Mungkin itu reaksi banyak pihak ketika melihat provinsi Jawa Tengah menjadi satu-satunya provinsi di Pulau Jawa yang tidak memiliki bandara berskala internasional. Padahal kenyataannya, ada dua bandara yang dinilai pernah menyandang predikat bandara Internasional. Dua bandara di Jawa Tengah, yakni Ahmad Yani di Semarang dan Adi Soemarmo di Boyolali pun turun kelas. Dengan diturunkannya status dua bandara (airport) ini dari Bandara Internasional menjadi Bandara Domestik, maka Jawa Tengah kini tak lagi memiliki bandara berstatus internasional. Meski statusnya turun, namun beberapa bandara tersebut masih melayani penerbangan internasioanl secara temporer. Dua bandara internasional di Jawa Tengah (Jateng) itu belum mempunyai penerbangan reguler dari dan ke luar negeri secara langsung.
Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No 31 Tahun 2024, hanya ada 17 bandara di Indonesia yang statusnya internasional. Jumlah ini lebih sedikit dari sebelumnya yakni 34 bandara internasional yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sebelumnya, Pemprov Jateng sudah mendorong agar penerbangan langsung internasional ke dua bandara tersebut. Namun, hal tersebut belum diberikan. Wisatawan mancanegara banyak datang melalui Bandara Internasional Yogyakarta yang kemudian juga menikmati destinasi-destinasi tujuan wisata di Jawa Tengah. Itulah pertimbangannya.
Keputusan Menteri Nomor 31 Tahun 2024 ini dikeluarkan dengan tujuan untuk melindungi penerbangan internasional pasca pandemi dengan menjadikan bandara sebagai hub (pengumpan) internasional di negara sendiri.
Kepala BPS Jawa Tengah, Dadang Hardiwan, mengatakan kedatangan penumpang melalui dua bandara tersebut selama Januari 2024 tercatat mencapai 122.636 orang. Dari jumlah tersebut, lanjut dia, terdapat 1.293 penumpang penerbangan internasional dengan tujuan Jeddah.
Penerbangan langsung ke Arab Saudi dari Bandara Adi Soemarmo hanya untuk melayani jemaah umrah dengan jadwal keberangkatan setiap akhir pekan. Adapun untuk kedatangan penumpang pesawat selama Januari 2024 tercatat mencapai 114.128 orang dengan penumpang yang merupakan jemaah umrah dari Jeddah sebanyak 1.057 orang.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menjelaskan alasan cabut status 17 dari total 34 bandara internasional menjadi domestik.Dia menambahkan bandara internasional lainnya hanya beberapa kali melakukan penerbangan internasional, bahkan ada yang sama sekali tidak memiliki pelayanan penerbangan internasional.Beberapa bandara internasional hanya melayani penerbangan jarak dekat dari/ke satu atau dua negara saja,"
Menurutnya, dua kriteria bandara yang terakhir ini menyebabkan operasional menjadi tidak efektif dan efesien dalam pemanfaatannya.
Adapun, keputusan tersebut tentang Penetapan Bandar Udara Internasional pada 2 April 2024, alasan utama penetapan ini secara umum adalah untuk dapat mendorong sektor penerbangan nasional yang sempat terpuruk saat pandemi Covid 19. Keputusan ini juga dinilai telah dibahas bersama Kementerian dan Lembaga terkait di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi.
Praktek penyelenggaraan bandara internasional di dunia, pada faktanya beberapa negara juga melakukan penyesuaian jumlah bandara internasionalnya. Contohnya, India dengan jumlah penduduk 1,42 miliar hanya memiliki 35 bandara internasional, sedangkan Amerika Serikat dengan penduduk 399,9 juta mengelola 18 bandara internasional.
Pengurangan Bandara Merugikan?
Rencana pemerintah untuk mengurangi jumlah bandara internasional dinilai berisiko merugikan Indonesia dalam jangka panjang jika tidak dikaji secara mendalam. Pemerhati penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri) Gerry Soejatman menuturkan, jumlah pengurangan bandara internasional menjadi 17 unit dinilai masih mencukupi untuk sementara. Namun, jumlah tersebut dinilai akan kurang dari kebutuhan dalam jangka panjang. Meski demikian, Gerry mengatakan pemerintah harus memperhatikan beberapa hal dalam menentukan bandara yang akan melayani rute penerbangan internasional. Pertama, pemerintah harus mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap daerah yang pasarnya berkembang dan sudah bisa melayani penerbangan internasional. Menurutnya, kebijakan pengurangan bandara internasional akan berimbas positif dalam jangka pendek untuk meratakan pangsa pasar ke destinasi – destinasi lain yang belum pernah dilayani penerbangan internasional.
Meski, Dia menilai jika kebijakan ini diberlakukan secara baku dan untuk jangka panjang, hal ini justru akan merugikan Indonesia sendiri. Gerry menyarankan pemerintah juga membuat kebijakan mengenai kriteria-kriteria pengajuan status bandara internasional yang jelas dan market oriented. Dia mencontohkan, sebuah daerah bisa mengajukan status bandara internasional dengan pemda dan/atau pengelola bandara mengantongi kerja sama dengan minimum 2 maskapai, dimana salah satunya harus maskapai asal Indonesia. Selain itu, daerah juga perlu menyatakan komitmennya melakukan penerbangan internasional ke daerah tersebut. Hal ini juga dapat dilengkapi dengan proyeksi pasar, durasi komitmen, dan skala yang cukup untuk beberapa penerbangan internasional dalam sehari.
Dia melanjutkan, poin-poin tersebut atau yang setara harus dijadikan pertimbangan mengingat investasi yang harus dikeluarkan untuk bandara internasional. Fasilitas-fasilitas pendukung bandara internasional seperti kantor pengelola bandara, bea cukai, imigrasi, karantina hewan dan tanaman, serta layanan kesehatan bandara, tidak boleh mubazir.
Kebutuhan Bandara, Bukan Sekedar Keuntungan
Dalam sistem Islam, infrastruktur adalah hal penting dalam membangun dan meratakan ekonomi sebuah negara demi kesejahteraan rakyatnya. Juga terkait dengan kewajiban negara merealisasikan kemudahan transportasi untuk warganya. Dengan dasar kaidah syara' “Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib (suatu kewajiban tidak bisa terlaksana dengan baik karena sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya menjadi wajib), oleh karena itu Negara dalam Islam wajib membangun infrastruktur yang baik, bagus dan merata ke seluruh pelosok negeri.
Negara dalam pandangan Islam, berkewajiban mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan terpenuhinya sarana dan prasarana untuk memperlancar distribusi dan pemenuhan kebutuhan rakyat. Memudahkan sarana, tanpa mempertimbangkan untung rugi bisnis, karena tugas utama negara adalah melakukan ri'ayah su'uun umah( mengurusi segala urusan rakyat) tanpa terkecuali. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan pembangunan infrastruktur berbasis kemaslahatan umat, bukan mencari keuntungan bahkan dengan swastanisasi atau investasi asing.
Negara punya tanggung jawab memberikan jaminan kelancaran, keamanan, kenyamaan, dan keselamatan transportasi publik kapan pun, juga wajib menjamin tidak boleh terjadi dharar pada publik ketika bertransportasi dengan menyediakan infrastruktur yang memadai.
Untuk semua layanan tersebut negara dalam Islam menggunakan anggaran mutlak. Maksudnya ada atau tidaknya kekayaan negara untuk pembiayaan transportasi publik yang ketiadaannya berakibat dharar pada masyarakat, maka wajib diadakan oleh negara sebagai institusi yang memberikan solusi bagi layanan transportasi publik yang aman, nyaman, dan selamat.
Kemajuan teknologi dan infrastrukturnya pernah terlihat pada Cordoba, Baghdad, Turki di era itu. Akses terhadap berbagai hajat hidup begitu mudah. Apakah itu pangan, sandang, papan, air bersih, hingga pendidikan, kesehatan, energi dan transportasi publik. Apa yang tercermin di Ibu Kota negara dan kota-kota besar di era peradaban Islam merupakan cerminan kecemerlangan Islam. Yakni, ideologinya yang sahih dan berbagai paradigma serta konsep yang terpancar dari ketinggian ideologinya.
Sistem kehidupan bathil hari ini telah menjadi ruang subur bagi prinsip pengelolaan transportasi publik neolib. Yakni, setidaknya ada dua. Pertama, transportasi udara jasa yang harus diliberalkan/dikomersilkan; Kedua, negara hanya regulator (baca: pelayan) bagi kepentingan korporasi. Sehingga seluruh aspek transportasi penerbangan berada dalam kendali korporasi. Korporasi asing maupun dalam negeri. Korporasi plat merah maupun swasta murni. Baik alat angkutnya dalam hal ini pesawat, bahan bakar minyak penerbangan hingga infrastruktur penerbangan berupa bandar udara dengan segala kelengkapannya.
Hal ini jelas berbeda dengan prinsip Islam dimana transportasi publik udara merupakan kebutuhan publik, selanjutnya negara merupakan pihak yang bertanggungjawab langsung lagi sepenuhnya menjamin akses setiap orang terhadap transportasi udara yang murah, aman, nyaman lagi manusiawi. Ditegaskan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wassalaam, yang artinya, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari)
Sebagaimana perbuatan Rasulullah ﷺ, beliau pengatur langsung departemen-departemen, melakukan pengangkatan sekretaris untuk pengurusan administrasi. Rasulullah ﷺ mengatur kemashlahatan publik di Madinah, termasuk masalah transportasi publik. Artinya, haram negara berfungsi sebagai regulator yang mengomersilkan hajat hidup masyarakat, apapun alasannya.
Selain itu, fakta bandara dengan segala kelengkapannnya adalah fasilitas umum yang harus dikelola di atas prinsip pelayanan bukan komersil dan tidak dijadikan sumber pemasukan kekayaan negara. Untuk pembiayaan ini tidak dibenarkan penggunaan anggaran berbasis kinerja, apapun alasannya. Juga tidak dibenarkan penggunaan konsep Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS) yang menjadi ruang masuknya dominasi asing kafir penjajah.
Jika hari ini pengelolaan transportasi masih berdasarkan kapitalisme, maka nampak jelas kebathioannya dan saatnya beralih pada syariat dalam memandang transportasi. Maka seharusnya negaralah yang bertanggungjawab langsung dan sepenuhnya sebagai pengelola sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh publik. Semua ini bisa dipenuhi oleh negara yang visioner dan dengan fungsi-fungsi politiknya yang sahih. Yakni, negara Khilafah.
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu,..”
(TQS Al Anfaal: 24).