Rabu, 27 Desember 2017

Liburan dan Budaya Semir Rambut Pelajar


Liburan sekolah sedang dilalui, muncul fenomena baru di Cilacap terutama di daerah dekat pantai. Ada istilah “Maklum, anak pantai gitu loh..” dengan kalimat ini ada suatu permakluman seolah anak pantai itu memiliki ciri khas dan identitas tersendiri. Ya, Budaya semir rambut pelajar selama liburan beberapa waktu ini seperti menjamur. Ditemui pelajar dari anak SD hingga menengah merubah penampilan dengan mencat rambut mereka dengan warna yang jauh lebih terang.
Istilah mereka, “gaul” dan “kekinian” karena banyak pula pemakainya dari teman sejawat mereka. Tapi apa benar hal ini sesuatu yang sekedar kesenangan saja, asal gaul dan kekinian tanpa ada sebuah tendensi ideology yang sedang menghujani para pemuda kita?
Budaya Liberal Penampilan
Marak bermunculan gaya hidup mengikuti Barat atau Timur dalam hal ini negara Jepang atau Korea memang mau tidak mau telah memancing otak pikir remaja kita hari ini. Bagaimana tidak, artis dengan tarian dan lagu yang digemari anak muda menampilkannya dengan gaya rambut dan busana yang di”jual” dan memang berniat diikuti oleh fans mereka.
Tak ayal lagi, sikap dan gaya hidup remaja dalam hal ini pelajar banyak yang terpengaruh “idol” mereka. Termasuk budaya berani beda ala semir rambut ini. Berkembang karena kesan gaul dan beda inilah yang kemudian memaksa pelajar kita hari ini untuk punya tampang beda, lebih garang, berani, keren, bahkan modis hanya karena berani tampil beda dengan warna rambut.
Tanpa disadari, budaya ini telah diikuti dengan budaya lain yang jauh kurang dipertimbangkan oleh generasi. Liberalisasi . sebuah cara pandang hidup bebas, menghantui  kehidupan pelajar kita hari ini. Budaya hidup bebas, semir rambut selama liburan berimplikasi pada sikap cuek akan omongan orang, merasa modis dan keren tanpa memperhatikan kebolehannya atau tidak terutama bagi pelajar perempuan, rambut itu aurat atau bukan, bahkan sikap gaul dan ikutan jaman itulah yang kemudian membentuk corak pola pikir yang berbeda dan telah menghancurkan bangunan pemikiran lama.
Bukankah Islam Membolehkan Semir Rambut?
Memang benar, banyak periwayatan yang menyebutkan akan hal ini. Larangan menyemir rambut justru ditujukan akan warna hitam, kecuali dalam kondisi tertentu yaitu peperangan misalnya. Selainnya dimubahkan.
Sebagaimana Hadits berikut:
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"غَيِّرُوا هَذَا الشَّيْبَ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ  (رواه مسلم)
"Rubahlah warna uban itu, dan jauhi warna hitam." (HR. Muslim, no. 2102)
diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 4212, dari Ibnu Abbas, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِى آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لاَ يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ (والحديث صححه الألباني في صحيح أبي داود)
"Akan ada di akhir zaman, kaum yang menyemir rambutnya seperti bulu merpati, maka dia tidak mencium bau surga." (Hadits dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud)
Soal warna rambut, para ulama bersepakat membolehkan seluruh warna, kecuali warna hitam. Adapun warna hitam, terdapat perbedaan pendapat para ulama berdasarkan tujuan dari mewarnai rambut tersebut.
Ulama bersepakat, jika bertujuan untuk penipuan, mayoritas ulama mengharamkannya. Orang yang sejatinya sudah tua bisa menipu agar tampak muda kembali karena rambutnya tak beruban. Jika tujuannya seperti ini, tentu tidak diperbolehkan. Demikian diterangkan dalam Al-Fatawa Al-Hindiyah (44/45) dari kalangan Mazhab Hanafiyah, Al-Fawakih Ad-Dawani (8/191) dari kalangan Mazhab Maliki, Matolib Ulin Nuha (1/195) dari kalangan Mazhab Hanbali.
Demikian juga, jika mewarnai rambut dengan warna hitam untuk berangkat berperang, seluruh ulama sepakat untuk membolehkannya. Pada zaman Rasulullah SAW, para tentara yang akan berangkat berperang punya tradisi mewarnai rambut dengan warna hitam. Tujuannya untuk menaikkan wibawa di hadapan musuh-musuh Islam. Kendati mewarnai rambut dengan warna hitam mengandung unsur penipuan, untuk berperang seluruh tipu daya bisa ditolerir. Sabda Nabi SAW, "Peperangan itu adalah tipu daya." (HR Ibnu Majah).
Jika pemakaian warna hitam hanya untuk berhias dan pemakaian sehari-hari tanpa ada maksud untuk penipuan, di sinilah perbedaan pendapat ulama muncul. Ulama kalangan Hanabilah, Malikiyah, dan Hanafiyah hanya sebatas memakruhkan. Kalangan ini berdalil, sabda Nabi SAW hanya sebatas anjuran untuk menjauhi atau menghindari warna hitam. Ijtanibu (jauhi atau hindari) dalam lafaz hadis bermakna hanya sebatas anjuran. Maka hukumnya pun tidak bisa melebihi makruh. Sedangkan, pendapat yang masyhur dari kalangan Mazhab Syafi'iyah mengharamkan penggunaan warna hitam untuk mewarnai rambut. Pengecualian warna hitam hanya untuk mereka yang pergi berperang. Adapun untuk penggunaan sehari-hari tidaklah diperbolehkan.
Adapun dalil yang menunjukkan dibolehkannya menyemir dengan warna merah dan kuning, adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 4211, dari Ibnu Abbas, dia berkata, "Seorang yang menyemir rambutnya dengan hinna melewati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka beliau berkata, 'Bagus sekali orang itu.'  Kemudian lewat lagi seseorang di depan beliau seorang yang menyemir rambutnya dengan hina dan katm, maka beliau berkata, 'Bagus sekali orang itu.' Kemudian lewat lagi seseorang yang menyemir rambutnya keemasan, maka beliau berkata, 'yang ini lebih baik dari yang lainnya.'
Permasalahannya kemudian adalah tidak hanya sekledar boelh atau tidak menggunakan semir rambut. Jenis bahan yang diapakai apakah halal atau tidak. Jika dulu jaman rasul semir rambut menggunakan bahan hena dan katam lalu apakah semir hari ini yang digunakan terjamin serupa atas apa yang dibolehkan Rasul?
Masalah lainnya adalah jika dulu menyemir rambut dengan tujuan berhias untuk suami/ istri dan juga untuk strategi tertentu, lalu apakah alasan pemuda hari ini menyemir rambut bisa diserupakan dengan apa yang dilakukan Shahabat nabi?

Budaya Barat Tetap Menjadi Kiblat Penampilan Bukan Syariat
Jika sudah dipaparkan kemubahan menyemir rambut dan beberapa penjelasannya lantas apakah niat para pelajar hari ini melakukannya pun atas dasar landasan syariat? Tentu tidak. Budaya dan pola sikap remaja yang melakukan demikian adalah sebagai bukti terpengaruhnya mereka atas peradaban barat bukan sebagai bentuk pahamnya mereka akan kemubahan menyemir rambut.
Padahal patokan hidup seorang muslim hari ini seharusnya adalah “segala perbuatan seharusnya terikat pada hukum syariat’. Bukan justru membebebk akan peradaban asing, terlebih mereka adalah anak yang sudah baligh. Seluruh amal perbuatannya wajib terikat akan hukum Allah. Hisab Allah berlaku pada mereka tiap detiknya.
Pelaku semir rambut di kalangan pelajar terutama perempuan jelas melanggar syariat Allah karena dia menampakkan perhiasannya kepada lelaki asing yang bukan mahramnya.  Sedangkan bagi semua pelakunya baik laki-laki atau perempuan jika melakukannya sebatas kesenangan, mode, gaul apalagi ikut-ikutan jelas hal ini pun adalah sebuah kemubahan yang tak jelas tujuannya. Justru malah menjadi korban atas kapitalisasi dan liberalisasi kehidupan hari ini.
Liberalisai ini memakan banyak korban, dan korban terbesar sasaran kerusakannya adalah remaja. Seharusnya remaja hari ini justru banyak mendekat pada syariuat dan berbondong-bonfong mengkajinya, bukan malah terjerumus dan menjadi korban liberalisasi. Jika pun melakukan sesuatu kemubahan, maka pertimbangkan sisi maslahat dan mudhorotnya agar tak jatuh pada perkara dosa. Perdalamlah ilmu agama agar nampak kualitas diri dan mampu menjadi penyelamat orang tua hingga ke surga.
Hal ini pun seharusnya menjadi introspeksi semua kalangan baik orang tua maupun pemerintah sebagai institusi penyelenggara pendidikan, bahwa penanaman agama dengan benar seharusnya akan mudah menghindari fenomena musiman ini. Menjelaskan posisi pendidikan formal sebagai pendukung pendidikan di keluarga dengan penanaman syariat Allah seharusnya menjadi sebuah prioritas dan kerjasama yang apik dalam membentuk pola sikap pelajar. Pendidikan bukanlah pembentuk mindset kapitalis dan liberal pelajar, tapi seharusnya pendidikan menjadi penyelamat para pelajar dari serangan budaya kapitalis dan liberal.
Wallahu a’lam.

Semalaman Penduduk Bumi Bermaksiat

Sudah berkali-kali rasanya dibahas dalam berbagai media, baik kajian online dan offline, maupun tulisan-tulisan yang membahas tentang maksiat di malam tahun baru masehi. Perayaan tahun baru masehi biasa dirayakan secara sistematis oleh semua negara di dunia, hingga ke pelosok desa dengan beragam kegiatan yang tak jauh berbeda sepanjang tahun. Menyalakan kembang api, hiburan panggung, terompet, dan beragam acara kumpul-kumpul lainnya yang dibuat seolah-olah menjadi wajib merayakannya di luar rumah di malam tahun baru ini.
Tak sedikit yang mengikutinya karena sekedar ikut-ikutan, bahkan ibu-ibu pun tak jarang membawa anak mereka yang masih bayi dalam gendongan, seolah sang ibu ingin mengajarkan pada anaknya cara kebahagiaan orang dewasa. Berbahagia melihat tontonan dan hiburan di malam hari. Padahal  biasanya anti angin malam tapi dalam satu malam itu, semua hukum dilanggar.
Tahun Baru: Menyesatkan Pikiran
Pertanyaannya, siapa sebenarnya pelaku dan penikmat terbesar dari budaya malam tahun baru ini? Muslim tentunya. Aneh tapi nyata, bagaimana mungkin, mayoritas pelakunya muslim sementara jelas-jelas semua aktivitas itu tak tertulis dalam agama mereka.
Beragam perayaan tahun baru dianggap telah bertasyabbuh terhadap orang kafir. Seperti budaya meniup terompet ini merupakan budaya masyarakat Yahudi saat menyambut tahun baru bangsa mereka yang jatuh pada bulan ke tujuh pada sistem penanggalan mereka (bulan Tisyri). Walaupun setelah itu mereka merayakannya di bulan Januari sejak berkuasanya bangsa Romawi kuno atas mereka pada tahun 63 SM. Sejak itulah mereka mengikuti kalender Julian yang kemudian hari berubah menjadi kalender Masehi alias kalender Gregorian.
Pada malam tahun barunya, masyarakat Yahudi melakukan introspeksi diri dengan tradisi meniup shofar (serunai), sebuah alat musik sejenis terompet. Bunyi shofar mirip sekali dengan bunyi terompet kertas yang dibunyikan orang Indonesia di malam Tahun Baru.
Petasan atau kembang api sudah seperti sebuah tradisi wajib perayaan tahun baru. Berapa miliar dihabiskan untuk sebuah seremoni tahunan dan hiburan semata. Kembali lagi, uang rakyat yang akhirnya dipakai untuk hura-hura, sementara rakyat dalam kondisi menanggung beban hidup yang cukup berat.
Tanpa disadari, budaya ini telah menjadikan mereka serupa bahkan tanpa beda beramal layaknya orang kafir. Melakukan ikhtilat atau bercampur baur di suatu tempat dan berinteraksi tanpa ada kepentingan syariat didalamnya, menikmati tontonan para artis menggoyang pinggul mereka, seronok tapi memang tak bisa dipilih untuk ditonton atau tidak, mau tidak mau harus mengikuti iramanya.
Sebenarnya MUI pernah memfatwakan terkait hal ini, yaitu:
Membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri, Tahun Baru dan Walimah (Resepsi), seperti yang dilakukan oleh umat Islam khususnya warga DKI Jakarta, atau menjadi bagian dalam ritual ziarah di TPU Dobo, adalah suatu tradisi atau kebiasaan buruk yang sama sekali tidak terdapat dalam ajaran Islam, bahkan merupakan suatu perbuatan haram yang sangat bertentangan dan dilarang ajaran Islam. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
Tradisi membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api adalah bersumber dari kepercayaan umat di luar Islam untuk mengusir setan yang dianggap mengganggu mereka. Hal ini jelas merupakan suatu kepercayaan yang bertentangan dengan Aqidah Islam. Padahal Islam memerintahkan umatnya untuk menghindari kepercayaan yang bertentangan dengan Aqidah Islam, karena hai itu dinilai sebagai langkah setan dalam menjerumuskan umat manusia, sebagaimana difirmankan dalam Qur'an:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar." (QS. An-Nur[24] : 21)

Membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api merupakan pemborosan (tabdzir) terhadap harta benda yang diharamkan Allah, sebagaimana difirmankan :

"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al-Isra [17] : 27)

Membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api sangat membahayakan jiwa, kesehatan, dan harta benda (rumah, pabrik, dan lain-lain). Padahal agama Islam melarang manusia melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
Membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api sangat membahayakan jiwa, kesehatan, dan harta benda (rumah, pabrik, dan lain-lain). Padahal agama Islam melarang manusia melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Sebagaimana difirmankan dalam :
"Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-Baqarah [2]:195.)
Demikian juga sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut:
"(Kamu) tidak boleh membuat bahaya bagi dirimu sendiri dan juga tidak boleh membuat bahaya bagi orang lain".
Membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api bahayanya (mudharat) lebih besar dari pada manfaatnya (kalau ada manfaatnya). Padahal di antara ciri-ciri orang muslim yang baik adalah orang yang mau meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Sebagaimana didasarkan pada makna umum ayat Al-Quran sebagai berikut:
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir."
Dan hadits Rasulullah SAW:
"Di antara ciri-ciri orang muslim yang baik adalah orang yang mau meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat".

Islam Tegas Menjaga Aqidah
Perkara ini telah dijelaskan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Abdullah bin Umar -radhiyallahu anhu- saat beliau berkata,
كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلاَةَ لَيْسَ يُنَادَى لَهَا فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِي ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ بُوقًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ فَقَالَ عُمَرُ أَوَلاَ تَبْعَثُونَ رَجُلاً يُنَادِي بِالصَّلاَةِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ
“Dahulu kaum muslimin saat datang ke Madinah, mereka berkumpul seraya memperkirakan waktu sholat yang (saat itu) belum di-adzani. Di suatu hari, mereka pun berbincang-bincang tentang hal itu. Sebagian orang diantara mereka berkomentar, “Buat saja lonceng seperti lonceng orang-orang Nashoro”. Sebagian lagi berkata, “Bahkan buat saja terompet seperti terompet kaum Yahudi”. Umar pun berkata, “Mengapa kalian tak mengutus seseorang untuk memanggil (manusia) untuk sholat”. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Wahai Bilal, bangkitlah lalu panggillah (manusia) untuk sholat”. [HR. Al-Bukhoriy (604) dan Muslim (377)]
Terkait dengan menyalakan kembang api juga sudah banyak hujah yang dijelaskan bahwa budaya tersebut bukanlah berasal dari Islam. Kaum Majusi lah yang cara peribadatannya menyembah api. Menyalakan kembang api ini termasuk hal yang sia-sia dalam memanfaatkan harta dan jauh dari manfaat bahkan bisa membawa kepada keharaman.
Menyalakan kembang api termasuk bentuk membuang-buang harta. Padahal membuang-buang harta termasuk perbuatan yang terlarang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah membenci tiga hal pada kalian; kabar burung, membuang-buang harta, dan banyak bertanya.” (HR. Bukkhari, no.1407)
Benda semacam itu juga sangat mengganggu orang lain, terutama dentuman suaranya yang membuat kaget. Bahkan terkadang bisa memicu timbulnya kebakaran.
Kemudian Syaikh Utsaimin mengatakan,
فمن أجل هذين الوجهين نرى أنها حرام ، وأنه لا يجوز بيعها ولا شراؤها
”Karena dua alasan ini, kami berpendapat bahwa petasan hukumya haram, tidak boleh diperjual-belikan.” (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, Pusat Dakwah dan Bimbingan di Unaizah, 3:3)
Kedua, menyalakan kembang api di tengah malam, bertolak belakang dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidur di awal malam, dan tidak bergadang.
Dari Abu Barzah Al-Aslami beliau menceritakan tentang kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat isya’ dan ngobrol setelah isya’ (HR. Bukhari, no.599)
Apapun itu, aktivitas di malam tahun baru jelas sangat banyak mudharatnya dan banyak pelanggaran didalamnya. Tak semestinya seorang muslim mengikuti dan memberikan loyalitasnya pada jenis perayaan apapun karena tidak dituntunkan oleh Islam. Islam adalah agama yang tinggi dan tak ada yang lebih tinggi darinya. Kenapa masih mencari jalan kebahagian lain selain Islam?
Wallahu a’lam.


Tulisan ini termuat di Islampos.com


https://www.islampos.com/semalaman-penduduk-bumi-bermaksiat-64654/

Sabtu, 23 Desember 2017

Pengemban Ideologi Tidak Menangis

Seorang pria menceritakan kisah berikut :

Kami mengalami tindakan kekejaman yang luar biasa, bentuk paling keras dari hukuman di Irak, dan kami terbiasa berteriak dan menangis karena penyiksaan tersebut

Tapi kami heran melihat seorang syaikh (laki-laki tua) yang sedang disiksa secara brutal, di mana ia dengan kaki yang diikat, digantung dan disiksa dengan sangat kejam yang tak bisa digambarkan layaknya ia disiksa oleh orang yang kesurupan

Tapi ia tetap diam tanpa menumpahkan air mata. Padahal saat itu, ia hingga merangkak untuk minum air karena beratnya hukuman yang ia terima

Suatu hari, saya mendekatinya untuk menanyakan apa rahasia dari kesabarannya hingga mampu bertahan dari siksaan
Saya berseru kepadanya: "Kami ini masih muda namun kami menangis dan menjerit dari keparahan penyiksaan yang kami terima, tapi Anda adalah seorang pria tua dan apa rahasia yang Anda pegang yang membuat Anda mampu bertahan dari semua ini ??

Dia menjawab " Pembawa ide tidak menangis "

Setelah dibebaskan dari penjara, kami mencari tahu siapa orang tua ini, ternyata ia adalah Sheikh Taqi-uddin An-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir dan pembawa ideology untuk mendirikan kembali Khilafah.”
.
===========================
.
Syeikh Taqiyudin adalah Murid skaligus cucu dari Syeikh Yusuf An nabhani, yang Juga Guru dari K.H Hasyim Asyari Pendiri NU

Rabu, 15 November 2017

Dia Tetap Anak-anak

Seberapa hebat seorang ibu merancang target dan strategi mendidik anaknya, anaknya tetaplah seorang anak-anak.

Mereka tetap butuh suasana bahagia, bermain, bercanda dan diarahkan.
Mereka bukan mesin yang selalu menurut perintah dan berjalan terus, terhenti jika ada kerusakan atau ditekan tombol off.

Bukan. Mereka bukan mesin. Mereka butuh perasaan dan pemikiran dalam pembentukanya. Terkadang hal ini yang dilalaikan seorang ibu.

Kewajiban ibu adalah mendidiknya. Dimana dalam proses mendidknya terkadang tak mampu merrka menjalaninya dengan bahagia. Mana ada anak-anak bahagia ditarget dengan sehari 10 ayat?😊 Apa ada anak akan bahagia dengan target hafal hadits arbain dalam waktu tertentu?

Cobalah dipikirkan sekalipun bagi mereka hal itu tak menyenangkan, tapi orang tua terutama ibu harus mampu mensuasanakan agar mereka menjalaninya dengan bahagia. Bahagia menjadi anak. Bahagia menjadi penggembira orangtuanya jika kelak orang tuanya meninggalkan mereka.

Mereka tetap anak-anak. Tak bisa kendur tapi tak bisa juga terkekang.

Senin, 16 Januari 2017

Melupakan Kepahitan

Hidup tanpa masalah adalah tak mungkin.
Hidup hanya perlu dijalani dengan lurus saja, tanpa berpaling,berkelok bahkan berbalik.

Bukankah Islam sudah mengingatkan kita bahwa hidup adalah ladang uji.

Siapakah yang akan mendapatkan ujian terberat …

Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,

فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »

Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

وَاِذَا عَظُمَت المِحْنَةُ كَانَ ذَلِكَ لِلْمُؤْمِنِ الصَّالِحِ سَبَبًا لِعُلُوِّ الدَرَجَةِ وَعَظِيْمِ الاَجْرِ

“Cobaan yang semakin berat akan senantiasa menimpa seorang mukmin yang sholih untuk meninggikan derajatnya dan agar ia semakin mendapatkan ganjaran yang besar.”

Seharusnya seorang muslim berbangga akan ujian yang dihadapinya. Meski kadang menguras air mata, membuat batin sakit tapi inilah kehidupan.
Kenyataan yang harus dijalani diselesaikan batu ujiannya hingga Allah menyuruh kita pulang, kembali jika ajal sudah menjemput.

Dan cobaan yang dihadapi umat Islam hari ini pun terjadi karena beragam macam kondisi yang membut kita makin merasakan sempit. Siatem hidup jauh dari Islam telah menjadi pengeruh suasana yang sudah pelik dengam masalah individu kita.

Bersabarlah wahai Saudaraku, Allah pasti akan memberikan hasil sebanding dengan upaya dan perjuangan kita menghadapi hidup.