Ramai beberapa waktu ini beragam aksi dan pembahasan terkait Tolak Revisi UU Penyiaran. Puluhan jurnalis bahkan ada yang turun ke jalan dalam aksi tolak Revisi, mereka berasal dari sejumlah media mulai dari media cetak, media online, media televisi, hingga jurnalis dari pers mahasiswa.
Mereka berasal dari sejumlah aliansi diantaranya Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Perempuan Jurnalis Jawa Tengah, dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)
Kedatangan mereka ke depan gedung DPRD Jawa Tengah, Kamis sore (30/05).
Tak hanya dari jurnalis, sejumlah elemen dari LBH Semarang, Aksi Kamisan dan Legal Resources Center- Untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJHAM) juga turut menolak revisi RUU Penyiaran ini.
Revisi UU Penyiaran dinilai Ketua IJTI Jawa Tengah Teguh Hadi Prayitno, bertentangan dengan Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 mengenai Kebebasan Pers.
“Aksi penolakan terhadap RUU Penyiaran ini bukan hanya di Semarang, namun juga di seluruh Indonesia.
Sementara itu, menurut Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Semarang, Aris Mulyawan, revisi RUU Penyiaran dinilai buru-buru. Selain itu, seharusnya jurnalis juga dilibatkan dalam penyusunan revisi RUU Penyiaran.
Menurut ketua AJI Kota Semarang Aris Mulyawan yang juga Redaktur Suara Merdeka tersebut menyebut pasal-pasal kontroversi yang sedang digodok dalam RUU Penyiaran tak selaras dengan semangat reformasi. Berdasarkan catatan yang dihimpun AJI, terdapat beberapa pasal problematik, di antaranya pelarangan siaran eksklusif mengenai konten investigasi, membesar ruang kriminalisasi hingga mengurangi peran Dewan Pers. "Jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi mau dibunuh oleh perwakilan rakyat. Kami harus menolak keras RUU Penyiaran," ujar Aris.
Dari Aksi yang digelar, poin utama yang disuarakan yakni penolakan pembahasan revisi UU Penyiaran yang tengah berlangsung karena dianggap cacat prosedur dan merugikan publik. Beberapa isi pada RUU berpotensi mengancam iklim demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.
Direktur Eksekutif lembaga studi dan pemantauan media Remotivi, Yovantra Arief, menjelaskan bahwa revisi undang-undang penyiaran perlu bisa menyesuaikan perkembangan terkini dan seharusnya mampu mengakomodir semangat tersebut, bukan sebaliknya.
Dalam aksi tersebut, massa membacakan enam tuntutan, yaitu:
1. Tolak pembahasan RUU Penyiaran yang berlangsung saat ini karena dinilai cacat prosedur dan merugikan publik;
2. Mendesak DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Penyiaran yang substansinya bertentangan dengan nilai demokrasi, upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hak asasi manusia;
3. Mendesak DPR untuk melibatkan partisipasi publik yang bermakna, dalam penyusunan revisi UU Penyiaran untuk memastikan tidak ada pasal-pasal multitafsir yang dapat dipakai untuk mengebiri kemerdekaan pers, memberangus kebebasan berpendapat, serta menjamin keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat;
4. Membuka ruang ruang partisipasi bermakna dalam proses penyusunan RUU Penyiaran dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil dan kelompok masyarakat terdampak lainnya. Penyusunan dan pembahasan RUU Penyiaran harus melibatkan Dewan Pers dan seluruh konstituennya agar tidak terjadi pembiasan nilai-nilai kemerdekaan pers;
5. Mendorong jurnalis untuk bekerja secara profesional dan menjalankan fungsinya sesuai kode etik, untuk memenuhi hak-hak publik atas informasi;
6. Menggunakan UU Pers sebagai pertimbangan dalam pembuatan regulasi yang mengatur soal pers. Agar tidak ada pengaturan yang tumpang tindih terkait kemerdekaan pers;
Dua Wajah Demokrasi
Inilah dilema dalam Demokrasi . Di satu sisi, kebebasan berpendapat memiliki jaminan dalam demokrasi, katanya kebebasan berpendapat dilindungi UU, dijamin kebebasannya. Tapi di lain sisi jaminan tersebut menjadi celah munculnya kekuasaan yang tidak menoleransi munculnya suara kritis yang malah menghasilkan ketakbebasan untuk bersuara.
Dilema dalam berdemokrasi ini sesungguhnya menjadi diskusi yang tidak pernah berujung. Demokrasi berakhir dengan tirani minoritas, dimana pada akhirnya kita menyaksikan bahwa keberpihakan demokrasi hanya ada pada pemilik kuasa, bukan masyarakat. Inilah hasil dari dilema kebebasan dalam demokrasi.
Bagaimanapun media, dalam sistem Demokrasi menempati pilar penting untuk menegakkan kekuasaan demokrasi itu sendiri selain eksekutif, legislatif, yudikatif. Maka wajar, kebebasan pers hanya akan dilanggengkan jika sejalam dengan penguasa, bahkan menguatkan posisi penguasa. Akan tetapi jika kontra, kritis dan seakan melakukan kritik dan muhasaban kepada penguasa serta berlainan kepentingan dengan penguasa, mereka akan memainkan kekuasaan ototiternya baik dengan berubah represif, bahkan mengganti peraturan/Undang-undang yang sedang berlaku demi 'aman' nya kepentingan mereka.
Negara sebagai Perisai Informasi
Di dalam Islam, tata pengelolaan informasi menjadi tanggung jawab negara. Ada tempat dimana pers, jurnalis memberitakan informasi sepanjang tidak melanggar syariat Islam.
Negara tidak dapat membiarkan perusahaan media swasta (apalagi asing) bebas membentuk opini publik di tengah-tengah masyarakat Muslim untuk kepentingan ideologi asing.
Bahkan informasi merupakan hal yang penting untuk dakwah Islam dan Negara. Dengan demikian media terhubung secara langsung dengan penguasa sebagai lembaga yang independen. Dalam Islam, negara akan secara aktif mendukung media dalam memainkan perannya untuk membantu mengelola urusan warganya dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh umat manusia.
Ketikapun muhasabah perlu dilakukan maka akan dijalankan sesuai mekanisme pengaturan yang benar sesuai ketentuan syariat. Lembaga Majelis Umat merupakan penasehat penguasa dalam Islam, sehingga tidak akan didapati media opini dalam negara akan melakukan serangan opini kepada penguasa, karena mereka memahami bagaimana mekanisme yang seharusnya.
Dalam Islam media baik cetak, elektronik, atau selainnya akan diberikan hak menginformasikan hal positif, tidak bertentangan dengan Syariat, media sebagai sarana mendakwahkan Islam dan memperkuat Islam kepada seluruh manusia. Inilah bentuk jaminan kebebasan pers dalam Islam. Karena hukum asal perbuatan manusia haruslah terikat kepada hukum syariat.
Ada pertanggungjawaban dari setiap amal kelak.
وَنَضَعُ ٱلْمَوَٰزِينَ ٱلْقِسْطَ لِيَوْمِ ٱلْقِيَٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔا ۖ وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَٰسِبِينَ
Artinya: Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.
( QS al Anbiya 47)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar