Rabu, 25 September 2024

Surga Tol di Jawa Tengah

Kembali, proyek jalan tol berlanjut di Jawa Tengah. Kali ini pemerintah sedang mengupayakan pembangunan jalan tol menghubungkan Yogyakarta hingga Cilacap Jawa Tengah. Dan nantinya ada sejumlah Kabupaten akan terimbas proyek jalan tol Jogja-Cilacap, salah satunya adalah Kabupaten Kebumen Jawa Tengah.

Sebelumnya sudah diberitakan proyek tol yang sedang berjalan di Jateng dan akan mulai diresmikan sebagiannya di 2024 ini. Antara lain: Tol Semarang-Demak, Tol Semarang-Kendal, Tol Bawen-Yogya, Tol Solo-Yogya, juga tol Demak-Tuban yang menghubungkan ke Jawa Timur.

Mega proyek jalan Tol Cilacap-Yogyakarta akan menghabiskan anggaran sebesar Rp 38,47 triliun. Tol ini akan melibas 22 desa di 3 kecamatan di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Desa terbanyak yang terlibas ada di Kecamatan Sumpiuh dan Kecamatan Kemranjen. Jalan tol Cilacap-Yogyakarta juga akan menerjang sejumlah wilayah di Kabupaten Purworejo dan Kebumen. 

Sementara untuk tol Semarang-Demak sejauh 16,01 km dan menelan dana sebanyak 5,9 Triliun. Berdampak pada 21 desa dan kelurahan di Kota Semarang dan Kabupaten Demak terkena dampak pembangunan jalan tol Semarang-Demak. Jalan tol Semarang-Demak akan melewati tiga kelurahan di Kota Semarang dan 18 desa di Kabupaten Demak.

Untuk Tol Semarang-Kendal, yang sudah rampung sejak 2023,menelan anggaran Rp 6T dan sepanjang 39,3km. Pembangunan ini berdampak pada 120 Kepala Keluarga (KK) yang menghuni di 5 kecamatan dari 5 desa di Kabupaten Kendal, akibat proyek tol Semarang-Batang.

Proyek Tol Jogja Bawen menghabiskan biaya Rp21 triliun, meliputi Rp7 triliun untuk ganti rugi lahan dan Rp14 triliun untuk pembangunan. Dengan panjang 75,82 km, Tol Jogja Bawen memerlukan lahan seluas 8.788.019 meter persegi. Uang yang dikucurkan untuk ganti rugi lahan sebesar Rp7,36 triliun. Untuk daerah terdampak paling banyak adalah Kabupaten Magelang. Untuk wilayah Kabupaten Magelang ada beberapa kecamatan yang akan dilintas yaitu Ngluwar, Muntilan, Mungkid, Borobudur, Candimulyo, Tegalrejo, Secang, Grabag.

Untuk Tol Solo Jogja, Tol yang dibangun sejak 2021 lalu itu menelan biaya mencapai Rp 5,6 triliun. Dua dukuh di Desa Joton, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah terkena dampak pembangunan jalan tol Solo-Yogyakarta. Sekitar 85 persen penduduk di dua dukuh tersebut harus merelakan lahannya untuk proyek strategi nasional (PSN) tersebut. Ada sekitar 85 kepala keluarga (KK) di dua dukuh tersebut yang terkena dampak dari pembangunan jalan tol.

Sementara untuk proyek pembangunan Jalan Tol Demak-Tuban sepanjang 180,58 km diperkirakan akan menelan dana sebesar Rp 45,71 triliun. Dari total dana investasi Rp 45,71 triliun tersebut, sebanyak Rp 2,68 triliun akan digunakan sebagai biaya pembebasan lahan (porsi pemerintah). 40 desa di Kabupaten Tuban bakal tergusur dampak proyek tol Demak-Tuban. Pembangunan tol Demak-Tuban rencananya akan mulai dilaksanakan pada 2025. Ruas tol ini nantinya akan melintasi Kabupaten Kudus.

Atas nama pembangunan dan proyek strategis nasional, negara terus melakukan berbagai upaya pembangunan ruas jalan tol demi alasan meningkatkan perekonomian. Akankah hal ini berdampak pada perbaikan ekonomi di Jawa Tengah? 



Dampak Pembangunan Jalan Tol

Dalam buku Dampak Jalan Tol terhadap Pulau jawa, dijelaskan bahwa pembangunan jalan tol juga memengaruhi ekonomi wilayah setempat dengan berbagai cara. Nilai properti menjadi meningkat, tetapi banyak juga yang kehilangan pekerjaan. Terutama terasa pada masyarakat yang direlokasi, yang terkadang mengalami penurunan pendapatan dan pekerjaan mereka. Sebelum memulai proyek pembangunan jalan tol, pemerintah melakukan negosiasi dengan masyarakat setempat untuk pembebasan lahan.Bagi para petani yang lahan garapannya diambil, mereka harus merelakan mata pencaharian utama mereka demi pembangunan jalan tol.

Pembangunan jalan tol juga sering kali menyebabkan polusi udara dan air di sekitar wilayah proyek. Hal ini berdampak buruk pada kesehatan masyarakat yang terpaksa menghirup udara yang tidak sehat setiap hari. Mereka juga harus hidup di lingkungan baru, yang dapat memengaruhi kualitas hidup dan kesejahteraan mereka dalam jangka panjang. Hal ini mengakibatkan beberapa petani terpaksa harus menghadapi peningkatan harga properti di wilayah lain, yang membuat sulit bagi mereka untuk membeli lahan baru. 

Dalam konteks pembangunan infrastruktur, seharusnya penting bagi pemerintah dan pihak terkait untuk mempertimbangkan dampak negatif ini dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menguranginya. Akan tetapi yang terjadi, karena mindset kapitalisme menjadi dasar pengambilan kebijakan proyek pembangunan infrastruktur, yang terjadi berbagai dampak seakan tidak dihiraukan, demi tujuan yang mereka katakan, kemajuan, pemerataan, pertumbuhan hingga kemajuan. Meski kenyataannya, rakyat banyak yang menjadi korban, jurang kemiskinan makin menganga dan perekonomian tak makin baik bagi masyarakat, tapi menguntungkan hanya bagi kaum kapitalis. 


Proyek Infrastruktur Target SDGs

Tak sekedar teori bahwa negeri inj mengikuti manhaj ekonomi kapitalisme. Realitanya, berbagai upaya percepatan pembangunan infrastruktur merupakan realisasi atas target poin ke 9 dari SDGs (Sustainable Development Goals) yaitu Membangun Infrastruktur yang Tangguh, Meningkatkan Industri Inklusif dan Berkelanjutan, Serta Mendorong Inovasi. 

Dengan target meraih Indonesia Emas 2045, menjadi negara maju, infrastruktur menjadi penunjang utama yang 'dikebut' demi atas nama kemajuan. Tak heran jika tol salah satu yang diprioritaskan dengan pertimbangan untuk memperlancar proses distribusi serta transportasi kemajuan masa depan. Meski dilewati dengan harga mahal, prioritas kemajuan ini tetap berjalan. 

Banyak keluhan terkait mahalnya tarif tol trans Jawa. Beberapa jalan tol dengan tarif termahal di Indonesia ini memang didominasi oleh jalanan di Provinsi Jawa Tengah. Tarif Jalan Tol Trans Jawa yang mahal telah melahirkan keluhan dari sejumlah kalangan. Mereka antara lain pengusaha dan sopir angkutan barang maupun penumpang. Dampak ekonomi dalam harapan untuk memajukan perekonomian tapi karena pembangunan infrastruktur berasal dari investor , akhirnya pemerintah menetapkan harga tarif agar mampu menguntungkan investor, pengelola dan pemerintah sendiri. Jadilah tarif tol tinggi, demi kemajuan, kenyataannya rakyat juga yang akan menerima semua beban berat ini. 

Memang, Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur fisik berkualitas akan memicu proses ekonomi sehingga menimbulkan dampak positif bagi ekonomi maupun sosial. Pembangunan infrastruktur yang berkualitas akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya saing wilayah, mempermudah arus pergerakan orang dan barang sehingga menimbulkan multiplier effect yang positif bagi kesejahteraan penduduk.Infrastruktur jalan merupakan salah satu infrastruktur yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan yang menjelaskan bahwa jalan merupakan prasarana transportasi yang memiliki peran penting dalam ekonomi sehingga diistilahkan seperti urat nadi kehidupan masyarakat.

Tapi tak bisa ditutupi, banyak pengusaha jasa transportasi mengeluhkan tarif tol yang dinilai terlalu mahal. Bahkan, hasil riset CNBC (2022) menunjukkan bahwa pada tanggal 25 Januari 2022, di Kota Pekalongan terjadi peningkatan volume kendaraan hingga 70% akibat berlaku penuhnya tarif tol Trans Jawa. Hal tersebut mengindikasikan bahwa faktor harga masih menjadi penentu utama keputusan pengguna jalan tol. Selain itu, dengan tarif yang masih relatif tergolong mahal, masyarakat kalangan bawah tidak dapat merasakan keuntungan infrastruktur jalan tol karena sebagian besar dari mereka lebih memilih tidak menggunakan jalan tol. Ruas jalan tol cenderung lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kalangan ekonomi menengah – atas yang membutuhkan ke efisiensi waktu yang relatif cepat dan bebas hambatan.
Jika antar kebijakan, tumpang tindih, modal besar hingga akhirnya menekan masyarakat kecil, lalu perekonomian siapa yang ditargetkan akan maju, kecuali untuk kepentingan kaum kapitalis? 


Solusi Infrastruktur Dalam Islam

Bukan kapitalisme jika tak bicara keuntungan semata. Bahkan dalam pembangunan infrastruktur pun, yang dipikirkan adalah cuan, manfaat dan keuntungan. Hal ini jelas berbeda dengan bagaimana cara Islam membangun infrastruktur. 

Dalam Islam, pemimpin tidak boleh mengambil kebijakan hanya karena standar materi, tetapi wajib menjadikan hukum syariat sebagai sandaran. Dalam pandangan Islam, Jalan adalah salah satu kebutuhan rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Rakyat sangat mendambakan jalan yang aman, mudah dilewati, dan murah. Oleh karena itu, negara wajib mewujudkannya. Ketika negara membangun jalan tol, tujuannya adalah memudahkan keperluan rakyat. Jadi negara tidak boleh menarik biaya atas pemanfaatannya.

Berkaitan dengan investasi, Islam juga punya pandangan khas. Islam mengatur investasi dengan akad kerja sama sesuai hukum syariat. Islam mengharamkan investasi pada bidang yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, termasuk pembangunan jalan. Oleh karena itu, untuk membangun fasilitas jalan negara akan mengandalkan biaya yang berasal dari baitulmal. Menggunakan anggaran mutlak, yakni ada atau tidak ada kekayaan negara untuk pembiayaan transportasi publik yang ketiadaannya berakibat dlarar pada masyarakat, maka wajib diadakan oleh penguasa sebagai institusi yang memberikan solusi bagi layanan transportasi publik yang aman, nyaman, dan selamat. Modalnya bisa berasal dari hasil pengelolaan SDA dan pemasukan lain seperti kharaj, fai, jizyah, ghanimah, dll.

Dengan kemandirian ini, Islam akan membuat negara menjadi independen, tidak mudah didikte oleh negara lain. Selain itu, negara juga dapat konsentrasi mengurusi kebutuhan rakyat, bukan justru mencari investasi dengan menengadahkan tangan pada negara asing. Dari sini nampak, bahwa Islam mengajarkan bahwa imam adalah junnah (perisai). Artinya, rakyat bisa berlindung, mencari keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, bisa bersandar kepada kepala negara. Bukan justru rakyat dianggap konsumen atas bisnis negara. 

Jadi, keberadaan pembangunan infrastruktur memang penting, bahkan Islam telah menjalankannya sejak lama, yakni dalam sistem Khilafah Islam. Dimana pada masa itu, infrastruktur melejit dengan pesat. Perbedaannya, semua orang bisa menikmati tanpa pungutan biaya. Jadi negara tidak mengukur untung rugi atas pembangunan infrastruktur tapi lebih kepada berjalan tidaknya kemaslahatan rakyat. 

Kemandirian negara dalam Islam juga harus nmapak pad mandirinya negara dalam industri berat. Jadi jika negara membutuhkan bahan untuk membangun jalan, jembatan, dan lainnya, maka negara tidak perlu bergantung pada pihak lain atau negara lain. Inilah prinsip-prinsip dasar yang diajarkan oleh Islam. 
Tak ada kemuliaan dan kesejahteraan tanpa penerapan Islam, karena Islam adalah solusi atas seluruh masalah manusia, termasuk dalam pembangunan infrastruktur. 

Sabtu, 14 September 2024

Estafet Perjuangan Tak Pernah Padam di Pulau Jawa

Pulau Jawa, senantiasa menjadi daya tarik bagi penjajah sejak masa lalu. Silih bergantinya penjajah ke tanah Jawa sejak Jaman penjajahan Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis, Inggris, hingga Jepang telah mengorbankan jutaan nyawa, dan harta dari bumi Nusantara. 

Akan tetapi sebelum peperangan yang berkecamuk di beberapa wilayah, telah masuk dakwah Islam yang dibawa para ulama dan wali ke wilayah Nusantara khususnya Jawa.

Meski terdapat beberapa pendapat mengenai periode masuknya Islam ke Nusantara, menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya berjudul  Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yakni Teori Gujarat, Teori Makkah dan Teori Persia. Ketiga teori tersebut  menjelaskan tentang waktu masuknya Islam ke Indonesia,asal negara dan tentang penyebarnya ke Nusantara. Pada teori Gujarat Islam masuk Indonesia pada abad ke 13, pendapat ini didukung oleh Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Sementara teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk Indonesia di abad ke 7 dan hal ini didukung oleh pendapat  Buya Hamka, Van Leur, dan T.W.Arnold.  Dan untuk teori Persia, berpendapat Islam masuk di Indonesia pada abad 13 dan pembawanya Persia(Iran).

Nana Supriatna, juga pernah mengatakan dalam buku sejarah, tradisi perdagangan di Timur Tengah terus berlangsung hingga berkembangnya agama Islam di Jazirah Arab dan daerah-daerah sekitarnya. Pada jaman Khulafaur Rasyidin, Khalifah Umayyah dan Abbasiyyah jalur perdagangan yang dilalui antara lain Jazirah Arab, Laut Merah, Laut Tengah, Laut Hitam, Laut Kaspia, Sungai Volga, Laut Arab, Teluk Aden, Samudrq Hindia, Jazirah India, Semenanjung Malaka, Indonesia dan Filipina. 

Orang Arab telah mendirikan pemukiman dalam berbagai daerah pantai di India. Penduduk campuran dalam umat Islam tumbuh dalam berbagai pelabuhan sebagai hasil perkawinan campuran dengan wanita setempat. Kemudian dari pusat-pusat tersebut para saudagar itu merantau ke Indonesia. Mereka berperan ganda sebagai pedagang dan mubaligh. Dari sanalah berangsur-angsur timbullah kerajaan-kerajaan Islam yang kecil sepanjang pantai Utara jawa seperti Jepara, Demak, Tuban, dan Gresik. Bertalian dengan timbulnya kerajaan-kerajaan itu catatan Tome' Pires antara tahun 1512-1513 dikutip oleh R. R. Di Meglio, menyatakan: "Pada jaman penyembah berhala hidup di pantai-pantai Jawa, banyak pedagang Persia, Arab, dan Gujarati datang ke tempat-tempat itu. Mereka mulai menjadi kaya dan makin bertambah jumlahnya, sedangkan anak-anak lelaki mereka telah menjadi orang Jawa dan makmur hidupnya, setelah tinggal di bandar-bandar tersebut lebih dari 70 tahun. Dalam beberapa tempat para pengusaha Jawa penyembah berhala masuk Islam, dan disana para saudagar dan Mohalla (mullah)nya mengambil alih kekuasaan dari mereka, serta memerintah sebegai penggantinya. Dengan demikian mereka telah berhasil memperoleh kekuasaan tunggal atas perdagangannya di Jawa. 

Jadi ketika datang Portugis dan Belanda datang ke Nusantara akhir abad XVI, awalnya untuk kepentingan perdagangan terutama rempah-rempah lalu berakhir dengan upaya monopoli dan terus mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam satu persatu, hingga akhirnya semuanya jatuh kedalam kekuasaan penjajah Barat hingga abad XIX. Tak terbayangkan bagaimana reaksi para ulama, umat Islam dan para petinggi kerajaan-kerajaan Islam pada masa itu terhadap masuknya penjajahan Eropa. 

Kaum muslim pada masa lalu menyerukan jihad fii sabilillah, menguatkan aqidah kaum muslimin pada peran ulamanya untuk memotivasi mereka berjuang mempertahankan wilayahnya dari penjajahan. Maka tidak heran jika kita kenal Raden Patah yang melakukan perlawanan terhadap Portugis yang menduduki Malaka melalui  Pangeran Sabrang Lor (Pangeran Surya)  pada tahun 1511. Dilanjutkan Pati Unus, yang hanya berkuasa 3 tahun namun gugur saat menghadapi pasukan Portugis di Malaka tahun 1521. Berlanjut  estafetnya kepada Sultan Trenggana sebagai Sultan Denak ke 3. Ditangannya berhasil membawa Demak kepada kejayaannya hingga meluas sampai ke Tuban, Purwodadi, Madiun, Blora, Surabaya, Lamongan, Gunung Penanggungan dan Blambangan. Karena kekuatan militernya sangat tangguh, pada tahun 1527 Kesultanan Demak berhasil merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran dan mengusir pasukan Portugis yang mendarat disana. 

Perjuangan berlanjut dalam mengusir penjajah. Berbeda masa, beda generasi tapi yang diperjuangkan sama, yaitu melawan penjajahan, imperialisme. 

Sebutlah Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, KH. Hasyim Asy'ari, KH. Ahmad Dahlan, dan masih banyak lagi. Para ulama ini memiliki peran besar juga dalam dakwah juga untuk mengusir penjajahan. 

Sebutlah salah satunya, KH Hasyim Asyari. Peran aktifnya dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan menggagas berdirinya Tentara Sukarela Muslimin di Jawa yang dikenal dengan sebutan Hizbullah. Hizbullah menjadi salah satu tentara rakyat yang berkontribusi besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan.

Diantara banyak ulama ini membentuk laskar-laskar rakyat untuk mendapatkan pelatihan militer dan memanggul senjata, seperti Hizbullah, Sabilillah, Mujahidin, dan lain-lain. Hampir semua pertempuran melawan penjajah dipengaruhi oleh fatwa jihad, termasuk pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, yang dikenang sebagai Hari Pahlawan. Keberhasilan pertempuran ini tidak lepas dari Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 di Surabaya. 

Masih banyak lagi kisah perjuangan para ulama dan perannya dalam kemerdekaan. Mereka berjuang dengan keringat dan darah, tanpa kompromi dengan penjajah imperialis demi menjaga wilayah dan umat. 

Tapi, apa yang dirasa saat ini sangat jauh dari perjuangan ulama pada masa lalu. Ulama masa kini, justru bisa berpelukan dengan penjajah atas nama toleransi, moderasi bahkan investasi. 
Didudukannya ulama dikursi kekuasaan tak sedikit justru menjadi legalitas penjajahan masuk melalu politik, ekonomi, sosial meski tanpa perang fisik. 

Ulama hari ini, terjebak dengan kekuasaan, perebutan kursi, bahkan dengan sedikit iming-iming pengelolaan tambang saja seakan makin memalingkan dari perjuangan ulama yang seharusnya. Bahkan tak sedikit ulama justru dijadikan tameng penguasa kapitalis, untuk makin brutal menjarah kekayaan negeri ini, meracuni umat dengan liberalisme, bahkan hanya dijadikan sebagai kelompok pendulang suara pemilu saja banyak ulama yang tak menyadari strategi penjajah gaya baru ini. 
Miris dan tragis, nasib pembelokan perjuangan para ulama telah terkikis dengan nilai sekuler yang makin parah menjangkiti umat ini. 

Padahal ulama sejatinya adalah penjaga ilmu, penjaga syariat, pemberi nasehat bagi penguasa bukan justru menjadi alat legitimasi penjajahan.

الْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ 

Artinya, “Ulama adalah ahli waris para nabi." (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

أَقْرَبُ النَّاسِ مِنْ دَرَجَةِ النُّبُوَّةِ أَهْلُ العِلْمِ وَالْجِهَادِ، أَمَّا أَهْلُ الْعِلْمِ فَدَلُّوْا النَّاسَ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الرُسُلُ وأَمَّا أَهْلُ الجِهَادِ يُجَاهِدُوْنَ بِأَسْيَافِهِمْ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الرُسُلُ


Artinya, “Orang paling dekat dengan derajat kenabian adalah ulama dan pejuang. Ulama memberikan petunjuk kepada manusia atas ajaran yang dibawa para rasul. Sedangkan pejuang berjihad dengan senjata mereka atas ajaran yang dibawa para rasul,” (HR Ad Dailami)

Seharusnya ulama masa kini kembali kepada khithohnya sebagai penerus para nabi, melanjutkan dakwah penerapan Islam kaffah dan memenangkan agama ini atas penjajahan Barat kafir yang telah nyata merusak tatanan di muka bumi.
Jika estafet perjuangan para ulama hari ini telah berpindah kepada kita, kaum muda penerus generasi waratsatul anbiya', lalu langkah perjuangan ini harus mensucikan pemikiran Islam dari segala bentuk tacun pemikiran dan tsaqofah, kaum muda hari ini memiliki andil dalam menyelamatkan umat dari belenggu sekulerisme, kapitalisme dan Demokrasi. 
Perjuangan umat Islam tak pernah sepi dari darah dan keringat para pejuang yang terus menerima estafet perjuangan hingga mereka mati atau agama ini dimenangkan.