Jokowi juga menyentil pengadaan seragam, sepatu, alat kesehatan, alat pertanian hingga kebutuhan alat tulis kantor yang didatangkan dari luar negeri. Dia mengingatkan produk-produk karya anak bangsa dari usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) harus dibeli untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi dalam negeri, dengan alokasi 40 persen anggaran dari APBN maupun APBD. Dan Jokowi mendorong UMKM masuk e-katalog.
Sikap geram tersebut tersebut disampaikan Jokowi saat memberikan pengarahan kepada menteri dan lembaga serta kepada kepala daerah tentang aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia (BBI) di Bali, Jumat (25/3/2022). Jokowi menegaskan bahwa jika anggaran tersebut digunakan untuk membeli barang dalam negeri maka akan mentriger pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Merespon hal tersebut, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyebutkan bahwa di Jateng sudah berjalan program E-katalog sejak tahun lalu yang programnya bernama Blangkon Jateng. "Jadi begitu LKPP punya ide memasukkan UMKM ke e-katalog, kami langsung komunikasi dan kami undang," kata Ganjar yang hadir langsung dalam acara tersebut.
Ganjar menanggapi arahan Presiden Joko Widodo tentang Aksi Afirmatif Bangga Buatan Indonesia (BBI) kepada Menteri dan Kepala Daerah di Bali dengan program katalog elektronik "Blangkon Jateng" (Belanja Langsung Toko Online Jawa Tengah) dalam pengadaan barang dan jasa, termasuk mempromosikan produk-produk unggulan dari para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Orang nomor satu di Jateng itu menilai arahan Presiden Jokowi sangat jelas sehingga semua pihak harus menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan kekuatan bangsa sendiri. Kalau 40 persen anggaran baik APBN maupun APBD digunakan untuk membeli produk-produk dalam negeri khususnya UMKM, maka ini betul-betul bisa mendorong pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Ganjar sepakat dengan Presiden Jokowi bahwa sudah saatnya Indonesia bangga pada produk dalam negeri sebab banyak industri dalam negeri dan juga UMKM yang produknya tidak kalah dengan produk impor.
"Namun ada juga yang harus kita dampingi, apakah izinnya, kapasitasnya, akses permodalannya dan lainnya. Kalau 40 persen anggaran digunakan, maka ini akan menjadi 'captive market' dan produsen bisa memenuhi," katanya.
E-katalog, lanjut Ganjar, menjadi solusi paling bagus untuk persoalan ini dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sudah membuat terobosan agar produk dalam negeri maupun produk UMKM bisa masuk ke dalam e-katalog. Dan hal ini pun makin dikuatkan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menekankan agar target 1 juta UMKM untuk onboarding ke e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) harus tuntas di tahun ini. Dengan masuknya produk-produk UMKM di e-katalog LKPP, maka Jokowi mengatakan tidak ada lagi alasan untuk menggunakan produk impor.
Kebijakan E-Katalog Membuka Tabir Siapa Doyan Impor
Jika melihat bagaimana perkembangan kinerja E-Katalog ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan agar target 1 juta UMKM untuk onboarding ke e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) harus tuntas di tahun ini.
Dengan masuknya produk-produk UMKM di e-katalog LKPP, maka Jokowi mengatakan tidak ada lagi alasan untuk menggunakan produk impor. Sesuai arahan Presiden, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang, Jasa Pemerintah menerbitkan sejumlah kebijakan strategis. Salah satunya adalah pembekuan produk impor di e-katalog bila ada produk substitusi produksi dalam negeri.Walau ada pembekuan, tidak semua produk impor dilarang. Seperti belanja pemerintah untuk pertahanan negara yang diizinkan untuk mengimpor.
Selain membekukan produk impor yang bisa disubstitusi di dalam negeri, LKPP juga akan mengalokasikan minimum 40 persen anggaran APBN/APBD 2022 sebesar Rp 1.171 triliun bagi UMK (usaha menengah dan kecil) dan koperasi.
Sedangkan untuk mempermudah UMK dan koperasi masuk ke e-katalog, LKPP menghapus pemberlakuan SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk produk yang tidak menyangkut keselamatan jiwa.
Adapun dari sisi pembayaran, untuk meringankan UMK, pemerintah akan menerbitkan kartu kredit pemerintah daerah (KKPD). Dengan begitu, saat pemda belanja ke UMK, tidak lagi diutang dan bisa langsung dibayarkan menggunakan KKPD.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) bahkan siap bersinergi dengan Badan Standarisasi Nasional (BSN) untuk memastikan produk usaha mikro, kecil, dan koperasi yang telah mengantongi tanda Standardisasi Nasional Indonesia (SNI) Bina UMK dapat tayang dalam katalog elektronik (e-katalog).
Hal itu untuk menindaklanjuti instruksi Presiden RI Joko Widodo Nomor 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam Rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI) pada Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP).
Dari sini nampak bahwa selama ini belanja negara untuk pengadaan barang dan jasa justru masih sangat ketergantungan kepada impor. Selain kebijakan yang sulit untuk mendapatkan Standar produk, alokasi dana untuk belanja dengan hutang memang menjadi alasan produk impor dianggap masih menjadi pilihan belanja pemerintah.
Mampukan Bangsa Ini Lepas Impor?
Jika untuk belanja pemerintah selama ini madih mengandalkan impor, lalu bagaimana dengan pemenuhan kebutuhan rakyat?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyampaikan, terdapat sejumlah komoditas yang memang perlu impor. Salah satunya adalah pangan.
"Paling urgent itu adalah pangan banyak impor,sekarang sedang seru itu kedelai 95 persen impor, kemudian susu 80 impor untuk anak Indonesia. Daging juga sama sebagian impor,” jelas dia kepada JawaPos.com, Senin (28/3). Kemudian, untuk peralatan elektronik, Indonesia juga perlu mengimpor. Sebab, di dalam negeri sendiri pengembangan teknologi belum dilakukan secara serius oleh pemerintah. Begitu juga dengan industri kesehatan, pembuatan obat masih bergantung pada bahan baku impor. Ketergantungan itu terlihat pada saat awal pandemi, yakni Indonesia kelimpungan untuk membuat obat dan vaksin.
Indonesia juga masih harus mengimpor barang-barang elektronik dan barang-barang otomotif karena belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Alasan utamanya karena keterbatasan sumber daya serta tenaga ahli. Keterbatasan sumber daya mencakup bahan dan peralatan, seperti suku cadang, mesin canggih, komponen-komponen elektronik, dan masih banyak lagi. Sedangkan tenaga ahli merupakan mereka yang ahli di bidang pembuatan dan perakitan barang elektronik dan otomotif.
Oleh karena dua hal itulah, Indonesia harus mengimpor barang-barang elektronik dan barang-barang otomotif dari negara lain, seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, China, dan sebagainya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari tahun 2000 hingga 2019 Indonesia selalu mengimpor beras. Praktis, hal tersebut juga terjadi di sepanjang periode kepemimpinan Presiden Jokowi hingga tahun 2019.Menurut Bhima, data yang dikeluarkan oleh BPS tersebut agaknya seperti tidak dipercayai oleh kementerian terkait sehingga mereka membuat data dari sumber sendiri.
Alhasil, masalah data ini seperti sengaja diciptakan oleh rente impor.
Maraknya impor yang dilakukan tak lepas dari kebijakan yang longgar untuk masuknya impor. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa untuk tetap memberikan stimulus positif dengan tetap memenuhi syarat administrasi tata niaga maupun dalam hal finansial untuk importasi skala besar bagi IKM, pemerintah telah menciptakan aturan yang ditujukan untuk memberikan relaksasi kepada IKM. Beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian atau Lembaga dicoba untuk direlaksasikan sebagai bentuk dukungan terhadap IKM.
Langkah nyata yang diambil pemerintah dalam menciptakan dukungan terhadap IKM ditempuh dengan menyediakan paket-paket regulasi baru yang bertujuan untuk merelaksasi ketentuan tata niaga terkait impor bahan baku untuk keperluan IKM serta membuka kemudahan tata niaga impor barang IKM. Sebagai langkah tersebut telah disediakan paket-paket regulasi baru, meliputi:
a. Komoditi Barang Modal Tidak Baru (Permendag 127/M-DAG/PER/12/2015).
b. Komoditi Produk Tertentu (Permendag 87/M-DAG/PER/10/2015), diberikan relaksasi berupa pengecualian persyaratan impor berupa Laporan Surveyor (LS) dan pemberlakuan post-audit untuk impor:
· Makanan dan minuman tidak termasuk kembang gula sampai dengan 500 kg per pengiriman.
· Obat tradisional dan suplemen kesehatan sampai dengan 500 kg.
· Elektronika maksimal 10 pcs.
· Barang pribadi penumpang dan awak sarana pengangkut berupa pakaian maksimal 10 pcs.
c. Komoditi produk kehutanan (Permendag 97/M-DAG/PER/11/2015), dilakukan relaksasi dengan deklarasi impor dan Persetujuan Impor (PI).
d. Komoditi Bahan Baku Plastik (Permendag 36/M-DAG/PER/7/2013)
e. Komoditi Kaca (Permendag 71/M-DAG/PER/11/2012 jo. 40/M-DAG/PER/9/2009)
f. Komoditi Bahan Obat dan Makanan (Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan 13 tahun 2015), diberikan relaksasi terhadap bahan baku pangan, bahan kosmetik, dan bahan obat tradisional dengan mempermudah persyaratan pengajuan Surat Keterangan Impor (SKI).
Sebelumnya pemerintah juga telah menerbitkan relaksasi untuk impor komoditi berupa:
a. Besi atau baja, baja paduan dan produk turunannya dalam Permendag 63/M-DAG/PER/8/2017 dengan relaksasi dalam jumlah importasi sebanyak 1 ton
b. Tekstil dan produk tekstil dalam 64/M-DAG/PER/8/2017.
Selain memberikan relaksasi impor terhadap beberapa produk tertentu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan berupa kemudahan tata cara impor untuk keperluan IKM, baik impor langsung oleh IKM maupun skema impor indentor dengan cara:
a. Dibuka beberapa IKM sebagai indentor melalui importir dengan konsolidasi barang di Luar Negeri;
b. Impor melalui PLB, dimana importir umum dapat bertindak sebagai importir untuk memenuhi kebutuhan bahan baku IKM.
Melihat hal tersebut maka cukup kontroversial antara kemarahan presiden ketika belanja negara masih dilakukan mayoritas dengan impor, tapi kebijakan lain justru membuka peluang impor hingga UKM bahkan hal ini berpeluang pada masuknya investor untuk bisa ambil peran dalam perekonomian. Hal ini terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat nilai impor Indonesia sepanjang tahun 2020 sebesar US$ 141,57 miliar. Seperti, mesin-mesin/pesawat mekanik (18,02 persen), Mesin/peralatan listrik (13,06 persen), Besi dan baja (7,00 persen), Plastik dan barang dari plastik (5,96 persen), Kendaraan dan bagiannya (4,89 persen)
Bahan kimia organik (3,98 persen), Benda-benda dari besi dan baja (2,41 persen). Serealia (2,25 persen), Perangkat optik (1,88 persen) dan Ampas/sisa industri makanan (1,78 persen). Selain itu berdasarkan data yang dipaparkan Kementerian Pertanian, hingga Januari sampai September 2020, Indonesia masih juga impor pangan seperti, beras, jagung, kedelai, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging, ayam, garam, mentega, minyak goreng, susu, kelapa, bawang merah, bawang putih, kelapa sawit, lada, teh, kopi, cengkeh, kakau, cabe, ubi kayu, kentang dan masih banyak yang lainnya. (Tirto.id/17/11/2020) Lalu dengan kemarahan presiden dan program Blangkon Jateng dimana korelasinya dengan upaya menghentikan ketergantungan impornya?
Solusi Ketergantungan Impor dalam Islam
Tsunami impor akan terus menggerus negeri ini selama rezim tetap berpegang pada kebijakan ekonomi neolib. Untuk menghentikannya dibutuhkan negara yang punya visi jelas, pemerintah yang berperan sebagai pelayan bukan pembisnis, serta sistem ekonomi syariah bukan ekonomi yang prokapitalis.
Dalam ekonomi syariah, kegiatan impor dan ekspor merupakan bentuk perdagangan (tijârah). Karena itu kegiatan perdagangan domestik maupun luar negeri adalah mubah sebagaimana hukum umum perdagangan. Hanya saja, ada perbedaan fakta antara perdagangan domestik dengan perdagangan luar negeri. Karena Khilafah, institusi yang menerapkan Islam adalah negara yang menerapkan hukum Islam, baik ke dalam maupun ke luar, maka perdagangan luar negeri ini pun harus diatur dengan hukum Islam.
Perdagangan luar negeri ini, dalam pandangan Islam, tidak dilihat dari aspek barang yang diperdagangkan, tetapi dilihat dari orang yang melakukan perdagangan. Dalam hal ini, mereka bisa diklasifikasikan menurut negara asalnya, menjadi tiga: (1) Kafir Harbi, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang bermusuhan dengan negara Islam dan kaum Muslim; (2) Kafir Mu âhad, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang mempunyai perjanjian dengan negara Islam; (3) Warga negara Islam.
Terkait dengan warga negara kafir harbi, mereka diperbolehkan melakukan perdagangan di negara Islam, dengan visa khusus, baik yang terkait dengan diri maupun harta mereka. Kecuali warga negara “Israel”, Amerika, Inggris, Prancis, Rusia, dan negara-negara kafir harbi fi’lan lainnya, sama sekali tidak diperbolehkan melakukan perdagangan apa pun di wilayah negara Islam.
Adapun warga negara kafir muâhad, maka boleh dan tidaknya mereka melakukan perdagangan di wilayah negara Islam dikembalikan pada isi perjanjian yang berlaku antara Khilafah dengan negara mereka.
Sementara warga negara Khilafah, baik Muslim maupun nonmuslim (ahli dzimmah), mereka bebas melakukan perdagangan, baik domestik maupun luar negeri. Hanya saja, mereka tidak boleh mengekspor komoditas strategis yang dibutuhkan di dalam negeri sehingga bisa melemahkan kekuatan Negara Khilafah dan menguatkan musuh.
Perdagangan luar negeri, meski merupakan aktivitas ekonomi, tetapi karena terkait dengan hubungan dengan pedagang di luar wilayah negara Khilafah, maka arus orang, barang, dan modal yang keluar masuk tetap di bawah kontrol Departemen Luar Negeri (Dâirah Khârijiyyah).
Pengaturan seperti ini akan menyelamatkan ekonomi negara tak hanya melihat dari sisi keuntungan dan pertumbuhan ekonomi semata. Keterikatan pada syariat Islam kaffahlah yang mampu menjamin stabilitas ekonomi. Dijamin tak akan terjadi tsunami impor macam hari ini. Hadirnya kekuatan besar ini makin kuat dirasakan seiring dengan makin tampaknya kebobrokan sistem ekonomi kapitalis liberal. Sehingga makin dekat dengan janji Rasul-Nya Tsumma takuunu khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.[]