Sabtu, 27 Maret 2021

Mewaspadai Pergerakan Kaum Gender dalam APE

Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamuji mengikuti verifikasi lapangan penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) Tahun 2020 yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Senin (22/3/2021).

Verifikasi lapangan ini bertujuan untuk mendapatkan data lebih dalam, serta informasi pengakuan gender berdasarkan pengisian formulir evaluasi. Sehingga verifikator mendapatkan data yang lengkap dan komperhensif sebagai dasar pertimbangan menominasikan calon penerima Anugerah Parahita Ekapraya.

Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamuji dalam sambutannya menjelaskan, penghargaan APE bukanlah tujuan akhir. Lebih dari itu, Pemkab Cilacap terus berupaya mewujudkan masyarakat yang sejahtera secara merata, sesuai dengan kebijakan Bangga Mbangun Desa yang tertuang dalam RPJMD 2017 – 2022.

“Jadi tujuan akhirnya adalah bagaimana kita meningkatkan sumberdaya manusia khususnya gender”, kata Bupati Cilacap. Seperti diakui bupati.bahwa Pemkab Cilacap memiliki komitmen tinggi terhadap pengarusutamaan gender. Hal ini dibuktikan dengan hasil Produk hukum PUG di Kabupaten Cilacap berupa 16 Perda, 18 Peraturan Bupati dan 5 Keputusan Bupati. Juga ada 9 kerangka Kebijakan pemkab sebagai perwujudan kesetaraan dan keadilan gender di berbagai bidang. Yakni program peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan, peningkatan kualitas keluarga, pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak, Program sistem data gender anak, dan pengendalian penduduk. Kemudian penyiapan tenaga pendamping kelompok bina keluarga, pengembangan pusat pelayanan informasi dan konseling KRR, pendidikan non formal, serta pelayanan kesehatan penduduk miskin.

 Sebagai informasi, pada 2018 lalu Kabupaten Cilacap berhasil mendapatkan Anugerah APE Kategori Madya dan sebagai KLA (Kota Layak Anak) . Pemkab juga memiliki inovasi yang dilakukan oleh OPD dan bekerjasama dengan swasta, Kampung KB Gadis, Rindu Keluarga, Bank sampah mandiri dan dengan pertamina melakukan pelatihan kepada ibu-ibu dan dengan Gender Champion. 

Apakah APE? 

APE merupakan penghargaan yang diberikan kepada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang dinilai telah berkomitmen dalam pencapaian dan perwujudan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak, serta memenuhi kebutuhan anak. Penghargaan ini sebagai bentuk pengakuan atas komitmen dan peran para pimpinan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam Strategi Pengarusutamaan Gender (PUG). Atas dasar inilah Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI menyampaikan penghargaan sejak tahun 2004 yang disebut “Anugerah Parahita Ekapraya” (APE).

Empat Kategori Penerima Anugerah Parahita Ekapraya (APE) :
1. Tingkat Pratama (Pemula)
2. Tingkat Madya (Pengembang)
3. Tingkat Utama (Peletakan dasar dan Keberlanjutan).
4. Mentor

Anugerah Parahita Ekapraya (APE) dinilai dari 7 (Tujuh) Komponen kunci, terdiri dari:
1. Komitmen (Perda PUG, Pergub PUG)
2. Kebijakan (RPJMD, Renstra OPD)
3. Kelembagaan (POKJA PUG, Focal POINT)
4. Sumber Daya Manusia dan Anggaran (SDM Terlatih PPRG dan Jumlah Anggaran Provinsi Responsif Gender)
5. Alat Analisis Gender (Gender Analisis Pathway (GAP) dan Gender Budgeting Statement (GBS)
6. Data Gender (Data Terpilah Perempuan dan Laki terkait berbagai hal dalam NTB satu Data )
7. Partisipasi Masyarakat (PUSPA : Partisipasi Publik Untuk Kesejahteraan Perempuan Dan Anak, anggotanya : Lembaga Masyarakat, Dunia Usaha dan Media)


Memainkan Peran Feminis dalam Negara Liberal

Mereka mendefinisikan gender berbeda dengan jenis kelamin karena menurut mereka gender adalah konsep yang mengacu pada pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang dibentuk atau dikonstruksikan oleh masyarakat dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Beragam stereotype terhadap perempuan dan laki-laki yang berkembang di masyarakat seperti laki-laki dikenal lebih rasional, kuat, agresif dan tegas sedangkan wanita bersifat Emosional, Ragu-ragu, Pasif, Lemah.

Mereka melihat bahwa Pengarusutamaan Gender (PUG) bukanlah suatu program atau kegiatan melainkan suatu strategi, strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program dan kegiatan pembangunan untuk mencapai suatu keadilan gender sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.

Tujuan dari program PUG adalah memastikan seluruh kebijakan, program dan kegiatan telah setara dan adil bagi laki-laki, perempuan, anak, penyandang disabilitas, lansia dan kelompok rentan lainnya. Untuk memastikan adanya keberlanjutan, pelestarian dan pengembangan Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan berkelanjutan maka perlu memastikan terpenuhinya Tujuh Variabel/Komponen PUG. 

Karena APE dianggap merupakan penghargaan prestisius bagi kabupaten/kota yang peduli dan inovatif dalam penerapan kesetaraan gender,maka berlombalah kepala daerah, lembaga/kementrian, kabupaten/kota saat ini untuk meraihnya dan memenuhi komponennya. Sebagai informasi, ada 9 kementerian/lembaga, 22 pemerintah provinsi, dan 159 kabupaten/kota se-Indonesia yang meraih penghargaan APE 2018. 

Lalu dimana letak kesalahannya?

Sekilas memang seakan tidak ada yang salah dengan PUG. Karena Pengarusutamaan Gender dianggap merupakan strategi pembangunan
pemberdayaan perempuan, implementasinya melalui prinsip kesetaraan
dan keadilan gender harus menjadi dasar dalam setiap kebijakan dalam
pembangunan. 

Dimulai dari dicetuskannya The Universal
declaration of Human Rights ( Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ) oleh
Majelis Umum PBB di tahun 1948 yang kemudian diikuti oleh berbagai
deklarasi serta konvensi lainnya yang dijadikan landasan hukum tentang hak
perempuan yaitu Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan ( Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women ) yang diadopsi oleh majelis Ulama PBB pada
tahun 1979.

Konvensi tersebut disebut juga Konvensi Wanita, atau Konvensi perempuan
atau Konvensi CEDAW ( Committee on the Elimination of Discrimination
Against Women ) selanjutnya hak asasi perempuan yang merupakan hak
asasi manusia kembali di deklarasikan pada konferensi Perserikatan Bangsa
United World Ke-4 tentang Perempuan, yang diselenggarakan di Beijing
(Cina) pada tahun 1995. 

Selanjutnya pada tahun 2000, 189 negara anggota PBB telah
menyepakati tentang Deklarasi Millenium (Millenium Declaration) untuk
melaksanakan Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development
Goals-MDGs) dengan menetapkan target keberhasilannya pada tahun 2015.

Sebagai bagian dari
masyarakat dunia, Indonesia merasa perlu untuk ikut serta melaksanakan komitmen dengan
mendorong upaya pembangunan menuju kesetaraan gender, yang
ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gneder dalam Pembangunan Nasional, dan Permendagri
Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman PUG di Daerah. Dan baru-baru ini diadakan Commission on the Status of Women (CSW) ke-65 telah berlangsung sejak 15—26 Maret 2021 lalu. Sidang CSW merupakan agenda tahunan yang ditujukan untuk memonitor implementasi Beijing Platform from Action (BpfA).

Hal ini nyata bahwa PUG merupakan strategi yang sengaja diaruskan oleh Barat. Tidak nampak secara jelas arus serangan politisnya yang berbasis gender untuk menyerang ajaran syariat. Akan tetapi jelas ada nilai kontradiksi dari strategisnya pengaruh PUG dalam merambah aspek regulasi. 
Isu strategis yang diangkat sebagai argumentasi:
1. Ide ini jelas menyinggung pada latar belakang adanya diskriminasi yang menimpa perempuan. Sehingga perlu peraturan berbasis gender supaya lebih adil dan bisa setara laki-laki dengan perempuan. Tapi tanpa disadari bajyak pihak bahwa logika semacam ini justru telah sedikit banyak menyerang ajaran agama Islam. Di antara yang seringkali dipermasalahkan adalah soal pembagian warisan, tugas perempuan sebagai ibu rumah tangga dan mengurus keluarga, masa iddah, hak poligami bagi laki-laki, perwalian, pernikahan beda agama, pemimpin perempuan, seputar pakaian wanita, dan lainnya. Semua produk hukum syariat itu mereka perselisihkan. Karena dianggap mendiskriminasi perempuan dalam beraktivitas.
2. Adanya korban kekerasan yang menimpa perempuan dan anak sering menjadi dalil untuk pentingnya aturan berbasis gender. Hal ini secara tidak langsung menyerang hukum seputar nusyuz dan gambaran pendidikan anak dalam Islam diusia pra baligh. Meski tanpa disadari bahwa jika hari ini marak terjadinkekerasan pada anak dan perempuan dikarenakan aturan liberalisme yang diterapkan di negeri ini. 
3. Menyoroti peran publik perempuan dalam hal partisipasi politik dan produktivitasnya. Hal ini akhirnya melahirkan standarisasi 50:50 dalam kekuasaan, mwmberdayakan perempuan sebagai mesin ekonomi yang memiliki peran besar dalam perbaikan ekonomi negara. Akhirnya perempuan beramai-ramai mengambil peran di ranah publik tanpa mempertimbangkan lagi hukum syariat Nya. 
4. Melahirkan aturan yang berbasis gender pada akhirnya harus mengikutsertakan perempuan di dalam ranah politik dan hal ini menimbulkan kontradiksi mengenai peran politik perempuan menurut pandangan Islam. 

Kondisi seperti inilah yang sebenarnya terjadi dan yang sedang diperjuangkan oleh lembaga, kepala daerah dan kabupaten atau kota untuk meraih penghargaan tersebut. Meski sebenarnya ada kesalahan di dalam landasan berpikir berbasis gender ini. Akan tetapi karena negara kita berbasis sekuler maka pengambilan kebijakan akan mengikuti negara pertama. Hal ini menunjukkan ada dikte politik yang terjadi di negeri ini. 


Solusi Membangun Kesejahteraan Hanya dengan Islam Bukan PUG

Tak bisa dipungkiri negara ini mengikuti arahan dari berbagai lembaga dan konferensi dunia atas nama kesamaan gender adalah untuk meraih kesejahteraan rakyatnya. Alih-alih untuk meraih Kesejahteraan Rakyat akan tetapi yang terjadi adalah penjajahan secara pemikiran terhadap umat Islam. Aturan sekuler liberal yang menjadi dasar lahirnya ide kesetaraan gender secara nyata 10 tahun tidak mampu melindungi perempuan dan menyejahterakan nya. Termasuk juga tidak mampu memberikan perlindungan kepada anak secara sempurna hal ini tampak dari berbagai kasus yang menimpa perempuan dan anak senantiasa bertambah dan beragam setiap waktunya. 

Berbeda dengan Islam jika Islam dijadikan sebagai dasar penerapan aturan maka perundangan yang ada di ambil dari wahyu Allah. Di mana aturan syariat menjadi dasar perundangan negara untuk diterapkan Kepada seluruh masyarakat. 

Islam memiliki berbagai mekanisme yang akan menjamin nafkah dan menyejahterakan perempuan dan anak-anaknya, dan tidak membutuhkan adanya kesetaraan gender.bIslam telah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin dalam urusan kekuasaan dan mewajibkannya untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya, laki-laki maupun perempuan.

Islam memiliki aturan yang tegas dalam melindungi semua manusia tidak hanya perempuan dan anak saja. Tidak akan terjadi banyak masalah ketika perempuan ditempatkan sesuai dengan kodratnya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dan mendidik anak-anak. Realita yang ada hari ini telah menjadikan perempuan mengambil peran di luar rumah , dan harus bersinggungan dengan laki-laki.

Berkaitan dengan kiprah perempuan dalam politik tidaklah diartikan bahwa perempuan harus memiliki peran yang sama dalam memimpin jabatan kekuasaan. Menjadikan perempuan sebagai penguasa jelas bertentangan dengan Hadits Rasulullah, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” (HR al-Bukhari, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan Ahmad).

 Narasi “kesejahteraan perempuan hanya akan tercapai jika perempuan menjadi pemimpin dan pengambil keputusan” adalah narasi batil yang menyesatkan. Narasi batil tersebut lahir dari pemikiran sesat yang bersumberkan sekularisme kapitalisme yang mengabaikan aturan Allah dan mengutamakan materi di atas segalanya.

Inilah realita berpikir yang salah di mana menjadikan akal manusia sebagai dasar berpikirnya. Perjalanan panjang negara barat mewujudkan propaganda narasi sesat membuktikan bahwa mereka sangat serius untuk membangun eksistensi mereka di dalam kehidupan umat Islam. Mereka akan terus lanjutkan hegemoni mereka selama obat Islam masih terus Mengikuti alur berpikir yang dikehendaki negara barat. 

Mereka akan menciptakan berbagai macam cara untuk mengkampanyekan strategi berbasis gender demi melanggengkan hegemoni sekuler kapitalis di dunia Islam. Atas dasar inilah seharusnya Kaum muslimin segera menyadari akan kesesatan narasi berbasis gender. Mereka akan terus menggunakan beragam macam cara untuk membungkus ide sesat mereka agar bisa diterima oleh umat Islam. 

Umat Islam memiliki potensi ideologis, yakni ajaran Islam yang sempurna dan siap menjawab tantangan zaman. Umat Islam pun memiliki modal kekayaan alam dan sumber daya manusia berkualitas untuk mewujudkan kesejahteraan.

Sayangnya, amanah Allah ini tak dikelola secara baik oleh para penguasa Indonesia dari masa ke masa. Mereka justru tunduk pada kemauan asing dan berselingkuh dengan para kapitalis hingga membuat negara tergadai dan rakyatnya jatuh miskin.

Oleh karena itu, mempertahankan kapitalisme sebagai sistem hidup dan membiarkan para penjaganya tetap berkuasa tentu bukanlah pilihan logis. Bukan hanya kaum perempuan yang akan tetap terhinakan dan menjadi korban kebusukan kapitalisme, tapi umat secara keseluruhan.

Kaum perempuan bahkan akan selalu berada dalam kondisi dilematis dalam menjalankan peran-peran mereka. Padahal, Allah SWT telah tetapkan kedudukan mereka dalam posisi yang mulia sebagai ummu wa Rabbatul Bait, ibu dan pengatur rumah tangga, penyangga kemuliaan generasi umat, dan arsitek peradaban Islam di masa depan.

Sudah saatnya umat negeri ini sadar, bahwa jalan terbaik adalah kembali ke jalan Islam. Jalan yang menjanjikan kemuliaan manusia sebagai individu maupun umat, melalui penerapan aturan Islam secara kafah dalam wadah Khilafah Islamiyah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar