Minggu, 06 Maret 2016

Hukum Seputar Gambar dan Patung

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya menggambar makhluk bernyawa dan memanfaatkan gambar tersebut?

 

Jawab :                   

Sebelumnya perlu dijelaskan dulu dua istilah fiqih yang terkait hukum gambar atau patung. Pertama, istilah tashwiir, yang berarti perbuatan membuat bentuk sesuatu (rasm shuurah al syai`). Perbuatan yang disebut tashwiir ini tak terbatas membuat bentuk sesuatu yang mempunyai dua dimensi (tak mempunyai bayangan) seperti membuat lukisan, melainkan termasuk juga yang mempunyai tiga dimensi (mempunyai bayangan), seperti membuat patung. Istilah tashwiir juga mencakup pula mengukir/menatah/memahat (Arab : an naht). Namun istilah tashwiir tak mencakup fotografi. Kedua, istilahshuurah (jamaknya shuwar), yang berarti benda hasil dari perbuatan tashwiir, yang tak terbatas pada pengertian “gambar” (dua dimensi), melainkan juga termasuk “patung” (Arab : timtsaal) yang mempunyai tiga dimensi. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakshiyyah Al Islamiyyah, 2/349; Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 100; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 12/92-93).

Hukum tashwiir dengan objek makhluk yang bernyawa, seperti manusia atau binatang, yang paling rajih (kuat) adalah haram, baik tashwiir dalam arti membuat patung, maupun dalam arti menggambar, baik objeknya utuh yang memungkinkan hidup, maupun tak utuh yang tak memungkinkan hidup (misal hanya tubuh tanpa kepala). Semuanya haram hukumnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari madzhab Hanafi, Hambali, dan Syafi’i. Pendapat inilah yang dianggap paling rajih oleh Imam Taqiyuddin An Nabhani, radhiyallahu ‘anhu. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakshiyyah Al Islamiyyah, 2/349; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 12/102).

 

Dalil keharamannya, adalah keumuman nash-nash hadits yang telah mengharamkan tashwiir. Di antaranya dari Ibnu Abbas RA, bahwa Nabi SAW bersabda,”Barangsiapa yang membuat gambar/patung (shuurah), maka Allah akan mengazabnya hingga orang itu mampu meniupkan ruh (nyawa) ke dalam gambar/patung itu, padahal dia tak akan mampu meniupkan ruh selama-lamanya.” (HR Bukhari, no. 2112 & 5618).

 

Dikecualikan dari haramnya tashwiir ini, adalah membuat boneka untuk anak-anak, karena terdapat hadits-hadits shahih yang membolehkannya. Dari ‘A`isyah RA dia berkata, “Dulu aku pernah bermain boneka-boneka berbentuk anak perempuan di dekat Nabi SAW, waktu itu aku punya beberapa teman perempuan yang suka bermain-main denganku.” (HR Bukhari no. 5779 & Muslim no. 2440)

 

Adapun meletakkan gambar dengan objek bernyawa, hukumnya sbb :

Pertama, jika diletakkan di tempat ibadah, misalnya menjadi sajadah untuk sholat, atau dijadikan tirai masjid, atau ditempel di papan pengumuman masjid, hukumnya haram. Dalilnya hadits Ibnu Abbas RA bahwa Nabi pernah tak mau masuk ke Ka’bah hingga beliau memerintahkan menghapus gambar-gambar dua dimensi (shuwar) pada Ka’bah. (HR Bukhari no. 3174; Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakshiyyah Al Islamiyyah, 2/350).

Kedua, jika tak diletakkan di tempat ibadah, misalnya di rumah atau kantor, maka ada rinciannya :

(1) hukumnya makruh, jika diletakkan di tempat terhormat, misalnya dijadikan gordin, ditempel di dinding, terdapat di baju (seperti batik). Dalilnya, ada larangan Nabi SAW karena beliau pernah mencabut tirai rumah bergambar yang dipasang ‘A`isyah RA. (HR Muslim no 2107). Namun larangan itu takjazim/tegas, atau hukumnya makruh, karena malaikat tetap masuk ke dalam rumah yang ada gambarnya (dua dimensi), sesuai sabda Nabi SAW, “Malaikat tak akan masuk ke dalam rumah yang ada anjingnya atau patungnya,” lalu dalam hadits itu Nabi SAW mengatakan,”Kecuali gambar yang ada pada kain.” (HR Muslim no 2106).

(2) hukumnya mubah jika diletakkan di tempat tak terhormat, misalnya dijadikan keset, sarung bantal, sprei, dsb. Dalilnya hadits ‘A`isyah RA bahwa dia memasang tirai yang ada gambarnya, lalu Nabi SAW masuk rumah dan mencabut tirai itu. ‘A`isyah berkata,’Lalu aku jadikan tirai itu dua bantal dan Nabi bersandar pada keduanya.” (HR Muslim no 2107). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakshiyyah Al Islamiyyah, 2/353-355). Wallahu a’lam.[] M Shiddiq al-Jawi

Jumat, 04 Maret 2016

Refleksi Diri

Simplifikasi tidak perlu emosi.

Banyaknya media sosial dengan beragam aplikasi saat ini secara tidak langsung melahirkan para penulis, pujangga bahkan politisi dadakan.

Segala hal,baik rasa, karya bahkan tangisan semua bernada tulisan yang kerap memenuhi layar kaca smartphone kita. Tanpa bisa dipahami terkadang, kenapa bisa dengan mudahnya seseorang membagi semua perasaan, pikiran bahkan kemarahanya di aplikasi yang bisa diakses semua orang.

Meski demikian, tidak ada yang salah jika kita memikirkan dan mengkaitkannya dengan hak individu. Yang pasti sebenarnya apakah perlu semua itu dilakukan?
Terbuka.
Menjadi diri mampu dibaca lalu dimengerti orang lain, mungkin baik. Tapi realita kita hidup saat ini, tak berlebihan kan saya katakan bahwa kita bisa diawasi bahkan oleh penjahat sekalipun. Berapa banyak kasus kriminal diawali dari media sosial? Hoho ...tak terhitung.
Berlepas dari benar atau salahnya setiap status, membuka segala informasi pribadi pada orang lain baik asing atau tidak tidaklah hal yang baik. Itu tidak tepat. Bahkan jika kita sedekah saja sebaiknya tangan kiri tidak mengetahuinya dari tangan kanan..betul kan?

Menjadi pribadi yang proporsional tanpa harus menjadi superspesial meski beragam cara menjadi legal jauh lebih baik.
Tidak ada manusia yang sempurna. Begitulah adanya.
Tapi karena manusia merasa belum sempurna maka dia tidak akan berhenti meraih upaya menuju kesempurnaan. Tanpa banyak umbar kekuatan, seorang penulis cukup eksis hanya dengan karyanya. Tanpa umbar senyum seorang ibu akan meraih sukses jika anaknya mampu membawakan kebahagiaan akhirat untuknya.  Tanpa umbar nilai seorang guru cerdas membuktikannya pada anak didiknya. Begitu pula seharusnya kita. Tanpa kata, prestasi seharusnya sudah mampu dibaca, tanpa suara kebahagiaan itu seharusnya sudah mampu terdengar. Tanpa tangis seharusnya air mata itu sudah meredam. Tanpa kata, kekuatan akhirnya teralur tanpa menciptakan riak gaduh cemoohan.

Hidup itu sederhana. Tinggal jalani, ujian diselesaikan, aturan dipakai dan kelemahan diakui, kekuatan disyukuri.
Simplifikasi masalah bukan berarti meningggalkan sisi kekuatan agar masalah selesai dengan sendirinya. Bukan berarti menganggap enteg setiap laku dan sikap penyelesaian.
Makanya simplifikasi masalah pakai otak bukan dengan emosi.

#RefleksiDiri