Mungkin itu yang dirasakan banyak masyarakat yang hendak mudik hari ini. Kebiasaan bersilaturahim di bulan Syawal, sudah menjadi bagian dari kehidupan dan tradisi masyarakat Indonesia dari dulu. Bahkan kalender nasional pun selalu menetapkan hari khusus ini sebagai ajang berkumpul dengan keluarga dan saudara. Hingga perputaran ekonomi pun di bulan Ramadhan hingga Syawal dianggap menjadi modal besar untuk kehidupan kedepan.
Tapi sejak adanya pandemi Covid 19, 2 tahun ini tradisi mudik dilarang dan diatur sehingga banyak menimbulkan polemik. Bagi yang LDR, merantau, bahkan para mahasiswa, santri dan pelajar yang harus bersekolah keluar kota juga harus merasakan efek kebijakan ini. Dilema karena banyak kendaraan umum yang beroperasi harua dengan sejumlah aturan tertentu, otomatis penumpang anjlok, banyak sopir tak bisa berpenghasilan karena bus tak beroperasi. Pemudik pun memilih naik kendaraan pribadi meski beresiko atau justru harus berhadaapn dengan operasi swab dadakan di titik tertentu. Banyak rakyat kesulitan, tapi tetap harud menanggung sendiri kerinduan mereka, kesusahan mereka dan pemenuhan kebutuhan mereka. Miris.
Belum lagi dengan pihak yang memanfaatkan situasi, terbukti kasus penggunaan test antigen bekas hingga mendulang keuntungan 1,8 Miliar rupiah terbongkar setelah korban pun sudah mencapai angka 9000 orang.
Antara Antisipasi & Motif Lain
Tak jadi masalah jika negara mengatur mudik bahkan melarang dengan alasan pandemi, mencegah dan mengurangi penyebaran virus. Akan tetapi ketika kebutuhan akan hidup yang selama ini dominasinya ditanggung pribadi masing-masing, dan pengaturan waktu kerja dan belajar mengikuti mekanisme pengaturan dunia usaha, maka harus mengikuti berbagai kebijakan yang mengatur waktu libur.
Disisi lain, adanya kebijakan menghidupkan pariwisata hingga desa wisata yang diharapkan bisa menjadi lokomotif perekonomian pun menjadi dilema tersendiri. Mudik dilarang tapi pintu pariwisata terbuka lebar. Berdalih memutus rantai pandemi tapi rakyat didorong berwisata demi meningkatkan perekonomian. Tak bisa dihindari berkerumun, berinteraksi hingga terjadi peraturan yang ambigu, hukum seperti mata pisau, tajam disisi lain dan tumpul disisi lain.
Bahkan ramainya pemberitaan keluar masuknya warga negara Asing pun tak bisa dibantahkan. India sebagai negara paling banyak menelan korban Covid-19 bahkan diibaratkan seperti Tsunami Covid-19 telah terjadi di India, bahkan didapati adanya eksodus warganya akibat ketakutan jika tetap berada di negaranya. Jumlah kasus mencapai 400 ribu perhari dan kematian 2000 perhari, patutlah seharusnya kita mewaspadai penularannya. Akan tetapi di tengah kondisi pemerintah melarang mudik, justru didapati masuknya warga India melalui jalur udara. Meski diberitakan ada yang dideportasi tapi jumlah yang sudah masuk juga lebih besar.
.
Yang diherankan, pemerintah baru menerapkan larangan masuk untuk warga India ke Indonesia tanggal 25 April. Sementara sebelum 25 April gelombang masuk sudah sangat banyak. Bahkan sudah ditemui mutasi covid-19 dan memakan 10 korban akibat lemahnya tracing. Jika sudah terlanjur seperti ini, lalu Bagaimana nasib orang-orang India yang sudah terlanjur masuk? mudik dilarang bahkan jalur tikus pun diawasi sementara dari negara lain ada yang masih dibebaskan masuk.
Terlebih dengan kebijakan pariwisata yang di dongkrak sebagai salah satu cara untuk meningkatkan perbaikan ekonomi. Meski dikatakan pariwisata dengan mengaktifkan desa wisata atau dekat dengan wilayah tempat tinggal masing-masing akan tetapi pastinya sulit untuk membatasi keinginan berwisata hingga keluar daerah. Kebijakan membatasi mudik sebenarnya baik akan tetapi kontradiktif dengan kebijakan yang lain bahkan pemerintah terkesan tebang pilih dalam mengambil kebijakan.
Pemerintah dalam mengambil kebijakan mudik dengan alasan untuk menghentikan atau memutus rantai virus menjadi polemik. Karena hal ini tidak selaras dengan kebijakan yang lain yang menjadikan sektor pariwisata sebagai upaya meningkatkan perekonomian. Ditambah lagi dengan adanya kepentinganu menggiring kebijakan mudik menjadi sangat tebang pilih.
Pandemi dan Kebijakan Menuntaskannya
Melihat wabah yang terus terjadi dan dunia masih dijajah serangan virus mematikan ini, alangkah tepatnya jika kita melihat bagaimana kebijakan Islam dalam mengatasi pandemi.
Berikut sejumlah paradigma dan konsep Islam tersebut.
Pertama, negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab melakukan beragam upaya prevemtif dan kuratif dalam menangani wabah. Dalam Islam penguasa ibarat junnah/perisai.
Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadits dari jalur Abu Hurairah ra, bahwa Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama, bersabda:
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدْلٌ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ ، وَإِنْ يَأْمُرُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ [رواه البخاري ومسلم]
“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]
Kedua, memposisikan Covid sebagai kemudharatan yang harus disikapi dengan pencegahan yang maksimal. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
riwayat al-Hâkim dan al-Baihaqi
, َمَنْ ضَارَّ ضَرَّهُ اللهُ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْه
" Barangsiapa membahayakan orang lain, maka Allâh akan membalas bahaya kepadanya dan barangsiapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain, maka Allâh akan menyulitkannya.”
Dalam hal ini maka negara akan menempatkan Covid sebagai masalah serius yang harus diurus bukan sekedar mencari beragam kepentingan didalamnya. Sehingga haram negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, apa pun alasannya.
Ketiga, negara harus melarang masuk warga negara yang terbukti menjadi tempat wabah.
Yang terbaru adalah warga India setelah sebelumnya China yang bebas keluar masuk. Rasulullah bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
Artinya: "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari)
Keempat, negara wajib mengimplememntasikan islam kaffah sehingga tak mudah disetir oleh kepentingan imperialis dalam menangani wabah. Bagaimanapun pandemi saat ini banyak dimanfaatkan olehnimperialis untuk meraup keuntungan dengan bisnis vaksin, beragam alat kesehatan dan regulasi yang memihak imperialis.
وَلَنۡ يَّجۡعَلَ اللّٰهُ لِلۡكٰفِرِيۡنَ عَلَى الۡمُؤۡمِنِيۡنَ سَبِيۡلًا
“Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS An-Nisa: 141)
Negara harus mampu menangani wabah secara optimal memainkan perannya bukan menginduk pada arahan solusi negara kafir dan lembaga dunia.
Kelima, mengerahkan tim dan ilmuwan untuk melahirkan penemuan hebat mengatasi wabah sangat mungkin sekali dilakukan kapasitas negara. Karena anak negeri ini sebenarnya memiliki kemampuan untuk itu, hanya karena selama ini hegemoni penjajah kapitalis sangat kuat sehingga para ilmuwan tak memiliki poeer untuk melakukan riaet karena alasan dana, kebijakan dan juga beragam serangan dari lembaga internasional.
Keenam, negara menjamin kebutuhan masyarakat bukan berbisnis dengan rakyat dalam suasana pandemi seperti ini. Pandemi selama ini sulit dihentikan juga karena masyarakat selain harus memenuhi kebutuhannya sendiri, masyarakat juga harus bergelut dengan resiko terkena virus. Sementara imunutas mereka dijamin oleh mereka sendiri. Pensuasanaan kondisi masyarakat ketika pandemi jelas menjafintugas negara dalam mengaturnya. Jika negara memenuhi dan trpat membrri solusi masalah kebutuhan rakyat, maka rakyat pastinyantifak "nekat" keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya.
Ketujuh, negara menjamin tersedianya fasilitas kesehatan, tim nakes yang memadai dan kompeten dalam menangani wabah. Juga tersedianya kelengkapam sarpras untuk memaksimalkan upaya kuratifnya.
Kedelapan, alokasi dana oenanggulangan pandemi haruslah dana yang mandiri artinya tidak bergantung pada pihak luar yang ada kompensasi atas dana tersebut. Seperti penanganan Covid di negeri ini justru dana dari hutang, dikorupsi pula oleh pihak tertentu. Dalam Islam jelas hal ini bertentangan. Sehingga tak hanya memperhatikan sumber anggarannya tapi juga pihak yang diamanahi dana phn adalah orang-orang yang takut kepada Allah dan mengabdikan diti secara totalitas untuk umat.
Mudik akan jauh lebih kondusif jika penerapan aturan bisa dilakukan berdasarkan pandangan Islam. Silaturahmi akan tetap terjakin, sholat berjaah dan sholat 'Id akan tetap terlaksana karena negara benar-benar mengisolasi para penderita Covid dan tidak bercampur baur mereka di ranah publik. Tapi jika dengan aturan yang ada hari ini, justru mudik menjadi dilema untuk dijalani, takut untuk dilakukan dan akhirnya modal nekat dan yakin saja pada qodho seakan membuat rakyat menembus batas penjagaan diri di tengah pandemi. Miris.