Minggu, 30 Januari 2022

Infrastruktur Untuk Kepentingan Siapa?


Dewi Ummu Syahidah


Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) menargetkan konstruksi tahap pertama Jalan Tol Gedebage-Tasikmalaya-Cilacap akan dimulai pada tahun 2022. yakni ruas tol Gedebage-Tasikmalaya.

Anggota BPJT Unsur Profesi Koentjahjo Pamboedi mengatakan bahwa ruas Tol Gedebage - Tasikmalaya - Cilacap pada tahap konstruksi dan operasi dibagi menjadi 2 bagian, yakni Tahap 1 Gedebage - Tasikmalaya, dan konstruksinya dilakukan pada tahun 2022 sampai selesai 2024. Kemudian Tahap 2 selanjutnya dari ruas Tol Tasikmalaya - Cilacap pada tahun 2027 diperkirakan selesai tahun 2029 dan nantinya terdapat jeda pengoperasian sekitar 3 tahun. 

Jalan Tol ini akan menghubungkan wilayah Jawa Barat dengan Jawa Tengah dengan memiliki total panjang 206,65 Km dan nilai investasi sebesar Rp56 triliun.

Kementerian PUPR melalui BPJT telah menetapkan pemenang pelelangan pengusahaan Jalan Tol Gedebage - Tasikmalaya - Cilacap. Serah terima surat penetapan pemenang lelang oleh Menteri PUPR yang diserahkan dari BPJT dalam hal ini dilaksanakan Kepala BPJT Danang Parikesit bersama Anggota BPJT Unsur Profesi Koentjahjo Pamboedi kepada konsorsium selaku pemenang pelelangan yang terdiri dari PT Jasa Marga (Persero) Tbk, PT Daya Mulia Turangga-PT Sarana-PT Gama Group, PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk, PT Waskita Karya (Persero) Tbk, dan PT Wijaya Karya (Persero Tbk (Konsorsium).

Pembangunan tol menurut Gubernur Jawa Barat M Ridwan Kamil atau Emil diharapkan mampu mengatasi masalah kemacetan seperti saat arus mudik dan balik Lebaran. Juga untuk menghubungkan Jawa Barat dengan Jawa Tengah serta mendukung pariwisata di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Apakah untuk kepentingan rakyat?

Pertanyaan ini sering muncul jika ada beragam proyek di negeri ini. Mengingat beragam kasus sering terjadi pasca pembangunan infrastruktur. Mulai dari korupsi, sengketa lahan ketika pembebasan, hingga proyek mangkrak pun pernah terjadi. Jalan tol apalagi, hanya kendaraan tertentu saja yang akan melintas akan tetapi sejauh ini selalu digadang- gadang akan memperbaiki ekonomi masyarakat. Benarkah?

Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada dana yang dikucurkan untuk pembangunan infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, misalnya, meningkat dari tahun ke tahun. Mulai dari sebesar Rp119 triliun di 2019, naik menjadi Rp120 triliun di 2020, dan mencapai Rp150 triliun pada 2021. Amat disayangkan, berdasarkan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korupsi di bidang infrastruktur ternyata sangat besar. Dampaknya tentu saja terkait dengan kualitas bangunan yang pada ujungnya mengancam keselamatan publik.

Kasus lainnya adalah dalam masalah agraria, total 30 kasus yang tercatat dalam laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Tahun 2020, konflik agraria PSN sebanyak 17 kasus. Adapun total konflik agraria sepanjang 2020 menurut Laporan KPA sebanyak 241 kasus yang terjadi di 359 daerah di Indonesia dengan korban terdampak 135.332 kepala keluarga (KK), dan 624.272 hektar lahan.

KPA memprediksi, ke depan konflik agraria akibat pembangunan infrastruktur ini akan semakin menguat karena UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memperkuat kepentingan pengadaan tanah untuk PSN.

Mengenai proyek mangkrak, Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menyebut ada hampir sepuluh megaproyek di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang terancam mangkrak.

Mangkrak dalam pengertian Agus tidak saja bahwa proyek tersebut tidak selesai dikerjakan, melainkan juga termasuk proyek-proyek yang berhasil diselesaikan tetapi tidak beroperasi secara optimal sehingga berpotensi merugi.Dia mencontohkan, proyek ambisius yang dicanangkan Jokowi tetapi mangkrak adalah Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat.

Bandara tersebut bahkan kini hampir tidak pernah disinggahi pesawat, dan justru berubah menjadi 'bandara hantu'. Yang ada di sana hanyalah petugas bandara yang bertugas merawat fasilitas publik dengan biaya yang terus dialokasikan tiap tahunnya.

Padahal proyek infrastruktur secara pendanaan pun masih tidak sepenuhnya ditopang dana dalam negeri. Bank Dunia mencatat kebutuhan investasi infrastruktur nasional selama 2020—2024 mencapai Rp6.445 triliun. Anggaran yang murni datang dari negara hanya mencapai 37 persen, sementara itu badan usaha milik negara (BUMN) diramalkan dapat berkontribusi hingga 21 persen. 

Dengan kata lain, negara dapat menopang sekitar 58 persen dari total target pendanaan atau sekitar Rp3.738 triliun. Namun, kontribusi pendanaan dari BUMN memiliki risiko memenuhi pangsa pasar pihak swasta dan daur ulang aset. 

Untuk fase pemuliihan ekonomi, kemampuan menarik investasi swasta penting untuk membangun infrastruktur sektor swasta akhirnya dianggap berkontribusi hingga 42 persen dari total target pendanaan. Walaupun investasi swasta pernah mencapai Rp187 triliun pada 2017, kini kebutuhan pendanaan dari swasta naik menjadi Rp400 triliun per tahun hingga 2024.

Disinilah akhirnya, aset vital menjadi berpeluang dikuasai para pebisnis karena tidak mandirinya pendanaan. Semua berujung pada naiknya pajak dan kebutuhan di tengah ramainya pembangunan infrastruktur. Miris.


Orientasi Pembangunan

Seharusnya perkara mendasar yang menjadi misi suatu politik perindustrian akan terkait erat dengan bagaimana merubah pola berpikir dalam masyarakat, dan juga seperangkat aturan-aturan dalam sistem ekonomi seperti hukum kepemilikan; politik moneter; perdagangan luar negeri; aturan-aturan tentang hak atas kekayaan intelektual (HaKI); dan perburuhan; sampai sistem pendidikan dan sistem politik dan pertahanan. Sehingga tidak memunculkan masalah lainnya untuk masyarakat. 

Islam memiliki aturan lengkap termasuk dalam masalah industri dan pembangunan infrastruktur. 

Paradigma negara dalam Islam sebenarnya adalah untuk melindungi dan memelihara jiwa, akal, agama, nasab, harta, kemuliaan, keamanan dan negara. Karena itu, seluruh politik yang diwujudkan akan disinergikan untuk mewujudkan hal tersebut.

Islam ketika membangun infrastruktur berdasarkan kepentingan rakyat, menggunakan kas negara, serta tanpa menyerahkan proyek tersebut pada swasta. Sangat jauh berbeda dengan negara dalam sistem kapitalis hari ini, yang memprioritaskan pembangunan infrastruktur hanya berbasis keuntungan.

Sejarah telah menggambarkan bagaimana institusi khilafah Islam yakni masa Khalifah Abdul Hamid II. Khalifah membangun proyek Hejaz Railway atau jalur kereta api Hijaz sepanjang 1464 km sebagai infrastruktur penunjang transportasi haji. Jalur kereta Suriah terhubung antara kota Damaskus dan Madinah yang mampu memperpendek perjalanan dari 40 hari menjadi lima hari saja. Tidak hanya meningkatkan perjalanan, kapasitas penumpang juga sangat besar untuk ukuran masa itu, yaitu mampu membawa 300 ribu jamaah dalam satu pemberangkatan.

Juga infrastruktur pendidikan, pada masa Dinasti Abbasiyah, pada masa Khalifah Al-Muntansir Billah (1226 M – 1242 M) telah dibangun Universitas Al-Mustansiriyah di Bagdad. Perguruan tinggi ini tidak hanya fokus pada satu studi saja tetapi memiliki sekaligus empat bidang studi, antara lain ilmu Al-Qur'an, biografi Nabi Muhammad, ilmu kedokteran, serta matematika. Universitas ini juga dilengkapi oleh perpustakaan yang mendapat sumbangan buku sebanyak 80 ribu eksemplar yang diangkut oleh 150 unta.

Kemandirian negara dalam pendanaan, kebijakan berorientasi kepentingan umat serta mindset pengurusan secara maksimal atas urusan umat menjadi paradigma mendasar modal pembangunan infrastruktur.
Semua karena dibangun pada paradigma luar biasa, kekuatan aqidah. 

"Imam [kepala negara] melaksanakan penggembalaan, hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya). ” (HR.Bukhari dan Muslim)

Juga bagaimana ketika khalifah Umar bin Khattab radhiallahu'anhu, beliau sangat mengutamakan sikap wara' ketika hendak bertindak.

Umar bin Khattab pernah berkata bahwa jikalau ada kondisi jalan di daerah Irak yang rusak karena penanganan pembangunan yang tidak tepat kemudian ada seekor keledai yang terperosok kedalamnya, maka ia (Umar) bertanggung jawab karenanya.

Terlihat sekali dalam kisah di atas bahwasanya Umar bin Khattab sangat memerhatikan kebutuhan umat hingga dalam lingkup yang terkecil sekalipun. Jika keselamatan hewan saja sangat diperhatikan, apa lagi keselamatan manusia.

Inilah Islam yang dengan luar biasa telah membangun peradaban hebat sepanjang sejarah. Apakah hal ini sama dengan mindset penguasa hari ini dalam membangun infrastruktur?!

Sabtu, 29 Januari 2022

Kepentingan Politis Dibalik Pemindahan Ibukota




Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di wilayah Kalimantan Timur berpotensi mengerek naik utang pemerintah.

Hal ini disebabkan anggaran pembangunan dan pemindahan IKN sebagian menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN bakal mendanai sebanyak 53,5%, sisanya gabungan KPBU, BUMN dan sektor swasta sebesar 46,5%. Biaya Proyek Ibu Kota Negara (IKN) diprediksi melonjak dua hingga kali lipat dari perencanaan awal. Jika rencana awal anggaran yang disiapkan Rp490 triliun, maka jika dikalikan tiga kali lipat seperti diprediksi, maka anggaran pembangunan ibu kota baru dibutuhkan Rp1.470 triliun. 

Banyak opini beredar tentang pembangunan IKN Nusantara ini. Ada yang mengkaitkan dengan proyek oligarki misal Koalisi Masyarakat Sipil menuding demikian karena tidak terlepas dari fakta mengenai pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) IKN menjadi UU di DPR RI yang sangat cepat, hanya 43 hari. Meski hal ini sudah dibantah oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2014-2015, Andrinof Chaniago meminta masyarakat tak memandang pemindahan ibu kota negara (IKN) sebagai proyek oligarki.

Ia menjelaskan bahwa kajian pemindahan ibu kota telah melalui proses panjang dan berdasarkan pertimbangan akademis.

Juga ada Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai, proyek pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur hanyalah proyek milik elite pemerintah. Karena bakal menggunakan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan hal ini dinilai bukan berdasarkan kepentingan rakyat. Juga RUU IKN inisiatif dari eksekutif. Hal ini, kata Jamiluddin, semakin mengindikasikan pemindahan IKN memang lebih dominan keinginan elite daripada rakyat.

Pendapat dan pertimbangan ini seharusnya menjadi pikiran bagi pemerintah untuk melihat dampak yang muncul dengan perpindahan ibukota di tengah situasi ekonomi masih tidak stabil. Beberapa pertimbangan tersebut antara lain: 
1. Perpindahan ibu kota dari Jakarta menuju Kalimantan, yang cukup besar memakan APBN ditengah negara kita sedang melemah. Berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik) pertumbuhan ekonomi kita turun dari angka 5,17% ditahun 2018 menjadi 5,02% di tahun 2019.

Selain itu utang negara pun tiap tahun terus bertambah, hingga Januari 2020 total utang negara mencapai 4.817,5 triliun rupiah. Belum lagi sekitar 30,8% balita mengalami stunting dan gizi buruk. 

2. Ketika ibu kota pindah ke Kalimantan, maka lahan hijau atau hutan yang bekerja sebagai penyuplai oksigen yang berada di Kalimantan akan hilang seiring dengan pembangunan di ibu kota baru tersebut. Padahal kita tahu bersama lahan hijau atau hutan di Indonesia semakin berkurang karena terjadinya kebakaran hutan.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setidaknya sekitar 857 Ribu Hektar luas lahan yang terbakar diseluruh wilayah Indonesia hingga akhir tahun 2019. Hal ini sangat miris apabila pemindahan ibu kota tetap dilakukan pemerintah, karena Kalimantan bukan hanya sekedar paru-paru Indonesia melainkan menjadi paru-paru, paru dunia.

3. Bukan berarti pemindahan ibu kota ke Kalimantan yang secara geografis berada ditengah-tengah NKRI, maka masalah ekonomi dapat teratasi.

Masalah ekonomi bukan terletak pada pusat pemerintahan yang merupakan kemauan dan kemampuan pemerintah untuk menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat berada, bukan hanya di kota-kota besar melainkan harus sampai mereka berada di pelosok bahkan di daerah perbatasan sesuai amanat kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

4. Ketika perpindahan ibu kota tersebut terjadi maka seluruh ASN di tingkat pusat akan berpindah ke ibu kota baru, hal ini harus kita cermati bersama baik dari segi psikologis ataupun sosiologis para ASN tersebut.

Karena mereka mau tidak mau pasti akan meninggalkan istri, anak, dan para kerabat untuk berpindah ke ibu kota baru, hal ini tentu akan mempengaruhi kinerja ASN kedepannya yang notabene mereka hidup di Jakarta dekat dengan keluarga dan kebutuhan sehari-hari dapat ditemukan dengan mudahnya. Selain itu dari segi budaya pun tentu berbeda sehingga para ASN harus dapat dengan cepat beradaptasi dengan budaya daerah setempat.

5. Masuknya investor asing menguasai aset strategis di Ibu kota. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas membuka peluang untuk menawarkan sejumlah proyek pembangunan ibu kota negara (IKN) di Kalimantan Timur kepada investor dalam negeri dan luar negeri.

Nantinya investor bisa masuk melalui Lembaga Pengelola Investasi atau Sovereign Wealth Fund (SWF).

Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Rudy Soeprihadi Prawiradinata berbagai investor dalam negeri yang sudah tertarik untuk berinvestasi dalam proyek pembangunan IKN. Bahkan investor asing pun sudah banyak melirik.

Masih banyak lagi berbagai pertimbangan untuk mengevaluasi ulang proyek ibukota baru ini. 

Ketika Islam sebagai sebuah solusi atas semua problem manusia, maka Islam memiliki solusi ketika memang terjadi pemindahan ibukota, mengingat Khiladah Islam pun pernah beberapa kali mengalami pemindahan ibukota. 

Sejarah peradaban Islam mencatat sedikitnya empat kali perpindahan ibukota negara. Namun alasan utama saat itu semua adalah politik. Perpindahan pertama adalah dari Madinah ke Damaskus pada awal Bani Umayyah. Damaskus saat itu sudah ibukota musim panas memanfaatkan Byzantium. Perpindahan kedua adalah saat kebangkitan Bani Abbasiyah dari Damaskus ke Bagdad. Bagdad adalah kota yang dibangun baru, menggantikan Ctesiphon, ibukota Persia. Perpindahan ketiga adalah pasca hancurnya Baghdad oleh serbuan Mongol, dan pusat Khilafah lalu dipindah ke Kairo. Kairo sendiri sudah ada di delta sungai Nil itu sejak zaman Fir'aun. Sedang terakhir adalah perpindahan dari Kairo ke Istanbul, ketika Khalifah terakhir Abbasiyah diri setelah melihat bahwa Bani Utsmaniyah lebih berkemampuan untuk memimpin dunia Islam dan mendakwahkannya ke seluruh dunia Adapun Istanbul telah berdiri lebih dari 1000 tahun karena dibangun oleh Kaisar Konstantin. Dengan demikian, satu-satunya ibukota Khilafah yang praktis dibangun dari awal hanya Bagdad.

Menurut para sejarahwan penduduk Modelski maupun Chandler, Baghdad di Irak memegang kota terbesar di dunia dari abad-8 M sampai abad-13 M. Baghdad pada tahun 1000 M ditaksir sudah 1.500.000 jiwa. Peringkat kedua oleh Cordoba di Spanyol itu juga wilayah Islam dengan 500.000 jiwa dan baru Konstantinopel yang saat itu masih ibukota Romawi-Bizantium dengan 300.000 jiwa dan baru.

Pertimbangan politis inilah yang membedakan alasan perpindahan ibukota antara khilafah untuk mengembangkan dakwah dan negara kapitalis sekedar untuk kepentingan ekonomi. 
Wallahu a'lam.

Kamis, 13 Januari 2022

Indeks Kebahagiaan Tak Sekedar Angka

 Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan indeks kebahagiaan warga Jawa Tengah mengalami peningkatan. Dalam survei BPS itu, indeks kebahagiaan masyarakat Jawa Tengah mencapai 71,73 poin.

Indeks yang hanya diukur pada BPS mengukur tingkat kebahagiaan yang tercakup dalam tiga dimensi kehidupan, meliputi dimensi kepuasan hidup, dimensi perasaan, dan dimensi makna hidup.Survei ini dilaksanakan secara serentak di semua kabupaten atau kota di 34 provinsi di seluruh Indonesia, mulai 1 Juli 2021 sampai 27 Agustus 2021. Unit analisisnya adalah rumah tangga yang dipilih secara acak (random) sebanyak 75.000 di 34 propinsi.

Ukuran indeks ini memang dinilai subyektif dan diragukan kevalidannya. Karena 10 propinsi yang paling tinggi indeks kebahagiaannya semua ada di luar Jawa. Dan pengamat pun melihat ada keterbalikan antara IKH ini dengan IPM(Indeks Pembangunan Manusia).

Subyektifitas dalam menilai kesejahteraan dan kebahagiaan jika dinilai dengan ukuran manusia jelas akan melahirkan subyektifitas, dan tendensius. Karena manusia makhluq lemah, tak mampu mewakili realita semua manusia. IKH ini sejalan dengan GNH Gross National Happiness yang dicetuskan sebagai salah satu indikator SDGs. Artinya ukuran tang ditetapkan tetap mengacu pada Barat dalam mwnilai kebahagiaan manusia.

Kapitalisme-lah yang menjadi induk dari lahirnya ukuran subyektifitas manusia. Manusia dalam kapitalisme memposisikan diri sebagai Tuhan yang mengatur dan membuat aturan semaunya, menghukum manusia sesuai kepentingannya, bahkan mensekulerkan manusia pun menjadi wewenangnya.

Padalah sebagai seorang muslim, aqidah seharusnya menuntun untuk menjadikan Allah saja sebagai Illah-Pengatur kehidupan. Tugas kita hanya taat, patuh dan menjadi hamba dengan membuktikan diri untuk selalu taat, dan mengukur standar kebahagiaan pun hanya dengan ukuran keridhoan Allah semata. Bukan ukuran fisik dan nonfisik atas subyektifitas manusia.

Tak heran jika ada manusia tetap bahagia anaknya mati syahid dalam membela agama Allah seperti Ummu Imarah, dengan bangga anak-anaknya semua menjadi pembela agama Allah dan syahid di medan jihad. Inilah ukuran kebahahiaan yang sesungguhnya di sisi Allah RidhoNya.