Senin, 01 Januari 2018

Ibu Bekerja Bukan Solusi Problem Ekonomi


Pekerja perempuan di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahun. Persentase jumlah pekerja perempuan  mencapai 50 persen lebih dibandingkan jumlah pekerja laki-laki. Pada sektor tertentu seperti jasa kemasyarakatan, jumlah pekerja perempuan hampir menyamai jumlah pekerja laki-laki.

Kenaikan ini bukanlah hal yang tidak disengaja, akan tetapi perencanaan penambahan angka pelaku ekonomi di negeri ini memang terjadi secara terstruktur. Meski ditargetkan angka pekerja perempuan bertambah akan tetapi Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, masih ada kesenjangan yang tinggi antara tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) berdasarkan jenis kelamin pada Februari 2017, yakni masih didominasi oleh laki-laki.

Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto, TPAK laki-laki pada Februari lalu sebesar 83,05 persen, turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 83,46 persen. Sedangkan TPAk perempuan hanya 55,04 persen, namun meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 52,71 persen. Namun dibandingkan periode yang sama tahun lalu, TPAK perempuan mengalami kenaikan sebesar 2,33 persen poin, sementara TPAK laki-laki justru mengalami penurunan sebesar 0,41 persen poin.

Dilema Dominasi Pekerja Perempuan

Dengan bertambahnya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan, hal ini memang menambah angka partisipasi perempuan dalam meningkatkan perekonomian negara.  Menurut riset dari Grant Thornton tahun 2017, Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai peningkatan terbaik dalam hal jumlah perempuan yang menduduki posisi senior di perusahaan dengan peningkatan dari 24 persen di tahun 2016 menjadi 28 persen di tahun 2017. Tak bisa disepelekan posisi perempuan saat ini dalam dunia kerja.

Tapi apakah hal ini menyelesaikan masalah negara ini? Menuntaskan sebagian masalah ekonomi mungkin iya, akan tetapi pada faktanya partisipasi perempuan dalam dunia kerja mengharuskan negara mempersiapkan perangkat lain yang tak sedikit jumlahnya. 

Bermunculannya Day Care, LSM Perempuan, Undang-undang ketenagakerjaan yang berkaitan dengan perempuan, Undang-undang KDRT dll akhirnya menyedot anggaran dan perhatian pemerintah untuk menyelesaikan masalah cabang yang muncul karena bertambahnya angka pekerja perempuan.

Menurut riset yang dilakukan Women Research Institute (WRI) banyak sekali bermunculan masalah perempuan dalam relasi dunia kerja. Diantaranya fasilitas tempat kerja yang kurang kondusif; buruh tidak mendapat perlindungan dari perusahaan, jaminan kesehatan, kebebasan memilih kerja lembur; perlindungan dari pelecehan seksual tidak ada; dominasi laki-laki dalam Perwakilan Unit Kerja (PUK) dan Serikat Pekerja (SP); representasi buruh perempuan dalam organisasi serikat pekerja sangat rendah; Upah, kerja, dan kerja lembur, Penghitungan upah lembur tidak transparan; Tidak ada insentif bagi pekerja yang berhasil memenuhi target produksi; Upah tidak sebanding dengan kebutuhan hidup sehingga terpaksa kerja lembur; Jam kerja yang melewati batas waktu sering tidak mendapat kompensasi.

Sedangkan dalam kehidupan keluarga, problem yang muncul pun beragam. Meningkatnya angka perceraian akibat dominannya perempuan dalam kepemimpinan keluarga, perselingkuhan yang kian beragam jenisnya, menurunnya kualitas generasi, hilangnya keharmonisan keluarga, dan selainnya kini menjadi keseharian problem social yang dihadapi masyarakat.

Benarkah Angka Pekerja Perempuan Menyelamatkan Ekonomi Negara?

Deva Rachman, Corporate Affairs Director dari Intel Corporations memandang bagaimana supaya globalisasi dapat mengembangkan perempuan. Secara global banyak yang bisa didapatkan perempuan. Posisi Indonesia berada dalam kesempatan lebih lumayan daripada negara lain seperti Bangladesh, Afrika dan lain-lain.

Badan PBB mengatakan bahwa investasi waktu dan pendidikan, yang diberikan kepada perempuan, akan berbalik pada kebaikan ekonomi keluarga. Deva menawarkan kembali, saat ini kita perlu melihat bagaimana teknologi dapat membantu perempuan yaitu mendukung kemajuan mereka. Bila perempuan diberi investasi ini, maka kontribusinya terhadap masyarakat bisa dua kali lipat lebih besar.

Jika dicermati statemen di atas ada pemikiran mendasar yang melahirkan sikap tersebut. Pemikiran kesamaan  jender yang lahir dari liberalisasi pemikiran melihat bahwa sebenarnya kaum feminis perlu menolak konsep pembagian peran sosial yang dikaitkan dengan perbedaan biologis. Mereka terobsesi untuk mengubah masyarakat yang patriarki menjadi masyarakat yang berkesetaraan. Baik melalui perubahan secara kultural, maupun struktural.

Secara kultural, mereka berupaya merubah pola pendidikan dan pengasuhan anak yang tidak membeda-bedakan antara anak laki-laki dan perempuan, mengubah persepsi agama yang dianggap bias gender, dan lain-lain. Secara struktural, mereka berupaya mengubah kebijakan yang patriarki menjadi kebijakan yang pro perempuan, atau yang berkesetaraan. Semisal tentang kebijakan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen.

Jika dicermati, secara konseptual maupun praktis, ide kesetaraan gender ini sangat absurd dan utopis. Hal ini dikarenakan mereka seolah tidak menerima mengapa manusia lahir dengan membawa kodrat maskulinitas dan feminitas, sementara pada saat yang sama, mereka tidak mungkin mengabaikan fakta, bahwa di dunia ini ada dua jenis kelamin yang berbeda, laki-laki dan ada perempuan. Perbedaan kelamin manusia ini memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Semisal perempuan hamil, melahirkan dan menyusui, tidak bisa tergantikan oleh laki-laki.

Kalangan feminis menilai bahwa liberalisasi/ pembebasan kaum perempuan akan membuat kaum perempuan lebih maju. Liberalisasi dianggap sebagai pondasi untuk mencapai kemajuan. Isu liberalisasi ini kemudian menjadi isu sentral perjuangan mereka.

Liberalisasi menjadikan kaum perempuan bebas mengekspresikan dirinya, bekerja di bidang apapun yang diinginkannya, berbuat apapun yang disukainya, tanpa harus merasa takut dengan berbagai tabu (termasuk konsep kodrat) yang selama ini dianggap mengekang mereka.  Apakah ini sebuah pemikiran maju untuk perempuan? Tidak. Perempuan justru hanya akan keluar dari jalur norma dan fitrahnya sebagai ibu dan pendidik dalam keluarganya.

Islam: Solusi Menyeluruh Problem Perempuan Pekerja

Bukan menjadikan perempuan sebagai mesin ekonomi untuk menyelesaikan masalah bangsa, justru seharusnya perempuan diposisikan sebagaimana fitah penciptaannya. Secara biologis perempuan jelas memiliki ciri khas yang tidak akan bisa digantikan oleh laki-laki.

Perannya sebagai ibu dan pendidik generasi seharusnya ditopang dengan kuat oleh bangunan sistem negara dan juga situasi dalam keluarganya. Laki-laki dengan tanggung jawab nafkah akan merasa tenang jika tidak banyak persaingan usaha dengan kaum wanita, memaksimalkan perannya sebagai pencari nafkah keluarga, pemimpin dan pendidik istri pasti akan membawa dampak positif bagi kehidupan.

Laki-laki juga akan tenang meninggalkan anak-anak mereka kepada ibunya daripada menitipkannya kepada ART atau Day Care. Dan seorang perempuan akan memaksimalkan perannya sebagai ibu dan pendidik karena dia tidak perlu dipusingkan lagi dengan beragam jenis tuntutan pekerjaan di tempat usahanya hingga masalah nafkah.

Islam memandang bahwa persoalan yang muncul pada sebagian individu, termasuk persoalan perempuan, adalah persoalan manusia/masyarakat secara keseluruhan dengan pandangan yang holistik dan sistemik. Dengan begitu, solusi yang dihasilkan pun akan menyelesaikan persoalan secara tuntas dan menyeluruh. Persoalan kaum perempuan yang juga dialami oleh laki-laki membutuhkan solusi yang komprehensif. Solusi tersebut ada dalam hukum-hukum Islam.

Islam  memandang tugas nafkah adalah hanya tugas suami sebagaimana firman Allah:

‎وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya” (Al-Baqarah: 233)

Sementara problem ekonomi yang hari ini muncul adalah sebuah realita yang terbangun oleh sistem ekonomi kapitalisme. Kebebasan kepemilikan telah menjadikan kebutuhan rakyat dipolitisasi pihak tertentu untuk menguntungkan sebagian pihak saja yang memiliki dominasi kapital. Aset yang seharusnya dipenuhi sebagai kebutuhan komunal bahkan diswastanisasi dan dijadikan komoditas meraup keuntungan seperti pendidikan, kesehatan, keamanan.

Sementara kebutuhan individu rakyat juga banyak yang dijadikan komoditas mulai dari bahan bakar, air, listrik, kebutuhan pokok dll hal ini menjadi sebuah bisnis menggiurkan tiap waktunya. Apalagi sejak Indonesia menjalankan globalisasi, MEA maka makin besar persaingan komoditas kebutuhan rakyat yang tadinya dikuasai swasta nasional kini swasta asing pun bermain.

Dalam Islam pengaturan seperti ini jelas keliru. Negara dalam Islam adalah periayah/ pengatur urusan rakyat, bukan pedagang untuk rakyat. Negara tidak berhak menjadikan rakyat sebagai konsumen atas kebutuhan harian mereka. Amatlah zhalim jika hal ini terjadi.

Negara seharusnya tidak menjadikan swasta merajai pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dan mengambil keuntungan atasnya. Rakyat bukanlah perahan dan hanya dijadikan sumber pemasukan keuangan negara atas pajak yang ditarik dari mereka.

Negara seharusnya menjadi pemain dalam pengelolaan kebutuhan rakyat, tidak hanya sebagai regulator atas penguasaan aset rakyat terhadap para pemilik modal dimana asing pun turut andil didalamnya. Negara adalah pengelola dan penjamin distribusi atas kebutuhan rakyat, jadi tidak hanya berpikir bagaimana menaikkan angka produksi semata.

Jika pengaturan ini dikembalikan kepada hukum Allah pasti tidak akan terjadi banyak masalah. Kaum perempuan tidak akan “dipaksa” bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan yang kian mahal. Anak-anak tidak akan terbengkalai pendidikannya karena ibunya selalu menjadi pendidik utama dalam keluarga. Negara pun tidak akan repot menuntaskan beragam problem sosial akibat perempuan pekerja. Jika hidup dengan syariat Allah bisa menjamin ketenangan lalu mengapa harus mengambil hukum selainnya?

Menghadang Dakwah Menguntungkan Penjajah

Tak berhenti pada pembubaran sepihak, pemerintah terus melakukan beragam strategi untuk mengkriminalkan dakwah yang dilakukan oleh HTI. Pasca disahkannya Perppu menjadi UU, secara kekuatan hukum memang pemerintah makin kuat memiliki alasan untuk menghantam laju ormas yang dinilai sepihak sebagai kelompok radikal dan sejenisnya. Akan tetapi dari pihak HTI beragam perlawanan masih terus dilakukan. Baik itu melalui uji materi di MK hingga PTUN.

Sepanjang persidangan berlangsung, dari kedua belah pihak menghadirkan ahli hukum tata negara untuk menguatkan argumentasi masing-masing. Kubu pemerintah berkeyakinan bahwa ajaran khilafah yang diusung HTI bukan merupakan bagian dari ajaran agama Islam, sebagaimana yang dikatakan Ahmad Budi Prayoga Tim Kuasa Hukum Pemerintah.  Sedangkan dari pihak HTi menyebutkan bahwa khilafah merupakan ajaran Islam dan keberadaaanya adalah wajib atas umat islam.

Masalah ini dirasa cukup alot mengingat proses hukum yang sudah berjalan beberapa bulan dianggap belum final. Pemerintah dinilai banyak pihak melakukan unprosedural dalam proses pembubaran HTi dimana pemerintah membubarkan HTI tanpa melalui mekanisme perundangan dalam UU Ormas. Pemerintah memilih mengumumkan kepada publik akan pembubaran HTI tanpa melayangkan surat peringatan dan mekanisme lainnya.

Ketakutan pada Islam Politik

Beragam upaya dilakukan  pemerintah untuk memberikan stigma negatif pada ide khilafah yang diusung HTI. Seperti yang disebutkan oleh Anggota Tim Kuasa Hukum Pemerintah, Achmad Budi Prayoga yang mengatakan bahwa pembuktian itu akan dibeberkan berupa dalil-dalil yang dirumuskan sejumlah ahli hukum tata negara seperti Azyumardi Azra dan Mahfud MD dalam sidang lanjutan gugatan HTI atas pembubarannya.

Bahkan Guntur Romli menuliskan rekomendasi kepada pemerintah menghadapi HTI dan kelompok radikal. Dalam salah satu tulisannya Romli menyebut keberadaan HTI sebagai partai politik melakukan dakwah yang tak lazim karena mereka tidak membangun madrasah, pesantren, masjid, pelayanan kesehatan, social, ekonomi seperti yang dilakukan NU, Muhammadiyyah dll.

Pertanyaannya, benarkah ide khilafah itu bukan merupakan ajaran Islam ataukah keberadaan Islam politik inilah yang menjadi dasar ketakutan pemerintah akan hegemoni kekuasaan yang akhir-akhir ini dirasa sudah kehilangan “citra positifnya’ di kalangan rakyat negeri ini?

Pasca pembubaran HTI secara sepihak oleh pemerintah, keberadaan ide khilafah memang semakin santer diberitakan. Upaya meredam opini khilafah yang makin deras, semakin menarik diperbincangkan oleh berbagai media dan kalangan tokoh membuat pemerintah yang diwakili oleh Menkopolhukam Wiranto sangat sibuk melakukan manuver untuk mencari legitimasi atas pembubaran HTI. Bahkan akhir Desember ini pemerintah mengadakan  rakor dalam rangka persiapan sidang PTUN 4 Januari mendatang.

Bargaining politik pemerintah akhir-akhir ini memang sedang mengalami krisis. Rakyat seolah semakin jelas melihat kebobrokan penerapan hukum di Indonesia. Keberpihakan umat Islam di Indonesia kepada HTI justru nampak dalam beragam testimoni dan pemberitaan. Rakyat masih menelan kekecewaan atas jauhnya kesejahteraan yang mereka rasakan, kekecewaan akan janji palsu dan pencitraan makin bertambah tatkala satu demi satu kebijakan digulirkan dan kian menghimpit rakyat.

Tak heran, bagai peribahasa “ Buruk rupa cermin dibelah” pemerintah melakukan sebuah tindakan yang cukup reaktif dalam menghadapi ketakutan munculnya kekuatan Islam Politik. Apalagi pasca beragam Aksi umat mulai dari tumbangnya Ahok, 411, 212 dan aksi lanjutan lainnya membuat pemerintah semakin ciut menghadapi kekuatan umat Islam di Indonesia yang kian bersatu. Pada akhirnya HTI menjadi korban “politik kekuasaan’ pemerintah akan ketakutannya terhadap Islam Politik.

Kriminalisasi Ide Khilafah, Menuai Kontra terhadap Dalil

Ide khilafah sebenarnya bukanlah sebuah ide baru dalam khazanah ajaran Islam. Beragam penerapan sejarah Islam membangun peradaban terjadi ketika ada kekhilafahan yang dibangun sejak Rasulullah SAW wafat hingga terakhir masa kekhilafahan Turki Utsmani.

Islam dan kekuasaan sebenarnya sesuatu yang tak  bisa dilepaskan, mengingat dengan adanya kekhilafahan atau kekuasaan maka Islam bisa tersebar hingga ke seluruh dunia. Para ulama memandang bahwa khilafah ini merupakan tajul furud (induk dari segala kewajiban) mengingat dengan adanya kekhilafahan maka implementasi hukum syariat akan terealisasi secara kafah.

Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164 : “Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.”

Syaikh Abdul Qadim Zallum menyebutkan, ”Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini – sebagaimana kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara yang pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya.” (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm. 34)

Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah [Khilafah]…” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)

Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan,”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)

Dalil Kewajiban Khilafah Menurut Imam Mufassir Al Qurthubi: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah. Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” QS al-Baqaroh [2]: 30.

Ayat ini adalah pangkal dalam mengangkat imam dan khalifah yang didengar dan ditaati, untuk menyatukan kalimat (Islam) dan menerapkan hukum-hukum khalifah (syariat). Dan tidak ada khilaf (perbedaan)  terkait kewajiban itu diantara umat dan tidak pula diantara para imam.

Dan sahabat telah ijmak(sepakat) mengajukan Abu Bakar ash-Shiddiq setelah terjadi perselisihan diantara sahabat muhajirin dan anshar di saqifah Bani Saidah dalam pengangkatan khalifah. Sehingga sahabat anshar berkata: “Dari kami ada amir (pemimpin) dan dari kalian ada amir”. Lalu Abu Bakar, Umar dan sahabat muhajirin  menolak hal itu dan berkata kepada mereka: “Sesungguhnya orang Arab itu tidak tunduk kecuali kepada perkampungan Quraisy ini”. Dan meriwayatkan khabar tentang itu kepada mereka. Lalu mereka kembali dan taat kepada orang Quraisy.

Seandainya fardlunya imam itu tidak wajib, tidak wajib pada Quraisy dan tidak pula pada selain mereka, maka perdebatan dan perbincangan padanya tentu tidak boleh terjadi. Dan pasti ada yang berkata; Sesungguhnya mengangkat imam itu tidak wajib, tidak pada Quraisy dan tidak pula pada  selain mereka. Maka pertentangan kalian tidak berarti dan tidak berfaidah pada perkara yang tidak wajib”. Kemudian Abu Bakar Shiddiq RA ketika menjelang wafatnya menyuruh Umar menjadi imam. Dan tidak ada seorangpun berkata: “Perkara ini tidak wajib atas kami dan tidak pula wajib atas kamu”. Maka hal itu menunjukkan atas wajibnya imamah (khilafah), dan bahwa imamah adalah rukun diantara rukun-rukun agama, yang dengannya kaum muslim dapat bangkit. Walhamdu lillahi rabbil ‘aalamiin”.(Tafsir al-Qurthubi, juz 1, hal. 264).

Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa tidak ada perbedaaan pendapat mengenai kewajiban tersebut (mengangkat seorang Khalifah) di kalangan umat dan para imam madzhab. Bahkan al-Iji, Ibn Khaldun, Ibn Hazm, Khathib al-Baghdadi, al-Qahir, al-Qurthubi, ar-Razi, asy-Syahrastani, asy-Syaukani, al-Mawardi, al-Farra’ dan ulama salaf lainnya menyatakan bahwa seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Muktazilah, Khawarij, dan Murjiah semuanya berpendapat bahwa umat wajib memiliki seorang imam (khalifah) dan hukum mengangkatnya adalah wajib.

Imam Ahmad mengingatkan akibat yang akan muncul dari tiadanya Khilafah. Beliau mengatakan, “Fitnah akan terjadi jika tidak ada Imam (Khalifah) yang mengurusi urusan orang banyak.”Dengan tiadanya Imam/Khalifah, berbagai kemaslahatan manusia menjadi terlantar dan perselisihan yang terjadi tidak terselesaikan”.

Al-Iji dalam al-Mawâqif menyatakan, “Maksud Asy-Syâri‘ (Allah Swt.) dalam apa yang telah disyariahkan berupa muamalah, munâkahat, jihad, hudûd, peradilan, serta syiar-syiar Islam dan lainnya, semuanya tidak lain merupakan kemaslahatan-kemaslahatan yang kembali kepada manusia. Semua ini tidak akan terwujud kecuali dengan adanya seorang imam (khalifah) yang menjadi rujukan dalam apa-apa yang diperselisihkan oleh para hamba. Dengan adanya perbedaan keinginan, beraneka ragamnya pandangan dan pertentangan sebagian terhadap sebagian lainnya, maka perselisihan dan pertikaian bisa jadi membinasakan mereka secara keseluruhan. Pengalaman sejarah menjadi saksi bahwa tidak tegaknya Khalifah mengakibatkan terlantarnya agama, keluar dari Islam dan terjadinya perpecahan kaum Muslim sebagaimana yang terjadi sekarang.

Maka dari itu, al-Jurjani, pen-syarah Al-Mawâqif, menyatakan, “Mengang-kat seorang imam/khalifah adalah termasuk apa yang akan menyempurnakan berbagai kemaslahatan kaum Muslim dan bagian dari tujuan agama yang paling agung.”

An-Nawawi juga menyatakan, “Umat ini harus memiliki imam yang menegakkan agama, menolong as-Sunnah, memberikan keadilan kepada orang-orang yang dizalimi, serta memenuhi hak-hak dan meletakkannya pada tempatnya.”

Syaikh Abu Zahrah menyatakan, “Sungguh, jumhur ulama telah bersepakat bahwa wajib ada seorang imam (khalifah) yang menegakkan shalat Jumat, mengatur para jamaah, melaksanakan hudûd, mengumpul-kan harta dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, menjaga perbatasan, menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan hakim-hakim yang diangkatnya, menyatukan kalimat (pendapat) umat, menerapkan hukum-hukum syariah, mempersatukan golongan-golongan yang bercerai-berai, menyelesaikan berbagai problem, dan mewujudkan masyarakat yang Utama.”

Ibn Hazm menyatakan, “Para ulama bersepakat bahwa kaum Muslim pada satu waktu di seluruh dunia tidak boleh memiliki lebih dari satu imam/khalifah, baik berdekatan atau berjauhan, di dua tempat ataupun di satu tempat.”

Ibnu Khaldun berkata sebagai berikut : “Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).

Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata “Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.” (Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 7).

Dari sekian banyak pendapat para ulama ini jelas menunjukkan kewajiban adanya kekhilafahan, dan meyakinkan bahwa Khilafah adalah ajaran Islam.

Barat Menunggangi Kriminalisasi Ajaran Islam

Sikap pemerintah terhadap upaya kriminalisai ajaran Islam jelas merupakan sebuah sikap keliru yang hanya akan membahagiakan negeri Barat (kafir). Kita bisa melihat bagaimana sepak terjang mereka dalam memberangus islam politik sejak upaya melenyapkan kekhilafahan Turki Utsmani hingga upaya serius menghadang tegaknya kembali kekhilafahan yang kedua.

Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council/NIC) pernah merilis laporan dalam bentuk dokumen yang berjudul Mapping The Global Future. Dokumen ini berisikan prediksi atau ramalan tentang masa depan dunia tahun 2020.

Dalam dokumen tersebut, NIC memperkirakan bahwa ada empat hal yang akan terjadi pada tahun 2020-an yakni: Davod World: Kebangkitan ekonomi Asia; Cina dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia. Pax Americana: Dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh AS. A New Chaliphate: Kebangkitan kembali Khilafah Islam, yakni Pemerintahan Global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat. Cycle of Fear: Muncul lingkaran ketakutan (phobia), yaitu ancaman terorisme dihadapi dengan cara kekerasan dan akan terjadi kekacauan di dunia—kekerasan akan dibalas kekerasan.

Nampak sekali dalam “ramalan” NIC ini ada ketakutan Barat akan munculnya sebuah kekuatan politik Islam di muka bumi. Barat mengetahui jika kekhilafahan akan hadir kembali maka mereka akan berhadapan dengan sebuah kekuatan besar. Dan akan berpengaruh pula dalam tancapan hegemoni mereka di dunia.
Bukan hal yang sulit diindera, bahwa upaya penolakan islam politik, mengkriminalkan ide khilafah semua hal ini sejatinya hanya upaya untuk menyelamatkan hegemoni Barat di dunia.

Mereka menggunakan tangan-tangan penguasa negeri muslim untuk ‘bersitegang’ menghadapi umat Islam dalam mengkriminalkan khilafah dan para pengemban ide khilafah ini. Mendukung upaya kriminalisasi ajaran islam sama saja artinya menghadang laju kekuatan qodho Allah akan kembalinya khilafah kedua ‘ala minhajin nubuwwah.

Sebagaimana tertulis didalam hadits Rasulullah SAW bersabda:

تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ ا للهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَّرِيًّا ، فَتَكُوْنَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، ثُمَّ سَكَتَ

“Periode kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang periode khilafah aala minhaj nubuwwah (kekhilafahan sesuai manhaj kenabian), selama beberapa masa hingga Allah ta’ala mengangkatnya. Kemudian datang periode mulkan aadhdhan (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta’ala. Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah ‘ala minhaj nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw diam.” (HR Ahmad; Shahih).

Jika Barat saja meyakini ancaman kehadiran khilafah di muka bumi lalu mencegah kemunculannya, kenapa umat Islam  mengikuti ide mereka untuk mengkriminalkan khilafah? Seharusnya umat Islam memiliki keyakinan yang jauh lebih besar akan tegaknya klhilafah dibanding keyakinan Barat. Meyakini dan memperjuangkan tegaknya kembali khilafah rasyidah adalah sebuah solusi terbaik untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan dan azab.