Islam Menyatukan Keberagaman
Pluralitas merupakan sebuah kenicayaan yang tidak bisa kita hindari. Keberagaman yang ada di tengah-tengah kita merupakan sesuatu yang alami dan berasal dari Sang Pencipta.
Islam sejak ditegakkan dalam institusi negara Madinah oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam lalubdiikuti oleh para khalifah sesudahnya tidak pernah melakukan penyeragaman (pluralisme) terhadap keragaman yang ada di tengah-tengah umat. Yang dilakukan saat itu adalah mengikat keragaman yang ada dengan ikatan yang kokoh sehingga terbentuklah sebuah ikatan yang kuat dan solid.
Ikatan yang kokoh adalah ikatan yang dibangun atas dasar permikiran, perasaan dan sistem (aturan) yang sama. Bukan dibangun atas ikatan kebangsaan (nasionalisme), kesukuan atau kekeluargaan, ikatan kerohanian dan ikatan kemaslahatan (manfaat) seperti yang diterapkan oleh negara Barat saat ini. Ikatan-ikatan ini merupakan ikatan yang lemah dan telah terbukti kelemahannya. Tidak ada ikatan lain yang kokoh dan terbukti dalam menjaga persatuan kecuali ikatan yang dibangun atas dasar pemikiran, perasaan dan sistem (aturan) yang sama.
Seberapapun besarnya perbedaan yang ada, jika pemikiran, perasaan serta sistem yang diterapkan atas seluruh warga negara adalah sama, maka persatuan akan terwujud tanpa adanya pihak yang merasa dirugikan. Begitulah Islam, berusaha untuk membangun persatuan dari keragaman yang ada, bukan menjadikan keragaman menjadi keseragaman.
Rasulullah saw. telah memberikan contoh betapa toleransi merupakan keharusan. Jauh sebelum PBB merumuskan Declaration of Human Rights, Islam telah mengajarkan jaminan kebebasan beragama. Melalui Watsîqah Madînah pada 622 M, Rasul saw. telah meletakkan dasar-dasar bagi keragaman hidup antarumat beragama, mengakui eksistensi non-Muslim sekaligus menghormati peribadatan mereka. Piagam Madinah yang dirumuskan Rasul saw. itu merupakan bukti otentik mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang dipraktikkan umat Islam. Di antara butir-butir toleransi itu adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada, tidak saling menyakiti dan saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.
Melalui Piagam Madinah itu, Rasul saw. sebagai râ’is ad-dawlah (kepala negara) menunjukkan bukti, betapa beliau sangat menghormati agama lain. Contoh, saat Rasul saw. melihat ada rombongan orang mengusung jenazah Yahudi melewati beliau, beliau sepontan berdiri (sebagai penghormatan). Sahabat protes, “Wahai Rasulullah, bukankah dia seorang Yahudi?”
Rasulullah saw. menjawab, “Bukankah dia manusia?”
Di lain kesempatan, ketika Rasul saw. ditanya oleh para Sahabat tentang memberikan bantuan materi kepada non-Muslim, “Apakah kami boleh memberi bantuan kepada kaum Yahudi?”
Beliau menjawab, “Boleh, sebab mereka juga makhluk Allah, dan Allah akan menerima sedekah kita.”
Akan tetapi, harus diingat bahwa toleransi Rasul di atas tidak lantas menjadikan Rasulullah saw. membenarkan apa yang menjadi keyakinan mereka. Sikap toleransi, harmonis, tolong-menolong dan kerjasama umat Islam dengan non-Muslim hanyalah dalam masalah muamalah keduniaan yang tidak berhubungan dengan permasalahan akidah dan ibadah.
Jaminan atas keberagaman yang telah dibangun oleh Rasulullah saw. juga dipraktikkan oleh para Sahabat saat mereka mendapatkan amanah kepemimpinan sebagai para khalifah, menggantikan kepemimpinan Rasul saw. atas umat Islam.
Di antara contoh paling mengemuka adalah saat Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. membebaskan Baitul Maqdis (Yerussalem), Palestina. Saat itu Khalifah Umar menandatangani perjanjian damai dengan Pendeta Sofranius yang merupakan pemimpin umat Nasrani di Yerussalem. Perjanjian yang dinamai Ihdat Umariyah itu memberikan jaminan kepada warga non-Muslim agar tetap bebas memeluk agama dan keyakinan mereka. Khalifah Umar tidak memaksa mereka untuk memeluk Islam dan tidak menghalangi mereka untuk beribadah sesuai keyakinannya. Mereka hanya diharuskan membayar jizyah sebagai bentuk ketundukan pada pemerintahan Islam. Bahkan Khalifah memberikan keleluasaan kepada mereka untuk tetap memasang salib-salibnya di Gereja al-Qiyamah. Khalifah Umar ra. juga memberikan kebebasan dan hak-hak hukum dan perlindungan kepada seluruh penduduk Yerussalem.
Hal.senada juga ditunjukkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz saat berkuasa. Saat itu di Negara Khilafah tidak ada seorang pun yang terkategori sebagai mustahiq zakat hingga harta yang terkumpul di Baitul Mal luar biasa melimpah. Akhirnya, Khalifah membelanjakan harta Baitul Mal tersebut untuk membebaskan perbudakan di benua Eropa dan Amerika.
Saat umat Islam berkuasa di Semenanjung Iberia, Andalusia, selama hampir 7 abad, soal toleransi ini pun tetap menjadi perhatian para amir Bani Umayyah dalam memperlakukan penduduk asli baik Katolik, Yahudi maupun paganis.
Fakta sejarah telah membuktikan bahwa Islam mengakui dan menghargai keberagaman. Jadi, kenapa tuduhan intoleran selalu dituduhkannya kepada Islam?
Dari sinilah seharusnya kita berpikir bahwa hanya Islam saja satu-satunya pengatur keberagaman yang ada di tengah kehidupan manusia. Sebab, jaminan atas keberagaman yang hakiki hanya akan terwujud jika Islam diterapkan.
Karena dalam Islam kemuliaan manusia tidaklah dilihat dari faktor ras, bahasa dan warna kulit tapi kemuliaan manusia terlihat dari seberapa besar ketaqwaanya kepada Allah.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)
Ath Thobari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian –wahai manusia- adalah yang paling tinggi takwanya pada Allah, yaitu dengan menunaikan berbagai kewajiban dan menjauhi maksiat. Bukanlah yang paling mulia dilihat dari rumahnya yang megah atau berasal dari keturunan yang mulia.” (Tafsir Ath Thobari, 21:386)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kalian bisa mulia dengan takwa dan bukan dilihat dari keturunan kalian” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 13: 169)
Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كرم الدنيا الغنى، وكرم الآخرة التقوى.
“Mulianya seseorang di dunia adalah karena kaya. Namun muliany seseorang di akhirat karena takwanya.” Demikian dinukil dalam tafsir Al Baghowi. (Ma’alimut Tanzil, 7: 348)
Jika firmanNya telah menunjukkan kepada kita bagaimana menyatukan keberagaman dan kemuliaan, lalu apa alasan kita untuk enggan bersatu dalam naungan Islam?