Sabtu, 29 Januari 2022

Kepentingan Politis Dibalik Pemindahan Ibukota




Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di wilayah Kalimantan Timur berpotensi mengerek naik utang pemerintah.

Hal ini disebabkan anggaran pembangunan dan pemindahan IKN sebagian menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN bakal mendanai sebanyak 53,5%, sisanya gabungan KPBU, BUMN dan sektor swasta sebesar 46,5%. Biaya Proyek Ibu Kota Negara (IKN) diprediksi melonjak dua hingga kali lipat dari perencanaan awal. Jika rencana awal anggaran yang disiapkan Rp490 triliun, maka jika dikalikan tiga kali lipat seperti diprediksi, maka anggaran pembangunan ibu kota baru dibutuhkan Rp1.470 triliun. 

Banyak opini beredar tentang pembangunan IKN Nusantara ini. Ada yang mengkaitkan dengan proyek oligarki misal Koalisi Masyarakat Sipil menuding demikian karena tidak terlepas dari fakta mengenai pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) IKN menjadi UU di DPR RI yang sangat cepat, hanya 43 hari. Meski hal ini sudah dibantah oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2014-2015, Andrinof Chaniago meminta masyarakat tak memandang pemindahan ibu kota negara (IKN) sebagai proyek oligarki.

Ia menjelaskan bahwa kajian pemindahan ibu kota telah melalui proses panjang dan berdasarkan pertimbangan akademis.

Juga ada Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai, proyek pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur hanyalah proyek milik elite pemerintah. Karena bakal menggunakan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan hal ini dinilai bukan berdasarkan kepentingan rakyat. Juga RUU IKN inisiatif dari eksekutif. Hal ini, kata Jamiluddin, semakin mengindikasikan pemindahan IKN memang lebih dominan keinginan elite daripada rakyat.

Pendapat dan pertimbangan ini seharusnya menjadi pikiran bagi pemerintah untuk melihat dampak yang muncul dengan perpindahan ibukota di tengah situasi ekonomi masih tidak stabil. Beberapa pertimbangan tersebut antara lain: 
1. Perpindahan ibu kota dari Jakarta menuju Kalimantan, yang cukup besar memakan APBN ditengah negara kita sedang melemah. Berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik) pertumbuhan ekonomi kita turun dari angka 5,17% ditahun 2018 menjadi 5,02% di tahun 2019.

Selain itu utang negara pun tiap tahun terus bertambah, hingga Januari 2020 total utang negara mencapai 4.817,5 triliun rupiah. Belum lagi sekitar 30,8% balita mengalami stunting dan gizi buruk. 

2. Ketika ibu kota pindah ke Kalimantan, maka lahan hijau atau hutan yang bekerja sebagai penyuplai oksigen yang berada di Kalimantan akan hilang seiring dengan pembangunan di ibu kota baru tersebut. Padahal kita tahu bersama lahan hijau atau hutan di Indonesia semakin berkurang karena terjadinya kebakaran hutan.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setidaknya sekitar 857 Ribu Hektar luas lahan yang terbakar diseluruh wilayah Indonesia hingga akhir tahun 2019. Hal ini sangat miris apabila pemindahan ibu kota tetap dilakukan pemerintah, karena Kalimantan bukan hanya sekedar paru-paru Indonesia melainkan menjadi paru-paru, paru dunia.

3. Bukan berarti pemindahan ibu kota ke Kalimantan yang secara geografis berada ditengah-tengah NKRI, maka masalah ekonomi dapat teratasi.

Masalah ekonomi bukan terletak pada pusat pemerintahan yang merupakan kemauan dan kemampuan pemerintah untuk menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat berada, bukan hanya di kota-kota besar melainkan harus sampai mereka berada di pelosok bahkan di daerah perbatasan sesuai amanat kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

4. Ketika perpindahan ibu kota tersebut terjadi maka seluruh ASN di tingkat pusat akan berpindah ke ibu kota baru, hal ini harus kita cermati bersama baik dari segi psikologis ataupun sosiologis para ASN tersebut.

Karena mereka mau tidak mau pasti akan meninggalkan istri, anak, dan para kerabat untuk berpindah ke ibu kota baru, hal ini tentu akan mempengaruhi kinerja ASN kedepannya yang notabene mereka hidup di Jakarta dekat dengan keluarga dan kebutuhan sehari-hari dapat ditemukan dengan mudahnya. Selain itu dari segi budaya pun tentu berbeda sehingga para ASN harus dapat dengan cepat beradaptasi dengan budaya daerah setempat.

5. Masuknya investor asing menguasai aset strategis di Ibu kota. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas membuka peluang untuk menawarkan sejumlah proyek pembangunan ibu kota negara (IKN) di Kalimantan Timur kepada investor dalam negeri dan luar negeri.

Nantinya investor bisa masuk melalui Lembaga Pengelola Investasi atau Sovereign Wealth Fund (SWF).

Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Rudy Soeprihadi Prawiradinata berbagai investor dalam negeri yang sudah tertarik untuk berinvestasi dalam proyek pembangunan IKN. Bahkan investor asing pun sudah banyak melirik.

Masih banyak lagi berbagai pertimbangan untuk mengevaluasi ulang proyek ibukota baru ini. 

Ketika Islam sebagai sebuah solusi atas semua problem manusia, maka Islam memiliki solusi ketika memang terjadi pemindahan ibukota, mengingat Khiladah Islam pun pernah beberapa kali mengalami pemindahan ibukota. 

Sejarah peradaban Islam mencatat sedikitnya empat kali perpindahan ibukota negara. Namun alasan utama saat itu semua adalah politik. Perpindahan pertama adalah dari Madinah ke Damaskus pada awal Bani Umayyah. Damaskus saat itu sudah ibukota musim panas memanfaatkan Byzantium. Perpindahan kedua adalah saat kebangkitan Bani Abbasiyah dari Damaskus ke Bagdad. Bagdad adalah kota yang dibangun baru, menggantikan Ctesiphon, ibukota Persia. Perpindahan ketiga adalah pasca hancurnya Baghdad oleh serbuan Mongol, dan pusat Khilafah lalu dipindah ke Kairo. Kairo sendiri sudah ada di delta sungai Nil itu sejak zaman Fir'aun. Sedang terakhir adalah perpindahan dari Kairo ke Istanbul, ketika Khalifah terakhir Abbasiyah diri setelah melihat bahwa Bani Utsmaniyah lebih berkemampuan untuk memimpin dunia Islam dan mendakwahkannya ke seluruh dunia Adapun Istanbul telah berdiri lebih dari 1000 tahun karena dibangun oleh Kaisar Konstantin. Dengan demikian, satu-satunya ibukota Khilafah yang praktis dibangun dari awal hanya Bagdad.

Menurut para sejarahwan penduduk Modelski maupun Chandler, Baghdad di Irak memegang kota terbesar di dunia dari abad-8 M sampai abad-13 M. Baghdad pada tahun 1000 M ditaksir sudah 1.500.000 jiwa. Peringkat kedua oleh Cordoba di Spanyol itu juga wilayah Islam dengan 500.000 jiwa dan baru Konstantinopel yang saat itu masih ibukota Romawi-Bizantium dengan 300.000 jiwa dan baru.

Pertimbangan politis inilah yang membedakan alasan perpindahan ibukota antara khilafah untuk mengembangkan dakwah dan negara kapitalis sekedar untuk kepentingan ekonomi. 
Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar