Sabtu, 14 September 2024

Estafet Perjuangan Tak Pernah Padam di Pulau Jawa

Pulau Jawa, senantiasa menjadi daya tarik bagi penjajah sejak masa lalu. Silih bergantinya penjajah ke tanah Jawa sejak Jaman penjajahan Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis, Inggris, hingga Jepang telah mengorbankan jutaan nyawa, dan harta dari bumi Nusantara. 

Akan tetapi sebelum peperangan yang berkecamuk di beberapa wilayah, telah masuk dakwah Islam yang dibawa para ulama dan wali ke wilayah Nusantara khususnya Jawa.

Meski terdapat beberapa pendapat mengenai periode masuknya Islam ke Nusantara, menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya berjudul  Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yakni Teori Gujarat, Teori Makkah dan Teori Persia. Ketiga teori tersebut  menjelaskan tentang waktu masuknya Islam ke Indonesia,asal negara dan tentang penyebarnya ke Nusantara. Pada teori Gujarat Islam masuk Indonesia pada abad ke 13, pendapat ini didukung oleh Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Sementara teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk Indonesia di abad ke 7 dan hal ini didukung oleh pendapat  Buya Hamka, Van Leur, dan T.W.Arnold.  Dan untuk teori Persia, berpendapat Islam masuk di Indonesia pada abad 13 dan pembawanya Persia(Iran).

Nana Supriatna, juga pernah mengatakan dalam buku sejarah, tradisi perdagangan di Timur Tengah terus berlangsung hingga berkembangnya agama Islam di Jazirah Arab dan daerah-daerah sekitarnya. Pada jaman Khulafaur Rasyidin, Khalifah Umayyah dan Abbasiyyah jalur perdagangan yang dilalui antara lain Jazirah Arab, Laut Merah, Laut Tengah, Laut Hitam, Laut Kaspia, Sungai Volga, Laut Arab, Teluk Aden, Samudrq Hindia, Jazirah India, Semenanjung Malaka, Indonesia dan Filipina. 

Orang Arab telah mendirikan pemukiman dalam berbagai daerah pantai di India. Penduduk campuran dalam umat Islam tumbuh dalam berbagai pelabuhan sebagai hasil perkawinan campuran dengan wanita setempat. Kemudian dari pusat-pusat tersebut para saudagar itu merantau ke Indonesia. Mereka berperan ganda sebagai pedagang dan mubaligh. Dari sanalah berangsur-angsur timbullah kerajaan-kerajaan Islam yang kecil sepanjang pantai Utara jawa seperti Jepara, Demak, Tuban, dan Gresik. Bertalian dengan timbulnya kerajaan-kerajaan itu catatan Tome' Pires antara tahun 1512-1513 dikutip oleh R. R. Di Meglio, menyatakan: "Pada jaman penyembah berhala hidup di pantai-pantai Jawa, banyak pedagang Persia, Arab, dan Gujarati datang ke tempat-tempat itu. Mereka mulai menjadi kaya dan makin bertambah jumlahnya, sedangkan anak-anak lelaki mereka telah menjadi orang Jawa dan makmur hidupnya, setelah tinggal di bandar-bandar tersebut lebih dari 70 tahun. Dalam beberapa tempat para pengusaha Jawa penyembah berhala masuk Islam, dan disana para saudagar dan Mohalla (mullah)nya mengambil alih kekuasaan dari mereka, serta memerintah sebegai penggantinya. Dengan demikian mereka telah berhasil memperoleh kekuasaan tunggal atas perdagangannya di Jawa. 

Jadi ketika datang Portugis dan Belanda datang ke Nusantara akhir abad XVI, awalnya untuk kepentingan perdagangan terutama rempah-rempah lalu berakhir dengan upaya monopoli dan terus mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam satu persatu, hingga akhirnya semuanya jatuh kedalam kekuasaan penjajah Barat hingga abad XIX. Tak terbayangkan bagaimana reaksi para ulama, umat Islam dan para petinggi kerajaan-kerajaan Islam pada masa itu terhadap masuknya penjajahan Eropa. 

Kaum muslim pada masa lalu menyerukan jihad fii sabilillah, menguatkan aqidah kaum muslimin pada peran ulamanya untuk memotivasi mereka berjuang mempertahankan wilayahnya dari penjajahan. Maka tidak heran jika kita kenal Raden Patah yang melakukan perlawanan terhadap Portugis yang menduduki Malaka melalui  Pangeran Sabrang Lor (Pangeran Surya)  pada tahun 1511. Dilanjutkan Pati Unus, yang hanya berkuasa 3 tahun namun gugur saat menghadapi pasukan Portugis di Malaka tahun 1521. Berlanjut  estafetnya kepada Sultan Trenggana sebagai Sultan Denak ke 3. Ditangannya berhasil membawa Demak kepada kejayaannya hingga meluas sampai ke Tuban, Purwodadi, Madiun, Blora, Surabaya, Lamongan, Gunung Penanggungan dan Blambangan. Karena kekuatan militernya sangat tangguh, pada tahun 1527 Kesultanan Demak berhasil merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran dan mengusir pasukan Portugis yang mendarat disana. 

Perjuangan berlanjut dalam mengusir penjajah. Berbeda masa, beda generasi tapi yang diperjuangkan sama, yaitu melawan penjajahan, imperialisme. 

Sebutlah Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, KH. Hasyim Asy'ari, KH. Ahmad Dahlan, dan masih banyak lagi. Para ulama ini memiliki peran besar juga dalam dakwah juga untuk mengusir penjajahan. 

Sebutlah salah satunya, KH Hasyim Asyari. Peran aktifnya dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan menggagas berdirinya Tentara Sukarela Muslimin di Jawa yang dikenal dengan sebutan Hizbullah. Hizbullah menjadi salah satu tentara rakyat yang berkontribusi besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan.

Diantara banyak ulama ini membentuk laskar-laskar rakyat untuk mendapatkan pelatihan militer dan memanggul senjata, seperti Hizbullah, Sabilillah, Mujahidin, dan lain-lain. Hampir semua pertempuran melawan penjajah dipengaruhi oleh fatwa jihad, termasuk pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, yang dikenang sebagai Hari Pahlawan. Keberhasilan pertempuran ini tidak lepas dari Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 di Surabaya. 

Masih banyak lagi kisah perjuangan para ulama dan perannya dalam kemerdekaan. Mereka berjuang dengan keringat dan darah, tanpa kompromi dengan penjajah imperialis demi menjaga wilayah dan umat. 

Tapi, apa yang dirasa saat ini sangat jauh dari perjuangan ulama pada masa lalu. Ulama masa kini, justru bisa berpelukan dengan penjajah atas nama toleransi, moderasi bahkan investasi. 
Didudukannya ulama dikursi kekuasaan tak sedikit justru menjadi legalitas penjajahan masuk melalu politik, ekonomi, sosial meski tanpa perang fisik. 

Ulama hari ini, terjebak dengan kekuasaan, perebutan kursi, bahkan dengan sedikit iming-iming pengelolaan tambang saja seakan makin memalingkan dari perjuangan ulama yang seharusnya. Bahkan tak sedikit ulama justru dijadikan tameng penguasa kapitalis, untuk makin brutal menjarah kekayaan negeri ini, meracuni umat dengan liberalisme, bahkan hanya dijadikan sebagai kelompok pendulang suara pemilu saja banyak ulama yang tak menyadari strategi penjajah gaya baru ini. 
Miris dan tragis, nasib pembelokan perjuangan para ulama telah terkikis dengan nilai sekuler yang makin parah menjangkiti umat ini. 

Padahal ulama sejatinya adalah penjaga ilmu, penjaga syariat, pemberi nasehat bagi penguasa bukan justru menjadi alat legitimasi penjajahan.

الْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ 

Artinya, “Ulama adalah ahli waris para nabi." (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

أَقْرَبُ النَّاسِ مِنْ دَرَجَةِ النُّبُوَّةِ أَهْلُ العِلْمِ وَالْجِهَادِ، أَمَّا أَهْلُ الْعِلْمِ فَدَلُّوْا النَّاسَ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الرُسُلُ وأَمَّا أَهْلُ الجِهَادِ يُجَاهِدُوْنَ بِأَسْيَافِهِمْ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الرُسُلُ


Artinya, “Orang paling dekat dengan derajat kenabian adalah ulama dan pejuang. Ulama memberikan petunjuk kepada manusia atas ajaran yang dibawa para rasul. Sedangkan pejuang berjihad dengan senjata mereka atas ajaran yang dibawa para rasul,” (HR Ad Dailami)

Seharusnya ulama masa kini kembali kepada khithohnya sebagai penerus para nabi, melanjutkan dakwah penerapan Islam kaffah dan memenangkan agama ini atas penjajahan Barat kafir yang telah nyata merusak tatanan di muka bumi.
Jika estafet perjuangan para ulama hari ini telah berpindah kepada kita, kaum muda penerus generasi waratsatul anbiya', lalu langkah perjuangan ini harus mensucikan pemikiran Islam dari segala bentuk tacun pemikiran dan tsaqofah, kaum muda hari ini memiliki andil dalam menyelamatkan umat dari belenggu sekulerisme, kapitalisme dan Demokrasi. 
Perjuangan umat Islam tak pernah sepi dari darah dan keringat para pejuang yang terus menerima estafet perjuangan hingga mereka mati atau agama ini dimenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar