Sebelum meraih kemerdekaan, Bangsa ini pernah dijajah sejumlah bangsa. Meski ada perbedaan diantara sejarawan tentang waktu masa penjajahan, tapiii realita yang dihadapi bangsa ini sangatlah panjang menghadapi silih bergantinya penjajahan. Entah berapa banyak darah dan air mata tertumpah demi membebaskan diri dari penjajahan.
Dalam literasi sejarah, ditemukan ada 6 negara yang pernah menjajah Indonesia. Sebutlah Portugis, bangsa Eropa pertama yang datang ke wilayah Asia melakukan perdagangan. Pada tahun 1511, bangsa Portugis memasuki wilayah perairan Indonesia, karena laut bagi mereka merupakan kekuatan utamanya, sehingga sejak abad ke 15 Portugis mulai mengembangkan teknologi maritim, bahkan pelaut Portugis sudah menggunakan kompas dan perta portolan untuk mengarungi lautan. Kemajuan armada laut Portugis tersebut didukung dengan adanya sekolah navigasi yang didirikan oleh Henry "The Navigator". Di sekolah ini diajarkan tentang kartografi bagi para pelaut Portugis. Armada Portugis datang ke Asia menggunakan kapal dagang besar (Nao). Kapal tersebut dilengkapi dengan tentara, senjata ringan (senapan), dan senjata berat (meriam). Portugis mengendalikan perdagangan di Asia Tenggara dibawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Portugis bergerak menuju negara yang kaya akan hasil laut dan rempah-rempah. Hingga di tahun 1511, sampailah bangsa Portugis pertama kali mendarat di Indonesia, tepatnya di daerah Malaka. Dalam penguasaan Portugis, Malaka menjadinpusat perdagangan paling ramai di Asia.
Disebutkan dalam buku Suma Oriental yang ditulis oleh pegawai Portugis, Tome Pires, tidak ada pusat perdagangan yang lebih besar dari Malaka. Malaka juga menjadi tempat komoditas utama dari seluruh dunia timur dan barat. Tome Pires mengatakan bahwa tidak ada tempat lain yang memperdagangkan komoditas dengan halus dan mahal.
Pada tahun 1512, Alfonso de Albuquerque mengirimkan armadanya ke Maluku. Armada tersebut membangun monopoli perdagangan cengkeh. Cengkeh dari Indonesia Timur merupakan komoditi yang paling berharga. Armada pertama mendarat di Pulau Banda, Maluku. Pulau tersebut merupakan pusat penghasil pala dan selaput buah pala atau sering disebut fuli.
Dalam rangka memperbesar usaha dagang, Portugis berupaya memperluas wilayah kekuasaannya. Mereka kemudian menguasai Selat Sunda. Pada tahun 1522, Portugis dan Raja Sunda, Sang Hyang Prabu Surawisesa, melakukan kesepakatan perjanjian kerjasama.
Melalui kesepakatan tersebut, bangsa Portugis diizinkan untuk mendirikan benteng di daerah yang disebut "Kepala" dengan syarat memberikan perlindungan kepada Kerajaan Sunda dari kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Pada kenyataannya, benteng tersebut tidak pernah dibangun. Pada tahun 1526, armada Portugis yang saat itu dipimpin oleh Fransisco de Saa dihantam topan. Beberapa dari mereka yang sempat selamat kemudian mendarat di Sunda Kepala, namun dibunuh oleh Pasukan Cirebon.
Pada akhir abad ke-16, Portugis mulai kehilangan kekuasaannya di Indonesia. Mereka secara bertahap tergusur oleh Belanda dan kesultanan-kesultanan lokal yang bersekutu untuk mengusir penjajah. Benteng-benteng Portugis di berbagai wilayah dikepung dan direbut oleh kekuatan-kekuatan lain.
Setelah kedatangan Portugis dan sebelum kedatangan Belanda, Indonesia juga pernah didatangi bangsa Spanyol. Meski Spanyol tak sempat menguasai kerajaan-kerajaan Nusantara. Di Indonesia, Spanyol hanya sempat bersaing dengan Portugis di Maluku.Bahkan, Spanyol sebenarnya telah berlayar lebih dulu dibanding Portugis. Namun pelayar Spanyol yang termahsyur, Christopher Columbus, tidak berhasil menemukan 'Kepulauan rempah-rempah'.
Columbus hanya sampai ke benua Amerika. Meski sebuah keberhasilan besar, Spanyol belum berhasil menemukan kepulauan rempah-rempah yang dimaksud. Maka Spanyol kembali menggelar ekspedisi di bawah pimpinan Fernando de Magelhaens atau Ferdinand Magellan dengan kapten kapal Sebastian del Cano.
Dikutip dari Sejarah Indonesia: Masuknya Islam Hingga Kolonialisme (2020), pada 7 April 1521, Magellan dan awaknya tiba di Pulau Cebu, Filipina.
Ia diterima baik oleh Raja Cebu, sebab saat itu Cebu sedang bermusuhan dengan Mactan. Namun Magellan terbunuh oleh Mactan di Filipina sehingga ekspedisi dilanjutkan del Cano.
Di bawah kepemimpinan del Cano, rombongan Spanyol akhirnya tiba di Tidore. Kerajaan Tidore menyambut baik kedatangan Spanyol. Mereka menjadikan Spanyol sebagai sekutu. Saat itu, Tidore tengah bermusuhan dengan Portugis yang bersekutu dengan Ternate.
Kedatangan Spanyol menjadi ancaman bagi Portugis. Sebab saat itu Portugis memonopoli perdagangan di Maluku.
Portugis dan Spanyol pun bersaing dengan memanfaatkan permusuhan kerajaan lokal.
Pada 22 April 1529, keduanya bersepakat lewat Perjanjian Saragosa. Perjanjian Saragosa berisi:
Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan kegiatannya di Filipina
Portugis tetap melakukan aktivitas perdagangan di Maluku.
Spanyol dibantu Tidore, sempat berperang melawan Portugis yang dibantu Ternate.
Namun Spanyol akhirnya angkat kaki dan Portugis kembali memonopoli perdagangan di Maluku.
Penjajahan Portugis berakhir setelah Belanda datang ke Indonesia yaitu pada tahun 1602.
Penjajahan selanjutnya adalah Belanda. Ada beberapa pendapat para sejarawan mengenai berapa lama Belanda menjajah Indonesia.
Pendapat pertama menyebut bahwa Indonesia dijajah Belanda sekitar 50 tahun. Ini disampaikan oleh GJ Resink, ahli hukum internasional berdarah Belanda-Indonesia.
Jika Indonesia dijajah selama 350 tahun sebelum merdeka, berarti Belanda mulai menjajah sejak 1595. Padahal dalam catatan sejarah, orang Belanda pertama kali menginjakkan kakinya di Indonesia pada 1596.
Ialah Cornelis de Houtman yang kala itu mendarat di Banten. Saat itu, kedatangannya diketahui bukan untuk menjajah melainkan dengan tujuan berdagang. Berdasarkan fakta sejarah lain, Belanda memang sedang menjajah suatu bangsa pada 1596 tetapi bukan Indonesia.
Di sisi lain, nama 'Indonesia' baru digaungkan pada 1850. Sebelumnya, negara ini dikenal dengan 'Nusantara'. Sebutan Nusantara merujuk pada sebuah wilayah yang di antara daerah satu dan lainnya bersifat tidak mengikat.
Menurut pendapat sejarawan, apabila suatu daerah di Nusantara kala itu dijajah, maka wilayah lainnya belum tentu terjajah alias berstatus merdeka. Sehingga tak bisa dikatakan kalau wilayah Nusantara ditaklukkan penjajah karena tidak memiliki ikatan tersebut antara tiap-tiap daerahnya.
Demikian menurut Resink, narasi Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun lamanya merupakan sebuah generalisasi sejarah yang dibuat-buat. Generalisasi ini diolah berdasarkan gambaran penjajahan seluruh Nusantara selama tiga abad atau lebih lama lagi.
Resink berpendapat secara fakta Indonesia dijajah sekitar 40-50 tahun saja. Perhitungannya dimulai setelah Aceh dipaksa menandatangani plakat pendek pada 1904. Plakat tersebut menyatakan bahwa Aceh mengakui kedaulatan Hindia Belanda dan wilayah Aceh merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda.
Pandangan kedua diungkap oleh tiga sejarawan Indonesia, yakni Dr Lilie Suratminto, MA dari Universitas Indonesia, Dr Sri Margana dari Universitas Gajah Mada, dan Bonnie Triyana selaku Pemred Majalah Historia.
Ketiganya berpendapat bahwa Indonesia tidak dijajah Belanda selama 350 tahun. Menurut Dr Sri Margana, waktu penjajahan Belanda dapat dihitung sejak VOC dinyatakan bangkrut dan diambil alih pemerintah Belanda pada 1800.
Ketika VOC berkuasa pada 1602-1800, diketahui itu bukan masa penjajahan melainkan kapitalisme karena kekuasaan VOC mengemban misi dagang. Pada kala itu juga, tidak semua wilayah Indonesia ditaklukkan Belanda. Jadi tidak dapat dihitung keseluruhan karena Aceh baru diduduki pada 1901.
Sementara Dr Lilie Suratminto menjelaskan bahwa yang disebut masa kolonial itu berarti penjajah telah mendirikan pemerintahan, lengkap dengan undang-undang, aparat hukum, serta angkatan bersenjatanya. Dan masa kolonial Belanda terjadi dari tahun 1800 hingga 1942,terjadi hanya 142 tahun. Meski menurutnya di sela-sela Belanda ada masa Perancis dan masa Inggris. Belanda sendiri cuma 126 tahun sampai tahun 1942. Sejak tahun 1800-1811 itu masa Prancis, dan 1811-1816 itu masa Inggris. Belanda kolonial murni terjadi tahun 1816-1942. Tapi keseluruhan masa telah berlangsung jaman kolonial dari tahun 1800-1942.
Perihal Belanda menjajah Indonesia yang dinarasikan selama 350 tahun karena para politikus pada zaman itu hendak menyulut api semangat rakyat. Demikian agar rakyat marah dan ingin bergerak melawan penjajah.
Belanda pertama kali menginjakkan kaki di tanah Nusantara pada abad ke 16. Namun masa penjajahan Belanda tidak dimulai saat itu.
Pada abad 18, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mengklaim diri sebagai kekuatan politik dan ekonomi di Pulau Jawa setelah Kesultanan Mataram runtuh. Tapi karena manajemen yang buruk serta bersaing ketat dengan Inggris, VOC runtuh menjelang akhir abad 18. Hingga pada 1796, VOC bangkrut dan dinasionalisasi Belanda.
Ada dua tokoh yang dikenal sebagai arsitek pemerintah Belanda di Indonesia, yaitu Herman Willem Daendels dan Letnan Inggris Stamford Raffles. Daendels mengatur pemerintahan pusat hingga daerah dengan cara membagi Pulau Jawa ke berbagai distrik di bawah pimpinan pegawai negeri sipil Eropa.
Sedangkan, Raffles yang menjabat setelah Daendels melanjutkan reorganisasi sang pendahulu. Ia mereformasi polisi, sistem administrasi, hingga pengadilan di Jawa. Raffles juga mengenalkan pajak tanah dimana petani Jawa harus membayar pajak sekitar 2/5 dari panen tahunan.
Sistem pemerintahan Belanda di Jawa merupakan sistem yang langsung maupun dualistik. Selain hierarki Belanda, hierarki juga berlaku di saat yang sama untuk menjadi perantara antara petani Jawa dan layanan sipil Eropa.Struktur atas hierarki pribumi terdiri dari aristokrasi Jawa,yang sebelumya merupakan pejabat pengelola kerajaan Mataram. Namun, kekuasaan penjajah membuat priyayi tersebut dengan terpaksa menuruti keinginan Belanda.
Kekuasaan Belanda di Indonesia pada abad 18 hingga abad 19 tak berlangsung penuh.
Perebutan kekuasaan di Eropa membuat Belanda sempat berada di bawah penjajahan Perancis karena peperangan Napoleon. Dikutip dari Sejarah Indonesia Modern (2016) karangan MC Ricklefs, menjelang akhir abad 18, VOC mengalami kemunduran.
Korupsi dan perang terus-menerus di berbagai daerah di Nusantara membuat VOC mengalami krisis keuangan.
Di Eropa, pada Desember 1794 hingga Januari 1795, Perancis menyerbu Belanda.Di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte, Perancis berhasil menguasai Belanda. Ia kemudian membentuk pemerintahan boneka.
Pada tahun 1796, De Heeren XVII yang mengatur operasi VOC di Indonesia dibubarkan.
De Heeren XVII digantikan dengan komite baru. Tak lama, pada 1 Januari 1800, VOC dibubarkan.
Operasional VOC di Nusantara diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda.
Napoleon Bonaparte mengangkat adiknya, Louis Napoleon sebagai penguasa di Belanda pada tahun 1806.
Kemudian pada 1808, Louis mengirim Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia.
Selama tiga tahun yakni dari 1808-1811, Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.Di masa kepemimpinan Daendels, rakyat dan penguasa-penguasa setempat diperlakukan dengan sewenang-wenang.
Para raja-raja di Jawa dipaksa mengabdi kepada Belanda.
Kebijakannya yang paling kontroversial, pembangunan jalan dari Anyer hingga Panarukan yang menelan banyak korban.Langkah ini diambil Daendels setelah Belanda mengalami kesulitan keuangan akibat perang melawan Inggris. Berakhirnya masa penjajahan Perancis Willem V dari Belanda berhasil lolos dari serangan Perancis dan melarikan diri ke Inggris pada 1795. Ia tinggal di Kew dan memerintah dari sana. Lewat surat-surat Kew terungkap, para pejabat jajahan Belanda diperintah untuk menyerahkan wilayah mereka ke orang-orang Inggris sipaya tidak jatuh ke tangan Perancis.
Maka sejak 1795, Inggris pun berusaha merebut Nusantara dari Perancis. Dengan jatuhnya pangkalan utama Perancis di Mauritius pada akhir 1810, posisi Inggris semakin kuat untuk merebut Indonesia. Pada Mei 1811, Daendels dicopot dari jabatannya. Ia tak bisa membangun hubungan dengan penguasa tanah Jawa. Daendels juga dituduh memperkaya diri sendiri dengan menjual tanah-tanah pemerintah. Daendels digantikan oleh Jan Willem Janssens. Namun Janssens tak bertahan lama karena terus diserang Inggris.
Hingga pada 4 Agustus 1811, 60 kapal Inggris muncul di pelabuhan Batavia, pusat kekuatan Belanda. Batavia dan daerah di sekitarnya jatuh ke tangan Inggris pada 26 Agustus 1811. Janssens mundur ke Jawa Tengah dan menyerah di dekat Salatiga
Indonesia, yang dulu dikenal sebagai Hindia Timur, adalah salah satu tanah jajahan Belanda yang memiliki nilai strategis dan ekonomis tinggi.
Namun, pada awal abad ke-19, Belanda mengalami krisis politik dan militer akibat invasi Napoleon Bonaparte, kaisar Perancis yang berambisi untuk menguasai Eropa dan dunia.
Napoleon berhasil menaklukkan Belanda pada tahun 1806 dan menjadikannya sebagai negara satelit Perancis.
Hal ini berdampak pada nasib Hindia Timur, yang kemudian berada di bawah kekuasaan Prancis selama kurang lebih tujuh tahun (1806-1813).
Masa penjajahan Prancis di Indonesia ditandai oleh dua periode kekuasaan yang berbeda.
Periode pertama adalah masa pemerintahan Louis Napoleon Bonaparte, saudara kandung Napoleon yang diangkat sebagai raja Belanda oleh sang kaisar.
Louis Napoleon berusaha untuk mempertahankan kedaulatan Belanda atas Hindia Timur dan melindungi kepentingan perdagangan dan kolonialnya.
Ia mengirimkan pasukan dan pejabat Belanda ke Indonesia untuk menggantikan orang-orang Prancis yang sebelumnya ditugaskan oleh Napoleon.
Ia juga memberikan kewenangan kepada Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, seorang patriot Belanda yang setia kepadanya, untuk mengurus urusan administrasi dan pertahanan di Hindia Timur.
Periode kedua adalah masa pemerintahan Charles-François Lebrun, Adipati Plaisance, yang ditunjuk sebagai gubernur jenderal Hindia Timur oleh Napoleon setelah ia mencopot Louis Napoleon dari jabatan raja Belanda pada tahun 1810.
Ia mengganti semua pejabat dan pasukan Belanda dengan orang-orang Prancis atau sekutu-sekutunya, seperti Inggris dan Jawa.
Kemudian juga meningkatkan pajak dan monopoli perdagangan untuk mengisi kas negara Perancis yang terkuras akibat perang.
Masa penjajahan Prancis di Indonesia membawa beberapa dampak bagi masyarakat dan sejarah Indonesia.
Di satu sisi, penjajahan Prancis memperburuk kondisi sosial dan ekonomi rakyat Indonesia, yang harus menanggung beban pajak dan monopoli yang tinggi, serta menghadapi kelaparan, wabah penyakit, dan perlawanan dari pihak-pihak yang tidak puas dengan kekuasaan Prancis.
Di sisi lain, penjajahan Prancis juga membuka peluang bagi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan politik di Indonesia.
Beberapa contohnya adalah proyek pembangunan jalan raya Jalan Daendels yang menghubungkan Anyer dengan Panarukan, penelitian tentang flora dan fauna Indonesia oleh ilmuwan-ilmuwan Prancis seperti Pierre Sonnerat dan Alfred Duvaucel, serta kontak-kontak antara tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia dengan Perancis, baik sebagai sekutu maupun lawan.
Masa penjajahan Prancis di Indonesia berakhir pada tahun 1813, ketika pasukan Inggris berhasil mengalahkan pasukan Prancis dalam Pertempuran Salatiga.
Pada 1814, Inggris dan Belanda mengadakan pertemuan di London.
Pertemuan antara Inggris dan Belanda menghasilkan kesepakatan yang disebut Convention of London atau Konvensi London, yang ditandatangani pada 13 Agustus 1814.
Konvensi London menyatakan bahwa Inggris sepakat untuk mengembalikan Hindia Belanda kepada Belanda. Penyerahan kekuasaan tersebut baru terealisasi dua tahun kemudian, tepatnya pada 19 Agustus 1816 di Batavia. Dalam proses penyerahan kekuasaan tersebut, Inggris diwakili oleh John Fendall, pengganti Raffles.
Sementara pihak Belanda diwakili oleh tiga komisaris jenderal, yaitu Ellout, van der Capellen, dan Buyskes.
Setelah mendapat penyerahan wilayah dari Inggris, Belanda kembali berkuasa di Hindia Belanda. Namun, permasalahan utama kerajaan Belanda pascapenyerahan resmi Hindia Belanda dari Inggris tahun 1816 adalah terjadinya kekosongan kas kerajaan Belanda dan utang yang menumpuk akibat membiayai perang. Situasi tersebut mendorong Johannes van den Bosch mencetuskan ide tanam paksa untuk menyelamatkan Belanda dari kebangkrutan. Johannes van den Bosch kemudian ditunjuk sebagai gubernur jenderal untuk menjalankan kebijakan tanam paksa.
Artikel ini telah tayang di Setelah mendapat penyerahan wilayah dari Inggris, Belanda kembali berkuasa di Hindia Belanda. Namun, permasalahan utama kerajaan Belanda pascapenyerahan resmi Hindia Belanda dari Inggris tahun 1816 adalah terjadinya kekosongan kas kerajaan Belanda dan utang yang menumpuk akibat membiayai perang. Situasi tersebut mendorong Johannes van den Bosch mencetuskan ide tanam paksa untuk menyelamatkan Belanda dari kebangkrutan. Johannes van den Bosch kemudian ditunjuk sebagai gubernur jenderal untuk menjalankan kebijakan tanam paksa.
Sistem tanam paksa atau cultuurstelsel merupakan kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mewajibkan rakyat Indonesia melakukan tanam paksa. Kebijakan ini mulai diberlakukan pada 1830, di mana Belanda mengeruk kekayaan alam Indonesia untuk membayar hutang-hutangnya. Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch memusatkan kebijakan tanam paksa pada peningkatan produksi tanaman yang laku di pasar internasional. Para petani di Jawa diwajibkan untuk menanam tanaman komoditas ekspor dan menjualnya kepada pemerintah Belanda dengan harga yang sangat rendah sebagai pengganti pembayaran pajak mereka.
Tanaman yang wajib ditanam antara lain, kopi, tebu, tembakau, teh, dan nila. Tanaman tersebut menjadi komoditas unggulan pemerintah kolonial. Sistem tanam paksa tidak hanya memberikan keuntungan melimpah bagi pemerintah kolonial, bahkan Belanda mampu mengatasi defisit keuangan yang terjadi di negerinya.
Hal ini terbukti ketika pada 1832-1867, pemerintah Belanda mampu meraup keuntungan hingga 967 juta gulden. Di sisi lain, sistem tanam paksa semakin membuat rakyat Indonesia jatuh dalam jurang kemiskinan dan kelaparan.
Sistem tanam paksa yang diberlakukan sejak tahun 1830 oleh Van Den Bosch memang memberi dampak besar bagi Belanda yang mengalami kekosongan kas negara pada masa itu. Namun, berjalannya waktu banyak yang menentang penerapan sistem tanam paksa yang dianggap tidak manusiawi terutama dari parlemen Belanda dari kaum liberal dan humanis. Keduanya mendesak kepada pemerintah Belanda untuk mengurangi peranan pemerintah dalam perekonomian wilayah jajahan. Desakan tersebut sebagai jawaban atas penindasan terhadap orang – orang Jawa dan Sunda.
Salah satu tokoh kaum humanis dari Belanda bernama Eduard Douwes Dekker pada tahun 1860 menerbitkan buku berjudul Max Havelaar dengan nama samaran bernama Multatuli. Dalam bukunya, Eduard Douwes Dekker mengisahkan kekejaman Belanda kepada jajahan Jawa. Buku ini dianggap sebagai bentuk kritikan kepada Belanda terhadap praktek tanam paksa di Hindia Belanda.
Masa ekonomi liberal di Hindia Belanda terjadi pada 1870-1900 yang ditandai dengan diberikannya peluang kepada pemodal swasta untuk menanamkan modal dalam kegiatan usaha di Hindia Belanda. Para pelaku usaha baik dari Belanda maupun negara Eropa lainnya menanamkan modal di industri – industri perkebunan seperti kopi, teh, gula dan kina baik di Jawa maupun luar Jawa.
Pada masa pemerintahan sistem ekonomi liberal, sistem kerja paksa (cultuurstelsel) sudah dihapuskan. Dengan dibebaskannya swasta menanamkan modal dan pengaruhnya membuat perkembangan ekonomi Hindia Belanda maju sangat pesat terutama di Jawa. Penduduk pribumi Jawa mulai menyewakan tanahnya kepada swasta Belanda untuk dijadikan perkebunan besar.
Dari perkebunan ini memberikan peluang bekerja sebagai buruh perkebunan bagi pribumi. Selama tahun 1870-1885 terjadi perkembangan pesat dan keuntungan besar pada perkebunan teh, kopi, tembakau dan tanaman perdagangan lainnya.
Sistem tanam paksa yang diberlakukan sejak tahun 1830 oleh Van Den Bosch memang memberi dampak besar bagi Belanda yang mengalami kekosongan kas negara pada masa itu. Namun, berjalannya waktu banyak yang menentang penerapan sistem tanam paksa yang dianggap tidak manusiawi terutama dari parlemen Belanda dari kaum liberal dan humanis. Keduanya mendesak kepada pemerintah Belanda untuk mengurangi peranan pemerintah dalam perekonomian wilayah jajahan. Desakan tersebut sebagai jawaban atas penindasan terhadap orang – orang Jawa dan Sunda.
Salah satu tokoh kaum humanis dari Belanda bernama Eduard Douwes Dekker pada tahun 1860 menerbitkan buku berjudul Max Havelaar dengan nama samaran bernama Multatuli. Dalam bukunya, Eduard Douwes Dekker mengisahkan kekejaman Belanda kepada jajahan Jawa. Buku ini dianggap sebagai bentuk kritikan kepada Belanda terhadap praktek tanam paksa di Hindia Belanda.
Desakan Pengusaha Swasta
Pada saat itu Belanda terhitung sebagai negara investor ketiga terbesar di dunia. Arus investasi dari pengusaha swasta Belanda memaksa pemerintah memberikan kebijakan kebebasan investasi di Hindia Belanda dimana perkebunan menjadi devisa utama Belanda. Pengusaha swasta menginginkan keleluasaan dalam menanamkan modalnya di Hindia Belanda. Desakan inilah yang membuat Belanda mengeluarkan aturan – aturan tentang kebijakan liberal.
Berbagai kritikan dari kaum liberal swasta dan kaum humanis memaksa Belanda menghapus sistem tanam paksa di Hindia Belanda. Pada tahun 1870 secara resmi sistem tanam paksa dihentikan. Sebagai gantinya, parlemen Belanda menerapkan sistem open door policy (politik pintu terbuka), sebagai kesempatan penanaman modal Hindia Belanda. Berikut adalah tiga peraturan utama dalam kebijakan ekonomi liberal 1870 :
1. Indische Comptabiliet Wet 1867 (UU Perbendaharaan Negara) yaitu undang – undang yang mengatur tentang kewajiban seluruh Anggaran Pendapatan Negara (APBN) Hindia Belanda disahkan oleh parlemen dan melarang mengambil keuntungan dari tanah jajahan.
2. Agrarische Wet 1870 (UU Agraria) yaitu undang – undang yang mengatur tentang dasar – dasar pertanahan dengan ketentuan :
- Larangan Gubernur Jenderal menjual tanah termasuk untuk tanah kecil seperti perluasan kota dan desa untuk pendirian perusahaan dan bangunan
- Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah termasuk pada tanah yang dibuka oleh rakyat Indonesia dan tanah tempat menggembala ternak atau tanah desa untuk keperluan umum lainnya
- Kebebasan pribumi untuk memiliki tanah. Pemodal dapat menyewa tanah melalui hak erfpacht (hak guna usaha) dari pemerintah selama 75 tahun atau dari pribumi selama 5 hingga 20 tahun.
- Gubernur Jenderal tidak diperkenankan mengambil tanah yang telah dibuka oleh rakyat untuk kepentingan sendiri kecuali untuk keperluan umum yang susuai dengan peraturan yang berlaku
- Tanah milik pribumi mendapat hak eigendom (hak mutlak) dengan syarat dan pembatasan yang telah diatur dalam undang – undang.
3. Suiker Wet 1870 (UU Gula), menetapkan bahwa pemerintahan Belanda tidak diperbolehkan memonopoli gula melainkan diperbolehkan swasta untuk ikut menjalankan usaha gula di Hindia Belanda.
Sekitar tahun 1885 terjadi kemerosotan harga kopi dan gula yang diakibatkan Eropa mulai menanam gula dan kopi sendiri sehingga tidak memerlukan impor gula dari Indonesia. Krisis ini dijawab dengan melakukan reorganisasi kehidupan ekonomi Belanda. Perkebunan besar yang awalnya milik perseorangan diubah menjadi perseroan terbatas. Pada akhir abad ke 19, sistem ekonomi liberal yang dianggap tidak lagi efektif meraup keuntungan mulai ditinggalkan menjadi sistem ekonomi terpimpin. Sistem ekonomi terpimpin mengubah pemegang kontrol industri tidak lagi pemimpin perkebunan yang ada di Jawa melainkan berdasarkan kepentingan finansial dan industriil di Belanda.
Meskipun ekonomi Hindia Belanda maju secara pesat, namun kondisi kesejahteraan rakyat Indonesia ternyata justru mundur. Hal ini dikarenakan semakin bertambahnya tekanan terhadap sumber – sumber bahan pangan. Tanah dengan kualitas terbaik ditanami tanaman industri sedangkan tanaman pokok seperti padi ditanam di lahan yang tandus.
Dihapuskannya tanam paksa tidak memberi perbaikan nasib kepada rakyat Indonesia. Hal tersebut karena masih berlangsungnya pembayaran pajak tanah dan pajak lainnya kepada pemerintah kolonial.
Penjajahan tetap membawa kepahitan bagi yang terjajah.silih berganti penjajahan tak memberi ruang pada bangsa ini merasakan kemerdekaannya. Tak berhenti hingga ekonomi liberal Belanda, penjajahan berikutnya terganti oleh Jepang.
Masa pendudukan Jepang di wilayah Nusantara (saat itu masih dikenal dengan nama Hindia Belanda) dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada bulan Mei 1940, saat awal Perang Dunia II, Belanda dikuasai oleh Jerman Nazi. Indonesia mengumumkan keadaan siaga serta mengalihkan ekspor untuk Kekaisaran Jepang ke Amerika Serikat serta Inggris.
Negosiasi untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat dengan Jepang gagal pada bulan Juni 1941 dan Jepang mulai menaklukkan hampir seluruh wilayah Asia Tenggara pada bulan Desember tahun itu.
Pada bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan dari Jepang untuk melakukan revolusi terhadap pemerintah Belanda. Sementara itu, pasukan Belanda terakhir yang dikalahkan oleh Jepang adalah pada Maret 1942. Masa penjajahan Jepang di Indonesia pun dimulai.
Orang-orang Jepang sebenarnya sudah mulai masuk ke Indonesia sebelum Belanda menyerahkan wilayah tersebut pada tahun 1942.
Pada tahun 1937, dunia mengalami krisis ekonomi yang sangat parah. Namun, Jepang berhasil mengantisipasi dampak buruk dari resesi global tersebut. Menurut Onghokham dalam bukunya “Runtuhnya Hindia Belanda” (1987:30), Jepang adalah salah satu negara yang mampu selamat dari krisis moneter dunia.
Hal ini berbeda dengan Hindia Belanda yang saat itu sedang mengalami masalah ekonomi yang semakin parah. Karena situasi ekonomi yang buruk di Hindia Belanda, Jepang mampu masuk ke wilayah tersebut pada tahun 1938-1939 untuk berinvestasi pada pemerintah Hindia Belanda.
Selain itu, Jepang adalah salah satu negara utama yang menjadi tujuan ekspor komoditas dari Hindia Belanda yang didapatkan kekayaan alamnya di Nusantara.
Pada saat itu, Jepang menjadi pesaing negara-negara Eropa dalam perebutan pasar ekonomi, yang membuat mereka mampu masuk ke Indonesia pada tahun 1938-1939 untuk berinvestasi pada pemerintah Hindia Belanda.
Jepang masuk ke Indonesia dimulai pada bulan Oktober tahun 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan jabatan Konoe Fumimaro sebagai Perdana Menteri Jepang.
Meskipun pada akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang tidak ingin melawan beberapa negara sekaligus, namun pada pertengahan tahun 1941 mereka menyadari bahwa untuk menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara, mereka harus menghadapi Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda sekaligus.
Hal ini semakin diperparah dengan embargo minyak bumi yang dilancarkan oleh Amerika yang sangat dibutuhkan oleh industri di Jepang dan keperluan perang.
Laksamana Isoroku Yamamoto, yaitu Panglima dari Angkatan Laut Jepang, membuat sebuah strategi perang yang agresif, yaitu dengan mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar.
Kekuatan pertama, yang terdiri dari 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak, dan lebih dari 1.400 pesawat tempur, akan menyerang secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii pada 7 Desember 1941.
Sementara itu, kekuatan kedua, yang terdiri dari sisa kekuatan Angkatan Laut Jepang, akan mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina, Malaya dan Singapura, yang kemudian dilanjutkan ke Jawa. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam waktu 150 hari dengan Admiral Chuichi Nagumo sebagai pemimpin armada yang ditugaskan menyerang Pearl Harbor.
Pada 8 Desember tahun 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan perang pada Jepang. Kemudian tiga hari setelahnya, Jerman menyatakan perang pada Amerika Serikat.
Hal ini menyebabkan Amerika Serikat bergabung dengan pasukan Sekutu dan terlibat dalam pertempuran di Eropa dan Asia Pasifik. Perang Pasifik ini juga berdampak besar pada perjuangan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia.
Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hindia Belanda adalah untuk mendapatkan sumber daya alam, terutama minyak bumi, untuk mendukung potensi perang dan industri mereka. Pulau Jawa direncanakan sebagai pusat dukungan untuk operasi militer di Asia Tenggara, serta Sumatra sebagai sumber minyak utama.
Jepang kemudian masuk ke Indonesia dan berhasil menduduki Tarakan yang kemudian diikuti pula dengan menguasai beberapa wilayah lain seperti Pontianak, Balipakakn pada 29 Januari dan 24 Januari tahun 1942.
Selanjutnya, pada 3 Februari 1942 dan 10 Februari 1942, Jepang berhasil mengambil alih Samarinda dan Banjarmasin dari Belanda. Setelah menguasai Kalimantan dan Maluku, pasukan Jepang melanjutkan ekspansi ke wilayah Sumatera.
Pada tanggal 14 Februari 1942, Jepang mengerahkan pasukan untuk menduduki Sumatera. Dua hari kemudian, tepatnya pada tanggal 16 Februari 1942, Palembang dan sekitarnya berhasil diduduki. Keberhasilan ini membuat Jepang semakin bertekad untuk menguasai Jawa.
Jepang menduduki daerah Teluk Banten di Jawa Barat serta wilayah Kragan di Jawa Tengah pada awal bulan Maret tahun 1942. Akhirnya, Batavia (Jakarta) yang menjadi pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda direbut pada tanggal 5 Maret 1942, diikuti dengan keberhasilan mereka mengambil alih Bandung dua hari kemudian.
Pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda dan Jepang bertemu di Kalijati, dekat Subang, Jawa Barat untuk melakukan perundingan. Dalam pertemuan tersebut, Belanda setuju untuk menyerah tanpa syarat kepada Jepang.
Pada waktu yang sama, Gubernur Jenderal dari Hindia Belanda yaitu Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Letnan Jenderal Heindrik Ter Poorten, yang merupakan Komandan Angkatan Perang Belanda di Jawa, menyerahkan kekuasaannya atas wilayah Indonesia pada Jenderal Hitoshi Imamura sebagai wakil delegasi dari Dai Nippon.
Pada 11 Januari 1942, Jepang pertama kali datang ke Indonesia dan memilih Tarakan, Kalimantan Timur sebagai wilayah pertama yang dituju. Hal ini dikarenakan Jepang sangat membutuhkan suplai bahan bakar minyak setelah hubungannya dengan Amerika Serikat terputus dan mencari wilayah yang memiliki sumber bahan bakar minyak, salah satunya Indonesia.
Jepang mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur yang pada saat itu dikuasai oleh Belanda. Pada awalnya, kedatangan Jepang ini disambut baik oleh rakyat Indonesia karena Jepang mengaku sebagai saudara tua dan menjanjikan untuk mengusir sekutu.
Rakyat Indonesia pun percaya dengan gerakan 3A (Jepang cahaya Asia, Jepang pemimpin Asia, dan Jepang pelindung Asia) yang diharapkan akan menjadi titik awal untuk melepaskan diri dari penjajahan.
Namun, kenyataannya sangat berbeda dari harapan. Gerakan 3A merupakan strategi Jepang untuk menguasai Indonesia dan melakukan eksploitasi sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Selama 3,5 tahun, Jepang berhasil menguasai Indonesia dan meninggalkan sejarah yang kelam karena kekejaman yang dilakukan.
Rakyat Indonesia mengalami penderitaan selama pendudukan Jepang, seperti siksaan fisik, pendetensian tanpa alasan yang jelas, perbudakan seks, kerja paksa yang tidak manusiawi, dan banyak kerugian lainnya.
Diantara kebijakan politik yang diterapkan Jepang di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Melakukan restrukturisasi pemerintahan
Jepang membagi wilayah Indonesia menjadi dua bagian yaitu bagian yang dikuasai oleh angkatan darat (Rikugun) yang menguasai Sumatera dan Malaya dan bagian yang dikuasai oleh angkatan laut (Kaigun) yang menguasai Jawa, Madura, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua.
2. Reorganisasi administrasi
Ketika Jepang menguasai Indonesia, Jepang melakukan reorganisasi administrasi dengan mengubah struktur pemerintahan sesuai dengan kaidah Jepang.
Jepang mengganti daerah karesidenan menjadi Syu, kabupaten menjadi Ken, kota praja menjadi Syi, kawedanan menjadi Gun, kecamatan menjadi So, desa menjadi Ku, dan RT dan RW menjadi Tonarigumi. Tujuan dari perubahan ini adalah untuk memata-matai penduduk yang anti Jepang.
3. Propaganda serta akomodasi tokoh penguasa
Dalam upayanya untuk menguasai Indonesia, Jepang melakukan berbagai propaganda. Mereka mengaku sebagai “saudara tua” dan meluncurkan gerakan 3A untuk mendapat dukungan dari masyarakat Indonesia. Selain itu, Jepang juga membentuk beberapa organisasi propaganda yang dipimpin oleh tokoh-tokoh penting di Indonesia. Tujuannya adalah untuk membuat rakyat Indonesia mendukung Jepang.
Beberapa organisasi propaganda yang dibentuk oleh Jepang antara lain Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) yang dipimpin oleh Bung Karno dan Bung Hatta, Badan Pertimbangan Pusat (CHUO SANGI IN) yang dipimpin oleh Bung Karno, Himpunan Kebaktian Jawa (Jawa Hokokai) yang dipimpin oleh Gunseikan dan Soekarno sebagai penasihat utama.
Selama masa pendudukan Jepang, sistem ekonomi di Indonesia berubah menjadi sistem ekonomi perang. Pemerintah militer Jepang mengatur, membatasi, dan menguasai faktor-faktor produksi.
Segala kegiatan ekonomi yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda diambil alih oleh Jepang. Jepang juga melakukan beberapa kebijakan ekonomi yang memiliki dampak bagi bangsa Indonesia, seperti hal-hal berikut:
1. Asimilasi aset ekonomi
Dalam upaya untuk mengambil alih aset ekonomi, Jepang mengambil aset-aset yang ditinggalkan oleh Belanda, termasuk kebun-kebun, perbankan, pabrik-pabrik dan pertanian. Hal ini menyebabkan rakyat yang hidup di masa pendudukan Jepang mengalami kesulitan ekonomi dan kesengsaraan.
2. Swasembada
Kebijakan swasembada yang dilakukan oleh Jepang selama masa pendudukannya di Indonesia bertujuan untuk mengekang hubungan Indonesia dengan dunia luar.
Rakyat Indonesia dipaksa untuk memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga tidak perlu mengimpor dari negara lain. Tujuan Jepang saat itu adalah agar Indonesia hanya menjadi tergantung pada Jepang saja.
3. Setoran wajib
Dalam upaya untuk mengumpulkan dana, Jepang mengimplementasikan kewajiban setoran pada masyarakat Indonesia.
Rakyat Indonesia diwajibkan untuk menyisihkan sebagian pendapatan mereka, yaitu sebesar 30% untuk pemerintah Jepang, 20% untuk lembaga desa, 40% untuk kebutuhan pribadi, dan sisanya untuk koperasi bersama yang dikelola oleh organisasi seperti Jawa Hokokai dan Nagyo Kumiai.
Namun, dalam kenyataannya, pemerintah Jepang juga mengambil sebagian dari bagian 40% yang seharusnya dimiliki oleh rakyat, sehingga banyak dari rakyat Indonesia yang hidup dalam kondisi menderita.
Dalam bidang sosial, Jepang mengeluarkan beberapa kebijakan yang memberikan dampak pada kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia. Dampak di bidang sosial yang disebabkan oleh Jepang antara lain adalah sebagai berikut:
1. Melarang seluruh kebudayaan Barat
Selama masa pendudukan Jepang, kebudayaan Barat dilarang masuk ke Indonesia. Salah satunya adalah penggunaan bahasa Belanda yang dilarang digunakan.
Untuk memenangkan simpati dari masyarakat Indonesia, Jepang membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi dalam pendidikan. Selain itu, sistem pendidikan yang diterapkan oleh Belanda juga dihapuskan dan diganti dengan sistem pendidikan Jepang yang bercirikan militerisme.
Jadi, selama masa pendudukan, siswa harus menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, meletakkan bendera Jepang dan hormat kepada Kaisar Jepang.
2. Melakukan eksploitasi terhadap rakyat Indonesia
Masa Pendudukan Jepang merupakan masa yang sangat kelam bagi rakyat Indonesia. Selain melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam, Jepang juga melakukan eksploitasi terhadap rakyat Indonesia dengan kebijakan Romusha dan Jugun Ianfu.
Para laki-laki dipaksa untuk melakukan kerja paksa tanpa imbalan yang berakibat banyak meninggal karena kelelahan. Sementara itu, para perempuan dipekerjakan sebagai perempuan penghibur (Jugun Ianfu) dan dipaksa untuk memuaskan nafsu para tentara Jepang.
Selain Gerakan 3A, pemerintah militer Jepang juga menyebarkan berbagai propaganda lainnya dan membentuk berbagai organisasi yang melibatkan orang-orang Indonesia, seperti Pembela Tanah Air (PETA), Heiho, Seinendan, Keibodan, Barisan Pelopor, dan masih banyak lagi.
Selama masa pendudukan Jepang, rakyat Indonesia mengalami banyak kesengsaraan dan kerugian. Jepang mengeksploitasi sumber daya alam dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kejam seperti kerja paksa Romusha dan Jugun Ianfu.
Selama 4,5 tahun, kehidupan masyarakat Indonesia dan sumber daya alam di Indonesia dikuras demi kepentingan perang Jepang. Namun, pada akhirnya, Jepang mengalami kekalahan dan menyerah kepada Sekutu, yang memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Perjalanan panjang penjajahan negeri ini menyisakan luka yang sangat mendalam untuk anak negeri.
Tak hanya menjadi sejarah, penjajahan sejatinya masih tetap terjadi hingga saat ini, hanya berganti metode dan caranya saja.
Hari ini penjajahan yang terjadi tak pernah lepas dari kerangka kapitalisme liberal, jauh lebih jahat dibanding ekonomi liberal Hindia Belanda pada masa lalu.
Hari ini secara politik, ekonomi, sosial, hankam kita terjajah. Penguasa kita tak ada bedanya dengan para priyayi pada masa lalu yang ditempatkan untuk memudahkan penjajahan tetap bercokol kuat di negeri ini.
Tak sepantasnya kita merasa sudah merdeka, bertahun-tahun kita merayakan euphoria kemerdekaan sejatinya hanya menutup penjajahan dengan sekedar ceremonial merdeka semata. Karena kenyataannya kita masih tetap terjajah, terbelenggu dengan jeratan hutang, jebakan politik, racun liberalisme, kebebasan, bahkan arahan dan kerja negeri ini masih tetap mengacu pada hegemoni kekuatan Barat penjajah.
Apakah layak kita teriak merdeka?!