Resesi adalah kondisi ketika produk domestik bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi suatu negara negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. Bagi perbankan, bukti resesi adalah meningkatnya angka kredit macet. Sementara, bagi Pemerintah bukti resesi juga dapat dilihat dengan meningkatnya angka utang luar negeri.
Semenjak virus corona menyerang dunia ini, kata resesi sering kali disebut. Melansir The Balance, ada 5 indikator ekonomi yang dijadikan acuan suatu negara mengalami resesi, yakni PDB riil, pendapatan, tingkat pengangguran, manufaktur, dan penjualan ritel.
Bagi negara penganut kapitalisme, resesi dianggap suatu kewajaran. Bahkan AS sendiri juga sudah mengalami berkali-kali hingga puluhan kali resesi. Tepatnya 33 kali resesi sejak 1854. Sementara jika dilihat sejak tahun 1980, AS mengalami 4 kali resesi termasuk yang terjadi saat krisis finansial global 2008.
Indonesia yang menerapkan kapitalisme pun berisiko mengalami resesi. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam rilis terbarunya yang berjudul A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery memprediksi PDB Indonesia akan minus 0,3% di tahun ini. Sebabnya, penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mulai berlaku efektif di beberapa daerah. Sementara pada kuartal I lalu, kebijakan PSBB belum diterapkan. Akibatnya, roda perekonomian di kuartal II mengalami perlambatan signifikan, sehingga pertumbuhan ekonomi terancam merosot.
Data pengangguran, aktivitas manufaktur, serta penjualan ritel Indonesia sudah mengirim sinyal potensi terjadinya resesi. Pandemi Covid-19 membuat Pemutusan Hubungan Kerja terjadi dimana-mana. Per 12 Mei, total pekerja yang dirumahkan dan di-PHK sebanyak 1.727.913 orang.
Imbas selanjutnya dari resesi ini adalah adanya krisis pangan yang siap menerjang di depan mata. Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto pernah menjelaskan bahwa ketika resesi terjadi maka akan ada ledakan gelombang pengangguran. Ujung-ujungnya orang miskin akan bertambah.
Satu-satunya harapan umat hanyalah kepada sistem Islam dan Khilafah ini yang terbukti pernah menjadi kekuatan besar. Keluarga muslim hari ini harus mengetahui bahwa sistem Islam inilah sistem yang dibangun di atas landasan wahyu Allah SWT dan dituntun oleh Rasulullah SAW serta dilanjutkan para Khalifah setelahnya.
Mengatasi problem ekonomi saat pandemi, seharusnya menjadikan solusi lockdown turut meminimalisasi terjadinya berbagai krisis ikutan pascawabah. Hal ini karena isolasi total wilayah yang terkena wabah dengan segera, akan meminimalisasi penularan ke wilayah lain. Sehingga masyarakat yang berada di luar wilayah wabah tetap menjalankan aktifitasnya secara normal. Tentu ini akan mengurangi terjadinya krisis ekonomi, pangan, dsb seperti kekhawatiran dunia saat ini.
Penerapan demikian merupakan konsekuensi penerapan syariat dimana pemimpin Rasulullah SAW “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR Muslim dan Ahmad).
Dalam hadis lainnya Rasulullah menegaskan, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya….”(HR Muslim).
Dengan kedua fungsi politik ini, maka seluruh rantai pasok pangan akan dikuasai negara. Meskipun swasta boleh memiliki usaha pertanian, namun penguasaan tetap di tangan negara dan tidak boleh dialihkan kepada korporasi. Negaralah yang menguasai produksi sebagai cadangan pangan negara.
Jika penguasaan negara secara totalitas terhadap produksi dan stok pangan, maka negara akan leluasa melakukan intervensi dalam keadaan apa pun. Seperti ketika dilakikan lockdown, pemenuhan pangan rakyat sangat mudah dilakukan karena ketersediaan pangan dijamin penuh oleh negara. Hal ini jelas berbeda dengan sistem sekarang,dimana Bulog justru hanya menguasai kurang dari 10%, sebagian besarnya dikuasai swasta.
Padahal Allah sudah mengingatkan kita dalam QS An Nisaa: 141 yang artinya:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman".
Oleh karena itu jika menginginkan solusi menyeluruh, kita tidak dibolehkan memiliki ketergantungan pangan pada impor. Beginilah mindset yang seharusnya dibangun agar memaksimalkan porensi pertanian agar tidak tergantung dengan impor. karena kapitalisme tidak akan berorientasi kepada kepentingan rakyat, tapi mereka akan terus berusaha memperkaya diri sendiri.
Mengikuti arahan FAO dan memiliki ketergantungan pada bahan impor hal ini justru dianggap solusi yang menyesatkan. Apalagi keluarga muslim harus mampu melihat masalah krisis dan resesi ini dengan berpikir politis.
1. Mengetahui akar masalah krisis
2. Mendalami solusi Islam mengatasi krisis supaya tidak terjebak.pada solusi parsial.
3. Yakin akan qodhoNya, bahwa Allah telah menetapkan rizqi pada seseorang.
4. Sabar akan kesulitan dan kesempitan karena dibalik kesempitan da kebahagiaan
5. Melakukan counter balik atas opini sesat kegagalan kapitalisme.
6. mendakwahkan Islam dan solusi Islam dalam mengatasi krisis.
7. Bekerjasama menyelesaikan krisis dan mendakwahkannya kepada penguasa untuk kembali kepada sistem Islam. Sebagaimana Khalifah Umar bin Khaththab ketika menghadapi krisis beliau membangun pos-pos penyedia pangan di berbagai tempat, bahkan mengantarkan sendiri makanan ke setiap rumah.
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.” (TQS Al Anfaal: 24).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar