Jumat, 25 Januari 2019

Tanya Jawab

بسم الله الرحمن الرحيم
Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Laman Facebook Beliau “Fiqhiyun”
Jawaban Pertanyaan:
Fakta dan Hukum Kanzul Mal
Kepada Nazia Rehman

Soal:
Assalâmu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Ya Syaikh, semoga Allah SWT menjaga dan memuliakan Anda.
Bisakah Anda menguraikan definisi penimbunan (kanzu)? Hidup dalam masa ketidakpastian dengan sistem kapitalis terhadap kita, mudah untuk berpikir bahwa kita harus menyisihkan uang sebab tidak diketahui kapan keadaan darurat akan muncul dan biaya perawatan kesehatan yang tiba-tiba atau perjalanan darurat mungkin terlalu berat untuk ditanggung.
Juga di beberapa budaya sangat normal untuk menyimpan emas pernikahan sebagai aset untuk anak-anak untuk (biaya) pernikahan mereka.
Dengan menggunakan kenyataan ini dan pemahaman yang jelas tentang penimbunan, harap Anda jelaskan: Apakah diperbolehkan bagi kita memiliki tabungan untuk masa depan atau apakah kita diwajibkan untuk memutar semua kekayaan?
Semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.
Wassalamu ‘alaykum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Umm Emaan – Pakistan.

Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Di awal saya kutipkan sebagian yang ada di buku an-Nizhâm al-Iqtishâdî seputar larangan menimbun harta (al-kanzu) dan definisinya:
(Larangan Menimbun Emas dan Perak
... Kekayaan yang besar (banyak) ini menyiapkan untuk pemiliknya kesempatan menabung (iddikhâr). Dan membantunya mendapatkan pemasukan yang besar. Sehingga harta yang banyak itu tetap ada di mana harta yang besar (banyaK) itu berada. Sebab harta mendatangkan harta. Meski tenaga juga memiliki pengaruh dalam mendatangkan kekayaan dan penyiapan kesempatan untuk memanfaatkan harta. Jadi tidak ada darinya bahaya terhadap perekonomian. Tetapi, sebaliknya justru mengembangkan kekayaan ekonomi masyarakat, sebagaimana mengembangkan kekayaan individu. Tetapi bahaya itu tidak lain datang dari uang yang ditimbun pada beberapa individu dari kalangan pemilik harta besar (banyak).  Maka dengan penimbunan uang tingkat pemasukan menurun, pengangguran menyebar dan masyarakat sampai ke satu keadaan kemiskinan. Oleh karena itu harus ada penyelesaian masalah penimbunan uang. Uang adalah alat tukar antara harta dengan harta, harta dengan tenaga dan antara tenaga dengan tenaga. Uang adalah standar untuk pertukaran ini. Maka jika uang hilang dari pasar dan tidak sampai ke masyarakat maka pertukaran pun hilang dan roda perekonomian berhenti.  Kadar tersedianya alat tukar ini di hadapan masyarakat menentukan kadar yang mendorong jalannya aktivitas ke depan...
... hanya saja, yang wajib diketahui bahwa bahaya ini tidak lain datang dari penimbunan uang, bukan datang dari menabung uang. Menabung tidak menghentikan roda aktivitas. Melainkan penimbunan lah yang menghentikan roda aktivitas. Perbedaan di antara penimbunan dan menabung adalah penimbunan merupakan ungkapan dari mengumpulkan uang satu dengan yang lain tanpa ada keperluan, dan itu adalah menahan uang dari pasar. Sedangkan menabung adalah menyimpan uang untuk suatu keperluan. Misalnya, mengumpulkan uang untuk membangun rumah, atau untuk menikah atau untuk membeli pabrik atau untuk membuka perdagangan atau untuk keperluan lainnya.  Jenis pengumpulan uang ini tidak berpengaruh di pasar dan tidak berpengaruh pada roda aktivitas, sebab itu tidak menahan harta, melainkan mengumpulkan harta untuk dibelanjakan. Jadi harta yang ditabung tersebut akan beredar ketika dibelanjakan. Oleh karena itu tidak ada bahaya dari menabung. Bahaya tidak lain datang dari menimbun uang, yakni dari mengumpulkan uang satu sama lain menjadi lebih banyak tanpa ada keperluan.
Islam telah memperbolehkan menabung emas dan perak. Sebab itu adalah mengumpulkan uang untuk satu keperluan. Islam memperbolehkan budak mukatab untuk bekerja dan mengumpulkan uang satu sama lain untuk menunaikan apa yang diwajibkan terhadapnya kepada tuannya agar dia merdeka. Islam juga memperbolekan seoran laki-laki mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk mengumpulkan mahar seorang wanita untuk dia nikahi. Islam memperbolehkan untuk mengumpulkan uang sedikit demi sedikit sampai bisa menunaikan kewajiban haji. Islam tidak menjadikan dalam uang yang dikumpulkan ini dari jenis emas dan perak selain zakat atasnya jika jumlahnya telah mencapai nishab dan berlalu satu haul atasnya.
Emas dan perak, ketika ayat larangan menimbunnya ini diturunkan, keduanya merupakan alat tukar dan standar untuk tenaga dalam kerja dan standar manfaat dalam harta, baik emas dan perak itu dicetak seperti Dinar dan Dirham, atau tidak dicetak seperti batangan/lantakan. Jadi larangan itu disematkan terhadap emas dan perak dalam sifatnya sebagai alat tukar.
Adapun menimbun emas dan perak, maka Islam telah mengharamkannya dengan pernyataan gamblang al-Quran. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (TQS at-Tawbah [9]: 34).

Ancaman dengan siksaan pedih terhadap orang-orang yang menyimpan emas dan perak ini merupakan dalil yang jelas bahwa asy-Syâri’ menuntut ditinggalkannya aktivitas menyimpan emas dan perak itu dengan tuntutan yang tegas sehingga menyimpan emas dan perak itu adalah haram...), selesai kutipan dari an-Nizhâm al-Iqtishâdî seputar menimbun harta dan wajib dipahami dengan baik sebab jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Anda bersandar padanya.
Kami telah ditanya dengan pertanyaan menyerupai pertanyaan Anda dan jawaban saya untuk penanya pada 13/1/2014 sebagai berikut:
(1- Menimbun harta adalah mengumpulkan harta tanpa keperluan. Jika di situ ada keperluan yang disyariatkan seperti Anda mengumpulkan harta untuk membangun rumah, membeli tanah, membangun pabrik, menikah, dsb, atau Anda punya anak-anak sehingga Anda kumpulkan untuk mereka angsuran mereka untuk menyekolahkan mereka di sekolah tertentu atau untuk membeli mobil atau semacam itu, maka ini adalah mengumpulkan harta untuk keperluan dan bukan menimbun. Tetapi itu adalah pengumpulan yang halal, dizakati jika nishabnya telah berlalu satu haul. Sedangkan mengumpulkan untuk perkara yang mustahil maka itu adalah menimbun dan tidak boleh. Misalnya, mengumpulkan harta untuk jaga-jaga terjadinya gempa sehingga rumahnya hancur dan dia ingin membangun kembali rumahnya ketika itu terjadi. Atau mengumpulkan harta sedikit demi sedikit dengan alasan ini nafkah (belanja) dua puluh tahun ke depan!
2- Mengumpulkan nafkah (belanja) untuknya dan untuk orang yang menjadi tanggungannya yang cukup untuk satu tahun adalah perkara yang boleh dan bukan merupakan penimbunan. Sebab Rasul saw memberi para Ummul Mukminin nafkah untuk satu tahun. Imam Muslim telah mengeluarkan dari Umar:
«كَانَتْ أَمْوَالُ بَنِي النَّضِيرِ مِمَّا أَفَاءَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ، مِمَّا لَمْ يُوجِفْ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ بِخَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ، فَكَانَتْ لِلنَّبِيِّ  خَاصَّةً، فَكَانَ يُنْفِقُ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةَ سَنَةٍ، وَمَا بَقِيَ يَجْعَلُهُ فِي الْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ، عُدَّةً فِي سَبِيلِ اللهِ»
“Dahulu harta Bani Nadhir termasuk apa yang diberikan oleh Allah kepada Rasul-Nya, termasuk harta yang tidak diperoleh oleh kaum Muslim dengan kuda atau pasukan, maka itu adalah untuk Nabi saw secara khusus, dan Beliau membelanjakannya kepada keluarga beliau sebagai nafkah satu tahun, dan yang tersisa beliau jadikan untuk membeli kuda dan senjata sebagai persiapan jihad fi sabilillah”.

Imam an-Nawawi menjelaskannya di dalam Syarhu Shahîh Muslim: “ucapan Umar, “beliau belanjakan kepada keluarga beliau sebagai nafkah satu tahun yakni beliau sisihkan untuk mereka nafkah satu tahun, tetapi akhirnya beliau belanjakan sebelum habis satu tahun dalam berbagai kebaikan sehingga tidak sampai genap satu tahun ...”. Oleh karena itu maka mengumpulkan harta untuk nafkah selama satu tahun bukan merupakan penimbunan (kanzu). Dan dizakati nishabnya jika telah berlalu satu haul.
3- Seorang wanita yang bekerja seandainya dia mengumpulkan harta untuk membantu pernikahannya, maka ini bukanlah menimbun (kanzu)... Demikian juga ketika wanita itu memiliki anak-anak maka dia boleh mengumpulkan harta untuk anak-anaknya itu angsuran sekolah mereka atau kebutuhan mereka ... Semua itu bukanlah penimbunan (kanzu). Tetapi nishabnya harus dizakati jika telah berlalu atasnya satu haul.
4- Demikian juga, seorang laki-laki, dia boleh mengumpulkan harta untuk menikah, dan itu bukanlah penimbunan (kanzu). Demikian juga ketika dia memiliki anak-anak, dia boleh mengumpulkan untuk mereka cicilan sekolah mereka atau kebutuhan mereka ... Semua itu bukan merupakan penimbunan. Tetapi harus dizakati nishabnya jika telah berlalu atasnya satu haul.
5- Adapun mengumpulkan harta untuk jaga-jaga menghadapi bencana yang jauh kemungkinan terjadinya dengan anggapan bahwa jika suatu ketika terjadi bencana yang akan memporakporandakan rumah ... menghancurkan harta benda... dan dia ingin mengumpulkan harta sebagai jaga-jaga untuk kondisi-kondisi yang tidak biasa itu, maka ini tidak boleh.
6- Solusi yang jadi pandangan saya untuk orang yang Allah beri karunia dengan harta yang banyak melebihi nafkah mereka satu tahun dan nafkah orang-orang yang menjadi tanggungannya, dan dia tidak memiliki keperluan yang ingin dibiayai, maka saya berpandangan bahwa pemilik harta itu hendaknya menginvestasikannya dalam proyek yang halal baik industri, perdagangan, pertanian; atau dia shadaqahkan atau dia tanggung anak yatim dan dia belanjakan di pintu-pintu kebaikan yang benar. Dan janganlah dia pertahankan harta itu sebagian dengan sebagian lainnya, tidak dia belanjakan. Ketika itu maka berlaku terhadapnya hukum penimbunan harta (kanzu al-mâl) yakni menyimpannya tanpa ada keperluan yang ingin dibiayai, dan itu adalah haram.)
Saya berharap, di dalam ini ada kecukupan.

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

14 Jumadil Awwal 1440 H/ 20 Januari 2019 M

http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/57464.html
https://web.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192/986160044914400/?type=3&theater
https://plus.google.com/u/0/b/100431756357007517653/100431756357007517653/posts/RbN483GQEsr

Sabtu, 12 Januari 2019

BOLEHKAH MENASEHATI PENGUASA DI TEMPAT UMUM? BAIK SECARA LANGSUNG MAUPUN MELALUI DEMONSTRASI?


Oleh : KH. Hafidz Abdurrahman, MA.

Nasehat adalah hak setiap orang, mulai dari rakyat jelata hingga para penguasa. Artinya, mereka mempunyai hak untuk dinasehati, dan sebaliknya menjadi kewajiban bagi setiap orang mukallaf, tatkala menyaksikan kemungkaran atau kezaliman yang dilakukan oleh orang lain; baik pelakunya penguasa maupun rakyat jelata. Inilah yang dinyatakan dalam hadits Nabi:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama adalah nasehat, untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim, dan orang-orang awam.” (H.r. al-Bukhari dan Muslim)

Karena itu, nasehat sebagai upaya mengubah perilaku munkar atau zalim orang lain —baik penguasa maupun rakyat jelata— sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari konteks dakwah bi al-lisan (melalui lisan maupun tulisan), sebagaimana sabda Nabi:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ

“Siapa saja yang menyaksikan kemunkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka hendaknya dengan lisannya.” (H.r. Muslim)

Inilah yang dilakukan oleh para ulama Salaf as-Shalih terdahulu, seperti Abdullah bin Yahya an-Nawawi kepada Sultan Badruddin. Dalam Tahdzib al-Asma’, karya Abu Yahya Muhyiddin bin Hazzam disebutkan, tatkala Abdullah bin Yahya an-Nawawi mengirim surat kepada Sultan Badruddin, dan baginda menjawab suratnya dengan marah dan nada ancaman, ulama’ ini pun menulis surat kembali kepada baginda, “Bagiku, ancaman itu tidak akan mengancam diriku sedikitpun. Akupun tidak akan mempedulikan-nya, dan upaya tersebut tidak akan menghalangiku untuk menasehati Sultan. Karena saya berkeyakinan, bahwa ini adalah ke-wajibanku dan orang lain, selain aku. Adapun apa yang menjadi konsekuensi dari kewajiban ini merupakan kebaikan dan tambahan kebajikan.”¹

Adapun jenis kemunkaran yang hendak diubah, dilihat dari aspek bagaimana pelakunya melakukan kemunkaran tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua:

Pertama, kemunkaran yang dilakukan secara diam-diam, rahasia dan pelakunya berusaha merahasiakannya;

Kedua, kemunkaran yang dilakukan secara terbuka, demonstratif dan pelakunya tidak berusaha untuk merahasiakannya, justru sebaliknya.

Jenis kemunkaran yang pertama, dan bagaimana cara mengubah kemunkaran tersebut dari pelakunya, tentu berbeda dengan kemunkaran yang kedua. Orang yang tahu perkara tersebut hendaknya menasehatinya secara diam-diam, dan kemunkaran yang dilakukannya pun tidak boleh dibongkar di depan umum. Sebaliknya, justru wajib ditutupi oleh orang yang mengetahuinya. Nabi bersabda:

مَنْ سَتَرَ عَوْرَةً فَكَأَنَّمَا اِسْتَحْيَا مَوْءُوْدَةً مِنْ قَبْرِهَا

“Siapa saja yang menutupi satu aib, maka (pahalanya) seolah-olah sama dengan menghidupkan bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup dari kuburnya.” (H.r. Ibn Hibban)

Berbeda dengan jenis kemunkaran yang kedua, yaitu kemunkaran yang dilakukan secara terbuka, dan terang-terangan. Dalam kasus seperti ini, pelaku kemunkaran tersebut sama saja dengan menelanjangi dirinya sendiri dengan kemunkaran yang dilakukannya. Untuk menyikapi jenis kemunkaran yang kedua ini, sikap orang Muslim terhadapnya dapat dipilah menjadi dua:

1-  Jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut pengaruhnya terbatas pada individu pelakunya, dan tidak mempengaruhi publik, maka  kemaksiatan atau kemunkaran seperti ini tidak boleh dibahas atau dijadikan perbincangan. Tujuannya agar kemunkaran tersebut tidak merusak pikiran dan perasaan kaum Muslim, dan untuk menjaga lisan mereka dari perkara yang sia-sia. Kecuali, jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut diungkapkan untuk mengingatkan masyarakat akan bahaya orang fasik yang melakukan kemaksiatan tersebut. Maka, pengungkapan seperti ini boleh.

2-  Jika kemaksiatan atau kemunkaran tersebut pengaruhnya tidak terbatas pada individu pelakunya, sebaliknya telah mempengaruhi publik, misalnya seperti kemunkaran yang dilakukan oleh sebuah institusi, baik negara, organisasi, kelompok atau komunitas tertentu, maka  kemaksiatan atau kemunkaran seperti ini justru wajib dibongkar dan diungkapkan kepada publik agar mereka mengetahui bahayanya untuk dijauhi dan ditinggalkan supaya mereka terhindar dari bahaya tersebut. Inilah yang biasanya disebut kasyf al-khuthath wa al-mu’amarah (membongkar rancangan dan konspirasi jahat) atau kasyf al-munkarat  (membongkar kemunkaran).

Ini didasarkan pada sebuah hadits Zaid bin al-Arqam yang mengatakan, “Ketika aku dalam suatu peperangan, aku mendengar Abdullah bin ‘Ubay bin Salul berkata: ‘Janganlah kalian membelanjakan (harta kalian) kepada orang-orang yang berada di sekitar Rasulullah, agar mereka meninggalkannya. Kalau kita nanti sudah kembali ke Madinah, pasti orang yang lebih mulia di antara kita akan mengusir yang lebih hina. Aku pun menceritakannya kepada pamanku atau ‘Umar, lalu beliau menceritakan-nya kepada Nabi saw. Beliau saw. pun memanggilku, dan aku pun menceritakannya kepada beliau.” ²

Apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Ubay, dan diketahui oleh Zaid bin al-Arqam, kemudian disampaikan kepada Rasulullah saw. adalah kemunkaran (kemaksiatan) yang membahayakan kemaslahatan Islam dan kaum Muslim, bukan hanya diri pelakunya. Abdullah bin Ubay sendiri ketika ditanya, dia mengelak tindakannya, yang berarti masuk kategori perbuatan yang ingin dirahasiakan oleh pelakunya, tetapi tindakan Zaid bin al-Arqam yang membongkar ihwal dan rahasia Abdullah bin Ubay tersebut  ternyata dibenarkan oleh Nabi. Padahal, seharusnya tindakan memata-matai dan membongkar rahasia orang lain hukum asalnya tidak boleh. Perubahan status dari larangan menjadi boleh ini menjadi indikasi, bahwa hukum membeberkan dan membongkar rahasia seperti ini wajib, karena dampak bahayanya bersifat umum.³

Karena itu, tindakan mengkritik kebijakan zalim atau munkar yang dilakukan oleh penguasa, baik secara langsung ketika berada di hadapan-nya maupun tidak langsung, misalnya melalui tulisan, demonstrasi atau masirah, bukan saja boleh secara syar’i tetapi wajib.⁴ Kewajiban ini bahkan pahalanya dinyatakan sebanding dengan pahala penghulu syuhada’, yaitu Hamzah bin Abdul Muthallib, seperti dalam hadits Nabi:

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ المُطَلِّبِ وَرَجُلٌ قَالَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ

“Penghulu syuhada’ adalah Hamzah bin Abdul Muthallib, dan orang yang berkata di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu dia memerintahkannya (pada kemakrufan) dan melarangnya (terhadap kemunkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya.” (H.r. al-Hakim)

Apa yang dilakukan oleh para sahabat terhadap ‘Umar dalam kasus pembatasan mahar, pembagian tanah Kharaj, hingga kain secara terbuka di depan publik adalah bukti kebolehan tindakan ini. Adapun pernyataan ‘Irbadh bin Ghanam yang menyatakan, “Siapa saja yang hendak menasehati seorang penguasa, maka dia tidak boleh mengemukakannya secara terbuka, tetapi hendaknya menarik tangannya dan menyendiri. Jika dia menerimanya, maka itu kebaikan baginya, dan jika tidak, pada dasarnya dia telah menunaikannya.”5 pada dasarnya tidak  menunjukkan adanya larangan mengkritik atau menasehati penguasa di depan publik, tetapi hanya menjelaskan salah satu cara (uslub) saja.

Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa menasehati penguasa atau mengkritik kebijakan penguasa yang zalim, termasuk membongkar kemunkaran atau konspirasi jahat terhadap Islam dan kaum Muslim hukumnya wajib, hanya saja cara (uslub)-nya bisa beragam; bisa dilakukan langsung, dengan bertemu face to face, atau secara tidak langsung, dengan melalui tulisan, surat, demonstrasi atau masirah. Melakukan upaya dengan lisan, termasuk melalui tulisan, seperti surat terbuka, buletin, majalah, atau yang lain, baik langsung maupun tidak, jelas lebih baik, ketimbang upaya bi al-qalb (dengan memendam ketidaksukaan), apalagi jika tidak melakukan apa-apa, sementara terus mengkritik orang lain yang telah melakukannya. Faliyadzu billah.

(Footnotes)
1. HR. al-Bukhari dan Muslim, Shahihayn, hadits no. 4520 dan 4976.

2. Ibn Hazzam, Tahdzib al-Asma', Dar al-Fikr, Beirut, cet. Pertama, 1996, juz I, hal. 22.

3. Hizbut Tahrir, Min Muqawwimat an-Nafsiyah  al-Islamiyyah,  Dar al-Ummah, Beirut, cet. Pertama, 2004, hal. 112-113.

4. Meski sebagai cara (uslub ) menyampaikan pendapat, tulisan, demonstrasi atau ma-sirah tersebut statusnya tetap mubah, dan tidak berubah menjadi wajib. Yang wajib adalah menyampaikan nasehat dan kritik terhadap kebijakan zalim atau munkar yang dilakukan oleh penguasa.

5 Abu Syuja’, al-Firdaus min Ma’tsur al-Khaththab,  Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut,
cet. Pertama, 1986, juz III, hal. 591.

MANUSIA PALING BERMANFAAT

عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير فيمن لا يألف ، ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس »

Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah saw bersabda," Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.”_*
📖HR. Thabrani dan Daruquthni

عن ابن عمر ، أن رجلا جاء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال : يا رسول الله أي الناس أحب إلى الله ؟ وأي الأعمال أحب إلى الله عز وجل ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « أحب الناس إلى الله أنفعهم للناس ، وأحب الأعمال إلى الله سرور تدخله على مسلم ، أو تكشف عنه كربة ، أو تقضي عنه دينا ، أو تطرد عنه جوعا ، ولأن أمشي مع أخ لي في حاجة أحب إلي من أن أعتكف في هذا المسجد ، يعني مسجد المدينة ، شهرا ، ومن كف غضبه ستر الله عورته ، ومن كظم غيظه ، ولو شاء أن يمضيه أمضاه ، ملأ الله عز وجل قلبه أمنا يوم القيامة ، ومن مشى مع أخيه في حاجة حتى أثبتها له أثبت الله عز وجل قدمه على الصراط يوم تزل فيه الأقدام »

Dari Ibnu Umar bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi saw dan berkata,” *_Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah ? dan amal apakah yang paling dicintai Allah swt?_*” Rasulullah saw menjawab,” *_Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan. Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menuaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan. Dan barangsiapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barangsiapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).”
📖HR. Thabrani

SOMBONG

‏قال شيخ الإسلام رحمه الله :

"المستكبر عن الحق يُبتلى بالإنقياد
  للباطل".
(الفتاوى/٦٢٩/٧)

قال ابن القيم رحمه الله :

"من عُرِضَ عليه حقٌ فَرَدَّهُ،،،فلم
يقبله،عُوقِبَ بفساد قلبه وعقله
ورأيه".
(مفتاح دار السعادة/١٦٠/١)

لقوله عز وجل:
(ونقلب أفئدتهم وأبصارهم كما لم يؤمنوا به أول مرة ونذرهم في طغيانهم يعمهون)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu  Taymiyyah رحمه الله،

"Orang yang sombong (tidak mau menerima) kebenaran, pasti akan diuji dengan ketundukan kepada yang batil."
(Al-Fatawa 7/639)

Berkata Ibnul Qoyyim رحمه الله,

"Barangsiapa yang ditunjukkan kepadanya kebenaran lalu menolaknya,,, sehingga tidak menerimanya, maka dia akan dihukum dengan kerusakan hati, akal dan pandangannya."
(Miftahu Dar As-Sa'adah /1/160)

Berdasarkan firman Allah ,

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ.

"Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Qur'an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat."(Al-An'am: 110)

KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْ لَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى اْلجَنَّةِ وَإِنَّ اْلمَلإَكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًالِطَالِبِ اْلعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ اْلعِلْمِ يَسْتَغْفِرُلَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ حَتَّى اْلحِيْتَانِ فِي اْلمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ اْلعِلْمِ عَلَى اْلعَاِبدِ كَفَضْلِ اْلقَمَرِعَلَى سَاءِرِ اْلكَوَاكِبِ إِنَّ اْلعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ إِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرِّثُوْا  اْلعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ (رواه احمد و الترمذي وألوداودوابن ماجه) 

Artinya:

“Dari Abi Darda dia berkata :”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda”: “Barang siapa yangmenempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga, dan sesungguhnya para malaikat membentangkan sayapnya karena ridla (rela) terhadap orang yang mencari ilmu. Dan sesungguhnya orang yang mencari ilmu akan memintakan bagi mereka siapa-siapa yang ada di langit dan di bumi bahkan ikan-ikan yang ada di air. Dan sesungguhnya  eutamaan orang yang berilmu atas orang yang ahli ibadah seperti keutamaan (cahaya) bulan purnama atas seluruh cahaya bintang. Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para Nabi, sesugguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan  tetapi mereka mewariskan ilmu, maka barang siapa yang mengambil bagian untuk mencari ilmu, maka dia sudah mengambil bagian yang besar.”
📖 H.R. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majjah