Indeks yang hanya diukur pada BPS mengukur tingkat kebahagiaan yang tercakup dalam tiga dimensi kehidupan, meliputi dimensi kepuasan hidup, dimensi perasaan, dan dimensi makna hidup.Survei ini dilaksanakan secara serentak di semua kabupaten atau kota di 34 provinsi di seluruh Indonesia, mulai 1 Juli 2021 sampai 27 Agustus 2021. Unit analisisnya adalah rumah tangga yang dipilih secara acak (random) sebanyak 75.000 di 34 propinsi.
Ukuran indeks ini memang dinilai subyektif dan diragukan kevalidannya. Karena 10 propinsi yang paling tinggi indeks kebahagiaannya semua ada di luar Jawa. Dan pengamat pun melihat ada keterbalikan antara IKH ini dengan IPM(Indeks Pembangunan Manusia).
Subyektifitas dalam menilai kesejahteraan dan kebahagiaan jika dinilai dengan ukuran manusia jelas akan melahirkan subyektifitas, dan tendensius. Karena manusia makhluq lemah, tak mampu mewakili realita semua manusia. IKH ini sejalan dengan GNH Gross National Happiness yang dicetuskan sebagai salah satu indikator SDGs. Artinya ukuran tang ditetapkan tetap mengacu pada Barat dalam mwnilai kebahagiaan manusia.
Kapitalisme-lah yang menjadi induk dari lahirnya ukuran subyektifitas manusia. Manusia dalam kapitalisme memposisikan diri sebagai Tuhan yang mengatur dan membuat aturan semaunya, menghukum manusia sesuai kepentingannya, bahkan mensekulerkan manusia pun menjadi wewenangnya.
Padalah sebagai seorang muslim, aqidah seharusnya menuntun untuk menjadikan Allah saja sebagai Illah-Pengatur kehidupan. Tugas kita hanya taat, patuh dan menjadi hamba dengan membuktikan diri untuk selalu taat, dan mengukur standar kebahagiaan pun hanya dengan ukuran keridhoan Allah semata. Bukan ukuran fisik dan nonfisik atas subyektifitas manusia.
Tak heran jika ada manusia tetap bahagia anaknya mati syahid dalam membela agama Allah seperti Ummu Imarah, dengan bangga anak-anaknya semua menjadi pembela agama Allah dan syahid di medan jihad. Inilah ukuran kebahahiaan yang sesungguhnya di sisi Allah RidhoNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar