Pekerja perempuan di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahun. Persentase jumlah pekerja perempuan mencapai 50 persen lebih dibandingkan jumlah pekerja laki-laki. Pada sektor tertentu seperti jasa kemasyarakatan, jumlah pekerja perempuan hampir menyamai jumlah pekerja laki-laki.
Kenaikan ini bukanlah hal yang tidak disengaja, akan tetapi perencanaan penambahan angka pelaku ekonomi di negeri ini memang terjadi secara terstruktur. Meski ditargetkan angka pekerja perempuan bertambah akan tetapi Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, masih ada kesenjangan yang tinggi antara tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) berdasarkan jenis kelamin pada Februari 2017, yakni masih didominasi oleh laki-laki.
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto, TPAK laki-laki pada Februari lalu sebesar 83,05 persen, turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 83,46 persen. Sedangkan TPAk perempuan hanya 55,04 persen, namun meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 52,71 persen. Namun dibandingkan periode yang sama tahun lalu, TPAK perempuan mengalami kenaikan sebesar 2,33 persen poin, sementara TPAK laki-laki justru mengalami penurunan sebesar 0,41 persen poin.
Dilema Dominasi Pekerja Perempuan
Dengan bertambahnya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan, hal ini memang menambah angka partisipasi perempuan dalam meningkatkan perekonomian negara. Menurut riset dari Grant Thornton tahun 2017, Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai peningkatan terbaik dalam hal jumlah perempuan yang menduduki posisi senior di perusahaan dengan peningkatan dari 24 persen di tahun 2016 menjadi 28 persen di tahun 2017. Tak bisa disepelekan posisi perempuan saat ini dalam dunia kerja.
Tapi apakah hal ini menyelesaikan masalah negara ini? Menuntaskan sebagian masalah ekonomi mungkin iya, akan tetapi pada faktanya partisipasi perempuan dalam dunia kerja mengharuskan negara mempersiapkan perangkat lain yang tak sedikit jumlahnya.
Bermunculannya Day Care, LSM Perempuan, Undang-undang ketenagakerjaan yang berkaitan dengan perempuan, Undang-undang KDRT dll akhirnya menyedot anggaran dan perhatian pemerintah untuk menyelesaikan masalah cabang yang muncul karena bertambahnya angka pekerja perempuan.
Menurut riset yang dilakukan Women Research Institute (WRI) banyak sekali bermunculan masalah perempuan dalam relasi dunia kerja. Diantaranya fasilitas tempat kerja yang kurang kondusif; buruh tidak mendapat perlindungan dari perusahaan, jaminan kesehatan, kebebasan memilih kerja lembur; perlindungan dari pelecehan seksual tidak ada; dominasi laki-laki dalam Perwakilan Unit Kerja (PUK) dan Serikat Pekerja (SP); representasi buruh perempuan dalam organisasi serikat pekerja sangat rendah; Upah, kerja, dan kerja lembur, Penghitungan upah lembur tidak transparan; Tidak ada insentif bagi pekerja yang berhasil memenuhi target produksi; Upah tidak sebanding dengan kebutuhan hidup sehingga terpaksa kerja lembur; Jam kerja yang melewati batas waktu sering tidak mendapat kompensasi.
Sedangkan dalam kehidupan keluarga, problem yang muncul pun beragam. Meningkatnya angka perceraian akibat dominannya perempuan dalam kepemimpinan keluarga, perselingkuhan yang kian beragam jenisnya, menurunnya kualitas generasi, hilangnya keharmonisan keluarga, dan selainnya kini menjadi keseharian problem social yang dihadapi masyarakat.
Benarkah Angka Pekerja Perempuan Menyelamatkan Ekonomi Negara?
Deva Rachman, Corporate Affairs Director dari Intel Corporations memandang bagaimana supaya globalisasi dapat mengembangkan perempuan. Secara global banyak yang bisa didapatkan perempuan. Posisi Indonesia berada dalam kesempatan lebih lumayan daripada negara lain seperti Bangladesh, Afrika dan lain-lain.
Badan PBB mengatakan bahwa investasi waktu dan pendidikan, yang diberikan kepada perempuan, akan berbalik pada kebaikan ekonomi keluarga. Deva menawarkan kembali, saat ini kita perlu melihat bagaimana teknologi dapat membantu perempuan yaitu mendukung kemajuan mereka. Bila perempuan diberi investasi ini, maka kontribusinya terhadap masyarakat bisa dua kali lipat lebih besar.
Jika dicermati statemen di atas ada pemikiran mendasar yang melahirkan sikap tersebut. Pemikiran kesamaan jender yang lahir dari liberalisasi pemikiran melihat bahwa sebenarnya kaum feminis perlu menolak konsep pembagian peran sosial yang dikaitkan dengan perbedaan biologis. Mereka terobsesi untuk mengubah masyarakat yang patriarki menjadi masyarakat yang berkesetaraan. Baik melalui perubahan secara kultural, maupun struktural.
Secara kultural, mereka berupaya merubah pola pendidikan dan pengasuhan anak yang tidak membeda-bedakan antara anak laki-laki dan perempuan, mengubah persepsi agama yang dianggap bias gender, dan lain-lain. Secara struktural, mereka berupaya mengubah kebijakan yang patriarki menjadi kebijakan yang pro perempuan, atau yang berkesetaraan. Semisal tentang kebijakan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen.
Jika dicermati, secara konseptual maupun praktis, ide kesetaraan gender ini sangat absurd dan utopis. Hal ini dikarenakan mereka seolah tidak menerima mengapa manusia lahir dengan membawa kodrat maskulinitas dan feminitas, sementara pada saat yang sama, mereka tidak mungkin mengabaikan fakta, bahwa di dunia ini ada dua jenis kelamin yang berbeda, laki-laki dan ada perempuan. Perbedaan kelamin manusia ini memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Semisal perempuan hamil, melahirkan dan menyusui, tidak bisa tergantikan oleh laki-laki.
Kalangan feminis menilai bahwa liberalisasi/ pembebasan kaum perempuan akan membuat kaum perempuan lebih maju. Liberalisasi dianggap sebagai pondasi untuk mencapai kemajuan. Isu liberalisasi ini kemudian menjadi isu sentral perjuangan mereka.
Liberalisasi menjadikan kaum perempuan bebas mengekspresikan dirinya, bekerja di bidang apapun yang diinginkannya, berbuat apapun yang disukainya, tanpa harus merasa takut dengan berbagai tabu (termasuk konsep kodrat) yang selama ini dianggap mengekang mereka. Apakah ini sebuah pemikiran maju untuk perempuan? Tidak. Perempuan justru hanya akan keluar dari jalur norma dan fitrahnya sebagai ibu dan pendidik dalam keluarganya.
Islam: Solusi Menyeluruh Problem Perempuan Pekerja
Bukan menjadikan perempuan sebagai mesin ekonomi untuk menyelesaikan masalah bangsa, justru seharusnya perempuan diposisikan sebagaimana fitah penciptaannya. Secara biologis perempuan jelas memiliki ciri khas yang tidak akan bisa digantikan oleh laki-laki.
Perannya sebagai ibu dan pendidik generasi seharusnya ditopang dengan kuat oleh bangunan sistem negara dan juga situasi dalam keluarganya. Laki-laki dengan tanggung jawab nafkah akan merasa tenang jika tidak banyak persaingan usaha dengan kaum wanita, memaksimalkan perannya sebagai pencari nafkah keluarga, pemimpin dan pendidik istri pasti akan membawa dampak positif bagi kehidupan.
Laki-laki juga akan tenang meninggalkan anak-anak mereka kepada ibunya daripada menitipkannya kepada ART atau Day Care. Dan seorang perempuan akan memaksimalkan perannya sebagai ibu dan pendidik karena dia tidak perlu dipusingkan lagi dengan beragam jenis tuntutan pekerjaan di tempat usahanya hingga masalah nafkah.
Islam memandang bahwa persoalan yang muncul pada sebagian individu, termasuk persoalan perempuan, adalah persoalan manusia/masyarakat secara keseluruhan dengan pandangan yang holistik dan sistemik. Dengan begitu, solusi yang dihasilkan pun akan menyelesaikan persoalan secara tuntas dan menyeluruh. Persoalan kaum perempuan yang juga dialami oleh laki-laki membutuhkan solusi yang komprehensif. Solusi tersebut ada dalam hukum-hukum Islam.
Islam memandang tugas nafkah adalah hanya tugas suami sebagaimana firman Allah:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya” (Al-Baqarah: 233)
Sementara problem ekonomi yang hari ini muncul adalah sebuah realita yang terbangun oleh sistem ekonomi kapitalisme. Kebebasan kepemilikan telah menjadikan kebutuhan rakyat dipolitisasi pihak tertentu untuk menguntungkan sebagian pihak saja yang memiliki dominasi kapital. Aset yang seharusnya dipenuhi sebagai kebutuhan komunal bahkan diswastanisasi dan dijadikan komoditas meraup keuntungan seperti pendidikan, kesehatan, keamanan.
Sementara kebutuhan individu rakyat juga banyak yang dijadikan komoditas mulai dari bahan bakar, air, listrik, kebutuhan pokok dll hal ini menjadi sebuah bisnis menggiurkan tiap waktunya. Apalagi sejak Indonesia menjalankan globalisasi, MEA maka makin besar persaingan komoditas kebutuhan rakyat yang tadinya dikuasai swasta nasional kini swasta asing pun bermain.
Dalam Islam pengaturan seperti ini jelas keliru. Negara dalam Islam adalah periayah/ pengatur urusan rakyat, bukan pedagang untuk rakyat. Negara tidak berhak menjadikan rakyat sebagai konsumen atas kebutuhan harian mereka. Amatlah zhalim jika hal ini terjadi.
Negara seharusnya tidak menjadikan swasta merajai pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dan mengambil keuntungan atasnya. Rakyat bukanlah perahan dan hanya dijadikan sumber pemasukan keuangan negara atas pajak yang ditarik dari mereka.
Negara seharusnya menjadi pemain dalam pengelolaan kebutuhan rakyat, tidak hanya sebagai regulator atas penguasaan aset rakyat terhadap para pemilik modal dimana asing pun turut andil didalamnya. Negara adalah pengelola dan penjamin distribusi atas kebutuhan rakyat, jadi tidak hanya berpikir bagaimana menaikkan angka produksi semata.
Jika pengaturan ini dikembalikan kepada hukum Allah pasti tidak akan terjadi banyak masalah. Kaum perempuan tidak akan “dipaksa” bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan yang kian mahal. Anak-anak tidak akan terbengkalai pendidikannya karena ibunya selalu menjadi pendidik utama dalam keluarga. Negara pun tidak akan repot menuntaskan beragam problem sosial akibat perempuan pekerja. Jika hidup dengan syariat Allah bisa menjamin ketenangan lalu mengapa harus mengambil hukum selainnya?