islam akan membuat negara menjadi independen, tidak mudah didikte oleh negara lain. Selain itu, negara juga dapat konsentrasi mengurusi kebutuhan rakyat, bukan justru mencari investasi dengan menengadahkan tangan pada negara asing. Dari sini nampak, bahwa Islam mengajarkan bahwa imam adalah junnah (perisai). Artinya, rakyat bisa berlindung, mencari keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, bisa bersandar kepada kepala negara. Bukan justru rakyat dianggap konsumen atas bisnis negara. 

Jadi, keberadaan pembangunan infrastruktur memang penting, bahkan Islam telah menjalankannya sejak lama, yakni dalam sistem Khilafah Islam. Dimana pada masa itu, infrastruktur melejit dengan pesat. Perbedaannya, semua orang bisa menikmati tanpa pungutan biaya. Jadi negara tidak mengukur untung rugi atas pembangunan infrastruktur tapi lebih kepada berjalan tidaknya kemaslahatan rakyat. 

Kemandirian negara dalam Islam juga harus nmapak pad mandirinya negara dalam industri berat. Jadi jika negara membutuhkan bahan untuk membangun jalan, jembatan, dan lainnya, maka negara tidak perlu bergantung pada pihak lain atau negara lain. Inilah prinsip-prinsip dasar yang diajarkan oleh Islam. 
Tak ada kemuliaan dan kesejahteraan tanpa penerapan Islam, karena Islam adalah solusi atas seluruh masalah manusia, termasuk dalam pembangunan infrastruktur. 

Sabtu, 14 September 2024

Estafet Perjuangan Tak Pernah Padam di Pulau Jawa

Pulau Jawa, senantiasa menjadi daya tarik bagi penjajah sejak masa lalu. Silih bergantinya penjajah ke tanah Jawa sejak Jaman penjajahan Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis, Inggris, hingga Jepang telah mengorbankan jutaan nyawa, dan harta dari bumi Nusantara. 

Akan tetapi sebelum peperangan yang berkecamuk di beberapa wilayah, telah masuk dakwah Islam yang dibawa para ulama dan wali ke wilayah Nusantara khususnya Jawa.

Meski terdapat beberapa pendapat mengenai periode masuknya Islam ke Nusantara, menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya berjudul  Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yakni Teori Gujarat, Teori Makkah dan Teori Persia. Ketiga teori tersebut  menjelaskan tentang waktu masuknya Islam ke Indonesia,asal negara dan tentang penyebarnya ke Nusantara. Pada teori Gujarat Islam masuk Indonesia pada abad ke 13, pendapat ini didukung oleh Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Sementara teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk Indonesia di abad ke 7 dan hal ini didukung oleh pendapat  Buya Hamka, Van Leur, dan T.W.Arnold.  Dan untuk teori Persia, berpendapat Islam masuk di Indonesia pada abad 13 dan pembawanya Persia(Iran).

Nana Supriatna, juga pernah mengatakan dalam buku sejarah, tradisi perdagangan di Timur Tengah terus berlangsung hingga berkembangnya agama Islam di Jazirah Arab dan daerah-daerah sekitarnya. Pada jaman Khulafaur Rasyidin, Khalifah Umayyah dan Abbasiyyah jalur perdagangan yang dilalui antara lain Jazirah Arab, Laut Merah, Laut Tengah, Laut Hitam, Laut Kaspia, Sungai Volga, Laut Arab, Teluk Aden, Samudrq Hindia, Jazirah India, Semenanjung Malaka, Indonesia dan Filipina. 

Orang Arab telah mendirikan pemukiman dalam berbagai daerah pantai di India. Penduduk campuran dalam umat Islam tumbuh dalam berbagai pelabuhan sebagai hasil perkawinan campuran dengan wanita setempat. Kemudian dari pusat-pusat tersebut para saudagar itu merantau ke Indonesia. Mereka berperan ganda sebagai pedagang dan mubaligh. Dari sanalah berangsur-angsur timbullah kerajaan-kerajaan Islam yang kecil sepanjang pantai Utara jawa seperti Jepara, Demak, Tuban, dan Gresik. Bertalian dengan timbulnya kerajaan-kerajaan itu catatan Tome' Pires antara tahun 1512-1513 dikutip oleh R. R. Di Meglio, menyatakan: "Pada jaman penyembah berhala hidup di pantai-pantai Jawa, banyak pedagang Persia, Arab, dan Gujarati datang ke tempat-tempat itu. Mereka mulai menjadi kaya dan makin bertambah jumlahnya, sedangkan anak-anak lelaki mereka telah menjadi orang Jawa dan makmur hidupnya, setelah tinggal di bandar-bandar tersebut lebih dari 70 tahun. Dalam beberapa tempat para pengusaha Jawa penyembah berhala masuk Islam, dan disana para saudagar dan Mohalla (mullah)nya mengambil alih kekuasaan dari mereka, serta memerintah sebegai penggantinya. Dengan demikian mereka telah berhasil memperoleh kekuasaan tunggal atas perdagangannya di Jawa. 

Jadi ketika datang Portugis dan Belanda datang ke Nusantara akhir abad XVI, awalnya untuk kepentingan perdagangan terutama rempah-rempah lalu berakhir dengan upaya monopoli dan terus mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam satu persatu, hingga akhirnya semuanya jatuh kedalam kekuasaan penjajah Barat hingga abad XIX. Tak terbayangkan bagaimana reaksi para ulama, umat Islam dan para petinggi kerajaan-kerajaan Islam pada masa itu terhadap masuknya penjajahan Eropa. 

Kaum muslim pada masa lalu menyerukan jihad fii sabilillah, menguatkan aqidah kaum muslimin pada peran ulamanya untuk memotivasi mereka berjuang mempertahankan wilayahnya dari penjajahan. Maka tidak heran jika kita kenal Raden Patah yang melakukan perlawanan terhadap Portugis yang menduduki Malaka melalui  Pangeran Sabrang Lor (Pangeran Surya)  pada tahun 1511. Dilanjutkan Pati Unus, yang hanya berkuasa 3 tahun namun gugur saat menghadapi pasukan Portugis di Malaka tahun 1521. Berlanjut  estafetnya kepada Sultan Trenggana sebagai Sultan Denak ke 3. Ditangannya berhasil membawa Demak kepada kejayaannya hingga meluas sampai ke Tuban, Purwodadi, Madiun, Blora, Surabaya, Lamongan, Gunung Penanggungan dan Blambangan. Karena kekuatan militernya sangat tangguh, pada tahun 1527 Kesultanan Demak berhasil merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran dan mengusir pasukan Portugis yang mendarat disana. 

Perjuangan berlanjut dalam mengusir penjajah. Berbeda masa, beda generasi tapi yang diperjuangkan sama, yaitu melawan penjajahan, imperialisme. 

Sebutlah Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, KH. Hasyim Asy'ari, KH. Ahmad Dahlan, dan masih banyak lagi. Para ulama ini memiliki peran besar juga dalam dakwah juga untuk mengusir penjajahan. 

Sebutlah salah satunya, KH Hasyim Asyari. Peran aktifnya dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan menggagas berdirinya Tentara Sukarela Muslimin di Jawa yang dikenal dengan sebutan Hizbullah. Hizbullah menjadi salah satu tentara rakyat yang berkontribusi besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan.

Diantara banyak ulama ini membentuk laskar-laskar rakyat untuk mendapatkan pelatihan militer dan memanggul senjata, seperti Hizbullah, Sabilillah, Mujahidin, dan lain-lain. Hampir semua pertempuran melawan penjajah dipengaruhi oleh fatwa jihad, termasuk pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, yang dikenang sebagai Hari Pahlawan. Keberhasilan pertempuran ini tidak lepas dari Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 di Surabaya. 

Masih banyak lagi kisah perjuangan para ulama dan perannya dalam kemerdekaan. Mereka berjuang dengan keringat dan darah, tanpa kompromi dengan penjajah imperialis demi menjaga wilayah dan umat. 

Tapi, apa yang dirasa saat ini sangat jauh dari perjuangan ulama pada masa lalu. Ulama masa kini, justru bisa berpelukan dengan penjajah atas nama toleransi, moderasi bahkan investasi. 
Didudukannya ulama dikursi kekuasaan tak sedikit justru menjadi legalitas penjajahan masuk melalu politik, ekonomi, sosial meski tanpa perang fisik. 

Ulama hari ini, terjebak dengan kekuasaan, perebutan kursi, bahkan dengan sedikit iming-iming pengelolaan tambang saja seakan makin memalingkan dari perjuangan ulama yang seharusnya. Bahkan tak sedikit ulama justru dijadikan tameng penguasa kapitalis, untuk makin brutal menjarah kekayaan negeri ini, meracuni umat dengan liberalisme, bahkan hanya dijadikan sebagai kelompok pendulang suara pemilu saja banyak ulama yang tak menyadari strategi penjajah gaya baru ini. 
Miris dan tragis, nasib pembelokan perjuangan para ulama telah terkikis dengan nilai sekuler yang makin parah menjangkiti umat ini. 

Padahal ulama sejatinya adalah penjaga ilmu, penjaga syariat, pemberi nasehat bagi penguasa bukan justru menjadi alat legitimasi penjajahan.

الْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ 

Artinya, “Ulama adalah ahli waris para nabi." (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

أَقْرَبُ النَّاسِ مِنْ دَرَجَةِ النُّبُوَّةِ أَهْلُ العِلْمِ وَالْجِهَادِ، أَمَّا أَهْلُ الْعِلْمِ فَدَلُّوْا النَّاسَ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الرُسُلُ وأَمَّا أَهْلُ الجِهَادِ يُجَاهِدُوْنَ بِأَسْيَافِهِمْ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الرُسُلُ


Artinya, “Orang paling dekat dengan derajat kenabian adalah ulama dan pejuang. Ulama memberikan petunjuk kepada manusia atas ajaran yang dibawa para rasul. Sedangkan pejuang berjihad dengan senjata mereka atas ajaran yang dibawa para rasul,” (HR Ad Dailami)

Seharusnya ulama masa kini kembali kepada khithohnya sebagai penerus para nabi, melanjutkan dakwah penerapan Islam kaffah dan memenangkan agama ini atas penjajahan Barat kafir yang telah nyata merusak tatanan di muka bumi.
Jika estafet perjuangan para ulama hari ini telah berpindah kepada kita, kaum muda penerus generasi waratsatul anbiya', lalu langkah perjuangan ini harus mensucikan pemikiran Islam dari segala bentuk tacun pemikiran dan tsaqofah, kaum muda hari ini memiliki andil dalam menyelamatkan umat dari belenggu sekulerisme, kapitalisme dan Demokrasi. 
Perjuangan umat Islam tak pernah sepi dari darah dan keringat para pejuang yang terus menerima estafet perjuangan hingga mereka mati atau agama ini dimenangkan.

Rabu, 21 Agustus 2024

Layakkah Teriak Merdeka?

Merdeka, kemerdekaan dan penjajahan. 3 kata yang sangat dekat dengan sejarah panjang Nusantara, Indonesia. 
Sebelum meraih kemerdekaan, Bangsa ini pernah dijajah sejumlah bangsa. Meski ada perbedaan diantara sejarawan tentang waktu masa penjajahan, tapiii realita yang dihadapi bangsa ini sangatlah panjang menghadapi silih bergantinya penjajahan. Entah berapa banyak darah dan air mata tertumpah demi membebaskan diri dari penjajahan. 

Dalam literasi sejarah, ditemukan ada 6 negara yang pernah menjajah Indonesia. Sebutlah Portugis, bangsa Eropa pertama yang datang ke wilayah Asia melakukan perdagangan. Pada tahun 1511, bangsa Portugis memasuki wilayah perairan Indonesia, karena laut bagi mereka merupakan kekuatan utamanya, sehingga sejak abad ke 15 Portugis mulai mengembangkan teknologi maritim, bahkan pelaut Portugis sudah menggunakan kompas dan perta portolan untuk mengarungi lautan. Kemajuan armada laut Portugis tersebut didukung dengan adanya sekolah navigasi yang didirikan oleh Henry "The Navigator". Di sekolah ini diajarkan tentang kartografi bagi para pelaut Portugis. Armada Portugis datang ke Asia menggunakan kapal dagang besar (Nao). Kapal tersebut dilengkapi dengan tentara, senjata ringan (senapan), dan senjata berat (meriam). Portugis mengendalikan perdagangan di Asia Tenggara dibawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Portugis bergerak menuju negara yang kaya akan hasil laut dan rempah-rempah. Hingga di tahun 1511, sampailah bangsa Portugis pertama kali mendarat di Indonesia, tepatnya di daerah Malaka. Dalam penguasaan Portugis, Malaka menjadinpusat perdagangan paling ramai di Asia. 

Disebutkan dalam buku Suma Oriental yang ditulis oleh pegawai Portugis, Tome Pires, tidak ada pusat perdagangan yang lebih besar dari Malaka. Malaka juga menjadi tempat komoditas utama dari seluruh dunia timur dan barat. Tome Pires mengatakan bahwa tidak ada tempat lain yang memperdagangkan komoditas dengan halus dan mahal.

Pada tahun 1512, Alfonso de Albuquerque mengirimkan armadanya ke Maluku. Armada tersebut membangun monopoli perdagangan cengkeh. Cengkeh dari Indonesia Timur merupakan komoditi yang paling berharga. Armada pertama mendarat di Pulau Banda, Maluku. Pulau tersebut merupakan pusat penghasil pala dan selaput buah pala atau sering disebut fuli.

Dalam rangka memperbesar usaha dagang, Portugis berupaya memperluas wilayah kekuasaannya. Mereka kemudian menguasai Selat Sunda. Pada tahun 1522, Portugis dan Raja Sunda, Sang Hyang Prabu Surawisesa, melakukan kesepakatan perjanjian kerjasama.

Melalui kesepakatan tersebut, bangsa Portugis diizinkan untuk mendirikan benteng di daerah yang disebut "Kepala" dengan syarat memberikan perlindungan kepada Kerajaan Sunda dari kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.

Pada kenyataannya, benteng tersebut tidak pernah dibangun. Pada tahun 1526, armada Portugis yang saat itu dipimpin oleh Fransisco de Saa dihantam topan. Beberapa dari mereka yang sempat selamat kemudian mendarat di Sunda Kepala, namun dibunuh oleh Pasukan Cirebon. 
Pada akhir abad ke-16, Portugis mulai kehilangan kekuasaannya di Indonesia. Mereka secara bertahap tergusur oleh Belanda dan kesultanan-kesultanan lokal yang bersekutu untuk mengusir penjajah. Benteng-benteng Portugis di berbagai wilayah dikepung dan direbut oleh kekuatan-kekuatan lain.

Setelah kedatangan Portugis dan sebelum kedatangan Belanda, Indonesia juga pernah didatangi bangsa Spanyol. Meski Spanyol tak sempat menguasai kerajaan-kerajaan Nusantara. Di Indonesia, Spanyol hanya sempat bersaing dengan Portugis di Maluku.Bahkan, Spanyol sebenarnya telah berlayar lebih dulu dibanding Portugis. Namun pelayar Spanyol yang termahsyur, Christopher Columbus, tidak berhasil menemukan 'Kepulauan rempah-rempah'.

Columbus hanya sampai ke benua Amerika. Meski sebuah keberhasilan besar, Spanyol belum berhasil menemukan kepulauan rempah-rempah yang dimaksud. Maka Spanyol kembali menggelar ekspedisi di bawah pimpinan Fernando de Magelhaens atau Ferdinand Magellan dengan kapten kapal Sebastian del Cano.

Dikutip dari Sejarah Indonesia: Masuknya Islam Hingga Kolonialisme (2020), pada 7 April 1521, Magellan dan awaknya tiba di Pulau Cebu, Filipina.

Ia diterima baik oleh Raja Cebu, sebab saat itu Cebu sedang bermusuhan dengan Mactan. Namun Magellan terbunuh oleh Mactan di Filipina sehingga ekspedisi dilanjutkan del Cano.

Di bawah kepemimpinan del Cano, rombongan Spanyol akhirnya tiba di Tidore. Kerajaan Tidore menyambut baik kedatangan Spanyol. Mereka menjadikan Spanyol sebagai sekutu. Saat itu, Tidore tengah bermusuhan dengan Portugis yang bersekutu dengan Ternate. 
Kedatangan Spanyol menjadi ancaman bagi Portugis. Sebab saat itu Portugis memonopoli perdagangan di Maluku.

Portugis dan Spanyol pun bersaing dengan memanfaatkan permusuhan kerajaan lokal.

Pada 22 April 1529, keduanya bersepakat lewat Perjanjian Saragosa. Perjanjian Saragosa berisi:
Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan kegiatannya di Filipina
Portugis tetap melakukan aktivitas perdagangan di Maluku.
Spanyol dibantu Tidore, sempat berperang melawan Portugis yang dibantu Ternate.

Namun Spanyol akhirnya angkat kaki dan Portugis kembali memonopoli perdagangan di Maluku.
Penjajahan Portugis berakhir setelah Belanda datang ke Indonesia yaitu pada tahun 1602.

Penjajahan selanjutnya adalah Belanda. Ada beberapa pendapat para sejarawan mengenai berapa lama Belanda menjajah Indonesia. 
Pendapat pertama menyebut bahwa Indonesia dijajah Belanda sekitar 50 tahun. Ini disampaikan oleh GJ Resink, ahli hukum internasional berdarah Belanda-Indonesia.
Jika Indonesia dijajah selama 350 tahun sebelum merdeka, berarti Belanda mulai menjajah sejak 1595. Padahal dalam catatan sejarah, orang Belanda pertama kali menginjakkan kakinya di Indonesia pada 1596.

Ialah Cornelis de Houtman yang kala itu mendarat di Banten. Saat itu, kedatangannya diketahui bukan untuk menjajah melainkan dengan tujuan berdagang. Berdasarkan fakta sejarah lain, Belanda memang sedang menjajah suatu bangsa pada 1596 tetapi bukan Indonesia.

Di sisi lain, nama 'Indonesia' baru digaungkan pada 1850. Sebelumnya, negara ini dikenal dengan 'Nusantara'. Sebutan Nusantara merujuk pada sebuah wilayah yang di antara daerah satu dan lainnya bersifat tidak mengikat.

Menurut pendapat sejarawan, apabila suatu daerah di Nusantara kala itu dijajah, maka wilayah lainnya belum tentu terjajah alias berstatus merdeka. Sehingga tak bisa dikatakan kalau wilayah Nusantara ditaklukkan penjajah karena tidak memiliki ikatan tersebut antara tiap-tiap daerahnya.

Demikian menurut Resink, narasi Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun lamanya merupakan sebuah generalisasi sejarah yang dibuat-buat. Generalisasi ini diolah berdasarkan gambaran penjajahan seluruh Nusantara selama tiga abad atau lebih lama lagi.

Resink berpendapat secara fakta Indonesia dijajah sekitar 40-50 tahun saja. Perhitungannya dimulai setelah Aceh dipaksa menandatangani plakat pendek pada 1904. Plakat tersebut menyatakan bahwa Aceh mengakui kedaulatan Hindia Belanda dan wilayah Aceh merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda.

Pandangan kedua diungkap oleh tiga sejarawan Indonesia, yakni Dr Lilie Suratminto, MA dari Universitas Indonesia, Dr Sri Margana dari Universitas Gajah Mada, dan Bonnie Triyana selaku Pemred Majalah Historia. 
Ketiganya berpendapat bahwa Indonesia tidak dijajah Belanda selama 350 tahun. Menurut Dr Sri Margana, waktu penjajahan Belanda dapat dihitung sejak VOC dinyatakan bangkrut dan diambil alih pemerintah Belanda pada 1800.

Ketika VOC berkuasa pada 1602-1800, diketahui itu bukan masa penjajahan melainkan kapitalisme karena kekuasaan VOC mengemban misi dagang. Pada kala itu juga, tidak semua wilayah Indonesia ditaklukkan Belanda. Jadi tidak dapat dihitung keseluruhan karena Aceh baru diduduki pada 1901.

Sementara Dr Lilie Suratminto menjelaskan bahwa yang disebut masa kolonial itu berarti penjajah telah mendirikan pemerintahan, lengkap dengan undang-undang, aparat hukum, serta angkatan bersenjatanya. Dan masa kolonial Belanda terjadi dari tahun 1800 hingga 1942,terjadi hanya 142 tahun. Meski menurutnya di sela-sela Belanda ada masa Perancis dan masa Inggris. Belanda sendiri cuma 126 tahun sampai tahun 1942. Sejak tahun 1800-1811 itu masa Prancis, dan 1811-1816 itu masa Inggris. Belanda kolonial murni terjadi tahun 1816-1942. Tapi keseluruhan masa telah berlangsung jaman kolonial dari tahun 1800-1942.

Perihal Belanda menjajah Indonesia yang dinarasikan selama 350 tahun karena para politikus pada zaman itu hendak menyulut api semangat rakyat. Demikian agar rakyat marah dan ingin bergerak melawan penjajah.

Belanda pertama kali menginjakkan kaki di tanah Nusantara pada abad ke 16. Namun masa penjajahan Belanda tidak dimulai saat itu.
Pada abad 18, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mengklaim diri sebagai kekuatan politik dan ekonomi di Pulau Jawa setelah Kesultanan Mataram runtuh. Tapi karena manajemen yang buruk serta bersaing ketat dengan Inggris, VOC runtuh menjelang akhir abad 18. Hingga pada 1796, VOC bangkrut dan dinasionalisasi Belanda.

Ada dua tokoh yang dikenal sebagai arsitek pemerintah Belanda di Indonesia, yaitu Herman Willem Daendels dan Letnan Inggris Stamford Raffles. Daendels mengatur pemerintahan pusat hingga daerah dengan cara membagi Pulau Jawa ke berbagai distrik di bawah pimpinan pegawai negeri sipil Eropa.

Sedangkan, Raffles yang menjabat setelah Daendels melanjutkan reorganisasi sang pendahulu. Ia mereformasi polisi, sistem administrasi, hingga pengadilan di Jawa. Raffles juga mengenalkan pajak tanah dimana petani Jawa harus membayar pajak sekitar 2/5 dari panen tahunan.

Sistem pemerintahan Belanda di Jawa merupakan sistem yang langsung maupun dualistik. Selain hierarki Belanda, hierarki juga berlaku di saat yang sama untuk menjadi perantara antara petani Jawa dan layanan sipil Eropa.Struktur atas hierarki pribumi terdiri dari aristokrasi Jawa,yang sebelumya merupakan pejabat pengelola kerajaan Mataram. Namun, kekuasaan penjajah membuat priyayi tersebut dengan terpaksa menuruti keinginan Belanda.

Kekuasaan Belanda di Indonesia pada abad 18 hingga abad 19 tak berlangsung penuh.

Perebutan kekuasaan di Eropa membuat Belanda sempat berada di bawah penjajahan Perancis karena peperangan Napoleon. Dikutip dari Sejarah Indonesia Modern (2016) karangan MC Ricklefs, menjelang akhir abad 18, VOC mengalami kemunduran.

Korupsi dan perang terus-menerus di berbagai daerah di Nusantara membuat VOC mengalami krisis keuangan.

Di Eropa, pada Desember 1794 hingga Januari 1795, Perancis menyerbu Belanda.Di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte, Perancis berhasil menguasai Belanda. Ia kemudian membentuk pemerintahan boneka.

Pada tahun 1796, De Heeren XVII yang mengatur operasi VOC di Indonesia dibubarkan.

De Heeren XVII digantikan dengan komite baru. Tak lama, pada 1 Januari 1800, VOC dibubarkan.

Operasional VOC di Nusantara diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda.

Napoleon Bonaparte mengangkat adiknya, Louis Napoleon sebagai penguasa di Belanda pada tahun 1806.

Kemudian pada 1808, Louis mengirim Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia.

Selama tiga tahun yakni dari 1808-1811, Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.Di masa kepemimpinan Daendels, rakyat dan penguasa-penguasa setempat diperlakukan dengan sewenang-wenang.
Para raja-raja di Jawa dipaksa mengabdi kepada Belanda.

Kebijakannya yang paling kontroversial, pembangunan jalan dari Anyer hingga Panarukan yang menelan banyak korban.Langkah ini diambil Daendels setelah Belanda mengalami kesulitan keuangan akibat perang melawan Inggris. Berakhirnya masa penjajahan Perancis Willem V dari Belanda berhasil lolos dari serangan Perancis dan melarikan diri ke Inggris pada 1795. Ia tinggal di Kew dan memerintah dari sana. Lewat surat-surat Kew terungkap, para pejabat jajahan Belanda diperintah untuk menyerahkan wilayah mereka ke orang-orang Inggris sipaya tidak jatuh ke tangan Perancis.

Maka sejak 1795, Inggris pun berusaha merebut Nusantara dari Perancis. Dengan jatuhnya pangkalan utama Perancis di Mauritius pada akhir 1810, posisi Inggris semakin kuat untuk merebut Indonesia. Pada Mei 1811, Daendels dicopot dari jabatannya. Ia tak bisa membangun hubungan dengan penguasa tanah Jawa. Daendels juga dituduh memperkaya diri sendiri dengan menjual tanah-tanah pemerintah. Daendels digantikan oleh Jan Willem Janssens. Namun Janssens tak bertahan lama karena terus diserang Inggris.

Hingga pada 4 Agustus 1811, 60 kapal Inggris muncul di pelabuhan Batavia, pusat kekuatan Belanda. Batavia dan daerah di sekitarnya jatuh ke tangan Inggris pada 26 Agustus 1811. Janssens mundur ke Jawa Tengah dan menyerah di dekat Salatiga

Indonesia, yang dulu dikenal sebagai Hindia Timur, adalah salah satu tanah jajahan Belanda yang memiliki nilai strategis dan ekonomis tinggi.

Namun, pada awal abad ke-19, Belanda mengalami krisis politik dan militer akibat invasi Napoleon Bonaparte, kaisar Perancis yang berambisi untuk menguasai Eropa dan dunia.

Napoleon berhasil menaklukkan Belanda pada tahun 1806 dan menjadikannya sebagai negara satelit Perancis.

Hal ini berdampak pada nasib Hindia Timur, yang kemudian berada di bawah kekuasaan Prancis selama kurang lebih tujuh tahun (1806-1813).

Masa penjajahan Prancis di Indonesia ditandai oleh dua periode kekuasaan yang berbeda.

Periode pertama adalah masa pemerintahan Louis Napoleon Bonaparte, saudara kandung Napoleon yang diangkat sebagai raja Belanda oleh sang kaisar.

Louis Napoleon berusaha untuk mempertahankan kedaulatan Belanda atas Hindia Timur dan melindungi kepentingan perdagangan dan kolonialnya.

Ia mengirimkan pasukan dan pejabat Belanda ke Indonesia untuk menggantikan orang-orang Prancis yang sebelumnya ditugaskan oleh Napoleon.

Ia juga memberikan kewenangan kepada Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, seorang patriot Belanda yang setia kepadanya, untuk mengurus urusan administrasi dan pertahanan di Hindia Timur.

Periode kedua adalah masa pemerintahan Charles-François Lebrun, Adipati Plaisance, yang ditunjuk sebagai gubernur jenderal Hindia Timur oleh Napoleon setelah ia mencopot Louis Napoleon dari jabatan raja Belanda pada tahun 1810.

Ia mengganti semua pejabat dan pasukan Belanda dengan orang-orang Prancis atau sekutu-sekutunya, seperti Inggris dan Jawa. 

Kemudian juga meningkatkan pajak dan monopoli perdagangan untuk mengisi kas negara Perancis yang terkuras akibat perang.

Masa penjajahan Prancis di Indonesia membawa beberapa dampak bagi masyarakat dan sejarah Indonesia.

Di satu sisi, penjajahan Prancis memperburuk kondisi sosial dan ekonomi rakyat Indonesia, yang harus menanggung beban pajak dan monopoli yang tinggi, serta menghadapi kelaparan, wabah penyakit, dan perlawanan dari pihak-pihak yang tidak puas dengan kekuasaan Prancis.

Di sisi lain, penjajahan Prancis juga membuka peluang bagi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan politik di Indonesia.

Beberapa contohnya adalah proyek pembangunan jalan raya Jalan Daendels yang menghubungkan Anyer dengan Panarukan, penelitian tentang flora dan fauna Indonesia oleh ilmuwan-ilmuwan Prancis seperti Pierre Sonnerat dan Alfred Duvaucel, serta kontak-kontak antara tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia dengan Perancis, baik sebagai sekutu maupun lawan.

Masa penjajahan Prancis di Indonesia berakhir pada tahun 1813, ketika pasukan Inggris berhasil mengalahkan pasukan Prancis dalam Pertempuran Salatiga.

Pada 1814, Inggris dan Belanda mengadakan pertemuan di London.

Pertemuan antara Inggris dan Belanda menghasilkan kesepakatan yang disebut Convention of London atau Konvensi London, yang ditandatangani pada 13 Agustus 1814.

Konvensi London menyatakan bahwa Inggris sepakat untuk mengembalikan Hindia Belanda kepada Belanda. Penyerahan kekuasaan tersebut baru terealisasi dua tahun kemudian, tepatnya pada 19 Agustus 1816 di Batavia. Dalam proses penyerahan kekuasaan tersebut, Inggris diwakili oleh John Fendall, pengganti Raffles.

Sementara pihak Belanda diwakili oleh tiga komisaris jenderal, yaitu Ellout, van der Capellen, dan Buyskes.

Setelah mendapat penyerahan wilayah dari Inggris, Belanda kembali berkuasa di Hindia Belanda. Namun, permasalahan utama kerajaan Belanda pascapenyerahan resmi Hindia Belanda dari Inggris tahun 1816 adalah terjadinya kekosongan kas kerajaan Belanda dan utang yang menumpuk akibat membiayai perang. Situasi tersebut mendorong Johannes van den Bosch mencetuskan ide tanam paksa untuk menyelamatkan Belanda dari kebangkrutan. Johannes van den Bosch kemudian ditunjuk sebagai gubernur jenderal untuk menjalankan kebijakan tanam paksa.

Artikel ini telah tayang di Setelah mendapat penyerahan wilayah dari Inggris, Belanda kembali berkuasa di Hindia Belanda. Namun, permasalahan utama kerajaan Belanda pascapenyerahan resmi Hindia Belanda dari Inggris tahun 1816 adalah terjadinya kekosongan kas kerajaan Belanda dan utang yang menumpuk akibat membiayai perang. Situasi tersebut mendorong Johannes van den Bosch mencetuskan ide tanam paksa untuk menyelamatkan Belanda dari kebangkrutan. Johannes van den Bosch kemudian ditunjuk sebagai gubernur jenderal untuk menjalankan kebijakan tanam paksa.

Sistem tanam paksa atau cultuurstelsel merupakan kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mewajibkan rakyat Indonesia melakukan tanam paksa. Kebijakan ini mulai diberlakukan pada 1830, di mana Belanda mengeruk kekayaan alam Indonesia untuk membayar hutang-hutangnya. Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch memusatkan kebijakan tanam paksa pada peningkatan produksi tanaman yang laku di pasar internasional. Para petani di Jawa diwajibkan untuk menanam tanaman komoditas ekspor dan menjualnya kepada pemerintah Belanda dengan harga yang sangat rendah sebagai pengganti pembayaran pajak mereka.

Tanaman yang wajib ditanam antara lain, kopi, tebu, tembakau, teh, dan nila. Tanaman tersebut menjadi komoditas unggulan pemerintah kolonial. Sistem tanam paksa tidak hanya memberikan keuntungan melimpah bagi pemerintah kolonial, bahkan Belanda mampu mengatasi defisit keuangan yang terjadi di negerinya.

Hal ini terbukti ketika pada 1832-1867, pemerintah Belanda mampu meraup keuntungan hingga 967 juta gulden. Di sisi lain, sistem tanam paksa semakin membuat rakyat Indonesia jatuh dalam jurang kemiskinan dan kelaparan.  

Sistem tanam paksa yang diberlakukan sejak tahun 1830 oleh Van Den Bosch memang memberi dampak besar bagi Belanda yang mengalami kekosongan kas negara pada masa itu. Namun, berjalannya waktu banyak yang menentang penerapan sistem tanam paksa yang dianggap tidak manusiawi terutama dari parlemen Belanda dari kaum liberal dan humanis. Keduanya mendesak kepada pemerintah Belanda untuk mengurangi peranan pemerintah dalam perekonomian wilayah jajahan. Desakan tersebut sebagai jawaban atas penindasan terhadap orang – orang Jawa dan Sunda.

Salah satu tokoh kaum humanis dari Belanda bernama Eduard Douwes Dekker pada tahun 1860 menerbitkan buku berjudul Max Havelaar dengan nama samaran bernama Multatuli. Dalam bukunya, Eduard Douwes Dekker mengisahkan kekejaman Belanda kepada jajahan Jawa. Buku ini dianggap sebagai bentuk kritikan kepada Belanda terhadap praktek tanam paksa di Hindia Belanda.

Masa ekonomi liberal di Hindia Belanda terjadi pada 1870-1900 yang ditandai dengan diberikannya peluang kepada pemodal swasta untuk menanamkan modal dalam kegiatan usaha di Hindia Belanda. Para pelaku usaha baik dari Belanda maupun negara Eropa lainnya menanamkan modal di industri – industri perkebunan seperti kopi, teh, gula dan kina baik di Jawa maupun luar Jawa.

Pada masa pemerintahan sistem ekonomi liberal, sistem kerja paksa (cultuurstelsel) sudah dihapuskan. Dengan dibebaskannya swasta menanamkan modal dan pengaruhnya membuat perkembangan ekonomi Hindia Belanda maju sangat pesat terutama di Jawa. Penduduk pribumi Jawa mulai menyewakan tanahnya kepada swasta Belanda untuk dijadikan perkebunan besar.

Dari perkebunan ini memberikan peluang bekerja sebagai buruh perkebunan bagi pribumi. Selama tahun 1870-1885 terjadi perkembangan pesat dan keuntungan besar pada perkebunan teh, kopi, tembakau dan tanaman perdagangan lainnya.

Sistem tanam paksa yang diberlakukan sejak tahun 1830 oleh Van Den Bosch memang memberi dampak besar bagi Belanda yang mengalami kekosongan kas negara pada masa itu. Namun, berjalannya waktu banyak yang menentang penerapan sistem tanam paksa yang dianggap tidak manusiawi terutama dari parlemen Belanda dari kaum liberal dan humanis. Keduanya mendesak kepada pemerintah Belanda untuk mengurangi peranan pemerintah dalam perekonomian wilayah jajahan. Desakan tersebut sebagai jawaban atas penindasan terhadap orang – orang Jawa dan Sunda.

Salah satu tokoh kaum humanis dari Belanda bernama Eduard Douwes Dekker pada tahun 1860 menerbitkan buku berjudul Max Havelaar dengan nama samaran bernama Multatuli. Dalam bukunya, Eduard Douwes Dekker mengisahkan kekejaman Belanda kepada jajahan Jawa. Buku ini dianggap sebagai bentuk kritikan kepada Belanda terhadap praktek tanam paksa di Hindia Belanda.

Desakan Pengusaha Swasta
Pada saat itu Belanda terhitung sebagai negara investor ketiga terbesar di dunia. Arus investasi dari pengusaha swasta Belanda memaksa pemerintah memberikan kebijakan kebebasan investasi di Hindia Belanda dimana perkebunan menjadi devisa utama Belanda. Pengusaha swasta menginginkan keleluasaan dalam menanamkan modalnya di Hindia Belanda. Desakan inilah yang membuat Belanda mengeluarkan aturan – aturan tentang kebijakan liberal.

Berbagai kritikan dari kaum liberal swasta dan kaum humanis memaksa Belanda menghapus sistem tanam paksa di Hindia Belanda. Pada tahun 1870 secara resmi sistem tanam paksa dihentikan. Sebagai gantinya, parlemen Belanda menerapkan sistem open door policy (politik pintu terbuka), sebagai kesempatan penanaman modal Hindia Belanda. Berikut adalah tiga peraturan utama dalam kebijakan ekonomi liberal 1870 :

1. Indische Comptabiliet Wet 1867 (UU Perbendaharaan Negara) yaitu undang – undang yang mengatur tentang kewajiban seluruh Anggaran Pendapatan Negara (APBN) Hindia Belanda disahkan oleh parlemen dan melarang mengambil keuntungan dari tanah jajahan.
2. Agrarische Wet 1870 (UU Agraria) yaitu undang – undang yang mengatur tentang dasar – dasar pertanahan dengan ketentuan :
- Larangan Gubernur Jenderal menjual tanah termasuk untuk tanah kecil seperti perluasan kota dan desa untuk pendirian perusahaan dan bangunan
- Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah termasuk pada tanah yang dibuka oleh rakyat Indonesia dan tanah tempat menggembala ternak atau tanah desa untuk keperluan umum lainnya
- Kebebasan pribumi untuk memiliki tanah. Pemodal dapat menyewa tanah melalui hak erfpacht (hak guna usaha) dari pemerintah selama 75 tahun atau dari pribumi selama 5 hingga 20 tahun.
- Gubernur Jenderal tidak diperkenankan mengambil tanah yang telah dibuka oleh rakyat untuk kepentingan sendiri kecuali untuk keperluan umum yang susuai dengan peraturan yang berlaku
- Tanah milik pribumi mendapat hak eigendom (hak mutlak) dengan syarat dan pembatasan yang telah diatur dalam undang – undang.
3. Suiker Wet 1870 (UU Gula), menetapkan bahwa pemerintahan Belanda tidak diperbolehkan memonopoli gula melainkan diperbolehkan swasta untuk ikut menjalankan usaha gula di Hindia Belanda.


Sekitar tahun 1885 terjadi kemerosotan harga kopi dan gula yang diakibatkan Eropa mulai menanam gula dan kopi sendiri sehingga tidak memerlukan impor gula dari Indonesia. Krisis ini dijawab dengan melakukan reorganisasi kehidupan ekonomi Belanda. Perkebunan besar yang awalnya milik perseorangan diubah menjadi perseroan terbatas. Pada akhir abad ke 19, sistem ekonomi liberal yang dianggap tidak lagi efektif meraup keuntungan mulai ditinggalkan menjadi sistem ekonomi terpimpin. Sistem ekonomi terpimpin mengubah pemegang kontrol industri tidak lagi pemimpin perkebunan yang ada di Jawa melainkan berdasarkan kepentingan finansial dan industriil di Belanda.

Meskipun ekonomi Hindia Belanda maju secara pesat, namun kondisi kesejahteraan rakyat Indonesia ternyata justru mundur. Hal ini dikarenakan semakin bertambahnya tekanan terhadap sumber – sumber bahan pangan. Tanah dengan kualitas terbaik ditanami tanaman industri sedangkan tanaman pokok seperti padi ditanam di lahan yang tandus.

Dihapuskannya tanam paksa tidak memberi perbaikan nasib kepada rakyat Indonesia. Hal tersebut karena masih berlangsungnya pembayaran pajak tanah dan pajak lainnya kepada pemerintah kolonial.

Penjajahan tetap membawa kepahitan bagi yang terjajah.silih berganti penjajahan tak memberi ruang pada bangsa ini merasakan kemerdekaannya. Tak berhenti hingga ekonomi liberal Belanda, penjajahan berikutnya terganti oleh Jepang. 

 Masa pendudukan Jepang di wilayah Nusantara (saat itu masih dikenal dengan nama Hindia Belanda) dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pada bulan Mei 1940, saat awal Perang Dunia II, Belanda dikuasai oleh Jerman Nazi. Indonesia mengumumkan keadaan siaga serta mengalihkan ekspor untuk Kekaisaran Jepang ke Amerika Serikat serta Inggris.

Negosiasi untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat dengan Jepang gagal pada bulan Juni 1941 dan Jepang mulai menaklukkan hampir seluruh wilayah Asia Tenggara pada bulan Desember tahun itu.

Pada bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan dari Jepang untuk melakukan revolusi terhadap pemerintah Belanda. Sementara itu, pasukan Belanda terakhir yang dikalahkan oleh Jepang adalah pada Maret 1942. Masa penjajahan Jepang di Indonesia pun dimulai. 
Orang-orang Jepang sebenarnya sudah mulai masuk ke Indonesia sebelum Belanda menyerahkan wilayah tersebut pada tahun 1942.

Pada tahun 1937, dunia mengalami krisis ekonomi yang sangat parah. Namun, Jepang berhasil mengantisipasi dampak buruk dari resesi global tersebut. Menurut Onghokham dalam bukunya “Runtuhnya Hindia Belanda” (1987:30), Jepang adalah salah satu negara yang mampu selamat dari krisis moneter dunia.

Hal ini berbeda dengan Hindia Belanda yang saat itu sedang mengalami masalah ekonomi yang semakin parah. Karena situasi ekonomi yang buruk di Hindia Belanda, Jepang mampu masuk ke wilayah tersebut pada tahun 1938-1939 untuk berinvestasi pada pemerintah Hindia Belanda.

Selain itu, Jepang adalah salah satu negara utama yang menjadi tujuan ekspor komoditas dari Hindia Belanda yang didapatkan kekayaan alamnya di Nusantara.

Pada saat itu, Jepang menjadi pesaing negara-negara Eropa dalam perebutan pasar ekonomi, yang membuat mereka mampu masuk ke Indonesia pada tahun 1938-1939 untuk berinvestasi pada pemerintah Hindia Belanda.

Jepang masuk ke Indonesia dimulai pada bulan Oktober tahun 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan jabatan Konoe Fumimaro sebagai Perdana Menteri Jepang.

Meskipun pada akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang tidak ingin melawan beberapa negara sekaligus, namun pada pertengahan tahun 1941 mereka menyadari bahwa untuk menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara, mereka harus menghadapi Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda sekaligus.

Hal ini semakin diperparah dengan embargo minyak bumi yang dilancarkan oleh Amerika yang sangat dibutuhkan oleh industri di Jepang dan keperluan perang.

Laksamana Isoroku Yamamoto, yaitu Panglima dari Angkatan Laut Jepang, membuat sebuah strategi perang yang agresif, yaitu dengan mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar.
Kekuatan pertama, yang terdiri dari 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak, dan lebih dari 1.400 pesawat tempur, akan menyerang secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii pada 7 Desember 1941.

Sementara itu, kekuatan kedua, yang terdiri dari sisa kekuatan Angkatan Laut Jepang, akan mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina, Malaya dan Singapura, yang kemudian dilanjutkan ke Jawa. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam waktu 150 hari dengan Admiral Chuichi Nagumo sebagai pemimpin armada yang ditugaskan menyerang Pearl Harbor.

Pada 8 Desember tahun 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan perang pada Jepang. Kemudian tiga hari setelahnya, Jerman menyatakan perang pada Amerika Serikat.

Hal ini menyebabkan Amerika Serikat bergabung dengan pasukan Sekutu dan terlibat dalam pertempuran di Eropa dan Asia Pasifik. Perang Pasifik ini juga berdampak besar pada perjuangan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia.

Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hindia Belanda adalah untuk mendapatkan sumber daya alam, terutama minyak bumi, untuk mendukung potensi perang dan industri mereka. Pulau Jawa direncanakan sebagai pusat dukungan untuk operasi militer di Asia Tenggara, serta Sumatra sebagai sumber minyak utama.

Jepang kemudian masuk ke Indonesia dan berhasil menduduki Tarakan yang kemudian diikuti pula dengan menguasai beberapa wilayah lain seperti Pontianak, Balipakakn pada 29 Januari dan 24 Januari tahun 1942.

Selanjutnya, pada 3 Februari 1942 dan 10 Februari 1942, Jepang berhasil mengambil alih Samarinda dan Banjarmasin dari Belanda. Setelah menguasai Kalimantan dan Maluku, pasukan Jepang melanjutkan ekspansi ke wilayah Sumatera.

Pada tanggal 14 Februari 1942, Jepang mengerahkan pasukan untuk menduduki Sumatera. Dua hari kemudian, tepatnya pada tanggal 16 Februari 1942, Palembang dan sekitarnya berhasil diduduki. Keberhasilan ini membuat Jepang semakin bertekad untuk menguasai Jawa.

Jepang menduduki daerah Teluk Banten di Jawa Barat serta wilayah Kragan di Jawa Tengah pada awal bulan Maret tahun 1942. Akhirnya, Batavia (Jakarta) yang menjadi pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda direbut pada tanggal 5 Maret 1942, diikuti dengan keberhasilan mereka mengambil alih Bandung dua hari kemudian.

Pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda dan Jepang bertemu di Kalijati, dekat Subang, Jawa Barat untuk melakukan perundingan. Dalam pertemuan tersebut, Belanda setuju untuk menyerah tanpa syarat kepada Jepang.

Pada waktu yang sama, Gubernur Jenderal dari Hindia Belanda yaitu Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Letnan Jenderal Heindrik Ter Poorten, yang merupakan Komandan Angkatan Perang Belanda di Jawa, menyerahkan kekuasaannya atas wilayah Indonesia pada Jenderal Hitoshi Imamura sebagai wakil delegasi dari Dai Nippon.

Pada 11 Januari 1942, Jepang pertama kali datang ke Indonesia dan memilih Tarakan, Kalimantan Timur sebagai wilayah pertama yang dituju. Hal ini dikarenakan Jepang sangat membutuhkan suplai bahan bakar minyak setelah hubungannya dengan Amerika Serikat terputus dan mencari wilayah yang memiliki sumber bahan bakar minyak, salah satunya Indonesia.

Jepang mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur yang pada saat itu dikuasai oleh Belanda. Pada awalnya, kedatangan Jepang ini disambut baik oleh rakyat Indonesia karena Jepang mengaku sebagai saudara tua dan menjanjikan untuk mengusir sekutu.

Rakyat Indonesia pun percaya dengan gerakan 3A (Jepang cahaya Asia, Jepang pemimpin Asia, dan Jepang pelindung Asia) yang diharapkan akan menjadi titik awal untuk melepaskan diri dari penjajahan.

Namun, kenyataannya sangat berbeda dari harapan. Gerakan 3A merupakan strategi Jepang untuk menguasai Indonesia dan melakukan eksploitasi sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Selama 3,5 tahun, Jepang berhasil menguasai Indonesia dan meninggalkan sejarah yang kelam karena kekejaman yang dilakukan.

Rakyat Indonesia mengalami penderitaan selama pendudukan Jepang, seperti siksaan fisik, pendetensian tanpa alasan yang jelas, perbudakan seks, kerja paksa yang tidak manusiawi, dan banyak kerugian lainnya.

Diantara kebijakan politik yang diterapkan Jepang di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Melakukan restrukturisasi pemerintahan 
Jepang membagi wilayah Indonesia menjadi dua bagian yaitu bagian yang dikuasai oleh angkatan darat (Rikugun) yang menguasai Sumatera dan Malaya dan bagian yang dikuasai oleh angkatan laut (Kaigun) yang menguasai Jawa, Madura, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua.

2. Reorganisasi administrasi
Ketika Jepang menguasai Indonesia, Jepang melakukan reorganisasi administrasi dengan mengubah struktur pemerintahan sesuai dengan kaidah Jepang.

Jepang mengganti daerah karesidenan menjadi Syu, kabupaten menjadi Ken, kota praja menjadi Syi, kawedanan menjadi Gun, kecamatan menjadi So, desa menjadi Ku, dan RT dan RW menjadi Tonarigumi. Tujuan dari perubahan ini adalah untuk memata-matai penduduk yang anti Jepang.

3. Propaganda serta akomodasi tokoh penguasa
Dalam upayanya untuk menguasai Indonesia, Jepang melakukan berbagai propaganda. Mereka mengaku sebagai “saudara tua” dan meluncurkan gerakan 3A untuk mendapat dukungan dari masyarakat Indonesia. Selain itu, Jepang juga membentuk beberapa organisasi propaganda yang dipimpin oleh tokoh-tokoh penting di Indonesia. Tujuannya adalah untuk membuat rakyat Indonesia mendukung Jepang.

Beberapa organisasi propaganda yang dibentuk oleh Jepang antara lain Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) yang dipimpin oleh Bung Karno dan Bung Hatta, Badan Pertimbangan Pusat (CHUO SANGI IN) yang dipimpin oleh Bung Karno, Himpunan Kebaktian Jawa (Jawa Hokokai) yang dipimpin oleh Gunseikan dan Soekarno sebagai penasihat utama.

Selama masa pendudukan Jepang, sistem ekonomi di Indonesia berubah menjadi sistem ekonomi perang. Pemerintah militer Jepang mengatur, membatasi, dan menguasai faktor-faktor produksi.

Segala kegiatan ekonomi yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda diambil alih oleh Jepang. Jepang juga melakukan beberapa kebijakan ekonomi yang memiliki dampak bagi bangsa Indonesia, seperti hal-hal berikut:

1. Asimilasi aset ekonomi
Dalam upaya untuk mengambil alih aset ekonomi, Jepang mengambil aset-aset yang ditinggalkan oleh Belanda, termasuk kebun-kebun, perbankan, pabrik-pabrik dan pertanian. Hal ini menyebabkan rakyat yang hidup di masa pendudukan Jepang mengalami kesulitan ekonomi dan kesengsaraan.

2. Swasembada
Kebijakan swasembada yang dilakukan oleh Jepang selama masa pendudukannya di Indonesia bertujuan untuk mengekang hubungan Indonesia dengan dunia luar.

Rakyat Indonesia dipaksa untuk memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga tidak perlu mengimpor dari negara lain. Tujuan Jepang saat itu adalah agar Indonesia hanya menjadi tergantung pada Jepang saja.

3. Setoran wajib
Dalam upaya untuk mengumpulkan dana, Jepang mengimplementasikan kewajiban setoran pada masyarakat Indonesia.

Rakyat Indonesia diwajibkan untuk menyisihkan sebagian pendapatan mereka, yaitu sebesar 30% untuk pemerintah Jepang, 20% untuk lembaga desa, 40% untuk kebutuhan pribadi, dan sisanya untuk koperasi bersama yang dikelola oleh organisasi seperti Jawa Hokokai dan Nagyo Kumiai.

Namun, dalam kenyataannya, pemerintah Jepang juga mengambil sebagian dari bagian 40% yang seharusnya dimiliki oleh rakyat, sehingga banyak dari rakyat Indonesia yang hidup dalam kondisi menderita.

Dalam bidang sosial, Jepang mengeluarkan beberapa kebijakan yang memberikan dampak pada kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia. Dampak di bidang sosial yang disebabkan oleh Jepang antara lain adalah sebagai berikut:

1. Melarang seluruh kebudayaan Barat
Selama masa pendudukan Jepang, kebudayaan Barat dilarang masuk ke Indonesia. Salah satunya adalah penggunaan bahasa Belanda yang dilarang digunakan.

Untuk memenangkan simpati dari masyarakat Indonesia, Jepang membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi dalam pendidikan. Selain itu, sistem pendidikan yang diterapkan oleh Belanda juga dihapuskan dan diganti dengan sistem pendidikan Jepang yang bercirikan militerisme.

Jadi, selama masa pendudukan, siswa harus menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, meletakkan bendera Jepang dan hormat kepada Kaisar Jepang.
2. Melakukan eksploitasi terhadap rakyat Indonesia
Masa Pendudukan Jepang merupakan masa yang sangat kelam bagi rakyat Indonesia. Selain melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam, Jepang juga melakukan eksploitasi terhadap rakyat Indonesia dengan kebijakan Romusha dan Jugun Ianfu.

Para laki-laki dipaksa untuk melakukan kerja paksa tanpa imbalan yang berakibat banyak meninggal karena kelelahan. Sementara itu, para perempuan dipekerjakan sebagai perempuan penghibur (Jugun Ianfu) dan dipaksa untuk memuaskan nafsu para tentara Jepang.

Selain Gerakan 3A, pemerintah militer Jepang juga menyebarkan berbagai propaganda lainnya dan membentuk berbagai organisasi yang melibatkan orang-orang Indonesia, seperti Pembela Tanah Air (PETA), Heiho, Seinendan, Keibodan, Barisan Pelopor, dan masih banyak lagi.

Selama masa pendudukan Jepang, rakyat Indonesia mengalami banyak kesengsaraan dan kerugian. Jepang mengeksploitasi sumber daya alam dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kejam seperti kerja paksa Romusha dan Jugun Ianfu.

Selama 4,5 tahun, kehidupan masyarakat Indonesia dan sumber daya alam di Indonesia dikuras demi kepentingan perang Jepang. Namun, pada akhirnya, Jepang mengalami kekalahan dan menyerah kepada Sekutu, yang memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Perjalanan panjang penjajahan negeri ini menyisakan luka yang sangat mendalam untuk anak negeri. 
Tak hanya menjadi sejarah, penjajahan sejatinya masih tetap terjadi hingga saat ini, hanya berganti metode dan caranya saja. 
Hari ini penjajahan yang terjadi tak pernah lepas dari kerangka kapitalisme liberal, jauh lebih jahat dibanding ekonomi liberal Hindia Belanda pada masa lalu. 
Hari ini secara politik, ekonomi, sosial, hankam kita terjajah. Penguasa kita tak ada bedanya dengan para priyayi pada masa lalu yang ditempatkan untuk memudahkan penjajahan tetap bercokol kuat di negeri ini. 

Tak sepantasnya kita merasa sudah merdeka, bertahun-tahun kita merayakan euphoria kemerdekaan sejatinya hanya menutup penjajahan dengan sekedar ceremonial merdeka semata. Karena kenyataannya kita masih tetap terjajah, terbelenggu dengan jeratan hutang, jebakan politik, racun liberalisme, kebebasan, bahkan arahan dan kerja negeri ini masih tetap mengacu pada hegemoni kekuatan Barat penjajah. 
Apakah layak kita teriak merdeka?!

Minggu, 02 Juni 2024

Demo Tolak Revisi RUU Penyiaran, Bukti Kebebasan Berpendapat Negeri Ini Bermasalah


Ramai beberapa waktu ini beragam aksi dan pembahasan terkait Tolak Revisi UU Penyiaran. Puluhan jurnalis bahkan ada yang turun ke jalan dalam aksi tolak Revisi, mereka berasal dari sejumlah media mulai dari media cetak, media online, media televisi, hingga jurnalis dari pers mahasiswa.

 Mereka berasal dari sejumlah aliansi diantaranya Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Perempuan Jurnalis Jawa Tengah, dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)
Kedatangan mereka ke depan gedung DPRD Jawa Tengah, Kamis sore (30/05).


Tak hanya dari jurnalis, sejumlah elemen dari LBH Semarang, Aksi Kamisan dan Legal Resources Center- Untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJHAM) juga turut menolak revisi RUU Penyiaran ini. 

Revisi UU Penyiaran dinilai Ketua IJTI Jawa Tengah Teguh Hadi Prayitno, bertentangan dengan Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 mengenai Kebebasan Pers.
“Aksi penolakan terhadap RUU Penyiaran ini bukan hanya di Semarang, namun juga di seluruh Indonesia.

Sementara itu, menurut Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Semarang, Aris Mulyawan, revisi RUU Penyiaran dinilai buru-buru. Selain itu, seharusnya jurnalis juga dilibatkan dalam penyusunan revisi RUU Penyiaran.

Menurut ketua AJI Kota Semarang Aris Mulyawan yang juga Redaktur Suara Merdeka tersebut menyebut pasal-pasal kontroversi yang sedang digodok dalam RUU Penyiaran tak selaras dengan semangat reformasi. Berdasarkan catatan yang dihimpun AJI, terdapat beberapa pasal problematik, di antaranya pelarangan siaran eksklusif mengenai konten investigasi, membesar ruang kriminalisasi hingga mengurangi peran Dewan Pers. "Jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi mau dibunuh oleh perwakilan rakyat. Kami harus menolak keras RUU Penyiaran," ujar Aris.

Dari Aksi yang digelar, poin utama yang disuarakan yakni penolakan pembahasan revisi UU Penyiaran yang tengah berlangsung karena dianggap cacat prosedur dan merugikan publik. Beberapa isi pada RUU berpotensi mengancam iklim demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.

Direktur Eksekutif lembaga studi dan pemantauan media Remotivi, Yovantra Arief, menjelaskan bahwa revisi undang-undang penyiaran perlu bisa menyesuaikan perkembangan terkini dan seharusnya mampu mengakomodir semangat tersebut, bukan sebaliknya.


Dalam aksi tersebut, massa membacakan enam tuntutan, yaitu:
1. Tolak pembahasan RUU Penyiaran yang berlangsung saat ini karena dinilai cacat prosedur dan merugikan publik;
2. Mendesak DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Penyiaran yang substansinya bertentangan dengan nilai demokrasi, upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hak asasi manusia;
3. Mendesak DPR untuk melibatkan partisipasi publik yang bermakna, dalam penyusunan revisi UU Penyiaran untuk memastikan tidak ada pasal-pasal multitafsir yang dapat dipakai untuk mengebiri kemerdekaan pers, memberangus kebebasan berpendapat, serta menjamin keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat;
4. Membuka ruang ruang partisipasi bermakna dalam proses penyusunan RUU Penyiaran dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil dan kelompok masyarakat terdampak lainnya. Penyusunan dan pembahasan RUU Penyiaran harus melibatkan Dewan Pers dan seluruh konstituennya agar tidak terjadi pembiasan nilai-nilai kemerdekaan pers;
5. Mendorong jurnalis untuk bekerja secara profesional dan menjalankan fungsinya sesuai kode etik, untuk memenuhi hak-hak publik atas informasi;
6. Menggunakan UU Pers sebagai pertimbangan dalam pembuatan regulasi yang mengatur soal pers. Agar tidak ada pengaturan yang tumpang tindih terkait kemerdekaan pers;



Dua Wajah Demokrasi

Inilah dilema dalam Demokrasi . Di satu sisi, kebebasan berpendapat memiliki jaminan dalam demokrasi, katanya kebebasan berpendapat dilindungi UU, dijamin kebebasannya. Tapi di lain sisi jaminan tersebut menjadi celah munculnya kekuasaan yang tidak menoleransi munculnya suara kritis yang malah menghasilkan ketakbebasan untuk bersuara.

Dilema dalam berdemokrasi ini sesungguhnya menjadi diskusi yang tidak pernah berujung. Demokrasi berakhir dengan tirani minoritas, dimana pada akhirnya kita menyaksikan bahwa keberpihakan demokrasi hanya ada pada pemilik kuasa, bukan masyarakat. Inilah hasil dari dilema kebebasan dalam demokrasi.

Bagaimanapun media, dalam sistem Demokrasi menempati pilar penting untuk menegakkan kekuasaan demokrasi itu sendiri selain eksekutif, legislatif, yudikatif. Maka wajar, kebebasan pers hanya akan dilanggengkan jika sejalam dengan penguasa, bahkan menguatkan posisi penguasa. Akan tetapi jika kontra, kritis dan seakan melakukan kritik dan muhasaban kepada penguasa serta berlainan kepentingan dengan penguasa, mereka akan memainkan kekuasaan ototiternya baik dengan berubah represif, bahkan mengganti peraturan/Undang-undang yang sedang berlaku demi 'aman' nya kepentingan mereka. 


Negara sebagai Perisai Informasi

Di dalam Islam, tata pengelolaan informasi menjadi tanggung jawab negara. Ada tempat dimana pers, jurnalis memberitakan informasi sepanjang tidak melanggar syariat Islam. 

Negara tidak dapat membiarkan perusahaan media swasta (apalagi asing) bebas membentuk opini publik di tengah-tengah masyarakat Muslim untuk kepentingan ideologi asing. 

Bahkan informasi merupakan hal yang penting untuk dakwah Islam dan Negara. Dengan demikian media terhubung secara langsung dengan penguasa sebagai lembaga yang independen. Dalam Islam, negara akan secara aktif mendukung media dalam memainkan perannya untuk membantu mengelola urusan warganya dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh umat manusia.

Ketikapun muhasabah perlu dilakukan maka akan dijalankan sesuai mekanisme pengaturan yang benar sesuai ketentuan syariat. Lembaga Majelis Umat merupakan penasehat penguasa dalam Islam, sehingga tidak akan didapati media opini dalam negara akan melakukan serangan opini kepada penguasa, karena mereka memahami bagaimana mekanisme yang seharusnya. 

Dalam Islam media baik cetak, elektronik, atau selainnya akan diberikan hak menginformasikan hal positif, tidak bertentangan dengan Syariat, media sebagai sarana mendakwahkan Islam dan memperkuat Islam kepada seluruh manusia. Inilah bentuk jaminan kebebasan pers dalam Islam. Karena hukum asal perbuatan manusia haruslah terikat kepada hukum syariat. 
Ada pertanggungjawaban dari setiap amal kelak. 

وَنَضَعُ ٱلْمَوَٰزِينَ ٱلْقِسْطَ لِيَوْمِ ٱلْقِيَٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔا ۖ وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَٰسِبِينَ

Artinya: Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.
( QS al Anbiya 47)

Rabu, 01 Mei 2024

Bandara Internasional Antara Bisnis, Politis Atau Sekedar Kebutuhan Transportasi

Amat disayangkan! 
Mungkin itu reaksi banyak pihak ketika melihat provinsi Jawa Tengah menjadi satu-satunya provinsi di Pulau Jawa yang tidak memiliki bandara berskala internasional. Padahal kenyataannya, ada dua bandara yang dinilai pernah menyandang predikat bandara Internasional. Dua bandara di Jawa Tengah, yakni Ahmad Yani di Semarang dan Adi Soemarmo di Boyolali pun turun kelas. Dengan diturunkannya status dua bandara (airport) ini dari Bandara Internasional menjadi Bandara Domestik, maka Jawa Tengah kini tak lagi memiliki bandara berstatus internasional. Meski statusnya turun, namun beberapa bandara tersebut masih melayani penerbangan internasioanl secara temporer. Dua bandara internasional di Jawa Tengah (Jateng) itu belum mempunyai penerbangan reguler dari dan ke luar negeri secara langsung.

Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No 31 Tahun 2024, hanya ada 17 bandara di Indonesia yang statusnya internasional. Jumlah ini lebih sedikit dari sebelumnya yakni 34 bandara internasional yang tersebar di seluruh Indonesia.  

Sebelumnya, Pemprov Jateng sudah mendorong agar penerbangan langsung internasional ke dua bandara tersebut. Namun, hal tersebut belum diberikan. Wisatawan mancanegara banyak datang melalui Bandara Internasional Yogyakarta yang kemudian juga menikmati destinasi-destinasi tujuan wisata di Jawa Tengah. Itulah pertimbangannya. 

Keputusan Menteri Nomor 31 Tahun 2024 ini dikeluarkan dengan tujuan untuk melindungi penerbangan internasional pasca pandemi dengan menjadikan bandara sebagai hub (pengumpan) internasional di negara sendiri.

Kepala BPS Jawa Tengah, Dadang Hardiwan, mengatakan kedatangan penumpang melalui dua bandara tersebut selama Januari 2024 tercatat mencapai 122.636 orang. Dari jumlah tersebut, lanjut dia, terdapat 1.293 penumpang penerbangan internasional dengan tujuan Jeddah.

Penerbangan langsung ke Arab Saudi dari Bandara Adi Soemarmo hanya untuk melayani jemaah umrah dengan jadwal keberangkatan setiap akhir pekan. Adapun untuk kedatangan penumpang pesawat selama Januari 2024 tercatat mencapai 114.128 orang dengan penumpang yang merupakan jemaah umrah dari Jeddah sebanyak 1.057 orang. 

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menjelaskan alasan cabut status 17 dari total 34 bandara internasional menjadi domestik.Dia menambahkan bandara internasional lainnya hanya beberapa kali melakukan penerbangan internasional, bahkan ada yang sama sekali tidak memiliki pelayanan penerbangan internasional.Beberapa bandara internasional hanya melayani penerbangan jarak dekat dari/ke satu atau dua negara saja,"
Menurutnya, dua kriteria bandara yang terakhir ini menyebabkan operasional menjadi tidak efektif dan efesien dalam pemanfaatannya.

Adapun, keputusan tersebut tentang Penetapan Bandar Udara Internasional pada 2 April 2024, alasan utama penetapan ini secara umum adalah untuk dapat mendorong sektor penerbangan nasional yang sempat terpuruk saat pandemi Covid 19. Keputusan ini juga dinilai telah dibahas bersama Kementerian dan Lembaga terkait di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi.

Praktek penyelenggaraan bandara internasional di dunia, pada faktanya beberapa negara juga melakukan penyesuaian jumlah bandara internasionalnya. Contohnya, India dengan jumlah penduduk 1,42 miliar hanya memiliki 35 bandara internasional, sedangkan Amerika Serikat dengan penduduk 399,9 juta mengelola 18 bandara internasional.


Pengurangan Bandara Merugikan? 

Rencana pemerintah untuk mengurangi jumlah bandara internasional dinilai berisiko merugikan Indonesia dalam jangka panjang jika tidak dikaji secara mendalam. Pemerhati penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri) Gerry Soejatman menuturkan, jumlah pengurangan bandara internasional menjadi 17 unit dinilai masih mencukupi untuk sementara. Namun, jumlah tersebut dinilai akan kurang dari kebutuhan dalam jangka panjang. Meski demikian, Gerry mengatakan pemerintah harus memperhatikan beberapa hal dalam menentukan bandara yang akan melayani rute penerbangan internasional. Pertama, pemerintah harus mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap daerah yang pasarnya berkembang dan sudah bisa melayani penerbangan internasional. Menurutnya, kebijakan pengurangan bandara internasional akan berimbas positif dalam jangka pendek untuk meratakan pangsa pasar ke destinasi – destinasi lain yang belum pernah dilayani penerbangan internasional. 

Meski, Dia menilai jika kebijakan ini diberlakukan secara baku dan untuk jangka panjang, hal ini justru akan merugikan Indonesia sendiri. Gerry menyarankan pemerintah juga membuat kebijakan mengenai kriteria-kriteria pengajuan status bandara internasional yang jelas dan market oriented. Dia mencontohkan, sebuah daerah bisa mengajukan status bandara internasional dengan pemda dan/atau pengelola bandara mengantongi kerja sama dengan minimum 2 maskapai, dimana salah satunya harus maskapai asal Indonesia. Selain itu, daerah juga perlu menyatakan komitmennya melakukan penerbangan internasional ke daerah tersebut. Hal ini juga dapat dilengkapi dengan proyeksi pasar, durasi komitmen, dan skala yang cukup untuk beberapa penerbangan internasional dalam sehari.

Dia melanjutkan, poin-poin tersebut atau yang setara harus dijadikan pertimbangan mengingat investasi yang harus dikeluarkan untuk bandara internasional. Fasilitas-fasilitas pendukung bandara internasional seperti kantor pengelola bandara, bea cukai, imigrasi, karantina hewan dan tanaman, serta layanan kesehatan bandara, tidak boleh mubazir. 



Kebutuhan Bandara, Bukan Sekedar Keuntungan

Dalam sistem Islam, infrastruktur adalah hal penting dalam membangun dan meratakan ekonomi sebuah negara demi kesejahteraan rakyatnya. Juga terkait dengan kewajiban negara merealisasikan kemudahan transportasi untuk warganya. Dengan dasar kaidah syara' “Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib (suatu kewajiban tidak bisa terlaksana dengan baik karena sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya menjadi wajib), oleh karena itu Negara dalam Islam wajib membangun infrastruktur yang baik, bagus dan merata ke seluruh pelosok negeri.

Negara dalam pandangan Islam, berkewajiban mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan terpenuhinya sarana dan prasarana untuk memperlancar distribusi dan pemenuhan kebutuhan rakyat. Memudahkan sarana, tanpa mempertimbangkan untung rugi bisnis, karena tugas utama negara adalah melakukan ri'ayah su'uun umah( mengurusi segala urusan rakyat) tanpa terkecuali. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan pembangunan infrastruktur berbasis  kemaslahatan umat, bukan mencari keuntungan bahkan dengan swastanisasi atau investasi asing. 

Negara punya tanggung jawab memberikan jaminan kelancaran, keamanan, kenyamaan, dan keselamatan transportasi publik kapan pun, juga wajib menjamin tidak boleh terjadi dharar pada publik ketika bertransportasi dengan menyediakan infrastruktur yang memadai. 

Untuk semua layanan tersebut negara dalam Islam menggunakan anggaran mutlak. Maksudnya ada atau tidaknya kekayaan negara untuk pembiayaan transportasi publik yang ketiadaannya berakibat dharar pada masyarakat, maka wajib diadakan oleh negara sebagai institusi yang memberikan solusi bagi layanan transportasi publik yang aman, nyaman, dan selamat.

Kemajuan teknologi dan infrastrukturnya pernah terlihat pada Cordoba, Baghdad, Turki di era itu. Akses terhadap berbagai hajat hidup begitu mudah. Apakah itu pangan, sandang, papan, air bersih, hingga pendidikan, kesehatan, energi dan transportasi publik. Apa yang tercermin di Ibu Kota negara dan kota-kota besar di era peradaban Islam merupakan cerminan kecemerlangan Islam. Yakni, ideologinya yang sahih dan berbagai paradigma serta konsep yang terpancar dari ketinggian ideologinya. 

Sistem kehidupan bathil hari ini telah menjadi ruang subur bagi prinsip pengelolaan transportasi publik neolib. Yakni, setidaknya ada dua. Pertama, transportasi udara jasa yang harus diliberalkan/dikomersilkan; Kedua, negara hanya regulator (baca: pelayan) bagi kepentingan korporasi. Sehingga seluruh aspek transportasi penerbangan berada dalam kendali korporasi. Korporasi asing maupun dalam negeri. Korporasi plat merah maupun swasta murni. Baik alat angkutnya dalam hal ini pesawat, bahan bakar minyak penerbangan hingga infrastruktur penerbangan berupa bandar udara dengan segala kelengkapannya.


Hal ini jelas berbeda dengan prinsip Islam dimana transportasi publik udara merupakan kebutuhan publik, selanjutnya negara merupakan pihak yang bertanggungjawab langsung lagi sepenuhnya menjamin akses setiap orang terhadap transportasi udara yang murah, aman, nyaman lagi manusiawi. Ditegaskan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wassalaam, yang artinya, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari)

Sebagaimana perbuatan Rasulullah ﷺ, beliau pengatur langsung departemen-departemen, melakukan pengangkatan sekretaris untuk pengurusan administrasi. Rasulullah ﷺ mengatur kemashlahatan publik di Madinah, termasuk masalah transportasi publik. Artinya, haram negara berfungsi sebagai regulator yang mengomersilkan hajat hidup masyarakat, apapun alasannya.


Selain itu, fakta bandara dengan segala kelengkapannnya adalah fasilitas umum yang harus dikelola di atas prinsip pelayanan bukan komersil dan tidak dijadikan sumber pemasukan kekayaan negara. Untuk pembiayaan ini tidak dibenarkan penggunaan anggaran berbasis kinerja, apapun alasannya. Juga tidak dibenarkan penggunaan konsep Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS) yang menjadi ruang masuknya dominasi asing kafir penjajah. 


Jika hari ini pengelolaan transportasi masih berdasarkan kapitalisme, maka nampak jelas kebathioannya dan saatnya beralih pada syariat dalam memandang transportasi. Maka seharusnya negaralah yang bertanggungjawab langsung dan sepenuhnya sebagai pengelola sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh publik. Semua ini bisa dipenuhi oleh negara yang visioner dan dengan fungsi-fungsi politiknya yang sahih. Yakni, negara Khilafah.

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu,..”
(TQS Al Anfaal: 24).