Senin, 19 Agustus 2019

MERAYAKAN CENGEKERAMAN IMPERIALISME

By. Deu Ghoida

Perayaan kemerdekaan selalu dimaknai sebagai bentuk syukur atas terbebasnya penjajahan secara fisik. Hingga pada akhirnya beragam macam seremonial pun dilakukan meski terkadang tidak nyambung dengan esensi kemerdekaan tersebut.

Masyarakat sering kali merayakan kemerdekaan hanya sekedar rutinitas seremonial dan hiburan semata. Hal ini dinilai sebagian pihak kurang melakukan penjiwaan terhadap negerinya. Bagaimana tidak, negeri ini memang tidak dijajah lagi oleh Jepang, Inggris, Belanda dengan senjata. Akan tetapi faktanya deklarasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, menjadi pintu masuk penjajahan gaya baru. Penjajah tak lagi membawa senjata untuk melakukan pendudukan. Mereka hanya butuh ruang konferensi dan pengiriman delegasi serta secarik kertas untuk bisa menguasai negeri ini.

Hal ini nampak dari dominannya penguasaan asing terhadap sumber daya alam negeri ini, juga makin bertambahnya hutang hingga lebih dari Rp 5.000 T. Pemerintah membuka akses investasi sebesar-besarnya kepada asing dan tidak menghiraukan lagi bagaimana nasib jangka panjang anak bangsanya. 1 kali periode penguasa di negeri ini meneken kontrak yang lamanya puluhan tahun. Lalu siapa lagi yang akan menanggung kalau bukan rakyat negeri ini?

Oleh karenanya merayakan kemerdekaan seharusnya dibarengi dengan berpikir mendalam. Apa benar negeri ini telah merdeka atau perayaan kemerdekaan justru bisa jadi sebagai upaya meninabobokan masyarakat agar tidak kritis terhadap dominasi imperialisme?

Merdeka Hakiki Lepas dari Dominasi Manusia

Yang seharusnya patut dirayakan oleh seorang muslim adalah ketika dirinya mampu berlepas diri dari penghambaan kepada makhluk. Jika dikembalikan misi penciptaan maka akan kita temui bahwa tujuan manusia di muka bumi adalah untuk beribadah. Terbebasnya seorang muslim dari penghambaan kepada selain Allah dan keridhaannya berhukum hanya kepada hukum Allah merupakan esensi dari kemerdekaan yang sesungguhnya.

Bagi seorang muslim, Allah adalah ahkamul hakimin alias sebaik-baik pemberi ketetapan hukum. , “Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8).

Oleh sebab itu ciri orang yang beriman adalah yang patuh kepada ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman, “Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

Imam Ibnu Katsir rahimahullahmenafsirkan ayat di atas, “Ayat ini bersifat umum mencakup segala permasalahan. Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan hukum atas suatu perkara, maka tidak boleh bagi seorang pun untuk menyelisihinya dan tidak ada lagi alternatif lain bagi siapapun dalam hal ini, tidak ada lagi pendapat atau ucapan -yang benar- selain itu.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [6/423] cet. Dar Thaibah)

Jadi sebenarnya tak layak menjadikan selain hukum Allah sebagai aturan yang mengatur hidup kita. Lalu bagaimana realitasnya jika yang mengatur justru negara kafir yang memberi hutang?

Allah ta’ala berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim/pemutus perkara dalam segala permasalahan yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam diri mereka, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65)

Kemudian dalam ayat lain, Allah ta’ala juga dengan tegas menyebutkan bahwa orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah adalah kafir. Firman-Nya:

“Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah :44)

Jelas sekali ada ancaman dan celaan Allah atas keridhoan kita atas berhukum pada selain hukum Allah. Perayaan kemerdekaan janganlah sampai dijadikan sebagai ceremonial perayaan dan simbolisme kebahagiaan atas dominasi kekufuran.

Tak pantas seorang muslim melakukan perbuatan tanpa melihat dasarnya dalam Islam. Konspirasi kebathilan telah diagendakan di tengah umat yang selalu disibukkan pada urusan duniawi. Kapitalisme menjerat umat pada kemiskinan, memandulkan pemikirannya hingga tumpul melihat realitas dengan jelas. Bahkan tak sedikit yang justru menjadi pembela hegemoni kekufuran imperialisme Barat atas nama nasionalisme. Miris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar